- Back to Home »
- PERGERAKAN IPM (Tinjauan Filosofis)
PERGERAKAN
IPM
(Tinjauan Filosofis)
Oleh;
Azaki KhoirudinÓ
A.
Ontologi Pergerakan
IPM
Ontologi merupakan
suatu kajian tentang masalah keberadaan (eksistensi),
yang membahas permasalahan; apakah ada itu, mengapa dikatakan ada, ada dengan
sendirinya, ada secara kebetulan atau ada dikarenakan kreasi.
Keberadaan ini menjadi penting dalam melihat sesuatu, dikarenakan dengan keberadaan diri ini merupakan suatu pijakan awal dalam menentukan sikap dan selanjutnya dalam mengaktualisasikannya sebagai bukti keberadaanya. Ada dengan sendirinya berbeda dengan ada secara kebetulan. Hal tersebut dikarenakan, keberadaan merupakan suatu bentuk keniscayaan dari setiap manusia yang ada di muka bumi.
Keberadaan ini menjadi penting dalam melihat sesuatu, dikarenakan dengan keberadaan diri ini merupakan suatu pijakan awal dalam menentukan sikap dan selanjutnya dalam mengaktualisasikannya sebagai bukti keberadaanya. Ada dengan sendirinya berbeda dengan ada secara kebetulan. Hal tersebut dikarenakan, keberadaan merupakan suatu bentuk keniscayaan dari setiap manusia yang ada di muka bumi.
Ontologi
merupakan awal dalam mengetahui atau mengkaji eksistensi IPM. Gerakan IPM
sebagai kumpulan insan pelajar yang
berkesadaran yang mencoba menggali ontologi dirinya. Maka IPM dapat mengenal
hakekat gerakan serta tujuan dalam pergerakannya sehingga dapat bermakna bagai
diri sendiri dan orang lain. Setiap yang ada dan dikatakan ada dapatlah
menunjukan eksistensinya agar dikatakan ada, tetapi jika yang ada tidak dapat
menunjukan eksistensinya maka ia dapat dikatakan tak ada walapun ada.
1.
Hakikat Pergerakan IPM
Kerangka
ontologi ini dapat dilihat dalam IPM, dengan pertanyaan yang dasar apakah
IPMada dengan sendirinya ? atau
merupakan suatu kreasi manusia dalam menyikapi realitas pada waktu itu? IPM
sekarang merupakan suatu bentuk keniscayaan dalam sejarah tetapi eksistensinya
sekarang memiliki ketiadaan makna dalam sejarah. Pengkajian masalah ontologi
gerakan IPM ini memberikan makna bahwa IPM dapat memberikan sumbangsih dalam
membangun peradaban serta kemandirian suatu bangsa. Sejarahnya keberadaan IPM
ada dikarenakan bentuk kreasi, dimana Muhammadiyah
perlu melakukan kaderisasi di lembaga-lembaga pendidikan sekolah Muhammadiyah.
Menurut
sejarahya berdirinya IPM lahir atas respon terhadap ideology komunis yang
berkembang pada waktu itu. Oleh karena itu, kelahiran IPM juga berbenturan
dengan kondisi social-politis dengan PII dan HMI yang merupakan satu-satunya
pergerakan Islam di lingkup pelajar dan mahasiswa pada waktu itu. Begitupula
sikap PII yang merasa paling syah sebagai rumah yang paling pas dan sesuai
dalam melakukan kaderisasi organisasi Islam dalam ranah pelajar. Melihat persoalan
tersebut, terkadang kader IPM melihat
kelahirnya sebagai respon terhadap PII. Hal tersebut, dikarenakan kader
Muhammadiyah yang di PII tidak sesuai dengan sifat perjuangan Muhammadiyah.
Keberadaan pergerakan sudah diketahui yakni IPM merupakan suatu bentuk kreasi
dalam merespon dan pro-aktif terhadap realitas.
Setting
Berdiri IPM ialah tidak terlepas dari Muhammadiyah sebagai Gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu untuk membina dan mendidik keder
Muhammadiyah terutama di amal usaha Pendidikan. Counter hegemoni terhadap
gerakan Komunis/PKI. Maraknya kesatuan aksi terutama di kalangan muslim.
Pada
fase pertama masa Orde Baru IPM dituntut peranannya sebagai Pendukung
pembangunan nasional. Aktif dalam dunia pelajar dan pendidikan. Penyiapan Leadership
(kepemimpinan) Nasional, Dakwah dan akhlaq. Generasi penerus Muhammadiyah.
Tradisi keilmuan dan kreatifitas pelajar. . Pada tahun 1987, IRM (waktu itu namanya masih IPM)
pernah mengangkat isu gerakan tentang sosialisme relegius, sebagai bentuk pencarian
model strategi gerakan untuk melawan kesenjangan sosial yang semakin
parah akibat kebijakan Orde Baru yang tidak adil. Akan tetapi, model yang
demikian kurang menemukan relevansi sosialnya di tingkat basis. Akhirnya,
paradigma waktu itu, kembali pada paradigma elite yang menekankan aspek
internalisasi ideologis ke Islaman dan militansi gerakan
Fase
kedua (1993 – 1996) Dalam perjalannya, IPM mengalami tantangan baik di
internal maupun di eksternal. Tantangan paling berat adalah berhadapan dengan
rezim yang berkuasa pada saat itu, Orde Baru, yang meminta IPM harus berasaskan
pancasila dalam setiap gerak perjuangannyalarangan Depdagri tentang
penggunaan kata pelajar. Pelebaran sayap dari pelajar kedunia remaja. Tradisi
keilmuan dan kreatifitas pelajar serta akhlaq. Terjadi kerancuan pada obyek
garap IPM. Pelajar Pendidikan/keilmuan.
Permasalahan Remaja dan Masyarakat,
semakin kompleks. Perjalan itu akhirnya berujung pada tahun 1992,
pemerintah “menenak” IPM harus berganti nama. Kebijakan pemerintah yang hanya
mengijinkan OSIS sebagai satu-satunya organisasi kepelajaran di tingkat
nasional membuat IPM yang notabene adalah organisasi pelajar berusaha keras
untuk mempertahankan eksistensinya. Maka diadakanlah Tim Eksistensi IPM untuk
melakukan kajian yang mendalam tentang permasalahan tersebut. Tim Eksistensi
melihat persoalan dari dua segi. Pertama, masalah itu adalah tekanan
luar biasa dari pemerintah untuk mengganti kata “pelajar” sehingga hal ini
menyangkut hidup dan matinya IPM. Kedua, dikaitkan dengan perkembangan IPM baik
secara vertikal maupun horizontal. adalah realitas empirik yang mendorong
keinginan untuk memperluas obyek garapan dakwah IPM. Akhirnya, diputuskanlah
perubahan nama lkatan Pelajar Muhammadiyah menjadi lkatan Remaja Muhammadiyah. Keputusan
nama oleh PP IRM ini tertuang dalam SK PP IPM yang selanjutnya disahkan oleh PP
Muhammadiyah tanggal 18 November 1992 M.
Fase
ketiga Paradigma baru (1997 - …..)
terjadi kerancuan orientasi antara pelajar dan remaja. Munculnya trend
masyarakat Madani / civil society orientasi IRM tertuju pada dunia
masyarakat/publik/sosial. Kehilangan tradisi kadernya. Mulai lepas dari
bayang-bayang pelajar. Sehingga IPM lebih ke ranah social yaitu pelajar dan
remaja. Reformasi 1998, sempat membawa dampak keraguan kepada kalangan Muhammadiyah
dan alumni IPM perihal ketetapan nama IRM yang diputuskan secara aklamasi pada
acara Muktamar XII tahun 2000 di Jakarta, dua tahun yang lalu. Mereka melihat
karena beberapa alasan: pertama, nama IRM adalah produk Orde Baru, dan
karena Orde Baru telah runtuh maka selayaknya IRM kembali nama ke IPM. Kedua,
basis gerakan IRM gimanapun adalah pelajar, oleh karenanya lebih baik kembali
ke identitas basis tersebut yaitu pelajar. Ketiga, banyak sekolah
Muhammadiyah yang tidak mau menerima IRM karena ia bukan organisasi pelajar
melainkan organisasi remaja.
Di samping itu, sebagian pimpinan Muhamadiyah juga
mengeluh karena pelajar Muhammadiyah sudah kurang diperhatikan oleh IRM lagi
lantaran orientasi gerakannya yang meluas, yaitu remaja. Beberapa alasan di
atas sempat membuat pimpinan pusat IRM ingin merubah nama tersebut. Hal ini
dibuktian dengan review paradigma gerakan IRM dari tahun 1998 – 2000.
Akan tetapi, hasilnya, sebagian besar muktamirin tetap memilih IRM.
Keputusan ini tetap menyisakan ketidakpuasan sebagian. Meskipun demikian,
karena perubahan itu juga diputuskan berdasarkan kesepakatan dan musyawarah
dan, waktu itu, juga menyisakan ketidakpuasan, maka keputusan IRM pun juga
demikian dan harus tetap dijalankan sebagai amanah pergerakan.
Makna penting yang harus dipahami dari perubahan nama IRM
ini adalah dampaknya pada pergeseran paradigma gerakan dari pelajar yang elite,
ke remaja yang “populis”. Meskipun demikian, basis gerakan ini tetaplah pelajar
dan remaja secara umum. Sebagaimana dalam Muktamar tahun 1996, yang mengangkat
isu pergerakan IRM sebagai gerakan yang berparadigma populis di kalangan
pelajar dan remaja. Mainstream gerakan pada saat ini adalah
menyemarakkan aktivitas-aktivitas sosial remaja dengan beragam bentuk dan
macamnya: kelompok sastra, kelompok ilmiah remaja, kelompok jurnalis muda,
kelompok terampil dan berjiwa kewirausahaan, kelompok seni dan teater,
kelompok olah raga, dan lain sebagainya. Paradigma populis, setidaknya
telah mengantarkan IRM masuk pada wacana gerakan sosial baru dalam referensi
gerakan sosial posmodernisme.
Beberapa lokus gerakan sosial baru saat ini, terletak pada: pertama,
mengurangi birokratisme negara. Kedua, membangun kesadaran publik akan
komoditas publik atau budaya konsumarisme, dan ketiga, mengontrol media
massa yang dapat berdampak pada hegemonisasi dan ketergantungan manusia pada
media.
Pada perkembangan
selanjutnya, setelah runtuhnya rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto
sebagai presiden RI kedua, gejolak untuk mengembalikan nama dari IRM menjadi
IPM kembali hidup pada Muktamar XII di Jakarta tahun 2000. Pada setiap
permusyawaratan muktamar sekanjutnya pun, dialektika pengembalian nama terus
bergulir seperti ”bola liar” tanpa titik terang. Barulah titik terang itu sedikit
demi sedikit muncul pada Muktamar XV IRM di Medan tahun 2006. Pada Muktamar
kali ini dibentuk ”Tim Eksistensi IRM” guna mengkaji basis massa IRM yang
nantinya akan berakibat pada kemungkinan perubahan nama.
Di tengah-tengah periode ini
pula, PP Muhammadiyah mendukung adanya keputusan perubahan nama itu dengan
mengeluarkan SK nomenklatur tentang perubahan nama dari Ikatan Remaja
Muhammadiyah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah atas dasar rekomendasi Tanwir
Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2007. Walaupun ada SK nomenklatur, di internal
IRM masih saja mengalami gejolak antara pro dan kontra terhadap keputusan
tersebut.
Kemudian, Pimpinan Pusat IRM
mengadakan konsolidasi internal dengan seluruh Pimpinan Wilayah IRM
Se-Indonesia di Jakarta, Juli 2007, untuk membicarakan tentang SK nomenklatur.
Pada kesempatan itu, hadir PP Muhammadiyah untuk menjelaskan perihal SK
tersebut. Pada akhir sidang, setelah melalui proses dialektika yang cukup
panjang, forum memutuskan bahwa IRM akan berganti nama menjadi IPM, tetapi
perubahan nama itu secara resmi terjadi pada Muktamar XVI IRM 2008 di Solo.
Konsolidasi gerakan diperkuat lagi pada Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil)
IRM di Makassar, 26-29 Januari 2008 untuk menata konstitusi baru IPM. Maka dari
itu, nama IPM disyahkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 2008 di Solo.
Atas dasar sejarah di atas, Kelahiran
IPM memiliki dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator
gerakan dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar
(bermuatan pada membangun kekuatan pelajar menghadapi tantangan eksternal). Kedua,
IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi
Muhammadiyah di masa yang akan datang.
a.
IPM sebagai
Aksentuator Gerakan Dakwah Muhammadiyah
Pergerakan
IPM merupakan suara yang idealis dari kaum terpelajar dalam mengkritisi
ketidakadilan yang tak sesuai dengan kepentingan pelajar. Pergerakan IPM ini
merupakan kolektif orang memiliki kesadaran yang sama dalam menyikapi realitas
di sekitarnya. Kesadaran ini timbul dikarenakan lingkungan serta budaya ilmu
tumbuh sehingga pemikiran melahirkan terbuka dan ilmiah. Ruang yang sering
ditawarkan oleh pergerakan adalah seruan moral dan aspirasi pelajar tertindas (termarginalkan). Pergerakan IPM akan
mudah dan selalu bersentuhan dengan kepentingan khususnya kenegaraan. Hal
tersebut dapat dilihat pergerakan Kaum intelektual 6o-an dan 98 untuk
menjatuhkan rezim kekuasaan yang melakukan penindasan dan bersifat ototerianism.
Pergerakan
IPM selalu menyerukan moral sebagai medium untuk melakukan pressure pada kelembagaan Negara. Pergerakan IPM dengan memiliki
masa berupa pelajar yang memiliki kesadaran untuk menciptakan kondisi yang
lebih baik. Pergerakan IPM yang disuarakan adalah kepentingan pelajar demi tercipnya keadilan. IPM merupakan salah
satu dari pergerakan pelajar, hal ini dapat dilihat dari basis masa dan actor
gerakannya yaitu, pelajar. Melihat dari, basis masa yang dimiliki oleh IPM,
maka dalam gerakannya sesuai dengan pergerakan. IPM sebagai salah satu dari
pergerakan yang memberikan arti dan arahan yang jelas dalam menentukan proses
kepemimpinan yang akan datang. Pergerakan IPM memberikan peran yang lebih,
dikarenakan potensi yang ada dalam IPM dikarenakan IPM sebagai ortomnya
Muhammadiyah dan kemampuan yang berbeda dengan pergerakan yang lain.
Penerjemahan
IPM sebagai pembela pelajar yang dilakukan oleh IPM menyuarakan kepentingan
pelajar dalam tiga tingkatan yakni elit kekuasaan, kelas menengah dan
masyarakat itu sendiri. Elit kekuasaan merupakan aspek yang utama dalam
menentukan kebijakan. Kebijakan yang
dukeluarkan oleh elit kekuasaan yang paling sensitive terhadap masyarakat
khususnya kaum yang tak mampu. Ikatan disini memiliki peran signifikan dalam
menyuarakan suara rakyat, misalkan yang dilakukan oleh IPM sebagai pressure kebijakan, melakukan lobi,
negosiasi, sebagai mediasi antara pemerintah dan masyarakat serta menjadi
sharing patner antara pemerintah dan masyarakat.
Peran
yang dilakukan oleh IPMdalam kelas menengah adalah sebagai sharing patner yang berkaitan dengan tujuan dan mimpi yang
dicitakan oleh IPM. Selanjutnya yang dilakukan oleh IPM dalam melakukan
pembelaaan terhadap pelajar adalah melakukan pemberdayaan dan pendampingan
sehingga rakyat tersadarkan, bangkit melakukan perlawanan dan sehingga
terciptanya keadilan. Keadilan tersebut merupakan suatu ciri dari masyarakat
yang dicita-citakan oleh IPM.
b.
IPM sebagai Lembaga
Kaderisasi
IPM
secara ontologinya merupakan suatu lembaga kaderisasi dan aksentuator merupakan
suatu kreasi dari para faunding fathers dalam menyikapi
realitas pada waktu itu. IPM sebagai lembaga kaderisasi merupakan esensi
dari IPM yang cerminan dari Muhammadiyah dan penerus (kerisalahan)
Muhammadiyah dalam melakukan dakwah social amar
ma’ruf nahi munkar guna terciptanya masyarakat ideal Muhammadiyah. IPM
dalam tujuan terbentuknya merupakan suatu lembaga kederisasi Muhammadiyah dan
merupakan kepanjang tanganan Muhammadiyah dalam dunia kepelajaran terutama
sekolah-sekolah.
Hal
tersebut juga tertuang dalam tujuan mulia IPM adalah “terbentuknya pelajar muslim
yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil daam rangka menegakkan dan menjunjug
tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehinggat terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.” IPM dari tujuannya merupakan suatu ortom Muhammadiyah dalam
lingkungan pelajar yakni sekolah. Pelajar yang diinginkan oleh IPM adalah yang
memiliki ilmu, akhlak mulia dan terampil atau daya juang dan daya ubah. Melihat tujuan ini sebenarnya yang diinginkan
IPM adalah generasi ulul albab
merupakan konsekuensi yang dari kaum beriman, berilmu, dan beramal, dalam versi
Muhammadiyah yang ditanamkan oleh pada IPM dalam pilihan gerakannya.
Gerakan
yang dilakukan oleh IPM dalam eksistensinya merupakan suatu gerakan ilmu. Hal
ini dikarenakan akhlaknya merupakan aksiologi dari ilmu yang dimilikinya.
Gerakan ilmu yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah sekaligus
IPM sebagai kader Muhammadiyah. IPM sebagai ortom Muhammadiyah yang diharapkan
sebagai lahan keilmaun, dan pemikiran yang menentukan gerak langakah peradaban
Muhammadiyah kedepannya.
IPM
sebagai lembaga kaderisasi yang bertugassebagai penerus tradisi KH. Ahmad
Dahlan, maka yang terpenting bagi pergerakan IPM yakni untuk perjuangan Agama,
yakni Tauhid. Disini, IPM dalam penekannya merupakan kader kemanusiaan, bangsa,
umat dan Muhammadiyah, sikap tersebut dikarenakan IPM
berfikir objektif tentang permasalahan kemanusiaan dan bangsa saat ini yang
mengalami krisis berkepanjangan.
Gerakan
IPM sebagai kader bangsa merupakan bentuk objektifikasi diri IPM dalam
memberikan sumbangsih terhadap persoalan kenegaraan. Jadi apapun yang dilakukan
oleh IPM adalah sesuai dengan semangat dan cita-cita Muhammadiyah yang
termanifestasi dalam diri IPM untuk kebangsaan. IPM sebagai lembaga kaderisasi
memiliki gerakan yang bersifat sesuai dengan Muhammadiyah dalam berfikir dan
bertindak.
IPM
dalam melihat realitas pada waktu itu yang melahirkan paradigma gerakan sebagai
respon terhadap realitas. Keberadaan IPM merupakan suatu keniscayaan dalam
sejarah, maka dalam eksistensinya, IPM merupakan suatu kumpulan kolektif yang
sadar dengan sejarahnya. Kesadaran sejarah ini, IPM bukan ditentukan oleh
sejarah, tetapi dengan eksistensinya, Ikatan yang akan menentukan sejarah
kedepannya untuk IPM dan bangsa ini. Jadi kesadaran sejarah dalam Ikatan menjadi
ruh untuk selalu aktif, kreatif, dalam proses humanisasi, liberasi dan trasendensi dalam mencapai masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.
2.
Struktur Pergerakan
IPM
Secara
ontology, struktur gerakan yang menjadi ruh gerakan IPM paling tidak terbagi
menjadi tiga macam yang berada dalam intern IPM; tujuan IPM, dan semboyan IPM
a.
Tujuan IPM
Melihat
dari ontologinya IPM terbentuk dikarenakan kreasi, maka memiliki tujuan dan apa
yang dicapai atau yang diimpikan oleh IPM. Tujuan IPM ini merupakan semangat,
ruh, gerak juang guna meraih mimpi-mimpi yang diidealkan. Hal tersebut,
dikarenakan tujuan merupakan ending atau akhir
dari nilai perjuangan, oleh karena itu, tujuan IPM tersebut bersifat
idealis dan abstrak. Nilai yang diidiealkan oleh IPM ini tertanam pada diri
semua kader IPM yang tertuang dalam dasar organisasi yakni AD dan ART.
Tujuan
IPM dalam gerakan adalah terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak
mulia dan terampil daam rangka menegakkan dan menjunjug tinggi nilai-nilai
ajaran Islam sehinggat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Tujuan
ini merupakan impian yang diinginkan dalam menjalankan sebuah gerakan yakni
dengan tujuan final sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, yaitu “masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya” dengan cara menegakkan dan menjujung tinggi nilai-nilai
ajaran Islam. Hal ini, dikarenakan IPM merupakan aksentuator gerakan dakwah
sekaligus lembaga kaderisasi Muhammadiyah dilakalangan pelajar. IPM memiliki
tujuan berdirinya berdasarkan tiga komponen, yaitu; pelajar berilmu, pelajar
berakhlak mulia dan pelajar terampil.
Dunia
pendidikan identik dengan kalangan akademisi, dimana pola pikir ilmiah dan
rasional. Pengembangan dakwah Muhammadiyah di sekolah-sekolah merupakan suatu
cara Muhammadiyah dalam tataran pelajar. Melalui IPM, diharapkan oleh
Muhammadiyah sebagai contoh atau grand dari komponen masyarakat yang rasional
ilmiah bagi Muhammadiyah. Hal ini, dikarenakan IPM merupakan yang berlatar
belakang pelajar dengan masyarakat ilmu yakni terbuka, rasional dan ilmiah.
Makna dan cita-cita yang diinginkan oleh Muhammadiyah pada IPM adalah
melahirkan suatu cendekiawan muslim yang berakhlak mulia dan mengupayakan
terbentuknya masyarakat utama. Tujuan IPM ialah sebagai gerakan ilmu.
b.
Semboyan IPM
Manusia
dalam berkomunikasi menggunakan bahasa yang tertulis ataupun bahasa tubuh yang
dikenal dengan bodhy language. Bahasa
tercipta dari simbol-simbol yang diungkapkan oleh manusia dalam melihat dan
memahami realitas yang ada dilingkungan sekitar. Bahasa selain buat komunikasi
juga merupakan symbol social sebagai
bentuk nilai yang dipegang teguh. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk
simbolik yang tertuang dalam komunikasi merupakan suatu bentuk respon terhadap
yang ada di realitas.
Simbol
merupakan suatu yang penting bagi manusia dikarenakan manusia merupakan homo simbolicum (mahluk simbolik).
Mahluk simbolik ini dalam komunikasi dan yang dilakukan erat dengan menggunakan
symbol dalam melakukan penukaran pengetahuan. Penggunaan symbol yang baik dalam
berkomunikasi dapat menjadi komunikator yang baik dalam semua lini kehidupan.
Dunia simbol memasuki organisasi menjadi sangat penting dalam mengikat kader
dan pencitraan organisasi dengan organisasi yang lain. Symbol juga memiliki
kekuatan dalam menggerakan dan mengarahkan suatu organisasi demi tujuan yang
diinginkan. Penggunaan symbol dalam sebuah organisasi memiliki makna yang
filosofis dan mendalam yang menyangkut jantung organisasi.
Selayaknya
gerakan IPM dalam realitasnya memiliki symbol, juga memiliki ruh dalam
menggerakan IPM. Simbol dalam IPM menjadi ciri khas gerakan seperti warna
kuning dan semboyan. Penggunaan warna kuning dan semboyan tersebut dalam
sejarahnya memiliki makna yang dalam makna folosofis yang tinggi untuk kader
yang baru mengenal IPM. Warna kuning ialah symbol emas yang memiliki daya tawar
atau nilai yang sangat berharga. Warna kuning merupakan symbol ilmu, prestasi,
dan penghargaan kepada akal atau intelektual yang setinggi-tingginya oleh IPM
sebagai gerakan pelajar. Warna kuning juga diidentikan dengan sifat cerdas, pencerah
dan sebagai problem solver ditengah kegelapan.
Selanjutnya
selain warna, IPM memiliki symbol yang tertanam dalam diri kader sebagai
semboyan yakni “Nuun walqalami wamaa
yasthuruun” (Nuun, demi pena dan apa yang mereka tulis). Sungguh suatu
pilihan yang tidak asal-asalan, ketika (IPM) mengambil surah al-Qalam ayat 1
sebagai semboyan,. Dalam ayat ini terkandung konsepsi filosofis sebagai
manisfestasi gerakan yang luar biasa dalam sebuah organisasi pelajar. Kenapa
IPM memilih ayat ini, padahal ada ayat berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang
lain, misalnya al-Alaq (tentang membaca dan menulis) atau al-Mujadillah ayat 11
(tentang derajat iman, ilmu, dan amal). Nama surat ini al-Qalam atau pena,
mengingatkan pada surat sebelumnya, surat al-Alaq, yang menyatakan bahwa Tuhan
mengajarkan manusia dengan pena. Menarik bahwa kedua surat paling awal ini
menyinggung peranan pena sebagai alat belajar mengajar. Bahkan, surat ini
diberi nama al-Qalam, pena. Sebuah isyarat agar kaum muslimin manjadi umat
terdidik. Surat ini dimulai dengan huruf muqatha’at,
“nuun” disusul dengan sumpah pena.
Huruf “nuun” oleh sebagian ulama
melambangkan tinta atau tempat tinta sebagai pasangan pena. Allah pertama kali bersumpah dengan surat al-Qalam
adalah tentang pengetahuan.
c.
Epistemologi
Pergerakan IPM
Epistemologi
merupakan suatu kajian yang membicarakan tentang sumber-sumber pengetahuan,
bagaimana pengetahuan diperoleh, bagaimana cara mengetahui pengetahuan, apa
saja yang berada dalam pengetahuan, serta mengapa mengetahui pengetahuan.
Epistemologi disamping pendalaman terhadap sumber-sumber pengetahuan, tetapi
yang lain untuk IPM merupakan sumber
alat baca sehingga melahirkan
paradigma, metodologi, serta metode,
taktik, cara dalam melakukan pergerakan. Epistemologi ini akan mengarahkan
kemana dan jalan yang akan dilakukan sehingga yang diinginkan dapat tercapai
secara terencana dan teratur. Sumbangsih epistemologi gerakan ialah berfikir
dan bergerak secara sistematis dan mudah untuk menganalisis secara rasional
serta ilmiah.
IPM sebagai
gerakan pelajar yang berdasarkan Islam dan dalam naungan Muhammadiyah yang
gerakannya mengikuti ititiba’ nabi.
Maka yang dilakukan oleh IPM dalam memandang realitas social dengan
pengaplikasian wahyu agar dapat memberaikan konstribusi dalam peradaban. Epistemologi IPM sebagai gerakan Islam
berdasarkan wahyu. Epistemologi wahyu bagi IPM adalah pengaktualisasian Al
Qur’an yang bersifat umum (grand theory)
agar dapat menjadi sebuah teori yang bersifat ilmiah.
Epistemologi
IPM merupakan cara atau metodologi yang menggerakan kader IPM dalam
berinteraksi dengan realitas. Ruh gerakan IPM yakni sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh semua kader dan cita-cita sosial kolektif IPM. Epistemologi
gerakan IPM juga dijadikan kerangka berfikir kader, serta pengampikasiannya
dalam gerakan pelajar. Apa saja yang dapat menjadi ruh gerakan IPM dalam
melakukan gerakan pelajar demi terciptanya cita-cita kolektif IPM.
1.
Objek Pengetahuan/
Sumber Pergerakan IPM
Sementara
itu, bagi IPM terdapat tiga sumber pengetahuan; teks, ilham (intuisi) dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini
adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun
teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan
rahasia pengetahuan melalui iktisyaf.
Dan yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman (ayat-ayat Kauniyah) dan realitas kemanusiaan
(ayat-ayat Nafsiyah).
Epistemology
gerakan IPM dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas gerakan
sebagai petunjuk dan pencerah bagi kehidupan pelajar menuju kesalehan
individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan
persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas
publik (public morality).
2.
Cara Pergerakan IPM
Memperoleh Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran
Dalam
Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbari dan kebenaran nazhar.
Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu
bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam epistemologi. Yang kedua adalah
kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa.
Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan
lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada
rentang waktu (dulu, kini, dan esok)
Inilah
yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical
circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi
terhadap kitab suci (an-nushush
al-mutanahiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan
dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang
terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan
realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis
semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (turats) yang memang sudah usang untuk
kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya
modernitas (hadatsah).
Pada
dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka
mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan
logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan
epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, epistemologi gerakan IPM
membutuhkan pendekatan bayani, ‘irfan dan burhani, sesuai dengan obyek
kajiannya yaitu: apakah teks, ilham atau realitas. Seluruh masalah yang
menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Epistemologi
gerakan IPM digunakan dalam merespon problem-problem kontemporer yang sangat
kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis gerakan sosial,
mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
a.
Pendekatan Bayani
Bayani adalah pendekatan
untuk: a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan
makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan
ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zhahir
dari lafazh dan ‘ibarah yang zhahir pula;
dan b) istinbath hukum-hukum dari an-nushush ad-diniyyah dan al-Qur’an
khususnya. Dalam pendekatan bayani,
oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas
sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi
b.
Pendekatan Burhani
Burhan adalah pengetahuan
yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau
pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada
kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik,
proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah).
Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya
sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima‘iyyah) dan realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks
dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks
tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan
mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Oleh karena
itu, dalam burhani, keempat
pendekatan (tarikhi, susiuluji, tsaqafi
dan antrubuluji) berada dalam posisi
yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk
jaringan keilmuan.
c.
Pendekatan Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode ilham
dan kasyf atau gnosis. Pendekatan ‘irfani
adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashirah dan
intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyfi dan manhaj
iktisyafi. Manhaj kasyfi disebut
juga manhaj ma‘rifah ‘irfani yang
tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf
dengan riyadlah dan mujahadah. Manhaj iktisyafi disebut juga al-mumatsilah
(analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan
melalui analogi-analogi. Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyektif, namun semua
orang dapat merasakan kebenarannya. maka validitas kebenarannya bersifat
intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Pertama-tama,
tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup
tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima
“pengalaman”. Selanjutnya tahap pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap
terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam
bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang
diperolehnya dapat diakses oleh orang lain. Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran
keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi
spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya
pengalaman keagamaan orang lain (the
otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi
dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris,
transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang
lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap
problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari
oleh pancaran fithrah ilahiyyah.
C.
Aksiologi Pergerakan
IPM
Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang ketiga sebagai aksi yang nyata sebagai respon
terhadap ada dan cara memperoleh pengetahuan. Dalam aksiologi ini maka yang
dibicarakan masalah aplikasi dari epistemologi yang digunakan dalam menyikapi
realitas. Menurut kajian filasat dalam aksiologi juga membicarakan tentang nilai
(etika) serta keindahan (estetika). Tetapi yang utama dengan aksilogi tersebut
kita dapat mengetahui keselarasan antara pemikiran serta aksi konkritnya.
Aksiologi dalam tradisi filsafat merupakan tindakan konkret setelah mengetahui
eksistensi diri serta cara memperoleh pengetahuan serta sumber pengetahuan.
1.
Nilai Kegunaan
Pergerakan IPM
Setelah
kita mengkaji permasalahan eksistensi serta sumber pengetahuan maka
pengaplikasian yang dilakukan dalam gerakan adalah mengupayakan terbentuknya
paradigma gerakan yang tertanam dalam diri kader. Paradigma gerakan ini yang
menjadi ikon gerakan (trand mark of IPM)
yang mencerminkan gerakan pelajar Islam berbeda dengan pergerakan lain
maka gerakan IPM yakni gerakan ilmu.
Sebagai trand mark gerakan perlu dituruntakan (break down) dalam sistem kaderisasi IPM sebagai wadah
internalisasi nilai-nilai gerakan dalam diri kader. Aksiologi menjadi apa saja
yang dapat menjadi ruh gerakan IPM dalam melakukan gerakan social IPM demi
terciptanya cita-cita kolektif IPMOleh karena itu, penting sekali merumuskan
sebuah rumusan filosofis yang menjadi landasan perjuangan IPM. Diantara yang
menjadi falsafah pergerakan IPM ialah sebagai berikut:
a.
Tauhid
Perjuangan tauhid ialah misi yang paling pokok dan
mendasar bagi gerakan IPM. Karena, dari tauhid lahir nilai khilafah, dimana
Allah menjadikan dan memberikan kuasa kepada manusia untuk menjadi wakil
(pengganti)-Nya di muka bumi, sehingga manusia tidak bebas, tetapi
bertanggungjawab kepada Allah, dalam beramal dan bertindak. Tauhid meliputi: unity of creation (kesatuan penciptaan),
unity of mankind (kesatuan
kemanusiaan), unity of guidance
(kesatuan tuntunan hidup), dan unity of
purpose of life (kesatuan tujuan hidup). Yang semuanya itu merupakan
derivasi dari unity of godhead
(kesatuan ketuhanan).
Pertama, unity of Godhead, yaitu kesatuan ketuhanan, bahwa Tuhan yang satu
adalah Allah SWT. Kedua, unity of
creation, yaitu kesatuan penciptaan. Seluruh makhluk di alam semesta ini, baik
yang kelihatan maupun yang gaib, merupakan ciptaan Allah. Ketiga, unity of mankind, yaitu kesatuan kemanusiaan. Jadi,
perbedaan warna kulit, bahasa, dan segala perbedaan yang melatarbelakangi
keragaman umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan
diskriminasi. Keempat, unity of guidance, yaitu kesatuan
pedoman hidup. Bagi orang yang beriman, hanya ada satu pedoman hidup, yakni
yang datangnya dari Allah yang berupa wahyu. Karena Allah yang menciptakan
manusia, maka Allah pula yang paling tahu seluk beluk makhluknya. Kelima, unity of the purpose of life, yaitu kesatuan tujuan hidup. Bagi
orang yang beriman, satu-satunya tujuan hidup adalah untuk mencapai ridha Allah.
Manusia memiliki Tugas kholifah yang berimplikasi
bahwa manusia tidaklah mempunyai hak yang ekslusif terhadap sesuatu, juga bahwa
ia bertanggungjawab untuk menciptakan keharmonisan alam sekitarnya dengan
akhlak mulia (shalih-muflih).
Pelaksanaan yang tepat atas tanggungjawab yang luhur ini adalah hakikat
sebenarnya dari ibadah. Ibadah yang memiliki makna kontemplasi terhadap keesaan
Allah, memang multi-demensional, yang mencakup semua kegiatan hidup spiritual,
sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan yang tujuan luhurnya ialah kerihaan
Allah. Inilah hakikat perjuangan tauhid kemanusiaan yang harus terus-menerus
diperjuangkan oleh gerakan IPM
b.
Ilmu
Ilmu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman
yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh
tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam
raya ini, serta ayat-ayat nafsiyah yang terdapat pada gejala-gejala social
masyarakat. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka ilmu pengetahuan manusia tersebut harus dipahami atau diterima
sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, karena kebenaran akal adalah
relatif, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh
Allah swt.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan
menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah
swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu
tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perjuangan IPM terhadap Ilmu pengetahuan dan
teknologi ialah mengarahkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada pemberian
manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu
pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia.
Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari
ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan
dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
c.
Umat
Perjuangan IPM
diarahkan kepada komponen pembentukan umat Islam, yaitu terwujudnya Masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang di
dalamnya ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan yang
dicirikan oleh ber-Tuhan dan beragama, berpersaudaraan, berakhlak dan beradab,
berhukum syar’i, berkesejahteraan, bermusyawarah, berihsan, berkemajuan,
berkepemimpinan, dan berketertiban. Dengan demikian masyarakat Islam
menampilkan corak yang bersifat tengahan, yang melahirkan format kebudayaan dan
peradaban yang berkeseimbangan.
Masyarakat
Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan
masyarakat madani (civil-society) yang maju, adil, makmur, demokratis,
mandiri, bermartabat, berdaulat, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah)
yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah. Masyarakat Islam sebagai kekuatan madaniyah
(masyarakat madani) menjunjungtinggi kemajemukan agama dan pemihakan terhadap
kepentingan seluruh elemen masyarakat, perdamaian dan nir-kekerasan, serta
menjadi tenda besar bagi golongan dan kelompok masyarakat tanpa diskriminasi.
Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah merupakan masyarakat yang
terbaik yang mampu melahirkan peradaban yang utama sebagai alternatif yang
membawa pencerahan hidup umat manusia di tengah pergulatan zaman.
d.
Bangsa dan Negara
Pandangan
kehidupan kebangsaan IPM ialah berjuang untuk pengintegrasian (menyatupadukan)
keislaman dan keindonesiaan. Bahwa, IPM sebagai pelajar Muhammadiyah dan Islam
merupakan bagian integral dari bangsa dan telah berkiprah dalam membangun
Indonesia. Muhammadiyah terlibat aktif dalam peletakan dan penentuan fondasi
negara-bangsa yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Muhammadiyah berkonstribusi dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa serta
memelihara politik Islam yang berwawasan kebangsaaan di tengah pertarungan
berbagai ideologi dunia. Ini semua merupakan perjuangan gerakan IPM.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan
konsensus nasional yang final dan mengikat seluruh komponen bangsa dengan menjadikan
Muhammadiyah sebagai perekat dan pemersatu bangsa, sesuai dengan ayat Al Qur’an
Surat Al Hujurat ayat 13. Pembentukan Negara Indonesia selain menentukan
cita-cita nasional juga untuk menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana
tercermin dalam Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian
luhur dan konsensus nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan
ideologi negara terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai
ketuhanan dan kemanusiaan (tauhid-sosial).