- Back to Home »
- MEMBINCANG IRM DAN WACANA GERAKAN SOSIAL BARU
Saud El Hujjaj
Sumber: SM-19-2002
Reformasi 1998, sempat membawa dampak
keraguan kepada kalangan Muhammadiyah dan alumni IPM perihal ketetapan nama IRM
yang diputuskan secara aklamasi pada acara Muktamar XII tahun 2000 di Jakarta,
dua tahun yang lalu.
Mereka melihat karena beberapa alasan: pertama,
nama IRM adalah produk Orde Baru, dan karena Orde Baru telah ruuth maka
selayaknya IRM kembali nama ke IPM. Kedua, basis gerakan IRM gimanapun adalah pelajar,
oleh karenanya lebih baik kembali ke identitas basis tersebut yaitu pelajar. Ketiga,
banyak sekolah Muhammadiyah yang tidak mau menerima IRM karena ia bukan
organisasi pelajar melainkan organisasi remaja. Di samping itu, sebagian
pimpinan Muhamadiyah juga mengeluh karena pelajar Muhammadiyah sudah kurang
diperhatikan oleh IRM lagi lantaran orientasi gerakannya yang meluas, yaitu
remaja.
Beberapa alasan di atas sempat membuat
pimpinan pusat IRM ingin merubah nama tersebut. Hal ini dibuktian dengan review
paradigma gerakan IRM dari tahun 1998 – 2000. Akan tetapi, hasilnya, sebagian besar muktamirin tetap memilih IRM.
Keputusan ini tetap menyisakan ketidakpuasan sebagian. Meskipun demikian,
karena perubahan itu juga diputuskan berdasarkan kesepakatan dan musyawarah
dan, waktu itu, juga menyisakan ketidakpuasan, maka keputusan IRM pun juga
demikian dan harus tetap dijalankan sebagai amanah pergerakan.
Paradigma Gerakan Populis
Makna penting yang harus dipahami dari
perubahan nama IRM ini adalah dampaknya pada pergeseran paradigma gerakan dari
pelajar yang elite, ke remaja yang “populis”. Meskipun demikian, basis
gerakan ini tetaplah pelajar dan remaja secara umum. Sebagaimana dalam Muktamar
tahun 1996, yang mengangkat isu pergerakan IRM sebagai gerakan yang
berparadigma populis di kalangan pelajar dan remaja. Mainstream gerakan
pada saat ini adalah menyemarakkan aktivitas-aktivitas sosial remaja dengan
beragam bentuk dan macamnya: kelompok sastra, kelompok ilmiah remaja, kelompok
jurnalis muda, kelompok terampil dan
berjiwa kewirausahaan, kelompok seni dan teater, kelompok olah raga, dan
lain sebagainya. Mereka di tampung dalam unit-unit kegiatan yang sekarang
menjadi lembaga-lembaga pimpinan, seperti, di tingkat pusat ada LaPSI (Lembaga
Pengembangan Sumberdaya Insani), Bilik Remaja Bina Mentari (Biro Layanan
Informasi dan Konsultasi Remaja Bina Mentari) Alifah (Elemen Remaja
Kritis Gender), dan lain sebagainya.
Selain itu strategi yang digunakan pun
berpijak pada paradigma populis, yang dikenal dengan istilah penyadaran, pemberdayaan,
dan advokasi. Hasil dari strategi ini memunculkan gerakan IRM yang sangat kuat
di tingkat aktivitas dan pembelaan ketidakadilan sosial. Pelatihan SRATK (Studi
Refleksi Aktif Tanpa Kekerasan) dilaksanakan dengan mungundang eleman-eleman
lain selain IRM, begitu juga dengan pelatihan sadar gender (PSG). Di tingkat
advokasi, IRM melakukan pendidikan anak korban konflik yang ada di Maluku
meskipun hal ini sedikit ada masalah di tingkat kordinasi. IRM melakukan
lobbying dan negosiasi tentang peningkatan anggaran pendidian nasional ke
pemerintah sebagai wujud keprihatinan akan mahalya biaya pendidikan. Semua ini
mununjuk pada pemaknaan gerakan yang berparadigma populis.
IRM dan Gerakan Sosial Baru
Paradigma populis, setidaknya telah
mengantarkan IRM masuk pada wacana gerakan sosial baru dalam referensi gerakan
sosial posmodernisme. Pada tahun 1987, IRM (waktu itu namanya masih IPM) pernah
mengangkat isu gerakan tentang sosialisme relegius, sebagai bentuk pencarian
model strategi gerakan untuk melawan kesenjangan
sosial yang semakin parah akibat kebijakan Orde Baru yang tidak adil. Akan
tetapi, model yang demikian kurang menemukan relevansi sosialnya di tingkat
basis. Akhirnya, paradigma waktu itu, kembali pada paradigma elite yang
menekankan aspek internalisasi ideologis ke Islaman dan militansi gerakan.
Berbeda dengan paradigma ini, model
gerakan sosial baru (new social movement) lebih mengangkat persoalan isu
sosial kemanusiaan dan pluralisme secara bersama-sama. Lebih tepatnya, dalam
bahasa Islam modus gerakan sosial baru adalah rahmatan lil’alamin, untuk
rahmat seluruh alam semesta. Dalam paradigma gerakan ini, sekat-sekat
primordialisme gerakan sosial dieliminir dan yang ada adalah musuh yang
membahayakan semua orang, seperti, gerakan anti-perang dan terorisme, resolusi
konflik, perjuangan hak-hak asasi manusia, gerakan keadilan gender, dan
masalah-masalah lingkungan hidup.
Beberapa lokus gerakan sosial baru
saat ini, terletak pada: pertama, mengurangi birokratisme negara. Kedua,
membangun kesadaran publik akan komoditas publik atau budaya konsumarisme, dan ketiga,
mengontrol media massa yang dapat berdampak pada hegemonisasi dan
ketergantungan manusia pada media.
Adapun mainstream gerakan IRM dalam
menghadapi fenomena baru tersebut ditegaskan melalui perlawanan tanpa kekerasa
(nir kekerasan). Kekerasan bisa muncul di mana saja, melalui individu, budaya,
media massa, negara, teknologi, dan lain sebagainya. Kekerasan bisa muncul
secara struktural, kultural, dan bahkan ideologi. Dampak dari kekerasan adalah
adanya korban dan ketidakadilan. Massifnya kekerasan berakibat pada
ketidaksadaran manusia akan kekerasan yang ia alami. Biasanya kekerasan ini
muncul melalui hegemoni struktural dan kultural dalam masyarakat.
Untuk memahami hal ini dibutuhkan
kesadaran kritis manusia yang mampu membaca interaksi dan relasi dalam struktur
sosial dan budaya masyarakat. Arti dari kesadaran kritis di sini adalah
kemampuan manusia untuk merubahan ataupun mempengaruhi relasi dan interaksi
yang tidak adil, atau yang meimbulkan kekerasan, yang sedang terjadi dalam masyarakat.
Perubahan tindakan ini dimulai dari individu, kelompok, dan masyarakat. Dengan
demikan, diharapkan terdapat proses transformasi sosial yang adil dan tanpa
kekerasan.
Terdapat tiga ciri kesadaran kritis, pertama,
sadar akan fenomena atau relasi yang tidak adil dalam masyarakat dan
merasakannya. Kedua, memahami relasi struktural mengapa kekerasan atau
ketidakadilan tersebut terjadi, dan memiliki agenda untuk mengatasi (merubah
dan mempengaruhi) masalah tersebut. Ketiga, munculnya tindakan untuk
merubah dan mempengaruhi masalah tersebut minimal secara pribadi, kemudian
melakukan pengorganisasian yang menimbulkan keuatan bersama. Dengan adanya
pengorganisasian yang memunculkan kekuatan bersama, selanjutnya memiliki
strategi dan orientasi untuk melakukan transformasi sosial. Pada titik inilah
mainstream gerakan IRM dibangun, yaitu kritisisme dan transformasi sosial. Wallahu
A’alam.
Saud El Hujjaj adalah Ketua PP IRM bidang
Kaderisasi dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan mahasiswa S2 ilmu politik UGM.