- Back to Home »
- Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan
-Dr. Yudi Latif-
MENYOAL tentang Muhammadiyah berarti menghidupkan
K.H. Ahmad Dahlan. Bukan berarti hari kelahiran beliau
dirayakan dalam bentuk haul. Bukan pula berarti menginstitusionalisasikan
peninggalan beliau, yang konsekuensinya membekukan Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal.
Akan tetapi, menghidupkan Ahmad Dachlan bermakna merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan
preskripsi aksi. Darinya kita bisa menimba pelajaran:
Pertama, beradalah
di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.
Muhammadiyah
tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam politik sebagai satu
organisasi, walau secara individual maupun faksional para kadernya terlibat
dalam banyak kegiatan dan partai politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu
masa, bahkan kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat beberapa tokoh
Muhammadiyah memilih mendirikan basis organisasi baru sebagai topangan untuk
menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.
Bahkan
bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya semata pada
aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi politik membuat
Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia menerima subsidi bagi
sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima
imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata,
cepat-hasil, dan konfrontasional.
Pada masanya,
perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran kolektif tentang kekejian kolonialisme.
Kesadaran ini takkan lahir tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di
masa depan. Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political
wisdom. Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika,
maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan saham dalam
perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk berpolitik dari
pinggir.
Di sisi lain,
dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah sudah sedari awal sadar bahwa
perubahan paling bermakna adalah pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan budaya. Jauh
sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada pembentukan Islam kultural,
Muhammadiyah sudah memikirkan dan melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak
disadari bahwa keputusan strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah
tidak diapresiasai semestinya.
Visi yang
dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi substansi untuk
memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah dibelokkan menuju politik
praktis, bukan hanya akan mencederai
catatan sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah
lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan kosa
kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.
Kedua, sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.
Biarpun
memiliki banyak cabang hingga ke desa-desa, Muhammadiyah adalah bagian dari
fenomena urban. Organisasi yang terlahir melalui tangan kaum pedagang Muslim
urban ini memberikan warna Islam berbeda: bersahabat dengan modernitas, mengutamakan kemandirian belajar
ketimbang figur, terbuka,
egaliter, berorientasi keadilan ekonomi. Karenanya, terbentuklah sebuah
pendekatan Islam perkotaan berbicara dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah
urban.
Kita tahu
urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan,
salah satunya, kaum mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah
yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar. Keluarganya kembang
kempis memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak.
Namun usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari
mereka, masih sayup-sayup terdengar.
Mungkin etika
protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan Muhammadiyah,
berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis para kadernya. Semangat
komunitarianisme yang mempunyai saham besar dalam Islam seperti terpinggirkan
oleh individualisme bentukan kapitalisme sebagai produk protestanisme.
Ketiga, berpikir global, dan beraksi lokal.
Dilahirkan dari
rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah terimbas oleh globalisasi.
Bahkan bila mau dirunut, Ahmad
Dahlan sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan
pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran
tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.
Sepulangnya ke
tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan di luar, Dachlan
berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari perjalanan belajarnya ke dalam
konteks Indonesia. Solusi yang ia tawarkan memiliki kekhasan pengaruh
globalisme seperti menerima modernisme, memahami geopolitik internasional
melalui kolonialisme, dan melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun
aplikasinya benar-benar berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.
Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah
secara historis, tidak lantas
berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader untuk beranjak dari sekadar
mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah, baik itu dari
Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya menunjukkan kemajuan berijtihad dan
kedewasaan epistemik. Melihat permasalahan bangsa secara lebih luas
masih merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.
Keempat, layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah
ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan
instrumen penting untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal,
egalitarianisme sosial, dan amal ekumenikal.
Apa yang dulu
dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii Maarif tentang
kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena terlalu terlibat dalam
amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi
intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat tertentu
memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi gagasan alternatif
bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius. Justru kini terjadi
kemandekan atau malah kemerosotan fungsi Muhammadiyah sebagai pemberdaya
ekonomi dan pemberi layanan sosial.
Beberapa aset
pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang memprihatinkan. Kepekaan
organisasi ini terhadap masalah-masalah sosial, seperti kelangkaan pendidikan
bagi warga miskin tak berpunya atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang
dari semestinya atau bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.
Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah
sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed)
dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini
diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan diri sebagai ikatan etis
terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di belakang. Abstraksi terlahir dari praksis,
hikmah sebagai ekstraksi dari amaliah atau dikenal
dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat
tempat yang termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.
Sebab itu,
aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu didikotomisasikan dengan pengayaan
intelektual. Pemahaman ini bersifat universal seperti yang dicerminkan oleh
Francis Asisi, dan K.H. Ahmad Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak
sekadar berdiri menceramahi dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo,
tapi juga mendirikan fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik
di masanya. Problem
kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu mesti disikapi
dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi berbicara lebih
dari sejuta suara.
Kelima, bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.
Muhammadiyah
lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam upaya mengintegrasikan
kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan strategi apropriasi. Bentuk
perlawanan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme
(jangan pakai produk Barat) malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk
Barat). Proses ini bisa terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.
Ahmad Dahlan
sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan kauman di Yogya, dia
membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga belajar huruf latin dan
khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Hasilnya, melalui
organisasi yang didirikannya, ditelurkan publikasi rutin melalui mesin cetak
modern dan didirikan sekolah persilangan antara sekolah model kolonial dan
pesantren.
Ia termasuk
mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan tulis (sebuah tanda
modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas epistemik yang dibentuk
melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan perangkat modern Barat ini
merupakan pembadanan loncatan historis.
Sehingga, walau
terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, jauh di
dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya;
dekat dengan
tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan adalah
tokoh muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi.
Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dahlan.
Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua
akan runtuh.
Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan
adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.