- Back to Home »
- MODEL TAJDID MUHAMMADIYAH:
Membangun Peradaban Utama
Achmad Jainuri*
Menurut
perhitungan kalender Hijriyah, pada 8 Dzulhijjah 1430 H bertepatan dengan 25
Nopember 2009 Muhammadiyah genap berusia satu abad. Dalam sejarah Islam siklus
seratus tahun selalu ditandai dengan munculnya mujaddid (pembaharu).
Hal ini didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: ”sesungguhnya
Allah akan membangkitkan pada kaum ini setiap awal abad seseorang yang akan
memperbaharui (paham) keagamaannya.” Mujaddid yang dimaksudkan bisa
seorang maupun kelompok, yang bentuknya bisa berupa pembaharuan pemikiran
maupun gerakan amal usaha. Bentuk pertama umumnya bersifat elitis dan yang
kedua biasanya bersifat populis.
Dalam
kaitannya dengan peringatan satu abad Muhammadiyah ada beberapa pertanyaan yang
perlu didiskusikan di sini. (1). Apakah Muhammadiyah itu gerakan tajdid
atau bukan. (2). Apakah tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini
sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran kehidupan atau jawaban terhadap
tantangan kemajuan yang dicapai oleh Muhammadiyah, atau kedua-duanya. (3).
Model tajdid yang bagaimana yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah dalam
membangun peradaban utama. Forum ini diharapkan bisa menemukan model yang
dimaksud dan dijadikan dasar gerakan dalam mengemban misi tajdid
Muhammadiyah untuk seratus tahun mendatang.
Jika kita
melihat kembali dokumen awal berdirinya Muhammadiyah, tak satupun yang
menjelaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Dalam Anggaran
Dasar pertama disebutkan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah
”menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad kepada penduduk Bumiputra, di
dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya.” Rumusan ini menegaskan tentang identitas diri Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Penegasan identitas diri inilah
yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan Islam semasanya yang umumnya
mengikatkan diri pada orientasi ideologi keagamaan tertentu sebagai gerakan
reformis (Al-Irshad), memberantas bid’ah, khurafat, dan takhayul secara radikal
(Persis), dan ahlus sunnah wal jamaah (NU). Identitas diri Muhammadiyah sebagai
gerakan tajdid baru dirumuskan akhir-akhir ini.[1]
Tajdid,
yang muncul dalam berbagai ragam gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam, merupakan
salah satu bentuk implementasi nilai ajaran Islam setelah meninggalnya Nabi. Gerakan tajdid
muncul sebagai jawaban terhadap tantangan kemunduran yang dialami dan, atau
jawaban terhadap tantangan kemajuan yang dicapai oleh kaum Muslimin. Tulisan
ini mencoba melihat kembali peran Muhammadiyah dalam mengemban misi tajdid
yang telah berjalan selama sekitar satu abad. Rekonstruksi tajdid
Muhammadiyah dilakukan tidak hanya untuk menjawab kedua tantangan seperti yang
disebutkan di atas, tetapi juga didasarkan pada landasan teologis yang
menyebutkan perlunya pembaharuan pada setiap seratus tahun. Kedua tantangan di
atas bisa dilihat dalam diri Muhammadiyah dan akibat pembaharuan yang telah
dilakukannya. Alasan perlunya tajdid gerakan Muhammadiyah didasarkan pada
alur logika yang menegaskan bahwa gerakan tajdid itu tidak akan muncul
sebelum tegaknya sebuah tatanan kehidupan atau kemajuan, kemudian tatanan itu
rusak dan kehidupan menjadi mundur. Telah ditegakkannya kebaikan dan kemajuan
dan rusaknya kehidupan secara berurutan harus ada sebelum gerakan tajdid
itu dilakukan. Pertanyaannya kemudian adalah: apa pembaharuan yang telah
dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad ini ?
Selama ini
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modern yang telah melakukan perubahan
dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya, dan politik. Namun sejak dekade
1980-an kritik internal muncul mempertanyakan peran pembaharuan gerakan ini.[2]
Pada periode awal setelah gerakan ini berdiri para elite Muhammadiyah telah
meletakkan dasar wawasan keagamaan yang liberal, menurut konteks saat itu.
Wawasan dasar keagamaan ini menjadi unsur penting formulasi ideologi gerakan,
yang memberikan landasan untuk mengkritisi tatanan kehidupan yang ingin
dirubahnya, merumuskan tujuan yang ingin dicapai, membenarkan kebijakan dan
langkah praktis guna mecapai tujuan. Dasar pandangan ini telah mendorong
munculnya semangat tajdid ke dalam
berbagai aspek kehidupan dan menerima nilai-nilai modern seperti: perubahan,
rasionalitas, keteraturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepat
waktu, hemat, dan lain sebagainya.
Pada tingkat individu, ideologi ini tidak
hanya membentuk watak prilaku warga Muhammadiyah yang terbuka, menerima
perubahan, rasional, adaptif, dan sebagainya, yang menjadi ciri utama kemoderenan
seseorang, tetapi juga telah melahirkan berbagai ragam institusi sosial yang
membantu mencerahkan dan menyadarkan umat bahwa kemajuan dan kebahagiaan hidup
merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui kecerdasan dan bekerja keras. Secara
institusional, pada perempat pertama abad ke-20 Muhammadiyah dikenal sebagai
simbol perubahan, kemajuan, dan karenanya dikenal sebagai gerakan modern. Stereotyping
keagamaan yang menempel pada diri seorang Muslim sebagai eksklusif, tertutup,
dan kolot terpatahkan oleh seorang anggota Muhammadiyah yang memiliki watak
rasional dan terbuka. Pandangan dunia yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia
diganti dengan pandangan yang menyebutkan bahwa Islam membolehkan umatnya untuk
memperoleh kebahagiaan duniawi. Sikap keagamaan yang intolerant diganti
dengan toleran; sikap budaya yang uniformitas diganti dengan pluralis;
pandangan keilmuan yang membatasi pada ilmu agama diganti dengan wawasan bahwa
ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Stigma sosial yang menggambarkan
orang Muslim itu malas, miskin, bodoh terbantahkan oleh semangat yang
dikembangkan oleh warga Muhammadiyah yang kerja keras, memiliki penghasilan,
dan memiliki pengetahuan untuk menekuni profesinya. Namun, masih bisakah
keberhasilan institusional dan karakteristik individual yang disebutkan di atas
dipakai mengukur tingkat keberhasilan Muhammadiyah sekarang ini ?
Ketidaksiapan warga
anggota Muhammadiyah dalam mensikapi persoalan yang berkembang saat ini akan
menghilangkan jatidiri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Oleh karena
itu langkah pertama untuk mengatasi tantangan ini adalah kembali kepada
semangat dan model yang telah dibangun oleh para generasi awal Muhammadiyah.
Mereka ini dipandang telah berhasil dalam meletakkan ideologi dasar dan
melaksanakan program pembaharuan dalam arti yang sangat luas. Meskipun secara
kuantitatif perkembangan fisik organisasi dan amal usaha semakin bertambah
sekarang ini, tetapi kualitas gagasan dan ide pembaharuan tereduksi menjadi
sangat superficial dan masih terjebak pada persoalan trivial. Oleh
karena itu bisa dipahami mengapa pembaharuan pada akhirnya hanya muncul dalam
pemberantasan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Kenyataan inilah yang kemudian
mendorong munculnya usaha baru (tajdid gerakan) untuk menata kembali
makna dan misi Muhammadiyah yang sesungguhnya.
Kedua, rekonstruksi tajdid gerakan juga diarahkan untuk
menjawab tantangan kemajuan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Aspek penting dari
rekonstruksi ini adalah menumbuhkan kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak puas
dengan keadaan yang ada. Mereka harus merasa sebagai kelompok yang tidak ingin
mempertahankan sesuatu itu sebagaimana adanya (status quo), tetapi menjadi
kelompok yang selalu peka terhadap perubahan bagi perbaikan kehidupan
masyarakat. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah sebagian
merupakan problem yang muncul akibat pembaharuan yang telah dilakukannya. Orang
mengkaitkan kemajuan ini dengan semakin meratanya ide dan ciri kemodernan yang
dulu umumnya hanya ditemukan di kalangan warga Muhammadiyah, tetapi sekarang
ini hampir menggejala di kalangan masyarakat luas. Dalam beberapa aspek
pemikiran, dari sebagian kelompok yang disebut terakhir ini bahkan ditemukan
ide dan gagasan yang lebih maju, atau, paling tidak, responsif terhadap wacana
yang berkembang terkait dengan masalah keagamaan kontemporer.
Di sisi lain akibat
modernisasi yang hanya menekankan pada pemenuhan keberhasilan material
mendorong tumbuhnya semangat kehidupan hedonis, yang menjadikan harta benda
sebagai indikator utama keberhasilan seseorang. Akibat dari kecenderungan ini menjadikan
orang terlalu “mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan” Mereka
ini, kata Allah, adalah orang-orang “yang memakan harta pusaka dengan cara
mencampuradukkan (antara yang halal dan yang bathil), (al-Fajr 19-20). Akibatnya,
penyimpangan terjadi di mana-mana karena dorongan kehidupan di atas. Di antara
penyimpangan itu, korupsi menjadi penomena yang mewabah dan menggerogoti
sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sadar atau
tidak, kita semua ini berada dalam lingkaran budaya korup ini. Jika fakta yang
dikemukakan oleh beberapa aktivis gerakan sosial anti korupsi benar, maka,
menurut Widjojanto, KKN sebenarnya telah mewabah dan mendalam di semua aspek
kehidupan masyarakat di Indonesia, mulai dari: pusat hingga daerah, pemerintah
maupun swasta, politisi dan birokrasi, praktisi dan akademisi, serta pengadilan
sampai pendemo di jalanan. Perbuatan KKN telah menjebak hampir sebagian besar
masyarakat, dari pagi hingga malam hari, kelahiran hingga kematian. Bentuknya,
mulai dari cara yang paling menyolok mata hingga yang sangat canggih, mulai
dari kupon parkir di jalanan sampai korupsi politik dalam membuat kebijakan.
Praktik KKN juga sangat bervariasi, ada yang dilakukan sendiri hingga korupsi
berjamaah, yang melibatkan komunitas, dan bahkan lintas fraksi dan “koalisi”
antar “lembaga tinggi negara.” Sebuah laporan survey dari para pelaku busines
ekspatriat menyebutkan bahwa dari kriteria tentang perlunya seorang pelaku
busines menyuap pejabat atau politisi untuk memperoleh persetujuan atau ijin
resmi aktivitas businesnya, hasilnya menempatkan Indonsesia sebagai salah satu
negara terkorup (Robertson-Snape, 1999).
Misi Tajdid
Muhammadiyah sebenarnya diarahkan untuk membangun kembali watak dan
karakter masyarakat yang telah tertutup oleh kecenderungan di atas. Usaha untuk
memperbaharui (tajdid) gerakan telah mencapai momentum yang tepat pada
usia Muhammadiyah satu abad (8 Dzulhijjah 1430 H). Tetapi, yang menjadi
pertanyaan adalah: ”model tajdid yang bagaimanakah yang akan dilakukan
oleh Muhammadiyah dalam membangun peradaban utama. Langkah awal yang harus
dilakukan adalah merumuskan kembali atau memberikan makna baru ideologi
gerakan. Pikiran dasar ideologi Muhammadiyah yang dirumuskan dalam maksud dan
tujuan gerakan: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sampai sekarang, masih menjadi acuan
gerakan. Penggalan kalimat aktif “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
........” bisa diartikan sebagai ajakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mengamalkan ajaran Islam merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari komitmen setiap Muslim terhadap Islam.
Karena itu komitmen untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran
merupakan ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ungkapan seperti amr
ma’ruf nahi munkar, yang menjadi slogan popular di kalangan Muhammadiyah,
merupakan acuan untuk mewujudkan komitmen di atas.
Dari
masyarakat Islam yang diidamkan itulah akan lahir peradaban utama. Ada komponen
penting yang menjadi sumber terbentuknya peradaban utama. Pertama, Islam
sebagai sumber pokok ajaran yang berkaitan dengan nilai keadilan, kebebasan,
persamaan, toleransi, dan pluralitas. Kedua, apresiasi Islam terhadap ilmu
pengetahuan. Ketiga, warisan tradisi klasik Islam yang telah melahirkan
berbagai ragam pemikiran yang sampai sekarang menjadi khazanah penting sumber
kajian Islam. Keempat, Bahasa Arab serta bahasa kawasan Islam. Kelima, tegaknya
aturan dan hukum yang mampu membentuk prilaku seseorang dan menjamin kebebasan
berekspresi. Keenam, terciptanya tatanan masyarakat plural yang menjunjung
tinggi nilai-nilai seperti yang disebutkan di atas. Dalam masyarakat seperti
ini tingkat kedewasaan, kecerdasan, dan kesadaran warga anggotanya menjadi
unsur utama terciptanya tatanan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Masyarakat cukup dewasa untuk bisa mengatur diri sendiri.
Model tajdid
yang dilakukan oleh Muhammadiyah harus mengacu pada pembentukan watak dan
karakter warga anggota masyarakat yang memiliki kompetensi nilai-nilai di atas.
Karena itu gerakan keilmuan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya
manusia melalui pendidikan tetap menjadi program utama gerakan ini. Identitas
diri Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid
hendaknya dipahami sebagai gerakan kultural dan bukan struktural, yang
berorientasi pada kekuasaan dengan melibatkan lembaga secara langsung dalam
politik praktis. Dalam kaitan ini peran Muhammadiyah adalah mempersiapkan
sumber daya manusia yang mampu mengarahkan bahtera kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan keagamaan. Karena itu peran penting Muhammadiyah adalah
keikutsertaannya dalam proses dan bukan menciptakan peradaban itu sendiri. Hal
ini sama seperti yang diperankan oleh Nabi besar Muhammad SAW yang telah
meletakkan dasar nilai-nilai bagi terciptanya peradaban Islam pada masa Klasik
Islam. Sebab, secara fisik peradaban Islam itu tidak lahir pada masa awal
Islam, tetapi pada masa akhir, yakni seabad kemudian.
Malang, 22 Nopember 2009