By. Azaki Khoirudin

Ketika melihat gerakan IPM sebelum 1998, dimana kegiatan IPM cenderung difokuskan pada masalah internal pelajar sehingga dikenal dengan sebutan tertib ibadah, tertib belajar, dan tertib organisasi.  Pasca Orde Baru tumbang, persoalan pelajar semakin kompleks tidak hanya di masalah internal organisasi tetapi juga eksternal terutama kaitannya dengan struktur kebijakan negara di bidang pendidikan.

Jika, ketika muktamar 2002 (Yogyakarta) digagaslah IPM (IRM saat itu) sebagai gerakan kesadaran kritis, (gagasan ini dari Mansour Fakih) pelajar harus memahami kedudukan dan fungsi dirinya serta apa yang harus dilakukannya sebagai salah satu struktur yang ada di masyarakat. Pelajar tidak hanya terjebak pada kesadaran magis bahwa kehidupan ini sudah ada penentunya dan juga tidak hanya terjebak pada kesadaran naïf, bahwa bodoh itu datangnya dari pelajar itu sendiri. Para pelajar harus menyadarkan dirinya dengan perspektif kesadaran kritis, bahwa struktur yang timpang mengakibatkan kerugian para para pelajar.
Pemikiran itu, berlanjut sampai pada muktamar 2004 (Bandar Lampung) digagaslah Manifesto Gerakan Kritis-Transformatif (asal usul teori ini dapat dilihat dalam pemikiran Mansour Fakih, Muslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo). Diharapkan, IPM memiliki kesadaran kritis tidak hanya di level individu pelajar, tetapi pimpinan IPM dan struktur IPM . Karena itu, manifesto ini mempunyai jargon tiga P “Penyadaran, Pembelaan, dan Pemberdayaan”. Dengan konsep ini, sempurnalah IPM sebagai gerakan sosial baru yang pro terhadap kepentingan pelajar.
Konsep GKT semakin sempurna sebagai paradigma gerakan, ketika pada muktamar 2006 (Medan), digagaslah model GKT dengan adanya program-program konkrit sebagai agenda aksi dari GKT, misalnya Sekolah Kader (leading sector Bidang Kader), Gerakan Iqro (leading sector Bidang PIP), Pengajian Islam Rutin atau PIR (leading sector Bidang Dakwah), dan lain sebagainya. Masing-masing agenda aksi ada bidang yang mengawal, dan ditentukan juga basis masa IPM  adalah pelajar dan remaja.
Pada titik balik selanjutnya, muktamar 2008 (di Solo) merupakan momentum perubahan di tubuh organisasai dari IRM menjadi IPM. Dengan berubahnya nama ini tentu memiliki konsekuensi terhadap perubahan seluruh atribut IPM. Karena itu, dengan tema Gerakan Pelajar Baru untuk Indonesia Berkemajuan”, dirumuskanlah perangkat organisasi mulai dari Muqaddimah Anggaran Dasar IPM, Kepribadian IPM, Janji Pelajar Muhammadiyah, serta agenda aksi untuk pelajar. Namun, perubahan nama IRM ke IPM belum berubah sampai pada tataran paradigma gerakan, sehingga masih menyisahkan banyak pekerjaan rumah. Tetapi, spirit dari muktamar Solo adalah melakukan strukturasi gerakan.
Percobaan ijtihad gerakan pun dilakukan, saat muktamar 2010 merupakan momentum di mana IPM harus mencari formula dan jargon terbaik untuk basis massanya, yaitu pelajar. Berdasarkan hasil evaluasi, maka perlu dirumuskan gagasan besar yang lebih applicable untuk pelajar. Konsep GKT pada kenyataannya masih belum dimanifestasikan dalam tataran riil di kalangan pelajar sehingga harus mencari konsep baru yang menjadi kelanjutan Manifesto GKT. Dari sinilah pada akhirnya, ditemukan gagasan baru yaitu Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai model dan alternatif baru gerakan IPM. Karena itu, GPK adalah kelanjutan dari Manifesto GPK atau dapat disebut pula babak kedua dari GKT karena konsep GKT masih belum bisa dirasakan oleh pelajar di tingkat bawah. Dengan konsep GPK ini, pelajar dapat merasakan kegiatan-kegiatan IPM yang bersifat komunitas dan menampung minat dan bakat para pelajar di sekolah.
Jadi, salah jika ada anggapan bahwa konsep Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) adalah konsep baru dan Manifesto Gerakan Kritis Transformatif (GKT) gagal dan harus dihapus. Singkatnya, GPK merupakan kelanjutan dari GKT. Ini merupakan kesinambungan gagasan dari model baru gerakan IPM. Dan dipertegas lagi, saat konpiwil 2011 di Ternate, GPK bukanlah paradigma baru, namun hanya “Strategi Gerakan”, supaya tidak terkesan ada gerakan lagi, maka diubahlah menjadi “Strategi Kreatif”.
Sampai di sini, ternyata pekerjaan rumah pasca perubahan nama IPM saat muktamar 2008, paradihma gerakan pelajar baru belum menemukan jawaban. Akhirnya, ijtihad itu menuaikan titik temu saat dialektika muktamar 2012 (Palembang). Dalam tanfidz muktamar XVIII, IPM menemukan Islam yang berkemajuan (Trand Mark Muhammadiyah) sebagai paradigma. Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan diadopsi menjadi paradigma gerakan IPM dalam konteks pelajar. Kemudian, ditemukanlah tiga P yang baru, yaitu “Pencerdasan, Pemberdayaan, dan Pembebasan”. Konsep ini, merupakan ijtihad yang luar biasa, tinggal bagaimana paradigma ini dioperasionalkan dalam bentuk konsep utuh yang saling berkesinambungan sebagai alat baca realitas sosial.

- Designed by Azaki Khoirudin -