- Back to Home »
- Boekoe »
- IPM & ETOS D’NUUNers: Pertajam Mata Pena, Goreskan Karya Nyata
IPM & ETOS D’NUUNers:
Pertajam Mata Pena,
Goreskan Karya Nyata
Oleh Azaki Khoirudin
ADA yang laju dan yang layu. Yang terus melaju adalah kualitas kecerdasan
anak-anak muda negeri ini. Adapun yang melayu adalah kepeloporan gerakan kaum
muda untuk merajut kecerdasan yang berserak menjadi kekuatan progresif/
berkemajuan. Pikiran-pikiran cemerlang generasi muda mencerminkan kegeniusan
respons komunitas kreatif yang sepadan dengan tantangan zamannya. Begitupun
kelahiran sebuah organisasi pergerakan pelajar di Indonesia, salah satunya
ialah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Oleh karena itu kita perlu memahami epistem sosial, ruang dan waktu kemunculan
IPM sebagai gerakan pelajar, bahwa sejak kelahirannya IPM memiliki spirit kaum
terpelajar yang saya sebut dengan etos D’Nuuners dalam melakukan aktivisme
untuk perubahan sosial.
Tinta Sejarah Kelahiran IPM
Kelahiran dan perkembangan IPM tidak lepas dari misi
Muhammadiyah dan konteks kehidupan yang mengitarinya. “IPM adalah organisasi otonom Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam, dakwah
amar ma’ruf nahi munkar di kalangan pelajar, beraqidah Islam dan bersumber pada
Al-Qur‘an dan As-Sunnah Al-Maqbulah”. (AD ayat 3). IPM ialah
sebuah organisasi yang menjadi rumah besar pelajar Indonesia. Sebut saja
komunitas. Sebagai komunitas, IPM adalah entitas harus dipahami dari
dinamikanya dalam dimensi waktu, yaitu pertumbuhan, perkembangan dan
perubahannya dalam sejarah ilmu dan peradaban.
Jika
dilacak jauh ke belakang, sebenarnya pendirian organisasi pelajar Muhammadiyah
jauh sebelum IPM berdiri pada tahun 1961. Pada tahun 1919 didirikan Siswo
Projo sebuah organisasi persatuan pelajar Muhammadiyah di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian 1926, di Malang dan Surakarta
berdiri lah sebuah organisasi GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar Muhammadiyah).
Selanjutnya pada 1933 berdiri Hizbul Wathan yang di dalamnya berkumpul
pelajar-pelajar Muhammadiyah.
Setelah
tahun 1947, berdirinya kantong-kantong pelajar Muhammadiyah untuk beraktivitas
mulai mendapatkan resistensi dari berbagai pihak, termasuk dari Muhammadiyah
sendiri. Imbasnya adalah tahun 1950, di Sulawesi tepatnya di daerah Wajo sempat
pula didirikan IPM, namun dibubarkan Muhammadiyah sendiri. Babak selanjutnya 1954,
di Yogyakarta berdiri GKPM yang berumur 2 (dua) bulan karena lagi-lagi dibubarkan
oleh ayahnya sendiri, yaitu Muhammadiyah.
Usaha
itu pun tak pernah surut, 1956 GKPM kembali didirikan di Yogyakarta, tetapi
dibubarkan juga oleh Muhammadiyah (tepatnya Majelis Pendidikan dan Pengajaran).
Nah, setelah GKPM dibubarkan, 1956 didirikan Uni SMA Muhammadiyah yang
berencana untuk mengadakan musyawarah se Jawa Tengah. Akan tetapi, para
aktivisnya malah diancam akan dikeluarkan dari sekolah Muhammadiyah. Ngerri nggak Bro? Tak tanggung-tanggung
1957 juga berdiri IPSM (Ikatan Pelajar Sekolah Muhammadiyah) di Surakarta, dan
lagi-lagi mendapatkan resistensi dari Muhammadiyah, ayahnya sendiri.
Kira-kira
kenapa ya, lagi-lagi tantangan
kelahiran IPM kok malah dari
Muhammadiyah sendiri? Begini singkat
cerita, ketika Partai Islam MASYUMI berdiri, organisasi-organisasi Islam di
Indonesia merapatkan sebuah barisan dengan membuat sebuah deklarasi (yang
kemudian terkenal dengan “Deklarasi Panca Cita”) yang berisikan tentang “satu
kesatuan umat Islam,” bahwa umat Islam bersatu dalam satu partai Islam, yaitu
Masyumi; satu gerakan mahasiswa Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI);
satu gerakan pemuda Islam, yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII); “satu gerakan pelajar Islam, yaitu Pelajar
Islam Indonesia” (PII); dan satu Kepanduan Islam, yaitu Pandu Islam (PI).
Kesepakatan inilah yang menjadi hantu kelahiran IPM.
Perlu
diketahui, kesepakatan bulat organisasi-organisasi Islam tersebut tidak
bertahan lama, karena pada 1948 PSII keluar dari Masyumi. Kemudian diikuti oleh
NU (Nadhatul ‘Ulama) pada tahun 1952. Sedangkan Muhammadiyah tetap bertahan di
dalam Masyumi sampai Masyumi membubarkan diri pada tahun 1959. Nah, bertahannya
Muhammadiyah dalam Masyumi akhirnya menjadi mainstream kuat terhadap
deklarasi Panca Cita demi kesatuan umat Islam Indonesia. Efeknya pun pada
pembubaran Organisasi pelajar Muhammadiyah. Alasan lain disebabkan anggapan Muhammadiyah merasa
cukup dengan adanya kantong-kantong Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), seperti
Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul ‘Aisyiyah, yang cukup bisa mengakomodasikan
kepentingan para pelajar Muhammadiyah.
Titik-titik
terangnya ketika 1958 Konferensi Pemuda Muhammadiyah Daerah di Garut berusaha
melindungi aktivitas para pelajar Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda
Muhammadiyah. Saat itulah upaya pendirian IPM dilakukan dengan serius,
intensif, dan sistematis. Pembicaraan-pembicaraan mengenai perlunya berdiri
organisasi pelajar Muham-madiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan Pusat Pemuda
Muhammadiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dengan
keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut akhirnya diperkuat
pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke II yang berlangsung pada tanggal 24-28
Juli 1960 di Yogyakarta, yaitu dengan memutuskan untuk membentuk Ikatan Pelajar
Muham-madiyah (Keputusan II/No. 4). Kata sepakat akhirnya dapat tercapai antara
PP Pemuda Muhammadiyah dengan PP Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran
tentang organisasi pelajar Muhammadiyah pada 15 Juni 1961. Akhirnya pendirian IPM dimatangkan lagi dalam
Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961, ditetapkan
sebagai hari kelahiran IPM.
Mata Pena Gerakan IPM
Entah bagaimana sejarahnya, sampai saat ini saya tidak tahu. IPM memiliki semobyan “Nûn Wal
Qalami Wamâ Yasturûn”. Bahkan, secara
tegas Anggaran Dasar pasal ke-5,
tertulis QS. Al-Qalam ayat 1 ini sebagai semboyan organisasi dengan diperjelas
“Pena” sebagai simbol gerakan. Hebat bukan?
Kita
semua pasti tahu, dimana Nun dan al-Qalam selalu menjadi kata-kata
pamungkas dalam setiap kegiatan atauacara IPM. Nun dan al-Qalam telah
mengajarkan kepada diri saya tentang dahsyatnya tradisi membaca dan menulis.
Melalui tulisan, karya kita akan dibaca oleh banyak orang. Melalui tulisan, ruh
dan jiwa kita akan senantiasa hidup meskipun kita sudah tiada. Melalui tulisan,
jutaan manusia akan selalu membaca meskipun tak pernah berjumpa. Melalui
tulisan, dari satu generasi ke generasi akan menafsir berbeda atas teks yang
ada. Melalui tulisan, kita telah mengajarkan kepada generasi berikutnya bahwa
sejarah itu ada dan tidak pernah punah dari realita. Melalui tulisan juga, kita
akhirnya mengenal berbagai cerita sejarah peradaban dunia yang dapat kita
ketahui meskipun kita belum pernah merasakanannya. Bahkan berbagai sinema layar lebar yang kini
mewarnai jagag perfilman tanah air pun mayoritas lahir dari sebuah buku (baik
itu novel, cerpen, roman, dll) yang memiliki kekuatan makna di setiap
kata-katanya. Itulah falsafah “Nun”
yang telah diajarkan oleh IPM kepada pribadi saya dan tentu pribadi-pribadi
lainnya. Sehingga sangat aneh dan lucu, jika ikut IPM tetapi tidak suka membaca
dan manulis.
Pena adalah benda sederhana,
harganya pun tak seberapa, tapi nilainya luar biasa sebagai wahana mengubah
dunia. Pena adalah simbol kecerdasan dan keterdidikan. Pena mampu melahirkan kemajuan
dan peradaban. Pena baikan harddisk
perekam berbagai penemuan, ia sebagai Penyebar ilmu pengetahuan. Tak terhitung
literatur dan kepustakaan bertebaran di semua negeri. Itu semua ialah hasil
goresan karya nyata dengan tinta yang berkualitas. Dengan tintanya, pena mampu
menghilangkan sekat generasi, merobohkan batas geografi, sehingga ilmu pengetahuan
menjadi milik seluruh umat manusia. Pena dapat membebaskan manusia dari
kebodohan dan kegelapan yang padan ujungnya mendorong kemajuan mendatangkan
pencerahan.
Dalam tanfidz Muktamar IPM (2000), ditegaskan
bahwa IPM adalah gerakan
yang memiliki visi keilmuan. Visi keilmuan IPM didasari pada pandangan mendasar
IPM terhadap ilmu pengetahuan. Pandangan IPM berakar pada keyakinan bahwa pada hakikatnya
sumber ilmu di dunia ini adalah Allah SWT. Konsekuensinya adalah perkembangan
ilmu pengetahuan harus berawal dan mendapat kontrol dari sikap pasrah dan
tunduk kepada Allah swt.
Senada dengan itu, misi IPM selalu berupaya “membangun tradisi keilmuan”. Dijelaskan bahwa gerakan IPM
membawa misi keilmuannya kepada tatanan kehidupan yang manusiawi dan beradab
serta jauh dari tatanan kehidupan yang sekularistik, hedonistik dan mekanistik
(merupakan implikasi serius dari perkembangan IPTEK masa kini). Pelajar muslim sebagai objek dan subjek dalam
gerakan IPM untu mengembang-kan potensi keilmuannya. Ilmu pengetahuan pun harus selalu berorientasi kepada kemaslahatan
masyarakat, bangsa dan negara. Dan potensi keilmuan pelajar dapat dikembangkan
dalam “komunitas yang
memiliki tradisi keilmuan”. Sekali lagi, saya pertegas bahwa perlunya “komunitas”
tradisi keilmuan.
Nah, dalam membangun
tradisi keilmuan tersebut, gerakan IPM didasarkan
pada asumsi dan prinsip antara lain:
a. Ilmu
pengetahuan harus dikuasai untuk mendapatkan kedudukan sebagai manusia
terhormat dan berkualitas dihadapan Allah SWT.
b. Semangat
menggali khazanah keilmuan harus dibarengi dengan eksplorasi spiritualitas,
sehingga tidak melahirkan karakter manusia berilmu yang sekular.
c. Dengan
ilmu pengetahuan perspektif pelajar tentang realitas sosial menyatu dengan
perspektifnya tentang Tuhan / Agama
Sehingga
corak gerakan IPM memiliki keunikan tersendiri. Sebagai organisasi keilmuan,
gerakan IPM ber-corak intelektualisme dan aktivisme yang dijalankan dengan seimbang. Corak tersebut
terimplementasi dalam sikap ilmiah, kritis, kreatif dan inovatif. Oleh karena
itu, IPM pada awal berdirinya adalah untuk menggarap pelajar Muham-madiyah. Dan
segmen tersebut akan terus dipertahankan sebagai objek garapan yang mendapat
prioritas pertama. Disamping itu, IPM juga menggarap pelajar di luar sekolah
Muhammadiyah dan pelajar yang tidak masuk dalam kategori pelajar. Inilah
masyarakat ilmu dan terpelajar yang menjadi garapan unik bagi gerakan IPM.
Dalam
“Kepribadian Kader IPM”,kader
diartikan sebagai “kader penggerak dan pendorong organisasi, sehingga IPM dapat
menjalankan misinya sebagai penggerak dakwah Islam, gerakan ilmu dan gerakan pembaharu masyarakat”. Senada dengan itu,
pada point ke-4 “Kepribadian Kader IPM
disebutkan, “memiliki tradisi
intelektual sehingga tercipta sikap kritis, inovatif dan kreatif sebagai
landasan beramal kebajikan”. Di sini lah komitmen IPM terhadap tradisi dan etos
kerja keilmuan terlihat betul.
Membangun Komunitas Nuun
Dalam
konteks yang berbeda, minoritas (komunitas) kreatif kaum terpelajar hari ini
menunjukkan cemerlangnya. Tanda-tandanya bisa dilihat dari keberhasilan
delegasi seni dan sains Indonesia dalam kompetisi antarbangsa. Dalam berbagai
ajang olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, kimia, dan robotik,
para pelajar dan mahasiswa Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan
negara-negara terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang, China, dan India,
bahkan berulang kali memecundangi mereka. Ratusan genius muda Indonesia
memainkan peran penting di pusat-pusat pengetahuan dan industri dunia.
Bukanlah
suatu isapan jempol apabila, sekitar 2 (dua) persen dari manusia Indonesia
masuk dalam kategori genius. Lebih dari itu, Indonesia sebagai masyarakat
multi-etnis tampaknya mengandung potensi multi-inteligensia dan multi-talenta,
yang memberikan potensi kejayaan kepada bangsa. Pada setiap generasi, kuantitas
kaum muda sebagai pemikir dan pelopor itu selalu merupakan minoritas kreatif.
Bisahkan IPM menjadi sebuah komunitas kreatif untuk perubahan? Sejarah
mencatat, minoritas kreatif lah yang
menjadi pelopor perubahan ”Indonesia” sebagai simpul persatuan dan kemerdekaan.
Alhasil,
tidak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka
menghabiskan waktu dengan chatting di media sosial, bersenang-senang di pusat
belanja, atau pelesiran ke tempat-tempat wisata. Toh, masih ada minoritas kaum
terpelajar kreatif yang terlibat dalam tradisi ilmuan, kerja-kerja inovatif,
kewirausahaan, dan aksi-aksi politik.
Letak
masalahnya, mampukah IPM mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi
kreatif pelajar Indonesia yang berserak menjadi kesatuan generasi pengubah
dunia (the
global generation). Dalam pandangan Karl Mannheim, sebuah generasi
membentuk identitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama, yang
melahirkan ”sebuah identitas dalam cara-cara merespons, dan rasa keterikatan
tertentu dalam suatu cara di mana semua anggotanya bergerak dengan dan
terbentuk oleh kesamaan pengalaman-pengalaman mereka”. Tidak ada generasi
perubahan tanpa usaha kesengajaan. IPM harus mampu menjadi organisasi aksi
kolektif yang mempertautkan minoritas kreatif yang berserak menjadi blok
nasional pengubah sejarah (historical bloc).
Adapun
komunitas kreatif generasi hari ini, ibarat matahari, rerumputan dan pepohonan
yang bergerak dalam sunyi. Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas
sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan minoritas
kreatif terpencar ke dalam unit-unit yang terkucil. Munculnya media sosial baru
dengan kencenderungan individuasi yang sangat kuat semakin memperkuat tendensi
ke arah atomisasi kekuatan-kekuatan kreatif. Sesekali jaringan kesadaran yang
merambat melalui media sosial ini memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Tanpa
kesanggupan mengorganisasikan diri, kekuatan-kekuatan kreatif hari ini dalam
komunitas, betapapun besar jumlahnya; tak mampu membangkitkan inspirasi kreatif
bagi banyak orang; dan tak mendorong pengikatan bersama kekuatan-kekuatan
progresif/berkemajuan untuk bangkit
bersama membentuk generasi perubahan.
Buku ini hadir tepat dalam pusaran budaya
pragmatisme yang memproduksi pemikiran dan perilaku permissif, manipu-latif,
koruptif, reduktif, minimalis, dan korup. Pragmatisme telah menggerus kalangan
elit agama, akademisi, birokrat, penegak hukum, profesional, kebanyakan politis
dan kalangan bisnis, termasuk pelajar. Saya ngeri,nyeri dan semakin miris. Maka
a "paradigma menulis" begitu mende-sak sebagaimana dituliskan Komunits
Semangat Nuun kader-kader PD IPM Banyumasini. Betapa Allah bersumpah "demi
pena", mengandung makna aksiologis "epistemologi gerakan budaya
menulis".
Pesan saya untuk teman-teman IPM, tapi belum
menulis adalah ayo memulailah dari “Nûn” yang berarti
“Nûr” atau cahaya. Kita harus bersyukur Tuhan menisbahkan “al-Qalam” (pena) sebagai media untuk
mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pengalaman, untuk pencerah-an akal dan
nurani (tanwir al-‘uqul wa al-qulub).
Maka sudah selayaknya kader IPM memiliki pena tajam menggores, meng-hujam,
menera, bahkan menembus ruang dan waktu per-adaban manusia. Semoga melalui buku
ini, teman-teman “Komunitas Semangat Nuun” di PD IPM Banyumas dapat
menghadirkan spirit dan cahaya literasi yang menjadi pendorong kebangkitan gerakan
ilmu IPM dan tajdid Muhammadiyah yang mulai “layu” lekang oleh waktu. Ketika
kader-kader IPM memiliki semangat Nûn
Walqalami Wamâ Yasthurûn, saya yakin mereka akan membawa Muhammadiyah dan
bangsa menuju masa depan peradaban gemilang. Pejuang pena inilah yang saya
sebut dengan D’Nuuners.
Setiap aktivis IPM wajib membaca buku ini, jangan
lama kita dibuai dalam aktivitas keorganisasian yang meskipun penting, juga
berpotensi menumpulkan mata pisau fikir. Teman-teman IPM Banyumas hendak
mengingatkan kepada kita, melalui buku ini, bahwa aktivitas organisasi jangan
melenakan kita pada kegiatan refleksi tulis-menulis. Sebab, tanpa itu,
organisasi hanya akan menjadi rangka mesin mekanis, dan tanpa ruh yang
menghidupkan, dan penggerakknay ibarat robot. Dengan sendirinya, buku ini
merupakan perwujudan dari semboyan Nun itu.
Ya, karena hanya dengan menulis maka jejak sejarah gagasan manusia akan abadi.
Itulah Scripta Manen Verba Volant, menulis itu abadi, bicara itu fana. Demikian pepatah bijak Yunani
Kuno mengingatkan. Juga almarhum Kuntowijoyo pernah mengatakan “syarat
untuk menjadi penulis, yaitu menulis, menulis, dan menulis”. Cocok
dengan judul buku ini yaitu TULIS TERUS, TULIS
TULUS, TULIS MULUS. Andai saya diminta memberikan judul pasti saya
kasih judul “Tulis Terus, Tulis Terus,
dan Tulis Terus”. Hehehe. Semangat
Nuun.
Pemesanan
Halida (085659277637)
Halida (085659277637)