- Back to Home »
- Falsafah dan Genealogi Perkaderan IPM
Subhan Purno Aji
Pertama-tama yang akan saya
sampaikan merupakan sikap pemikiran saya atas menulis teks-teks Sistem
Perkaderan IRM/IPM,
Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian IPM, sehingga yang akan saya sampaikan adalah lebih sebagai tafsir atas teks-teks tersebut. Tentu, sebagai seorang penafsir, saya tidak dapat melepaskan diri dari konteks sejarah dan psikologis. Pertama, konteks sejarah karena saya adalah alumni IRM, setidaknya pernah hidup pada saat teks tersebut ditulis sampai kemudian teks tersebut ditanfidzkan. Dan, kedua, konteks psikologis karena pasti saya tidak lepas dari dimensi kejiwaan yang pasti subyektif. Jadi pasti hasilnya relatif dan barangkali tidak sesuai dengan ”tafsir resmi” IPM.
Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian IPM, sehingga yang akan saya sampaikan adalah lebih sebagai tafsir atas teks-teks tersebut. Tentu, sebagai seorang penafsir, saya tidak dapat melepaskan diri dari konteks sejarah dan psikologis. Pertama, konteks sejarah karena saya adalah alumni IRM, setidaknya pernah hidup pada saat teks tersebut ditulis sampai kemudian teks tersebut ditanfidzkan. Dan, kedua, konteks psikologis karena pasti saya tidak lepas dari dimensi kejiwaan yang pasti subyektif. Jadi pasti hasilnya relatif dan barangkali tidak sesuai dengan ”tafsir resmi” IPM.
Perkaderan bagi IPM adalah hal
mutlak. Bahkan saking pentingnya, perkaderan sama dengan eksistensi IPM itu
sendiri. Jadi, singkatnya tidak disebut IPM kalau tidak ada perkaderan. Sama
halnya dengan permainan sepakbola tanpa ada bola tidak dapat disebut sebagai
sepakbola. Karena memang sejatinya IPM adalah gerakan kaderisasi, yang
semestinya seluruh aktivitas organisasional dan personal bermuara pada
kaderisasi.
Tulisan ini diawali dari elaborasi dasar-dasar gerakan IPM dan implikasinya terhadap perkaderan IPM. Selanjutnya akan dijelaskan genealogi gerakan IPM yang tidak mungkin dilepaskan dari penjelasan genealogi perkaderan IPM. Dan tulisan ini diakhiri dengan semacam ”curhat” saya atas perkembangan IPM saat ini.
Tulisan ini diawali dari elaborasi dasar-dasar gerakan IPM dan implikasinya terhadap perkaderan IPM. Selanjutnya akan dijelaskan genealogi gerakan IPM yang tidak mungkin dilepaskan dari penjelasan genealogi perkaderan IPM. Dan tulisan ini diakhiri dengan semacam ”curhat” saya atas perkembangan IPM saat ini.
Dasar-dasar
Gerakan IPM
Pada
dasarnya, dasar-dasar gerakan IPM sesuai dengan faham keagamaan Muhammadiyah.
Hal tersebut dapat dilacak dalam pemikiran Muhammadiyah generasi awal. Dalam
buku Ideologi Kaum Reformis (2002), Ahmad Jaunuri melacak formasi ideologi
Muhammadiyah generasi awal. Menurutnya, ada dua hal yang penting. Pertama,
revitalisasi dasar-dasar keyakinan keagamaan dengan slogan al ruju’ ila
al-qur’an wa as-shunnah, kembalikan permasalahan kepada sumbernya (Al Qur’an
dan Asshunnah) dan perluasaan paham agama melalaui filsafat keterbukaan,
toleransi dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaruan
sosial. Dari dua dasar ini sesungguhnya Muhammadiyah tidak hanya mementingkan
orthodoksi (ajaran) tetapi juga ortho-praksis (praktik hidup beragama). Oleh
karena itu, pada hemat saya, secara singkat yang menjadi dasar sekaligus kredo
gerakan IPM adalah Tauhid Sosial yang Transformatif (TST). TST lebih sebagai
sikap teologis, sebagai sikap untuk mengaitkan (bahkan mengkonfrontasikan) iman
dengan realitas sosial. Sebab, akhir-akhir banyak pertanyaan bahkan keraguan
agama dalam menjawab permasalahan-permasalahan sosial kekinian, seperti
korupsi, ketidakadilan dan kemiskinan. Sikap teologis ini adalah mencoba
menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki oleh setiap muslim yang meyakini
tujuan risalat al-islamiyyahadalah bagaimana membawa ide agama dalam pergulatan
hidup secara kolektif untuk menegakan tatanan sosial yang adil, sebagai
cita-cita ketakwaan (Abdurrahman, 2003:vi).
Pada
dasarnya, Islam merupakan agama yang sangat humanistik, yakni agama yang
bertujuan untuk memanusiakan manusia. Namun, cita humanisme Islam bukanlah
humanisme sekuleristik-agnostik, tetapi humanisme yang dibingkai oleh nilai-nilai
ketuhanan, yakni Tauhid. Sebab, tauhid merupakan inti dari seluruh misi
kenabian. Dengan pemahaman seperti itu, Islam memiliki ciri ajaran yang
humanistik-teosentrik, yakni bagaimana nilai-nilai ketuhanan harus
diterjemahkan bagi kepentingan umat manusia. Bahkan, secara ekstrim, mengikuti
pendapat Munir Mulkhan (2001), bahwa Tuhan menurunkan agama bukan untuk Tuhan
sendiri tetapi untuk kepentingan manusia. Pengejawantahan dari nilai-nilai
tersebut dapat diterjemahkan dalam tiga pondasi khairu ummat (QS. 3:110), yaitu
ta’muruna bi al ma’ruf (humanisasi), tanhauna ’ani al-munkar (liberasi) dan
tu’minuna bi allah (transendensi) (Kuntowijoyo, 1991: 198-289).
Humanisasi
merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah
menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Lebih lanjut, humanisasi artinya
memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan
kebencian dari manusia. Liberasi adalah pemaknaan kreatif atas konsep nahyi
al-munkar. Secara lebih mendasar liberasi bertujuan membebaskan manusia dari
kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan
hegemoni kesadaran palsu. Sedangkan transendensi merupakan pemaknaan elaboratif
dari konsep tu’minuna al-billah, yang memabntali dua unsur di atas. Transendesi
sekaligus sebagai kritik. Melalui kritik transendensi tidak hanya dimaksudkan
memberi makna pada tujuan hidup manusia tetapi juga menjadi katalisator
terhadap perkembangan teknis yang seharusnya diarahkan kepada pengabdian
kemanusiaan dan kebudayaan (Muttaqin, 2008).
Tauhid
sosial transformatif ini memiliki tiga elemen, yaitu utopia, kritis dan praksis
pembebasan (Nuhamara, 2004: 326-43). Utopia mengandaikan bahwa perjuangan IPM
adalah lahan ibadah, perjuangan untuk menolong agama Alloh (QS. ;7) dan ladang
berjihad (QS. 9:38-41). Dari dasar ini, perjuangan IRM merupakan sarana menuju
mardhatillah (QS. :154), dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya.
Sementara itu, kritis disini dimaknai sebagai cara pandang terhadap realitas
sosial. Cara pandang ini mengandaikan realitas sosial, pertama, merupakan
jalinan dari hubungan yang dominatif dan timpang. Kedua, mengaitkan pengetahun
dengan perubahan sosial. Sementara, praksis pembebasan merupakan penjabaran
keyakinan ontologis wahyu (tauhid) untuk transformasi sosial dengan
“mendaratkan” keyakinan langit pada bumi realitas. Praksis pembebasan dilandasi
dengan keberpihakan. Keberpihakan kepada golongan yang lemah (dhu’afa) atau
dilemahkan (mustadl’afin).
Unsur-unsur
dalam Tauhid Sosial Transformatif: Utopia, Kritis,
Praksis
Pada
dasarnya sebagai sebuah gerakan, IPM wajib bertumpu pada tiga momen. Pertama,
refleksi adalah merupakan proses perenungan dengan menyandingkan antara yang
seharusnya dengan apa yang terjadi. Momen ini sekaligus sebagai internalisasi
nilai-nilai dan dunia objektifdalam dunia subyektif. Hasil dari proses ini pada
dasarnya adalah kesadaran akan adanya masalah. Seperti kyai Dahlan mendirikan
Muhammadiyah dengan diawali dari refleksi tentang pesan Al Qur’an (QS. 3: 103)
terhadap kondisi umat Islam di Hindia-Belanda yang masih didera kebodohan dan
keterbelakangan dalam cengakraman kolonial. Kedua, aksi adalah implementasi
dari hasil refleksi. Aksi ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut. Momen ini
sekaligus eksternalisasi penyesuaian diri subyektif dan pencurahan nilai-nilai
yang disandang individu pada dunia yang objektif. Ketiga, evaluasi merupakan
hasil balikan dari aksi yang telah dilakukan. Momen ini merupakan hasil dari
momen elsternalisasi dan merupakan hasil dari interaksi yang telah terjadi.
Ketiga momen ini berjalan secara kontinyu dan merupakan satu kesatuan, sebagai
sebuah siklus. Berikut ini penyerdehanaannya.
Siklus
Gerakan IPM: Aksi-Refleksi-Evaluasi
Jika momen
refleksi-aksi-evaluasi merupakan penerapan apada level makro (gerakan), maka
pada level mikro (individu kader) memiliki skema terilogi pembaruan IPM. Secara
mikro, penggambaran ideal gerakan IPM harus termanifestasi dalam trilogi
pembaruan IPM. Pembaruan gerakan IPM merupakan proses yang terus menerus
sebagai konsekuensi klaim never ending movement. Maka, sejatinya seorang kader
wajib memiliki karakter trilogi jihad, ijtihad, mujahadah. Jihad dalam
Al-qur’an disebutkan sebanyak 41 kali, merupakan derivasi dari kata jahada,
yujahidu, jihadan yang berarti kesungguh-sungguhan dalam melakukan sesuatu (all
out). Konsepsi jihad dekat dengan konsep ijtihad dan mujahadah. Menurut Siroj
(2006), makna jihad berarti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan
sesuatu yang bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi pada perkembangannya makna
jihad biasaya ditekankan pada sesuatu yang bersifat fisik dan material. Sedang
ijtihad merupakan membangun sisi intelektualitas manusia dengan memaksimalkan
potensi akal dan rasio. Mujahadah berarti upaya bersungguh-sungguh untuk
membangun spiritualitas manusia. Singkatnya, jihad-ijtihad-mujahadah merupakan
cermin dari etos kerja-etos intelektual-etos spiritual. Ketiga trilogi
pembaruan dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini.
Trilogi Pembaruan IPM: Jihad-Ijtihad-Mujahadah
Trilogi Pembaruan IPM: Jihad-Ijtihad-Mujahadah
Falsafah Perkaderan IPM
Falsafah
perkaderan adalah dimensi terdalam dari seluruh proses kaderisasi. Falsafah
perkaderan IPM dikerucutkan pada tiga masalah dalam filsafat, yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Masalah ontologi berusaha menguak apa yang terdalam
dalam suatu kenyataan. Sementara masalah epistemologis berusaha mencari
bagaimana dan dengan cara apa dalam memperoleh pengetahuan. Dan masalah
aksiologis berusaha mempertanyakan apa yang seharusnya dari suatau entitas
tertentu.
Dalam konteks perkaderan IPM, menurut El Hujjaj (2003), ontologi perkaderan adalah tarbiyah (education). Pendidikan adalah awal dari kehidupan dan unsur mutlak dalam proses perubahan, sebagaimana Adam diajarkan nama-nama oleh Alloh SWT (QS. 2:28-31). Pendidikan menuntut adanya transformasi kesadaran kader secara manusiawi. Artinya, pendidikan pada dasarnya harus diarahkan pada pemanusiaan (humanizing).
Sementara itu, aspek epistemologi perkaderan adalah menumbuhkan kesadaran kaderisasi seorang kader, yaitu kesadaran keislaman, keilmuan, kemandirian, kemanusiaan dan kebudayaan. Terakhir, aspek aksiologis perkaderan IPM adalah perubahan kader dari sikap pribadi, pemikiran sampai tindakan.
Dalam konteks perkaderan IPM, menurut El Hujjaj (2003), ontologi perkaderan adalah tarbiyah (education). Pendidikan adalah awal dari kehidupan dan unsur mutlak dalam proses perubahan, sebagaimana Adam diajarkan nama-nama oleh Alloh SWT (QS. 2:28-31). Pendidikan menuntut adanya transformasi kesadaran kader secara manusiawi. Artinya, pendidikan pada dasarnya harus diarahkan pada pemanusiaan (humanizing).
Sementara itu, aspek epistemologi perkaderan adalah menumbuhkan kesadaran kaderisasi seorang kader, yaitu kesadaran keislaman, keilmuan, kemandirian, kemanusiaan dan kebudayaan. Terakhir, aspek aksiologis perkaderan IPM adalah perubahan kader dari sikap pribadi, pemikiran sampai tindakan.
Maksud dan Tujuan Perkaderan IPM
Tujuan
perkaderan IPM adalah terbentuknya kader-kader IPM yang memiliki sikap
pemikiran, pengetahuan, perilaku dan kecakapann, sehingga menumbuhkan kegemaran
berdakwah Islamiyah sesuai dengan kepribadian IPM dalam rangka mencapai tujuan
IPM. Secara umum, tujuan perkaderan IPM merupakan bentuk penerjemahan tujuan
perkaderan Muhammadiyah. Tujuan perkaderan Muhammadiyah sendiri adalah
terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai
integritas dan kompetensi untuk berperan dalam persyarikatan dalam kehidupan
umat dan dinamika bangsa serta konteks global (SPM, 2008: 50).
Genealogi
dan Rekonstruksi Sistem Perkaderan IPM
Genealogi
sistem perkaderan tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran dalam IRM/IPM.
Oleh karena itu penting untuk merekonstruksi formasi ideologis IRM/IPM pada
periode tertentu untuk memahami konteks lahirnya sebuah kodifikasi sistem
perkaderan. Untuk melakukannya tentu bukan pekerjaan mudah, sebab diperlukan
ketekunan dalam melakukan penelitian terhadap teks-teks dan serpihan-serpihan
pemikian yang dihasilkan IRM/IPM (baik personal maupun intitusional) pada
periode tertentu. Hemat saya sejauh ini baik IRM/IPM secara institusional belum
ada penelitian yang tuntas dalam mengungkapkan hal tersebut.
Pada hemat
saya, kodifikasi sistem perkaderan IRM/IPM pada masa tertentu tidak dapat
dilepaskan dari episteme, yaitu sistem pengetahuan mencakup asumsi, prinsip
maupun pendekatan yang membentuk satu sistem yang mapan yang berlaku pada masa
tertentu. Pendekatan ini lazim disebut dengan pendekatan arkeologis. Tulisan
ini sedikit ingin menyibak epsteme tersebut. Dengan memahami epsiteme tersebut
diharapkan bisa diketahui formasi diskursif yang membentuk ”wajah” sistem
perkaderan IRM/IPM.
Genealogi sistem perkaderan IPM/IRM, sejauh pengetahuan saya, dapat dilacak mulai paruh akhir dekade 1980-an. Pada periode ini lahir kodifikasi sistem perkaderan IPM yang pertama,atau yang dikenal kemudian sebagai ”SPI Merah”. Sebelum periode itu bukan berarti tidak ada pengkaderan, tetapi dasar yang digunakan masih bersifat berupa serpihan-serpihan konsep perkaderan dan belum disusun sebagai suatu sistem yang komprehensif.
Genealogi sistem perkaderan IPM/IRM, sejauh pengetahuan saya, dapat dilacak mulai paruh akhir dekade 1980-an. Pada periode ini lahir kodifikasi sistem perkaderan IPM yang pertama,atau yang dikenal kemudian sebagai ”SPI Merah”. Sebelum periode itu bukan berarti tidak ada pengkaderan, tetapi dasar yang digunakan masih bersifat berupa serpihan-serpihan konsep perkaderan dan belum disusun sebagai suatu sistem yang komprehensif.
”SPI Merah”
secara umum memiliki muatan yang cenderung dogmatis, kurang dialogis, eksklusif
dan kurang mencerminkan sebuah sistem pemikiran seorang kader (El Hujjaj,
2003). Sistem perkaderan pada periode ini sangat ditentukan oleh konteks zaman
pada saat itu. Pada aras nasional, represi negara orde baru terhadap organisasi
masyarakat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya sedang mencapai
puncaknya. Represi ini ditandai oleh kebijakan monoloyalitas. Kebijakan ini
mengharuskan setiap orsospol, termasuk Muhammadiyah dan seluruh ortomnya,
mengubah asasnya menjadi Pancasila, sebab saat itu hampir sebagian besar
orsospol berbasis Islam masih menggunakan Islam sebagai asasnya. Skema
kebijakan seperti ini merupakan bagian dari depolitisasi massa dan kebijakan
massa mengambang (floating mass) yang dilakukan oleh rezim orde baru. Kebijakan
ini yang paling merasakan adalah umat Islam, sebab sejak orde baru berkuasa,
politik Islam nyaris diberangus dari pentas politik nasional. ”Derita” politik
inilah yang, setidaknya secara psikologis, dirasakan oleh aktivis IPM pada masa
itu. Represi ideologis negara membuat sebagian orientasi gerakan pelajar Islam
pada masa itu, termasuk IPM, menjadi semakin ideologis. Oleh karena itu, tak
mengherankan jika sistem perkaderan IPM pada masa itu bercorak doktriner.
Tetapi di atas itu semua, sistem perkaderan IPM pada masa itu menjadi penanda
kematangan gerakan IPM sebagai organisasi kader. Sebab, menurut saya, sistem
perkaderan merupakan institusionalisasi pemikiran gerakan IPM pada zamannya.
Memasuki
era 1990-an, perlakuan negara orde baru terhadap umat Islam mulai memasuki
tahap yang lebih akomodatif, setidaknya tidak serepresif pada era sebelumnya.
Selain karena faktor dukungan politik rezim terhadap umat Islam, tetapi juga
sapuan gelombang demokratisasi yang melanda dunia sejak runtuhnya Uni Soviet.
Di samping itu, nampaknya kecenderungan sikap politik umat Islam lebih
cenderung mengurangi sikap ”ideologis”-nya dan lebih memilih berkompromi
terhadap negara. Kecenderungan ini juga berimbas terhadap diskursus sistem
perkaderan IPM. ”SPI Merah” mendapat serangan dari sebagian kalangan di IRM/IPM
dikarenakan sifat eksklusif, doktriner dan kurang dialogisnya serta tidak
relevan lagi dengan perkembangan keilmuan dalam dunia pendidikan. Alhasil,
sekitar tahun 1993-an gerakan perubahan ”SPI Merah” menuai hasil dengan
ditanfidzkannya sistem prkaderan baru atau yang lebih dikenal kemudian dengan
sebutan ”SPI Biru”.
Secara umum
SPI ini banyak menonjolkan hal yang baru dari SPI sebelumnya. Dan, menurut
saya, SPI merupakan yang terbaik pada masanya jika dibandingkan dengan gerakan
pelajar yang lain. Keunggulan SPI ini antara lain, komprehensif, terukur dan
banyak mengadopsi perkembangan dalam ilmu pendidikan. Akan tetapi, SPI ini
bukan tanpa celah. Sifatnya yang mencakup semua itulah yang membuatnya sangat
gemuk, menggelembung dan kurang sistematis. Selain itu juga setelah dievaluasi
dalam even TMU di Tawangmangu terdapat celah empiris danteoretis, seperti
antara terget, tujuan, materi dan metode pengkaderan banyak ditemuai
inkonsistensi. Kurang menerapkan model pendidikan orang dewasa dan
partisipatoris (El Hujjaj, 2006). Oleh karena itu, SPI ini pun segera diminta
untuk dievaluasi dan menjadi amanat PP IRM periode 2000-2002 untuk
menyempurnakannya. Akhirnya, SPI barupun akhirnya lahir yang kemudian disebut
sebagai ”SPI Hijau”, yang sejauh pengetahuan saya, masih berlaku hingga saat
ini.
”SPI Hijau”
secara umum sangat berbeda dengan SPI sebelumnya. Bahkan, hemat saya, perubahan
itu sangat revolusioner. Tidak hanya seolah ada diskontinuitas dari SPI
sebelumnya, tetapi juga ”kafir” dari kecenderungan umum sistem perkaderan
Muhammadiyah. Bagaimana tidak, baik dari segi mode of thought, target, metode
materi dan pasca pengkaderan sangat berbeda, atau malah tidak ada kelanjutan
dari SPI sebelumnya. Sebagai contoh, materi Ansos dimasukan dalam materi TM
III. Materi ini tidak familiar di lingkungan Muahammadiyah/IPM. Materi ini
banyak digunakan oleh kawan-kawan di LSM yang bergerak di kegiatan advokasi.
Secara
kasar, SPI ini dipengaruhi oleh perkembangan nasional pasca reformasi 1998,
sehingga SPI ini lebih mencerminkan situasi lebih demokratis, terbuka dan
partisipatif. SPI Hijau merupakan titik kulminasi dari perubahan paradigma
gerakan IRM dari paradigma ”gerakan panggung” menjadi ”gerakan sosial” yang
dibantali oleh perspektif kritis (transformatif).
SPI Hijau
banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti pemikiran Paulo
Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin. Secara metodologis, SPI Hijau mempunyai
kedekatan dengan gagasan dan praktik pendidikan/pelatihan yang digagas oleh
Insist, yakni lembaga kajian dan pendidikan yang digawangi oleh (Alm.) Mansour
Fakih di Jogjakarta. Maka, tak mengherankan jika kita membaca SPI Hijau serasa
kita membaca buku Pendidikan Popular-nya Insist, atau dalam kalimat yang lebih
halus, tidak lengkap membaca SPI Hijau jika belum membaca Pendidikan Popular.
Singkatnya, jika SPI Hijau itu ”tafsir Al Azhar”-nya Hamka, maka Pendidikan
Popular itu seperti ”Al Qur’annya”.
Sejak
ditanfidzkannya pada 2004, SPI Hijau telah menjadi rujukan perkaderan IRM.
Kendati begitu, masih ada cabang, daerah atau bahkan wilayah yang belum
sepenuhnya menerima kehadiran SPI ini. Berdasarkan pengalaman saya selama
kurang lima tahun lebih berinteraksi dengan SPI ini, level ranting sampai
daerah belum sepenuhnya memahami SPI ini, kalau tidak bisa dibilang SPI ini
susah untuk dipahami. Sebab, SPI ini tidak praktis, tidak bisa langsung pakai.
Dibandingkan dengan SPI Biru, SPI Hijau kurang bisa di terima di level bawah.
Jangankan untuk melakukan need assessement, untuk mencerna istilah-istilah yang
ada di SPI saja teman-teman di cabang masih sering mengalami kesusahan. Hal ini
wajar karena penyusunan SPI ini memang dilakukan oleh elit di tingkat pusat dan
wilayah dan seolah keluar dari ”tradisi” perkaderan SPI Merah dan SPI Biru yang
sudah mendarah daging di level bawah.
Menurut
saya, dari segi substansi SPI Hijau masih sesuai dengan semangat zaman yang
ada. Setidaknya ada beberapa yang perlu dibenahi. Pertama, sisi aktor atau
pelaksana SPI. SPI Hijau menuntut banyak kemampuan fasilitator dalam melakukan
pengkaderan/pelatihan, tetapi sisi aktornya atau fasilitatornya sangat minim
untuk diperhatikan. Meski di SPI sudah ada PFP I sampai III, tetapi level pusat
sampai daerah sangat jarang menitik beratkan pada pelatihan fasilitator (sesuai
SPI). Menjadi lucu TM I sampai TM U-nya sudah memakai SPI Hijau, tetapi
pelatihan pengelolanya masih menggunakan SPI Biru, malah ada beberapa daerah
yang saya temu, TM-nya sudah banyak mengadopsi model SPI Hijau, PFP-nya masih
menggunakan model pelatihan instruktur lengkap dengan materi-materi dan
model-model indoktrinatifnya. Menurut saya, yang segera dibenahi adalah
penguatan aktor pelaksana SPI-nya, bukan merubah SPI-nya.
Kedua, pada
sisi materi dan target perlu disesuaikan dengan stratak (strategi dan taktik)
IPM saat ini. Sebab SPI hijau dilahirkan oleh IRM, yang tentu mempunyai basis
yang berbeda dengan IPM. Basis menentukan struktur dan stratak gerakan. Yang
saya lihat, sejauh ini, teman-teman IPM tidak terlalu mengutak-atik paradigma
gerakan tetapi hanya merubah strategi dan taktik gerakan.
Ketiga,
perlu penataan ulang tugas setiap level pimpinan terkait dengan penerjemahan
SPI Hijau. Saat ini daerah/cabang/ranting dibiarkan membaca mentah-mentah SPI
tanpa ada penjelasan dari level pimpinan di atasnya dikarenakan memang level diatasnya
juga kurang paham dengan SPI atau memang pimpinannya sibuk mengurusi dirinya
sendiri. Yang saya bayangkan, setiap wilayah mengeluarkan ”panduan” atau buku
pendamping yang sasarannya bagi pimpinan di bawahnya sesuai dengan level
pengkaderannya. Misalnya, panduan pelaksanaan TM I bagi ranting dan cabang,
panduanTM II dan PFP I bagi daerah dan seterusnya.
Keempat,
secara umum, sejauh yang saya amati maklum mungkin karena sudah menjadi alumni,
IPM mengalami disorientasi gerakan: 1) IPM kehilangan perspektif dalam melihat
realitas disekitarnya. Perubahan dari GKT ke GPK kalau tidak hati-hati akan
berdampak pada; 2) positioning gerakan IPM. Positioning gerakan terkait dengan
relasi masyarakat-negara pada sisi makro, dan karakter pimpinan di sisi mikro.
Jika IPM kurang paham konstelasi relasi negara-masyarakat, maka yang terjadi
IPM larut dalam dinamika kartel politik yang saat ini marak dibicarakan sebagai
kecenderungan sistem politik Indonesia. Pada level pimpinan, jika pimpinan
secara personal kurang paham dengan ideologi, paradigma dan stratak gerakan,
maka bisa jadi IPM ngomong-nya anti hegemoni pemerintah (lihat tanfidz IPM
terbaru) tetapi masih saja menengadahkan tangan ke kementerian-kementerian
sembari mengamini kebijakan yang tidak pro-poor, pro-sustainablity, and
pro-student.
Kondisi
tersebut mencerminkan tertukarnya antara strategi dan tujuan, strategi menjadi
tujuan dan tujuan menjadi strategi. Sebagai contoh, kedekatan aktivis IPM
dengan pemangku kepentingan (Presiden, Menteri, Anggota DPR/D,Bupati,
WaliKota,dll) idealnya merupakan bagian dari strategi gerakan, bukan sebagai
tujuan. Sementara adanya perubahan yang berpihak kepada golongan
lemah/dilemahkan harusnya menjadi tujuan, malah menjadi strategi untuk mencaru,
maaf uang, dan kedekatan dengan para pemangku kepentingan. Ini kan gawat!!. 3)
Terkait dengan GPK, saya melihat banyak kontrakdiksi di dalam dirinya sendiri,
banyak istilah yang bertabrakan satu sama lain (contradictio in terminis).
Sebagaimana pendapat David Effendi dalam milist remaja-kritis tanggal , ada
ketidaksinkronan antara tujuan GPK dengan agenda aksinya. Yang saya lihat,
tujuannya menjadi generasi Qur’ani, tetapi ada tujuan pengarus utamaan gender.
Bukannya PAG tidak qur’ani tetapi ada kerangka metodologisnya agar semuanya menjadi
logis dan jelas. Wallahua’lam Bishawab.
Referensi
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Erlangga: Jakarta.
El-Hujjaj, Saud. (2006). SP IRM: Memilih Mitos Atau Realitas. Makalah disampaikan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama di Bandung. Tidak Diterbitkan.
Jainuri, Ahmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. LPAM: Surabaya.
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Erlangga: Jakarta.
El-Hujjaj, Saud. (2006). SP IRM: Memilih Mitos Atau Realitas. Makalah disampaikan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama di Bandung. Tidak Diterbitkan.
Jainuri, Ahmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. LPAM: Surabaya.
Kuntowijoyo.
1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung.
MPK PP Muhammadiyah. 2008. Sistem Perkaderan Muhammaddiyah. Cet. II. MPK PPM: Yogyakarta
MPK PP Muhammadiyah. 2008. Sistem Perkaderan Muhammaddiyah. Cet. II. MPK PPM: Yogyakarta
Mulkhan,
Abdul Munir. 2001. Beragamalah Untuk Manusia, Bukan Untuk Tuhan.
http://islamlib.com/id/artikel/beragamalah-untuk-manusia-bukan-untuk-tuhan/ .
Diakses tanggal 20 desember 2010.
Diakses tanggal 20 desember 2010.
Muttaqin,
Husnul. 2008. Menuju Sosiologi Profetik. Dalam
http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/.
Diakses tanggal 22 Desember 2010.
Nuhamara,
Daniel. 2004. Kritik, Utopia dan Praksis Pembebasan: Unsur-uunsur Dalam Berteologi
Sosial Transformatif. Dalam Jurnal KRITIS vol. XVI No. 3. 2004 hlm. 326-343.
UKSW: Salatiga.
Pimpinan
Pusat IRM. 1993. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM : Yogyakarta
Pimpinan Pusat IRM. 2004. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM: Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IRM. 2004. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XIV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IRM. 2006. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IPM. 2008. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVI. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IPM. 2010. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVII. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.
Siroj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Mizan: Bandung.
Pimpinan Pusat IRM. 2004. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM: Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IRM. 2004. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XIV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IRM. 2006. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IPM. 2008. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVI. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.
Pimpinan Pusat IPM. 2010. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVII. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.
Siroj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Mizan: Bandung.