Landasan Internalisasi Nilai dan Tindakan Kader IPM§


Oleh; Azaki KhoirudinÓ
 Prolog

Hingar-bingar penyelenggaraan perkaderan IPM cenderung pada masalah hilir-praktikal. Akibatnya, hulu perkaderan sering terabaikan. Perlu pembahasan perkaderan IPM pada aspek filosofis atau level hulu. Sering tidak tersadari bahwa permasalah yang muncul pada tingkat hilir sebenarnya merupakan akibat dari masalah hulu yang tidak terselesaikan. Jadi, untuk meminimalisir permasalah pada level hilir, maka permasalahan tingkat hulu harus segera dituntaskan. Karena jika masalah hulu ini selesai, maka masalah teknis dan praktis akan mengikuti sesuai dengan dinamika dan inovasi manusia sesuai dengan konteks waktu dan tempat.

Falsafah  dapat berfungsi sebagai tiga peran sekaligus, yaitu pendobrak, pembebas, dan pembimbing. Maksudnya ialah, falsafah perkaderan IPM dapat diperankan untuk mendobrak penjara tradisi dan kebiasaan yang melenceng dari tujuan perkaderan IPM.  Selain mendobrak, juga membebaskan dari ketidaktahuan. Terutama dalam menyelenggarakan perkaderan IPM. Yang urgent lagi adalah membimbing kemana arah (desain) perkaderan akan dilakukan.
Falsafah perkaderan IPM adalah dimensi terdalam dari seluruh proses kaderisasi di IPM. Pembahasan Falsafah perkaderan IPM, maka berbicara apa yang disebut dengan  pendidikan. Karena IPM adalah gerakan dakwah pelajar di kalangan Muhammadiyah. Sedangkan Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Maka, filsafat perkaderan IPM mengacu kepada kerangka filsafat pendidikan Islam. Oleh sebab itu, pembahasan akan dimulai dari pembahasan hakekat manusia, hakekat perkaderan IPM, dan paradigma perkaderan IPM.
A.    Hakekat Manusia
Manusia dalam bahasa Inggris disebut man (asal kata dari bahasa Anglo-Saxon), mann). Arti dasar dari kata ini tidak jelas tetapi pada dasarnya dapat dikaitkan dengan mens (latin), yang berarti “ áda yang berpikir”. Demikian halnya arti kata anthropos (Yunani) tidak begitu jelas. Semula anthropos berarti “seseorang yang melihat ke atas”. Sekarang kata ini dipakai untuk mengartikan “wajah manusia”. Dan akhirnya homo bahasa Latin yang artinya “orang yang dilahirkan di atas bumi” (Loren Bagus, 2000:565). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:714) manusia diartikan sebagai “makhluk yang berakal budi” (mampu menguasai makhluk yang lain).
Al-qur’an menyebut manusia menggunakan kata al-Nas, al_Basyar, dan bani Adam. Kata al-Insan dalam al-Qur’an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama dengan kata ins. Sedangkan jamaknya memakai kata al-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal maupun banyak. Kata insan dalam al-Qur’an disebut sebanyak  65 kali dalam 63 ayat, kata ins disebut 18 kali dalam 17 ayat, kata al-Nas disebut 241 kali dalam 225 ayat, kata unasi disebut 5 kali dalam 5 ayat, kata anasi dan insiya masing-masing disebut 1 kali dalam 1 ayat. Sedangkan kata basyar disebut 36 kali dalam 36 ayat. Disamping al-insan dan al-basyar, ungkapan manusia dalam al-Qur’an kadang disebut dengan kata bani Adam. Karena manusia memang keturunan Adam “ayah Adam”. Kata bani Adam diulang dalam al-Qur’an sebanyak 8 kali.
Pertama, An-nas diambil dari kata nasiya atau al-nisyan bermakna lupa, pelupa, atau lalai. Kata ini sering digunakan Allah dalam al-Qur’an untuk menunjukkan sifat manusia yang kadang memang sering lupa dan lalai. Dalam riwayat Ibn Abbas r.a. Nabi berkata: “Sesungguhnya manusia itu disebut insan karena ia pernah berjani dan ia lupa akan janjinya”. Kemudian, kata al-Nisyan mempunyai turunan kata al-uns yang artinya jinak, lawan kata dari buas. Jika kata insan dilihat dari asal kata anasa, yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta izin, mengandung pengertian terkait dengan kemampuan penalaran. Artinya, manusia dapat mengambil pelajaran (berpikir) dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan memdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Kata insan jika dilihat dari asal kata nasiya, yang artinya lupa, menunjuk pada kaitan kesadaran diri.
Dalam al-Qur’an terdapat pula dua kata dari insan, yaitu anasa dan nasiya. Kata anasa dipakai untuk ketiga arti yang dimilikinya, yaitu: abshara (melihat), ‘alima (mengetahui), dan isti’zhan (meminta izin). Kata Insan dan serumpunnya, dipakai al-Qur’an untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Sementara kata al-Nas dipakai al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan berbagai kehidupan. Selanjutnya kata al-isn antara lain dipakai al-Qur’an untuk manusia yang sedang mendapatkan tantangan dari Rabb. Sedangkan kata unasi dipakai al-Qur’an dalam kaitan dengan hal-hal terntang air minum dan tentang pemimpin di akhirat.
Kedua, al-basyar, diambil dari kata yang bermakna mengupas atau bergembira, senang, atau panggilan Nabi Adam, Abu al-Basyar. Kata al-basyar dipakai untuk menyebut semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, baik satu maupu banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah, yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi temmpat tumbuhnya rambut. Dalam pengertian basyar, manuisa tergantung sepenuhnya pada alam. Pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia tergantung kepada apa yang dimakan dan diminumnya.  Kata al-basyar disebut 36 kali ayat dalam al-Qur’an, dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyah. Pemakaian kata al-basyar oleh Allah disebabkan manusia memiliki sifat alamiah yakni suka dengan kesenangan dan kegembiraan.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kata al-insan dipakai al-Qur’an dalam kaitan dengan berbagai kegiatan manusia yang berkaitan dengan pemikiran yang terwujud dalam adanya kegiatan belajar artinya lebih kepada substansi ruhaniyah manusia. Sedangkan pengertian al-Basyar tidak lain adalah manusia dalam aktivitas lahiriyahnya yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahya. Malalui aktifitas tubuhnya yang berbentuk perbuatan, gagasan, dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk konkret, yaitu bentuk-bentuk kebudayaan sebagai hasil karya cipta manusia. Sehingga, hakikat manusia adalah ruh yang merupakan dimensi insaniyahnya, bukan pada jazad-material yang tidak abadi.
Dalam pandangan Kiai Ahmad Dahlan tentang hakekat manusia, menurutnya manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran. Manusia harus bersama-sama menggunakan akal fikirannya untuk memikirkan, bagaimana sebenarnya hakekat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju?. Menurut Kiai Dahlan manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya.”Adakah engkau menyangka bahwasanya kebanyakan manusia suka mendengarkan atau memikir-mikir mencari ilmu yang benar.”[1]
Kiai Dahlan “Manusia itu semuanya mati (mati perasaannya) kecuali para ulama, yaitu orang–orang yang berilmu. Dan ulama–ulama itu dalam kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramal pun semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas dan bersih”. Hadjid h. 97
Mula – mula lahir di dunia suci-bersih, kemudian orang tuanya diberi tuntunan, dari pergaulannya mendapat pendidikan dan pelajaran, baikpun dari teman, guru atau pun dari orang – orang tua di kampong halamannya. Dengan demikian masuklah beberapa pengetahuan yang mempengaruhi kepada akal fikiran, perasaan, kehendak dan perbuatannya, tercetak dalam nafsunya hingga menjadi kesenangan dan kepuasan dan menjadi keteguhan kemudian menganggap hanya itu yang benar. Bilamana apa berbeda dengan dirinya dianggapnya itu salah.
Manusia tetap seperti botol, selalu menerima sembarang apa yang mengisinya. Umpama keturunan dari seorang yang tidak beragama, tetap akan menolak beragama. Begitu pula anak keturunan yang beragama Kristen diisi pelajaran Kristen sampai dewasa tetap beragama Kristen. Anak – anaka keturnan yang beragama Yahudi mulai kecil dididik, diajar agama Yahudi sampai dewasa teguh menjalankan agama Yahudi. Demikian seterusnya seperti botol, selalu menerima apa saja yang diisikan. Semuanya hanya Taqlid, menirukan tingkah laku orang tuanya dan guru – gurunya, menirukan tingkah laku temannya.
Pesan tertulis Kiai Haji Ahmad Dahlan yang diterbitkan Abdul Munir Mulkhan tentang “Kesatuan Hidup Manusia”. Kiai mengatakan,
“Pengetahuan tentang kesatuan hidup manusia adalah pengetahuan yang amat besar yang meliputi bumi dan kemanusiaan. Oleh karena itu hendaknya para pembaca memperhatikannya secara cermat, memikirkan secara serius dan jangan tergesa-gesa. Untuk memimpin kehidupan seharusnya mempergunakan satu metode kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Islam ialah al-Qur’an. Manusia seluruhnya harus bersatu hati, karena: meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek-moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi, sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah-daging. Agar supaya dengan bersatu-hati itu, manusia dapat hidup senang secara bersama di dunia.”[2]
Setelah manusia mendengarkan pelajaran–pelajaran fatwa yang bermacam–macam membaca beberapa tumpuk buku dan sesudah memperbincangkan, memikir–mikir, menimbang, membanding– banding kesana kemari, barulah mereka itu dapat memperoleh keputusan, memperoleh barang yang benar yang sesungguh–sungguhnya. Dengan akal fikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan inilah perbuatan yang benar. (Perkaderan IPM ialah mendobrak tradisi)
Hakikat manusia yang paling inti dan esensial ialah imannya yang berada di kalbu. Kalbu itulah yang menjadi sasaran pendidikan untuk diisi dengan iman. Iman itulah yang akan terpancar cahaya akhlakul karimah. Sebagaimana pada hadis qudsi, yaitu:“aku jadikan pada manusia itu ada istana (qashr), di dalam istana itu ada dada (shadr), di dalam dada itu ada kalbu (qalb), di dalam kalbu itu ada fu’ad, di dalam fu’ad itu ada syaghaf, di dalam syaghaf itu ada lubb, di dalam lubb itu ada sir, dan di dalam sir itu ada Aku (Ana).[3]
Simpelnya, konsep manusia menurut Kiai Dahlan ialah :
1. Manusia asal mulanya suci
2. Kemudian manusia kemasukan adat atau kebiasaan kotor lalu hatinya mengandung penyakit
3. Kemudian menolak ajaran – ajaran yang baik yang suci dan yang benar
4. Manusia harus mengadakan kebersihan diri dari kotoran – kotoran yang ada dalam hati. Setelah hatinya jernih, baru dapat menerima ajaran – ajaran para rasul, kemudian baru dapat meningkat naik ke alam kesucian
Dahlan “manusia dilarang menghambakan diri kepada siapa pun atau benda apa pun juga, kecuali pada Allah” (Hadjid, h.46). Berhala hawa nafsu adalah pokok berhala yang membuat manusia menjadi tidak memikirkan lagi mana yang benar dan mana yang salah. Manusia yang dikuasai hawa nafsu biasanya lupa diri. Akhirnya membuat kerusakan dan kerugian sebagainya.
Kelompok ayat pertama, Menurut Dahlan, asal mula manusia ialah dilahirkan menurut “Fitrah”. Manusia asalnya suci, murni, bersih (kosong dari angkara murka dan kejahatan). Kemudian manusia dipengaruhi oleh hawa nafsunya, oleh orang tuanya, lingkungannya, guru-gurunya, dan masyarakat. Akhirnya manusia tertawan oleh hawa nafsu, sampai menjadi budak sahayanya seolah-oleh seperti makhluk hidup yang tidak punya akal pikiran. (h.47) manusia menghambakan diri dengan kebiasaan yang sukar diubah. Pada umumnya, manusia telah tenggelam di tengah lautan kebiasaan. Dimana telah melekat erat pada hawa nafsu dan keinginannya. (h.47)
Manusia secara perenial diarahkan dalam rangka membuat perjalanan menantang dalam rangka mencari jalan yang membawanya pada kesucian dan kebenaran dan untuk mencintai kesucian dan kebenaran, puncak yang suci absolut (al-Subbuh atau al-Quddus) dan kebenaran absolute (al-Haqq), yaitu Tuhan.[4] Oleh sebab itu, tujuan utama penciptaan manusia ialah semata-mata beribadah kepada Allah. Dalam beribadah kepada Tuhan, manusia menemukan kebahagiaan dan kehormatannya, seperti perasaan bahagia karena berhasil “pulang ke rumah”, yaitu kembali ke asal.[5]
Kalbu adalah letak yang paling mendalam rasa kesadaran manusia. Kontak dengan Tuhan menimbulkan rasa kesucian yang amat mendalam, sebab selain Tuhan adalah Wujud Maha Suci (al-Subbuh, al-Quddus), Dia asal segala kesucian dan rasa kesucian. Tuhan pun mengilhami manusia dengan kemampuan membedakan yang suci dari yang keji, Melalui hakikat diri manusia yang paling mendalam, yaitu kalbu. Tetapi dalam jarak yang betapapun kecilnya itu masih terdapat ruang bagi kehadiran Tuhan. Wujud Yang Serba Hadir (Omnipresent) itu senantiasa hadir dalam diri manusia antara kalbu dan diri manusia itu sendiri.[6] Inilah yang barangkali disebut dengan ihsan, berbuat atas dasar kesadaran makrifattullah.
Asumsi dasar manusia menurut Ali Syariati adalah manusia pada umummya terkungkung dalam penjara. Secara alami, manusia benar-benar menjadi manusia setelah ia mampu membebaskan dirinya dari kondisi kondisi deterministik.[7] Manusia sebagai sang pembebas, pencipta, dan pemilih yang sadar, dapat menyelamatkan dirinya dari determinasi alam dan sejarah, dengan pertolongan ilmu pengetahuan. Mereka dapat membebaskan diri dari determinasi sosial dengan pertolongan sosiologi. Akan tetapi mereka dari determinasi egonya, mereka membutuhkan agama dan cinta.[8]

B.     Hakekat Perkaderan
1.    Ontologi Perkaderan
Ontologi adalah kajian masalah keberadaan (eksistensi), yang membahas tentang apakah ada itu?, mengapa perkaderan IPM dikatakan ada?, ada dengan sendirinya?, ada secara kebetulan atau ada karena diciptakan?. Keberadaan ini menjadi penting dalam melihat hakikat perkaderan IPM.  Ontologi merupakan pijakan awal dalam menentukan sikap untuk mengaktualisasikan sebagai bukti keberadaan perkaderan IPM. Keberadaan Perkaderan merupakan suatu bentuk kreasi dalam merespon dan pro aktif terhadap realitas. Secara ontologis, hakikat perkaderan dalam IPM, adalah tarbiyah (education) dan dakwah.

a.      Perkaderan sebagai Tarbiyah
Hakikat perkaderan adalah edication (tarbiyah). Secara ontologi, perkaderan berada dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat abstrak, tingkat potensial, dan tingkat praksis.  Pertama, tingkat esensi abstrak, pendidikan bernilai universal, yakni pemanusiaan manusia. Orientasi filosofis pendidikan adalah sistem bimbingan yang berkesinambungan untuk menumbuh-kembangkan potensi manusia menjadi manusia yang manusiawi.[9] Kedua, tingkat esensi potensial, pendidikan adalah suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiannya sebagai manusia, sebagai makhluk kreatif. Pada hakikat potensi ini cenderung menumbuhkembangkan kecerdasan intelegensi, sehingga terbentuk kepribadian kreatif.[10] Ketiga, tingkat esensi kongkrit, pendidikan adalah daya yang mampu membuat setiap manusia individu berkesadaran utuh terhadap hakikat keberadaannya berdasar pada nilai-nilai asal mula dan tujuan kehidupannya, sehingga menghasilkan kecerdasan spiritual, untuk mengendalikan perilaku individu, agar senantiasa sesuai dengan nilai asal-mula dan tujuan kehidupan.[11]
Ada tiga istilah education dalam Islam yaitu tarbiyah[12], ta’lim,[13] dan ta’dib[14]. Dari perbedaan pengertian at-tarbiyah, at-ta’lim, dan at-ta’dib itu, maka para ahli pendidikan memformulasikan hakikat pendidikan Islam.  Selanjutnya, mengapa perkaderan IPM dikatakan sebagai “tarbiyah”? Konsep tarbiyah senafas dengan al-Qur’an, karena, tarbiyah itu mengikat.[15] Selain itu, tarbiyah”, juga mengandung arti “penumbuhan” atau “peningkatan” fitrah manusia,  agar menjadi manusia dengan tingkat kualitas yang setinggi-tingginya, yaitu manusia paripurna.[16] Tarbiyah itu sama dengan tanmiyah atau development (Inggris). Dengan demikian, fitrah seorang anak akan tumbuh terus-menerus.[17] Oleh sebeb itu, Perkaderan dalam IPM ialah menumbuh kembangkan seorang kader sebagai manusia yang berpotensi dan berenergi positif dan luar biasa. Potensi tersebut harus terus ditumbuhkan manjadi manusia sempurna yang mampu mengemban tugas kekhalifaan di dunia.


b.    Perkaderan sebagai Dakwah
Selain tarbiyah, Perkaderan secara ontologis adalah dakwah. Perkaderan sebagai dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Amar makruf dapat berarti (humanisasi) memanusiakan kembali potensi positif kemanusiaan. Sedangkan, nahi munkar (liberatif) membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan kegelapan. Oleh karena itu, selain tarbiyah, perkaderan juga berarti dakwah. Sebagaimana Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. menjelaskan arti dakwah sebagai berikut  “Dakwah ialah transformasi kebodohan kepada pengetahuan,  dari pengetahuan kepada ide, dari ide menuju gerakan, kemudian kepada tujuan (ghayah) yaitu keridlaan Allah SWT”.[18] Jadi perkaderan adalah proses pencerahan dengan otak dan hati manusia dengan ilmu.
Perkaderan harus mengeluarkan pelajar dari keburukan, kebodohan, dan kegelapan menuju cahaya. Perkaderan merupakan peoses alih nilai (transfer of value) yang dikembangkan dalam rangka perubahan perilaku objek dakwah (mad’u). Dari sinilah diharapkan proses perkaderan menjadikan adanya proses perubahan perilaku, tindakan, yang dimulai dari perubahan mainstream, cara berpikir, ide, atau pencerahan dan pencerdasan akal pikiran.
2.  Epistemologi Perkaderan IPM
Epistemologi merupakan suatu kajian yang membicarakan tentang sumber-sumber pengetahuan, bagaimana pengetahuan (ideologi) diperoleh, bagaimana cara mengetahui pengetahuan (ideologi), apa saja yang berada dalam pengetahuan (ideologi), serta mengapa mengetahui pengetahuan. Epistemology disamping pendalaman terhadap sumber-sumber pengetahuan, juga sebagai sumber alat baca sehingga melahirkan paradigma, metodologi, serta metode, teknis perkaderan IPM. Epistemologi ini akan mengarahkan kemana dan jalan perkaderan dilakukan sehingga yang diinginkan dapat tercapai secara terencana dan terukur. Epistemologi Perkaderan merupakan ruh yang menggerakan kader IPM dalam berinteraksi dengan realitas. Sehingga menjadi krangka berfikir kader IPM, serta pengampikasiannya dalam gerakan IPM.
Identitas IPM  adalah organisasi otonom Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar di kalangan pelajar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur‘an dan As-Sunnah Al-Maqbulah. (AD: Pasal 3) Jika secara ontologi, hakikat perkaderan IPM adalah terbentuk untuk tarbiyah (education) dan dakwah (change), maka IPM memiliki tujuan. Tujuan IPM ini merupakan semangat, ruh, gerak juang guna meraih mimpi-mimpi yang diidealkan.  Tujuan IPM yang tertuang dalam dasar organisasi yakni AD Pasal 6, yaitu Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Tujuan ini, secara epistemologi, ada tiga domain yang dapat menjadi kerangka kader IPM, yaitu pelajar muslim yang “berilmu”, “berakhlak mulia”, dan “terampil”.
Senafas dengan sabdah KH Ahmad Dahlan “dadiyo kiyai sing kemajon, lan ojo kesel anggomu nyambut gawe kanggo Moehammadijah. Pesan tersebut mengandung tiga makna filofofis. Pertama, kata “kyai” mengandung pesan pelajar yang berakhlak mulia, yang memiliki keimanan yang kokoh, menguasai ilmu keislaman yang mendalam. Kedua, kata “kemajoean” mengandung makna pelajar yang berilmu artinya pelajar Muhammadiyah harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi peradaban umat manusia. Ketiga, “ojo kesel anggomu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah”, memiliki makna pelajar yang “terampil” memiliki militansi perjuangan kader andalan Muhammadiyah.
Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, yaitu epistomologi Islam yang berkemajuan (ala Muhammadiyah). Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya, yaitu pendekatan bayani, ‘irfan dan burhani, sesuai dengan obyek kajiannya yaitu: apakah teks (hadharah al-nash), ilham (hadharah al-falsafah) dan realitas (hadharah al-ilm).
Berankat epistemologi Islam tersebut, maka kemudian dijadikan titik pijak dalam merumuskan epistemologi perkaderan IPM. Karena IPM adalah gerakan ilmu, dan hakekat perkaderannya ialah pencerahan (pencerdasan) akal. Maka IPM menggunakan epistemologi integrasi-interkoneksi ilmu. Artinya sumber ilmu dalam perkaderan IPM terdapat Tiga lapis wilayah keilmuan Islam, yaitu: Hadharah Al-Nash: kemajuan peradaban yang bersumber dari teks. Kedua, Hadharah Al-Ilm: kemajuan peradaban yang bersumber dari ilmu, yakni ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) dan ilmu-ilmu kemasyarakatan (social sciences). Ketiga, Hadharah Al-Falsafah: kemajuan peradaban bersumber dari etika dan falsafah. Sehingga tidak ada lagi ilmu yang saling berdiri sendiri, semuanya saling bekerja sama.
3.       Aksiologi Perkaderan
Dalam aksiologi membicarakan masalah aplikasi dari epistemologi yang digunakan dalam menyikapi realitas. Aksiologi terkait dengan tujuan atau manfaat suatu perkaderan. Selain itu, aksiologi juga membicarakan tentang nilai serta keindahan. Dengan aksilogi, dapat diketahui keselarasan antara pemikiran serta aksi kankreatnya. Aksiologi dalam tradisi filsafatnya merupakan tindakan konkreat/pengejewantahan setelah mengetahui eksistensi diri serta cara memperoleh pengetahuan serta sumber pengetahuan.
Setelah kita mengkaji permasalahan eksistensi (perkaderan)serta sumber pengetahuan (perkaderan) maka pengaplikasian yang dilakukan dalam kaderisasi adalah mengupayakan terbentuknya paradigma gerakan yang tertanam dalam diri kader. Paradigma gerakan ini yang menjadi aikon gerakan (trand mark of IPM), yaitu Gerakan Pelajar Berkemajuan (GPB) dengan ciri Pencerdasan, Pemberdayaan, dan Pembebasan. Jadi, GPB sebagai trand mark gerakan IPM perlu dituruntakan (break down) dalam sistem perkaderan IPM yang dapat membentuk paradigma pelajar berkemajuan dalam diri kader.
Break down GPB dalam kaderisasi merupakan pilihan yang wajib dalam rangka penerjemahan sistem kaderisasi. Kaderisasi yang dilakukan merupakan bentuk internalisasi nilai-nilai Islam yang berkemajuan pada kader sehingga memiliki kesadaran kreatif. Dengan kesadaran kreatif yang dimiliki oleh IPM, maka IPM secara otomatically perkaderan mengemban misi kenabian untuk mengubah masyarakat. Guna mengemban misi Islam yang berkemajuan: Membebaskan, Memberdayakan, dan memajukan.  
Perkaderan IPM, harus menjadikan al-Qur’an sebagai basis konstruksi ilmu. Dengan bahasa lain, sebagai asumsi dasar paradigma untuk membaca fenomena alam dan sosial. Karena IPM menjadikan dirinya sebagai gerakan pelajar, maka aksiologi dalam IPM dapat mengutip aksiologi Islam menurut Agus Purwanto. Aksiologi perkaderan IPM adalah dikenalnya Sang Pencipta (ma’rifatullah) melalui pola-pola ciptaan-Nya. Sebagaimana wahyu pertama QS. Al-Alaq ayat 1, “Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. Dengan membongkar alam semesta, maka akan diketahui watak sejati segala sesuatu, sebagaimana diberikan Tuhan. Watak sejati akan memperlihatkan kesatuan hukum alam, sunnatullah, keterkaitan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip Ilahi.[19]
Secara aksiologis, arah perkaderan IPM sebagaimana Munawwar Khalil menjadikan QS Ali Imran ayat 191 sebagai prinsip parksisme kritis[20], “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Ayat ini memberi gambaran kepada siapa dan bagaimana seharusnya IPM sebagai komunitas pelajar Muslim. Juga memberikan basis aksiologi perkaderan. Al-Quran menyebut komunitas pelajar (baca: ilmuwan) sebagai qaumun ya’qiluun (sekelompok pemikir, komunitas perenung, himpunan ilmuan. puncak al-qalb adalah manakala setiap gerak hati tersebut terkait kepada peraturan dan ajaran Allah Swt.
Bagi pelajar muslim, keberhasilan dalam menguak pola ciptaan, membongkar fenomena sosial dan kesatuan hukum alam akan membuatnya makin tunduk kepada Sang Khalik. Berdasarkan pada epistemologi Islam yang berkemajuan dan epistemologi integasi-interkoneksi ilmu, maka perkaderan menggunakan pendidikan hadhari yang berbasis integrasi dan interkoneksi ilmu. Lebih sederhana, adalah pendidikan Islam yang berkemajuan dan berperadaban. Pendidikan hadhari mengembakan segitiga lapis keilmuan Islam, yaitu hadhara an-nash, hadharah al-‘ilm, dan hadharah al-falsafah. Maka Kader IPM harus memiliki beberapa basis kemampuan yang coba dipilah menjadi tiga basis: basis teks (hadhara al-nash), basis Nalar (hadharah al-ilm), dan basis Etis (hadharah al-falsafah.
Pelajar muslim yang kreatif dalam menganalisis dan menangani problem-peoblem kemanusiaan pelajar di era globalisasi dengan dikuasainya berbagai pendekatan ilmu (sain), dilandasi  etika Islam yang obyektif, dan dilandasi al-Qur’an dan al-Sunnah. Semua tindakannya dilakukan untuk kemanusiaan tanpa memandang etnis, suku, ras, golongan, dan agama.


§Disajikan dalam Workshop Sistem Perkaderan Perkaderan (SPI) yang diselenggarakan oleh PP IPM tanggal 22-25 November 2010 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta.
ÓKetua Tim Penyusun SPI IPM 2014, Sekretaris Perkaderan PP IPM, sekarang sebagai tenaga edukasi Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) di SMP Muhammadiyah 12 Gresik Kota Baru.
[1] KRH Hadjid, “Muqaddimah” dalam Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. [Peny.] Pelajaran KHA Dahlan : 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an [Yogyakarta: LPI PPM, 2006], Cet. Ke-2, hal. 2-4

[2] jjjjjjj
[3]Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia, Bandung: Rosydakarya, Cet IV, 2010, hlm. 28-29
[4] Ibid, hlm. 25
[5] Lihat Nurcholish Madjid, “Konsep Islam tentang Manusia dan Implikasinya terhadap Apresiasi Muslim Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik”, dalam Hasan Hanafi dkk, Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 22
[6] Ibid, hlm. 33
[7] Ali Syari’ati, Islam dan Kemanusiaan, h. 300
[8] Ibid, h. 317
[9] Lihat Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Cet II, 2007, hlm. 112
[10] Ibid, hlm. 113
[11] Ibid, hlm. 114
[12] Tarbiyah adalah mashdar dari kata rabba-yurabbi-tarbiyyatan yang berarti mengasuh, mendidik dan memelihara. Tarbiyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Kata“tarbiyah” berasal dari fi’il (kata kerja), Rabba-yarbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang. Rabbi- yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar (dewasa). Rabba, yarubbu yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara. Lihat dalam Faisal Siddique, “Aims and Objectives of Islamic Education”  http://www.islam21c.com (diakses tanggal 17 Maret 2012 pukul 07.28 WIB).
[13] Ta’lim adalah mashdar dari kata ‘allama-yu’allimu-ta’liman, yang berarti pengajaran. Kata ta’lim adalah merujuk kepada pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Ibid
[14] Ta’dib adalah mashdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Ta’dib sebagai proses mendidik yang memfokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak pelajar. Ibid
[15] Rabbi irhamhuma kama rabbayaani shaghiiran Lihat dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 249
[16] Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm. 114
[17] Ibid, hlm. 250
[18] Tanfidz
[19] Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan al-Qur’an sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan (Bandung, Mizan: 2012) h. 156
[20] Munawwar Khalil, Konsepsi Sosial Kritis (Power Point tidak diterbitkan)

- Designed by Azaki Khoirudin -