Oleh; Azaki KhoirudinÓ


A.    Ontologi Pergerakan IPM
Ontologi merupakan suatu kajian tentang masalah keberadaan (eksistensi), yang membahas permasalahan; apakah ada itu, mengapa dikatakan ada, ada dengan sendirinya, ada secara kebetulan atau ada dikarenakan kreasi. Keberadaan ini menjadi penting dalam melihat sesuatu, dikarenakan dengan keberadaan diri ini merupakan suatu pijakan awal dalam menentukan sikap dan selanjutnya dalam mengaktualisasikannya sebagai bukti keberadaanya. Ada dengan sendirinya berbeda dengan ada secara kebetulan. Hal tersebut dikarenakan, keberadaan merupakan suatu bentuk keniscayaan dari setiap manusia yang ada di muka bumi.
Ontologi merupakan awal dalam mengetahui atau mengkaji eksistensi IPM. Gerakan IPM sebagai kumpulan insan pelajar yang berkesadaran yang mencoba menggali ontologi dirinya. Maka IPM dapat mengenal hakekat gerakan serta tujuan dalam pergerakannya sehingga dapat bermakna bagai diri sendiri dan orang lain. Setiap yang ada dan dikatakan ada dapatlah menunjukan eksistensinya agar dikatakan ada, tetapi jika yang ada tidak dapat menunjukan eksistensinya maka ia dapat dikatakan tak ada walapun ada.
1.    Hakikat Pergerakan IPM
Kerangka ontologi ini dapat dilihat dalam IPM, dengan pertanyaan yang dasar apakah IPMada dengan sendirinya ?  atau merupakan suatu kreasi manusia dalam menyikapi realitas pada waktu itu? IPM sekarang merupakan suatu bentuk keniscayaan dalam sejarah tetapi eksistensinya sekarang memiliki ketiadaan makna dalam sejarah. Pengkajian masalah ontologi gerakan IPM ini memberikan makna bahwa IPM dapat memberikan sumbangsih dalam membangun peradaban serta kemandirian suatu bangsa. Sejarahnya keberadaan IPM ada dikarenakan bentuk  kreasi, dimana Muhammadiyah perlu melakukan kaderisasi di lembaga-lembaga pendidikan sekolah Muhammadiyah.
Menurut sejarahya berdirinya IPM lahir atas respon terhadap ideology komunis yang berkembang pada waktu itu. Oleh karena itu, kelahiran IPM juga berbenturan dengan kondisi social-politis dengan PII dan HMI yang merupakan satu-satunya pergerakan Islam di lingkup pelajar dan mahasiswa pada waktu itu. Begitupula sikap PII yang merasa paling syah sebagai rumah yang paling pas dan sesuai dalam melakukan kaderisasi organisasi Islam dalam ranah pelajar. Melihat persoalan tersebut, terkadang kader  IPM melihat kelahirnya sebagai respon terhadap PII. Hal tersebut, dikarenakan kader Muhammadiyah yang di PII tidak sesuai dengan sifat perjuangan Muhammadiyah. Keberadaan pergerakan sudah diketahui yakni IPM merupakan suatu bentuk kreasi dalam merespon dan pro-aktif terhadap realitas.
Setting Berdiri IPM ialah tidak terlepas dari Muhammadiyah sebagai      Gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu untuk membina dan mendidik keder Muhammadiyah terutama di amal usaha Pendidikan. Counter hegemoni terhadap gerakan Komunis/PKI. Maraknya kesatuan aksi terutama di kalangan muslim.
Pada fase pertama masa Orde Baru IPM dituntut peranannya sebagai Pendukung pembangunan nasional. Aktif dalam dunia pelajar dan pendidikan. Penyiapan Leadership (kepemimpinan) Nasional, Dakwah dan akhlaq. Generasi penerus Muhammadiyah. Tradisi keilmuan dan kreatifitas pelajar. . Pada tahun 1987, IRM (waktu itu namanya masih IPM) pernah mengangkat isu gerakan tentang sosialisme relegius, sebagai bentuk pencarian model strategi gerakan untuk melawan  kesenjangan sosial yang semakin parah akibat kebijakan Orde Baru yang tidak adil. Akan tetapi, model yang demikian kurang menemukan relevansi sosialnya di tingkat basis. Akhirnya, paradigma waktu itu, kembali pada paradigma elite yang menekankan aspek internalisasi ideologis ke Islaman dan militansi gerakan
Fase kedua (1993 – 1996) Dalam perjalannya, IPM mengalami tantangan baik di internal maupun di eksternal. Tantangan paling berat adalah berhadapan dengan rezim yang berkuasa pada saat itu, Orde Baru, yang meminta IPM harus berasaskan pancasila dalam setiap gerak perjuangannyalarangan Depdagri tentang penggunaan kata pelajar. Pelebaran sayap dari pelajar kedunia remaja. Tradisi keilmuan dan kreatifitas pelajar serta akhlaq. Terjadi kerancuan pada obyek garap IPM. Pelajar   Pendidikan/keilmuan. Permasalahan Remaja dan  Masyarakat, semakin kompleks. Perjalan itu akhirnya berujung pada tahun 1992, pemerintah “menenak” IPM harus berganti nama. Kebijakan pemerintah yang hanya mengijinkan OSIS sebagai satu-satunya organisasi kepelajaran di tingkat nasional membuat IPM yang notabene adalah organisasi pelajar berusaha keras untuk mempertahankan eksistensinya. Maka diadakanlah Tim Eksistensi IPM untuk melakukan kajian yang mendalam tentang permasalahan tersebut. Tim Eksistensi melihat persoalan dari dua segi. Pertama, masalah itu adalah tekanan luar biasa dari pemerintah untuk mengganti kata “pelajar” sehingga hal ini menyangkut hidup dan matinya IPM. Kedua, dikaitkan dengan perkembangan IPM baik secara vertikal maupun horizontal. adalah realitas empirik yang mendorong keinginan untuk memperluas obyek garapan dakwah IPM. Akhirnya, diputuskanlah perubahan nama lkatan Pelajar Muhammadiyah menjadi lkatan Remaja Muhammadiyah. Keputusan nama oleh PP IRM ini tertuang dalam SK PP IPM yang selanjutnya disahkan oleh PP Muhammadiyah tanggal 18 November 1992 M.
Fase ketiga  Paradigma baru (1997 - …..) terjadi kerancuan orientasi antara pelajar dan remaja. Munculnya trend masyarakat Madani / civil society orientasi IRM tertuju pada dunia masyarakat/publik/sosial. Kehilangan tradisi kadernya. Mulai lepas dari bayang-bayang pelajar. Sehingga IPM lebih ke ranah social yaitu pelajar dan remaja. Reformasi 1998, sempat membawa dampak keraguan kepada kalangan Muhammadiyah dan alumni IPM perihal ketetapan nama IRM yang diputuskan secara aklamasi pada acara Muktamar XII tahun 2000 di Jakarta, dua tahun yang lalu. Mereka melihat karena beberapa alasan: pertama, nama IRM adalah produk Orde Baru, dan karena Orde Baru telah runtuh maka selayaknya IRM kembali nama ke IPM. Kedua,  basis gerakan IRM gimanapun adalah pelajar, oleh karenanya lebih baik kembali ke identitas basis tersebut yaitu pelajar. Ketiga, banyak sekolah Muhammadiyah yang tidak mau menerima IRM karena ia bukan organisasi pelajar melainkan organisasi remaja.
Di samping itu, sebagian pimpinan Muhamadiyah juga mengeluh karena pelajar Muhammadiyah sudah kurang diperhatikan oleh IRM lagi lantaran orientasi gerakannya yang meluas, yaitu remaja. Beberapa alasan di atas sempat membuat pimpinan pusat IRM ingin merubah nama tersebut. Hal ini dibuktian dengan review paradigma gerakan IRM dari tahun 1998 – 2000. Akan tetapi, hasilnya,  sebagian besar muktamirin tetap memilih IRM. Keputusan ini tetap menyisakan ketidakpuasan sebagian. Meskipun demikian, karena perubahan itu juga diputuskan berdasarkan kesepakatan dan musyawarah dan, waktu itu, juga menyisakan ketidakpuasan, maka keputusan IRM pun juga demikian dan harus tetap dijalankan sebagai amanah pergerakan.
Makna penting yang harus dipahami dari perubahan nama IRM ini adalah dampaknya pada pergeseran paradigma gerakan dari pelajar yang elite, ke remaja yang “populis”. Meskipun demikian, basis gerakan ini tetaplah pelajar dan remaja secara umum. Sebagaimana dalam Muktamar tahun 1996, yang mengangkat isu pergerakan IRM sebagai gerakan yang berparadigma populis di kalangan pelajar dan remaja. Mainstream gerakan pada saat ini adalah menyemarakkan aktivitas-aktivitas sosial remaja dengan beragam bentuk dan macamnya: kelompok sastra, kelompok ilmiah remaja, kelompok jurnalis muda, kelompok terampil dan  berjiwa kewirausahaan, kelompok seni dan teater, kelompok olah raga, dan lain sebagainya. Paradigma populis, setidaknya telah mengantarkan IRM masuk pada wacana gerakan sosial baru dalam referensi gerakan sosial posmodernisme. Beberapa lokus gerakan sosial baru saat ini, terletak pada: pertama, mengurangi birokratisme negara. Kedua, membangun kesadaran publik akan komoditas publik atau budaya konsumarisme, dan ketiga, mengontrol media massa yang dapat berdampak pada hegemonisasi dan ketergantungan manusia pada media.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI kedua, gejolak untuk mengembalikan nama dari IRM menjadi IPM kembali hidup pada Muktamar XII di Jakarta tahun 2000. Pada setiap permusyawaratan muktamar sekanjutnya pun, dialektika pengembalian nama terus bergulir seperti ”bola liar” tanpa titik terang. Barulah titik terang itu sedikit demi sedikit muncul pada Muktamar XV IRM di Medan tahun 2006. Pada Muktamar kali ini dibentuk ”Tim Eksistensi IRM” guna mengkaji basis massa IRM yang nantinya akan berakibat pada kemungkinan perubahan nama.
Di tengah-tengah periode ini pula, PP Muhammadiyah mendukung adanya keputusan perubahan nama itu dengan mengeluarkan SK nomenklatur tentang perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah atas dasar rekomendasi Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2007. Walaupun ada SK nomenklatur, di internal IRM masih saja mengalami gejolak antara pro dan kontra terhadap keputusan tersebut.
Kemudian, Pimpinan Pusat IRM mengadakan konsolidasi internal dengan seluruh Pimpinan Wilayah IRM Se-Indonesia di Jakarta, Juli 2007, untuk membicarakan tentang SK nomenklatur. Pada kesempatan itu, hadir PP Muhammadiyah untuk menjelaskan perihal SK tersebut. Pada akhir sidang, setelah melalui proses dialektika yang cukup panjang, forum memutuskan bahwa IRM akan berganti nama menjadi IPM, tetapi perubahan nama itu secara resmi terjadi pada Muktamar XVI IRM 2008 di Solo. Konsolidasi gerakan diperkuat lagi pada Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) IRM di Makassar, 26-29 Januari 2008 untuk menata konstitusi baru IPM. Maka dari itu, nama IPM disyahkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 2008 di Solo.
Atas dasar sejarah di atas, Kelahiran IPM memiliki dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar (bermuatan pada membangun kekuatan pelajar menghadapi tantangan eksternal). Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi Muhammadiyah di masa yang akan datang.
a.    IPM sebagai Aksentuator Gerakan Dakwah Muhammadiyah
Pergerakan IPM merupakan suara yang idealis dari kaum terpelajar dalam mengkritisi ketidakadilan yang tak sesuai dengan kepentingan pelajar. Pergerakan IPM ini merupakan kolektif orang memiliki kesadaran yang sama dalam menyikapi realitas di sekitarnya. Kesadaran ini timbul dikarenakan lingkungan serta budaya ilmu tumbuh sehingga pemikiran melahirkan terbuka dan ilmiah. Ruang yang sering ditawarkan oleh pergerakan adalah seruan moral dan aspirasi pelajar tertindas (termarginalkan). Pergerakan IPM akan mudah dan selalu bersentuhan dengan kepentingan khususnya kenegaraan. Hal tersebut dapat dilihat pergerakan Kaum intelektual 6o-an dan 98 untuk menjatuhkan rezim kekuasaan yang melakukan penindasan dan bersifat ototerianism.
Pergerakan IPM selalu menyerukan moral sebagai medium untuk melakukan pressure pada kelembagaan Negara. Pergerakan IPM dengan memiliki masa berupa pelajar yang memiliki kesadaran untuk menciptakan kondisi yang lebih baik. Pergerakan IPM yang disuarakan adalah kepentingan pelajar  demi tercipnya keadilan. IPM merupakan salah satu dari pergerakan pelajar, hal ini dapat dilihat dari basis masa dan actor gerakannya yaitu, pelajar. Melihat dari, basis masa yang dimiliki oleh IPM, maka dalam gerakannya sesuai dengan pergerakan. IPM sebagai salah satu dari pergerakan yang memberikan arti dan arahan yang jelas dalam menentukan proses kepemimpinan yang akan datang. Pergerakan IPM memberikan peran yang lebih, dikarenakan potensi yang ada dalam IPM dikarenakan IPM sebagai ortomnya Muhammadiyah dan kemampuan yang berbeda dengan pergerakan yang lain.
Penerjemahan IPM sebagai pembela pelajar yang dilakukan oleh IPM menyuarakan kepentingan pelajar dalam tiga tingkatan yakni elit kekuasaan, kelas menengah dan masyarakat itu sendiri. Elit kekuasaan merupakan aspek yang utama dalam menentukan kebijakan. Kebijakan  yang dukeluarkan oleh elit kekuasaan yang paling sensitive terhadap masyarakat khususnya kaum yang tak mampu. Ikatan disini memiliki peran signifikan dalam menyuarakan suara rakyat, misalkan yang dilakukan oleh IPM  sebagai pressure kebijakan, melakukan lobi, negosiasi, sebagai mediasi antara pemerintah dan masyarakat serta menjadi sharing patner antara pemerintah dan masyarakat.
Peran yang dilakukan oleh IPMdalam kelas menengah adalah sebagai sharing patner yang berkaitan dengan tujuan dan mimpi yang dicitakan oleh IPM. Selanjutnya yang dilakukan oleh IPM dalam melakukan pembelaaan terhadap pelajar adalah melakukan pemberdayaan dan pendampingan sehingga rakyat tersadarkan, bangkit melakukan perlawanan dan sehingga terciptanya keadilan. Keadilan tersebut merupakan suatu ciri dari masyarakat yang dicita-citakan oleh IPM.
b.     IPM sebagai Lembaga Kaderisasi
IPM secara ontologinya merupakan suatu lembaga kaderisasi dan aksentuator merupakan suatu kreasi dari para faunding fathers dalam menyikapi realitas pada waktu itu. IPM sebagai lembaga kaderisasi merupakan esensi dari IPM yang cerminan dari Muhammadiyah dan penerus (kerisalahan) Muhammadiyah dalam melakukan dakwah social amar ma’ruf nahi munkar guna terciptanya masyarakat ideal Muhammadiyah. IPM dalam tujuan terbentuknya merupakan suatu lembaga kederisasi Muhammadiyah dan merupakan kepanjang tanganan Muhammadiyah dalam dunia kepelajaran terutama sekolah-sekolah.
Hal tersebut juga tertuang dalam tujuan mulia IPM adalah “terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil daam rangka menegakkan dan menjunjug tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehinggat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” IPM dari tujuannya merupakan suatu ortom Muhammadiyah dalam lingkungan pelajar yakni sekolah. Pelajar yang diinginkan oleh IPM adalah yang memiliki ilmu, akhlak mulia dan terampil atau daya juang dan daya ubah.  Melihat tujuan ini sebenarnya yang diinginkan IPM adalah generasi ulul albab merupakan konsekuensi yang dari kaum beriman, berilmu, dan beramal, dalam versi Muhammadiyah yang ditanamkan oleh pada IPM dalam pilihan gerakannya.
Gerakan yang dilakukan oleh IPM dalam eksistensinya merupakan suatu gerakan ilmu. Hal ini dikarenakan akhlaknya merupakan aksiologi dari ilmu yang dimilikinya. Gerakan ilmu yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah sekaligus IPM sebagai kader Muhammadiyah. IPM sebagai ortom Muhammadiyah yang diharapkan sebagai lahan keilmaun, dan pemikiran yang menentukan gerak langakah peradaban Muhammadiyah kedepannya.
IPM sebagai lembaga kaderisasi yang bertugassebagai penerus tradisi KH. Ahmad Dahlan, maka yang terpenting bagi pergerakan IPM yakni untuk perjuangan Agama, yakni Tauhid. Disini, IPM dalam penekannya merupakan kader kemanusiaan, bangsa, umat dan Muhammadiyah, sikap tersebut dikarenakan IPM berfikir objektif tentang permasalahan kemanusiaan dan bangsa saat ini yang mengalami krisis berkepanjangan.
Gerakan IPM sebagai kader bangsa merupakan bentuk objektifikasi diri IPM dalam memberikan sumbangsih terhadap persoalan kenegaraan. Jadi apapun yang dilakukan oleh IPM adalah sesuai dengan semangat dan cita-cita Muhammadiyah yang termanifestasi dalam diri IPM untuk kebangsaan. IPM sebagai lembaga kaderisasi memiliki gerakan yang bersifat sesuai dengan Muhammadiyah dalam berfikir dan bertindak.
IPM dalam melihat realitas pada waktu itu yang melahirkan paradigma gerakan sebagai respon terhadap realitas. Keberadaan IPM merupakan suatu keniscayaan dalam sejarah, maka dalam eksistensinya, IPM merupakan suatu kumpulan kolektif yang sadar dengan sejarahnya. Kesadaran sejarah ini, IPM bukan ditentukan oleh sejarah, tetapi dengan eksistensinya, Ikatan yang akan menentukan sejarah kedepannya untuk IPM dan bangsa ini. Jadi kesadaran sejarah dalam Ikatan menjadi ruh untuk selalu aktif, kreatif, dalam proses humanisasi, liberasi dan trasendensi dalam mencapai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

2.    Struktur Pergerakan IPM
Secara ontology, struktur gerakan yang menjadi ruh gerakan IPM paling tidak terbagi menjadi tiga macam yang berada dalam intern IPM; tujuan IPM, dan semboyan IPM
a.    Tujuan IPM
Melihat dari ontologinya IPM terbentuk dikarenakan kreasi, maka memiliki tujuan dan apa yang dicapai atau yang diimpikan oleh IPM. Tujuan IPM ini merupakan semangat, ruh, gerak juang guna meraih mimpi-mimpi yang diidealkan. Hal tersebut, dikarenakan tujuan merupakan ending atau akhir  dari nilai perjuangan, oleh karena itu, tujuan IPM tersebut bersifat idealis dan abstrak. Nilai yang diidiealkan oleh IPM ini tertanam pada diri semua kader IPM yang tertuang dalam dasar organisasi yakni AD dan ART.
Tujuan IPM dalam gerakan adalah terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil daam rangka menegakkan dan menjunjug tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehinggat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Tujuan ini merupakan impian yang diinginkan dalam menjalankan sebuah gerakan yakni dengan tujuan final sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, yaitu “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dengan cara menegakkan dan menjujung tinggi nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini, dikarenakan IPM merupakan aksentuator gerakan dakwah sekaligus lembaga kaderisasi Muhammadiyah dilakalangan pelajar. IPM memiliki tujuan berdirinya berdasarkan tiga komponen, yaitu; pelajar berilmu, pelajar berakhlak mulia dan pelajar terampil.
Dunia pendidikan identik dengan kalangan akademisi, dimana pola pikir ilmiah dan rasional. Pengembangan dakwah Muhammadiyah di sekolah-sekolah merupakan suatu cara Muhammadiyah dalam tataran pelajar. Melalui IPM, diharapkan oleh Muhammadiyah sebagai contoh atau grand dari komponen masyarakat yang rasional ilmiah bagi Muhammadiyah. Hal ini, dikarenakan IPM merupakan yang berlatar belakang pelajar dengan masyarakat ilmu yakni terbuka, rasional dan ilmiah. Makna dan cita-cita yang diinginkan oleh Muhammadiyah pada IPM adalah melahirkan suatu cendekiawan muslim yang berakhlak mulia dan mengupayakan terbentuknya masyarakat utama. Tujuan IPM ialah sebagai gerakan ilmu.
b.     Semboyan IPM
Manusia dalam berkomunikasi menggunakan bahasa yang tertulis ataupun bahasa tubuh yang dikenal dengan bodhy language. Bahasa tercipta dari simbol-simbol yang diungkapkan oleh manusia dalam melihat dan memahami realitas yang ada dilingkungan sekitar. Bahasa selain buat komunikasi juga merupakan symbol social sebagai bentuk nilai yang dipegang teguh. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk simbolik yang tertuang dalam komunikasi merupakan suatu bentuk respon terhadap yang ada di realitas.
Simbol merupakan suatu yang penting bagi manusia dikarenakan manusia merupakan homo simbolicum (mahluk simbolik). Mahluk simbolik ini dalam komunikasi dan yang dilakukan erat dengan menggunakan symbol dalam melakukan penukaran pengetahuan. Penggunaan symbol yang baik dalam berkomunikasi dapat menjadi komunikator yang baik dalam semua lini kehidupan. Dunia simbol memasuki organisasi menjadi sangat penting dalam mengikat kader dan pencitraan organisasi dengan organisasi yang lain. Symbol juga memiliki kekuatan dalam menggerakan dan mengarahkan suatu organisasi demi tujuan yang diinginkan. Penggunaan symbol dalam sebuah organisasi memiliki makna yang filosofis dan mendalam yang menyangkut jantung organisasi.
Selayaknya gerakan IPM dalam realitasnya memiliki symbol, juga memiliki ruh dalam menggerakan IPM. Simbol dalam IPM menjadi ciri khas gerakan seperti warna kuning dan semboyan. Penggunaan warna kuning dan semboyan tersebut dalam sejarahnya memiliki makna yang dalam makna folosofis yang tinggi untuk kader yang baru mengenal IPM. Warna kuning ialah symbol emas yang memiliki daya tawar atau nilai yang sangat berharga. Warna kuning merupakan symbol ilmu, prestasi, dan penghargaan kepada akal atau intelektual yang setinggi-tingginya oleh IPM sebagai gerakan pelajar. Warna kuning juga diidentikan dengan sifat cerdas, pencerah dan sebagai problem solver ditengah kegelapan.
Selanjutnya selain warna, IPM memiliki symbol yang tertanam dalam diri kader sebagai semboyan yakni “Nuun walqalami wamaa yasthuruun” (Nuun, demi pena dan apa yang mereka tulis). Sungguh suatu pilihan yang tidak asal-asalan, ketika (IPM) mengambil surah al-Qalam ayat 1 sebagai semboyan,. Dalam ayat ini terkandung konsepsi filosofis sebagai manisfestasi gerakan yang luar biasa dalam sebuah organisasi pelajar. Kenapa IPM memilih ayat ini, padahal ada ayat berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang lain, misalnya al-Alaq (tentang membaca dan menulis) atau al-Mujadillah ayat 11 (tentang derajat iman, ilmu, dan amal). Nama surat ini al-Qalam atau pena, mengingatkan pada surat sebelumnya, surat al-Alaq, yang menyatakan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan pena. Menarik bahwa kedua surat paling awal ini menyinggung peranan pena sebagai alat belajar mengajar. Bahkan, surat ini diberi nama al-Qalam, pena. Sebuah isyarat agar kaum muslimin manjadi umat terdidik. Surat ini dimulai dengan huruf muqatha’at, “nuun” disusul dengan sumpah pena. Huruf “nuun” oleh sebagian ulama melambangkan tinta atau tempat tinta sebagai pasangan pena. Allah  pertama kali bersumpah dengan surat al-Qalam adalah tentang pengetahuan.
 
c.       Epistemologi Pergerakan IPM
Epistemologi merupakan suatu kajian yang membicarakan tentang sumber-sumber pengetahuan, bagaimana pengetahuan diperoleh, bagaimana cara mengetahui pengetahuan, apa saja yang berada dalam pengetahuan, serta mengapa mengetahui pengetahuan. Epistemologi disamping pendalaman terhadap sumber-sumber pengetahuan, tetapi yang lain untuk IPM merupakan sumber alat baca sehingga melahirkan paradigma, metodologi, serta metode, taktik, cara dalam melakukan pergerakan. Epistemologi ini akan mengarahkan kemana dan jalan yang akan dilakukan sehingga yang diinginkan dapat tercapai secara terencana dan teratur. Sumbangsih epistemologi gerakan ialah berfikir dan bergerak secara sistematis dan mudah untuk menganalisis secara rasional serta ilmiah.
IPM sebagai gerakan pelajar yang berdasarkan Islam dan dalam naungan Muhammadiyah yang gerakannya mengikuti ititiba’ nabi. Maka yang dilakukan oleh IPM dalam memandang realitas social dengan pengaplikasian wahyu agar dapat memberaikan konstribusi dalam peradaban.  Epistemologi IPM sebagai gerakan Islam berdasarkan wahyu. Epistemologi wahyu bagi IPM adalah pengaktualisasian Al Qur’an yang bersifat umum (grand theory) agar dapat menjadi sebuah teori yang bersifat ilmiah. 
Epistemologi IPM merupakan cara atau metodologi yang menggerakan kader IPM dalam berinteraksi dengan realitas. Ruh gerakan IPM yakni sesuai dengan apa yang diinginkan oleh semua kader dan cita-cita sosial kolektif IPM. Epistemologi gerakan IPM juga dijadikan kerangka berfikir kader, serta pengampikasiannya dalam gerakan pelajar. Apa saja yang dapat menjadi ruh gerakan IPM dalam melakukan gerakan pelajar demi terciptanya cita-cita kolektif IPM.
1.    Objek Pengetahuan/ Sumber Pergerakan IPM
Sementara itu, bagi IPM terdapat tiga sumber pengetahuan; teks, ilham (intuisi) dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisyaf. Dan yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman (ayat-ayat Kauniyah) dan realitas kemanusiaan (ayat-ayat Nafsiyah).
Epistemology gerakan IPM dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas gerakan sebagai petunjuk dan pencerah bagi kehidupan pelajar menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas publik (public morality).
2.    Cara Pergerakan IPM Memperoleh Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran
Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhbari dan kebenaran nazhar. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam epistemologi. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu (dulu, kini, dan esok)
Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (an-nushush al-mutanahiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (turats) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah).
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, epistemologi gerakan IPM membutuhkan pendekatan bayani, ‘irfan dan burhani, sesuai dengan obyek kajiannya yaitu: apakah teks, ilham atau realitas. Seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Epistemologi gerakan IPM digunakan dalam merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis gerakan sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
a.    Pendekatan Bayani
Bayani adalah pendekatan untuk: a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zhahir dari lafazh dan ‘ibarah yang zhahir pula; dan b) istinbath hukum-hukum dari an-nushush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi
b.   Pendekatan Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima‘iyyah) dan realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Oleh karena itu, dalam burhani, keempat pendekatan (tarikhi, susiuluji, tsaqafi dan antrubuluji) berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk jaringan keilmuan.
c.    Pendekatan Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode ilham dan kasyf atau gnosis. Pendekatan ‘irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyfi dan manhaj iktisyafi. Manhaj kasyfi disebut juga manhaj ma‘rifah ‘irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf dengan riyadlah dan mujahadah. Manhaj iktisyafi disebut juga al-mumatsilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irfani bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahap pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain. Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah ilahiyyah.

C.    Aksiologi Pergerakan IPM
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang ketiga sebagai aksi yang nyata sebagai respon terhadap ada dan cara memperoleh pengetahuan. Dalam aksiologi ini maka yang dibicarakan masalah aplikasi dari epistemologi yang digunakan dalam menyikapi realitas. Menurut kajian filasat dalam aksiologi juga membicarakan tentang nilai (etika) serta keindahan (estetika). Tetapi yang utama dengan aksilogi tersebut kita dapat mengetahui keselarasan antara pemikiran serta aksi konkritnya. Aksiologi dalam tradisi filsafat merupakan tindakan konkret setelah mengetahui eksistensi diri serta cara memperoleh pengetahuan serta sumber pengetahuan.
1.    Nilai Guna Pergerakan IPM
Setelah kita mengkaji permasalahan eksistensi serta sumber pengetahuan maka pengaplikasian yang dilakukan dalam gerakan adalah mengupayakan terbentuknya paradigma gerakan yang tertanam dalam diri kader. Paradigma gerakan ini yang menjadi ikon gerakan (trand mark of IPM) yang mencerminkan gerakan pelajar Islam berbeda dengan pergerakan lain maka  gerakan IPM yakni gerakan ilmu. Sebagai trand mark gerakan perlu dituruntakan (break down) dalam sistem kaderisasi IPM sebagai wadah internalisasi nilai-nilai gerakan dalam diri kader. Aksiologi menjadi apa saja yang dapat menjadi ruh gerakan IPM dalam melakukan gerakan social IPM demi terciptanya cita-cita kolektif IPM. Oleh karena itu, penting sekali merumuskan sebuah rumusan filosofis yang menjadi landasan perjuangan IPM. Diantara yang menjadi falsafah pergerakan IPM ialah sebagai berikut:
a.    Tauhid
Perjuangan tauhid ialah misi yang paling pokok dan mendasar bagi gerakan IPM. Karena, dari tauhid lahir nilai khilafah, dimana Allah menjadikan dan memberikan kuasa kepada manusia untuk menjadi wakil (pengganti)-Nya di muka bumi, sehingga manusia tidak bebas, tetapi bertanggungjawab kepada Allah, dalam beramal dan bertindak. Tauhid meliputi: unity of creation (kesatuan penciptaan), unity of mankind (kesatuan kemanusiaan), unity of guidance (kesatuan tuntunan hidup), dan unity of purpose of life (kesatuan tujuan hidup). Yang semuanya itu merupakan derivasi dari unity of godhead (kesatuan ketuhanan).
Pertama, unity of Godhead, yaitu kesatuan ketuhanan, bahwa Tuhan yang satu adalah Allah SWT. Kedua, unity of creation, yaitu kesatuan penciptaan. Seluruh makhluk di alam semesta ini, baik yang kelihatan maupun yang gaib, merupakan ciptaan Allah. Ketiga, unity of man­kind, yaitu kesatuan kemanusiaan. Jadi, perbedaan warna kulit, bahasa, dan segala perbedaan yang melatarbelakangi keragaman umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi. Keempat, unity of guidance, yaitu kesatuan pedoman hidup. Bagi orang yang beriman, hanya ada satu pedoman hidup, yakni yang datangnya dari Allah yang berupa wahyu. Karena Allah yang menciptakan manusia, maka Allah pula yang paling tahu seluk beluk makhluknya. Kelima, unity of the purpose of life, yaitu kesatuan tujuan hidup. Bagi orang yang beriman, satu-satunya tujuan hidup adalah untuk mencapai ridha Allah.
Manusia memiliki Tugas kholifah yang berimplikasi bahwa manusia tidaklah mempunyai hak yang ekslusif terhadap sesuatu, juga bahwa ia bertanggungjawab untuk menciptakan keharmonisan alam sekitarnya dengan akhlak mulia (shalih-muflih). Pelaksanaan yang tepat atas tanggungjawab yang luhur ini adalah hakikat sebenarnya dari ibadah. Ibadah yang memiliki makna kontemplasi terhadap keesaan Allah, memang multi-demensional, yang mencakup semua kegiatan hidup spiritual, sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan yang tujuan luhurnya ialah kerihaan Allah. Inilah hakikat perjuangan tauhid kemanusiaan yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh gerakan IPM
b.   Ilmu
Ilmu  pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Alquran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini, serta ayat-ayat nafsiyah yang terdapat pada gejala-gejala social masyarakat. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka ilmu pengetahuan manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, karena kebenaran akal adalah relatif, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
Ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Perjuangan IPM terhadap Ilmu pengetahuan dan teknologi ialah mengarahkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
c.    Umat
Perjuangan IPM diarahkan kepada komponen pembentukan umat Islam, yaitu terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang di dalamnya ajaran Islam berlaku dan menjiwai seluruh bidang kehidupan yang dicirikan oleh ber-Tuhan dan beragama, berpersaudaraan, berakhlak dan beradab, berhukum syar’i, berkesejahteraan, bermusyawarah, berihsan, berkemajuan, berkepemimpinan, dan berketertiban. Dengan demikian masyarakat Islam menampilkan corak yang bersifat tengahan, yang melahirkan format kebudayaan dan peradaban yang berkeseimbangan.
Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani (civil-society) yang maju, adil, makmur, demokratis, mandiri, bermartabat, berdaulat, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah) yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah. Masyarakat Islam sebagai kekuatan madaniyah (masyarakat madani) menjunjungtinggi kemajemukan agama dan pemihakan terhadap kepentingan seluruh elemen masyarakat, perdamaian dan nir-kekerasan, serta menjadi tenda besar bagi golongan dan kelompok masyarakat tanpa diskriminasi. Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah merupakan masyarakat yang terbaik yang mampu melahirkan peradaban yang utama sebagai alternatif yang membawa pencerahan hidup umat manusia di tengah pergulatan zaman.
d.   Bangsa dan Negara
Pandangan kehidupan kebangsaan IPM ialah berjuang untuk pengintegrasian (menyatupadukan) keislaman dan keindonesiaan. Bahwa, IPM sebagai pelajar Muhammadiyah dan Islam merupakan bagian integral dari bangsa dan telah berkiprah dalam membangun Indonesia. Muhammadiyah terlibat aktif dalam peletakan dan penentuan fondasi negara-bangsa yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Muhammadiyah berkonstribusi dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa serta memelihara politik Islam yang berwawasan kebangsaaan di tengah pertarungan berbagai ideologi dunia. Ini semua merupakan perjuangan gerakan IPM.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional yang final dan mengikat seluruh komponen bangsa dengan menjadikan Muhammadiyah sebagai perekat dan pemersatu bangsa, sesuai dengan ayat Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13. Pembentukan Negara Indonesia selain menentukan cita-cita nasional juga untuk menegaskan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan perjanjian luhur dan konsensus nasional yang mengikat seluruh bangsa. Dalam falsafah dan ideologi negara terkandung ciri keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan (tauhid-sosial).




[1] Tulisan ini Dibuat untuk Bahan Materi Tim Duabelas Muktamar XVIII Palembang 2012
ÓSekretaris Pimpinan Pusat IPM Bidang Perkaderan 2012-2014

- Designed by Azaki Khoirudin -