Subhan Purno Aji
Pertama-tama yang akan saya sampaikan merupakan sikap pemikiran saya atas menulis teks-teks Sistem Perkaderan IRM/IPM,
Muqaddimah Anggaran Dasar dan Kepribadian IPM, sehingga yang akan saya sampaikan adalah lebih sebagai tafsir atas teks-teks tersebut. Tentu, sebagai seorang penafsir, saya tidak dapat melepaskan diri dari konteks sejarah dan psikologis. Pertama, konteks sejarah karena saya adalah alumni IRM, setidaknya pernah hidup pada saat teks tersebut ditulis sampai kemudian teks tersebut ditanfidzkan. Dan, kedua, konteks psikologis karena pasti saya tidak lepas dari dimensi kejiwaan yang pasti subyektif. Jadi pasti hasilnya relatif dan barangkali tidak sesuai dengan ”tafsir resmi” IPM.
Perkaderan bagi IPM adalah hal mutlak. Bahkan saking pentingnya, perkaderan sama dengan eksistensi IPM itu sendiri. Jadi, singkatnya tidak disebut IPM kalau tidak ada perkaderan. Sama halnya dengan permainan sepakbola tanpa ada bola tidak dapat disebut sebagai sepakbola. Karena memang sejatinya IPM adalah gerakan kaderisasi, yang semestinya seluruh aktivitas organisasional dan personal bermuara pada kaderisasi.
Tulisan ini diawali dari elaborasi dasar-dasar gerakan IPM dan implikasinya terhadap perkaderan IPM. Selanjutnya akan dijelaskan genealogi gerakan IPM yang tidak mungkin dilepaskan dari penjelasan genealogi perkaderan IPM. Dan tulisan ini diakhiri dengan semacam ”curhat” saya atas perkembangan IPM saat ini.
Dasar-dasar Gerakan IPM
Pada dasarnya, dasar-dasar gerakan IPM sesuai dengan faham keagamaan Muhammadiyah. Hal tersebut dapat dilacak dalam pemikiran Muhammadiyah generasi awal. Dalam buku Ideologi Kaum Reformis (2002), Ahmad Jaunuri melacak formasi ideologi Muhammadiyah generasi awal. Menurutnya, ada dua hal yang penting. Pertama, revitalisasi dasar-dasar keyakinan keagamaan dengan slogan al ruju’ ila al-qur’an wa as-shunnah, kembalikan permasalahan kepada sumbernya (Al Qur’an dan Asshunnah) dan perluasaan paham agama melalaui filsafat keterbukaan, toleransi dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaruan sosial. Dari dua dasar ini sesungguhnya Muhammadiyah tidak hanya mementingkan orthodoksi (ajaran) tetapi juga ortho-praksis (praktik hidup beragama). Oleh karena itu, pada hemat saya, secara singkat yang menjadi dasar sekaligus kredo gerakan IPM adalah Tauhid Sosial yang Transformatif (TST). TST lebih sebagai sikap teologis, sebagai sikap untuk mengaitkan (bahkan mengkonfrontasikan) iman dengan realitas sosial. Sebab, akhir-akhir banyak pertanyaan bahkan keraguan agama dalam menjawab permasalahan-permasalahan sosial kekinian, seperti korupsi, ketidakadilan dan kemiskinan. Sikap teologis ini adalah mencoba menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki oleh setiap muslim yang meyakini tujuan risalat al-islamiyyahadalah bagaimana membawa ide agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan (Abdurrahman, 2003:vi).
Pada dasarnya, Islam merupakan agama yang sangat humanistik, yakni agama yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Namun, cita humanisme Islam bukanlah humanisme sekuleristik-agnostik, tetapi humanisme yang dibingkai oleh nilai-nilai ketuhanan, yakni Tauhid. Sebab, tauhid merupakan inti dari seluruh misi kenabian. Dengan pemahaman seperti itu, Islam memiliki ciri ajaran yang humanistik-teosentrik, yakni bagaimana nilai-nilai ketuhanan harus diterjemahkan bagi kepentingan umat manusia. Bahkan, secara ekstrim, mengikuti pendapat Munir Mulkhan (2001), bahwa Tuhan menurunkan agama bukan untuk Tuhan sendiri tetapi untuk kepentingan manusia. Pengejawantahan dari nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan dalam tiga pondasi khairu ummat (QS. 3:110), yaitu ta’muruna bi al ma’ruf (humanisasi), tanhauna ’ani al-munkar (liberasi) dan tu’minuna bi allah (transendensi) (Kuntowijoyo, 1991: 198-289).
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Lebih lanjut, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Liberasi adalah pemaknaan kreatif atas konsep nahyi al-munkar. Secara lebih mendasar liberasi bertujuan membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Sedangkan transendensi merupakan pemaknaan elaboratif dari konsep tu’minuna al-billah, yang memabntali dua unsur di atas. Transendesi sekaligus sebagai kritik. Melalui kritik transendensi tidak hanya dimaksudkan memberi makna pada tujuan hidup manusia tetapi juga menjadi katalisator terhadap perkembangan teknis yang seharusnya diarahkan kepada pengabdian kemanusiaan dan kebudayaan (Muttaqin, 2008).
Tauhid sosial transformatif ini memiliki tiga elemen, yaitu utopia, kritis dan praksis pembebasan (Nuhamara, 2004: 326-43). Utopia mengandaikan bahwa perjuangan IPM adalah lahan ibadah, perjuangan untuk menolong agama Alloh (QS. ;7) dan ladang berjihad (QS. 9:38-41). Dari dasar ini, perjuangan IRM merupakan sarana menuju mardhatillah (QS. :154), dengan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya. Sementara itu, kritis disini dimaknai sebagai cara pandang terhadap realitas sosial. Cara pandang ini mengandaikan realitas sosial, pertama, merupakan jalinan dari hubungan yang dominatif dan timpang. Kedua, mengaitkan pengetahun dengan perubahan sosial. Sementara, praksis pembebasan merupakan penjabaran keyakinan ontologis wahyu (tauhid) untuk transformasi sosial dengan “mendaratkan” keyakinan langit pada bumi realitas. Praksis pembebasan dilandasi dengan keberpihakan. Keberpihakan kepada golongan yang lemah (dhu’afa) atau dilemahkan (mustadl’afin).
Unsur-unsur dalam Tauhid Sosial Transformatif: Utopia, Kritis, Praksis
Pada dasarnya sebagai sebuah gerakan, IPM wajib bertumpu pada tiga momen. Pertama, refleksi adalah merupakan proses perenungan dengan menyandingkan antara yang seharusnya dengan apa yang terjadi. Momen ini sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai dan dunia objektifdalam dunia subyektif. Hasil dari proses ini pada dasarnya adalah kesadaran akan adanya masalah. Seperti kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan diawali dari refleksi tentang pesan Al Qur’an (QS. 3: 103) terhadap kondisi umat Islam di Hindia-Belanda yang masih didera kebodohan dan keterbelakangan dalam cengakraman kolonial. Kedua, aksi adalah implementasi dari hasil refleksi. Aksi ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut. Momen ini sekaligus eksternalisasi penyesuaian diri subyektif dan pencurahan nilai-nilai yang disandang individu pada dunia yang objektif. Ketiga, evaluasi merupakan hasil balikan dari aksi yang telah dilakukan. Momen ini merupakan hasil dari momen elsternalisasi dan merupakan hasil dari interaksi yang telah terjadi. Ketiga momen ini berjalan secara kontinyu dan merupakan satu kesatuan, sebagai sebuah siklus. Berikut ini penyerdehanaannya.
Siklus Gerakan IPM: Aksi-Refleksi-Evaluasi
Jika momen refleksi-aksi-evaluasi merupakan penerapan apada level makro (gerakan), maka pada level mikro (individu kader) memiliki skema terilogi pembaruan IPM. Secara mikro, penggambaran ideal gerakan IPM harus termanifestasi dalam trilogi pembaruan IPM. Pembaruan gerakan IPM merupakan proses yang terus menerus sebagai konsekuensi klaim never ending movement. Maka, sejatinya seorang kader wajib memiliki karakter trilogi jihad, ijtihad, mujahadah. Jihad dalam Al-qur’an disebutkan sebanyak 41 kali, merupakan derivasi dari kata jahada, yujahidu, jihadan yang berarti kesungguh-sungguhan dalam melakukan sesuatu (all out). Konsepsi jihad dekat dengan konsep ijtihad dan mujahadah. Menurut Siroj (2006), makna jihad berarti berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik maupun non-fisik. Tetapi pada perkembangannya makna jihad biasaya ditekankan pada sesuatu yang bersifat fisik dan material. Sedang ijtihad merupakan membangun sisi intelektualitas manusia dengan memaksimalkan potensi akal dan rasio. Mujahadah berarti upaya bersungguh-sungguh untuk membangun spiritualitas manusia. Singkatnya, jihad-ijtihad-mujahadah merupakan cermin dari etos kerja-etos intelektual-etos spiritual. Ketiga trilogi pembaruan dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini.

Trilogi Pembaruan IPM
: Jihad-Ijtihad-Mujahadah
Falsafah Perkaderan IPM
Falsafah perkaderan adalah dimensi terdalam dari seluruh proses kaderisasi. Falsafah perkaderan IPM dikerucutkan pada tiga masalah dalam filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Masalah ontologi berusaha menguak apa yang terdalam dalam suatu kenyataan. Sementara masalah epistemologis berusaha mencari bagaimana dan dengan cara apa dalam memperoleh pengetahuan. Dan masalah aksiologis berusaha mempertanyakan apa yang seharusnya dari suatau entitas tertentu.
Dalam konteks perkaderan IPM, menurut El Hujjaj (2003), ontologi perkaderan adalah tarbiyah (education). Pendidikan adalah awal dari kehidupan dan unsur mutlak dalam proses perubahan, sebagaimana Adam diajarkan nama-nama oleh Alloh SWT (QS. 2:28-31). Pendidikan menuntut adanya transformasi kesadaran kader secara manusiawi. Artinya, pendidikan pada dasarnya harus diarahkan pada pemanusiaan (humanizing).
Sementara itu, aspek epistemologi perkaderan adalah menumbuhkan kesadaran kaderisasi seorang kader, yaitu kesadaran keislaman, keilmuan, kemandirian, kemanusiaan dan kebudayaan. Terakhir, aspek aksiologis perkaderan IPM adalah perubahan kader dari sikap pribadi, pemikiran sampai tindakan.
Maksud dan Tujuan Perkaderan IPM
Tujuan perkaderan IPM adalah terbentuknya kader-kader IPM yang memiliki sikap pemikiran, pengetahuan, perilaku dan kecakapann, sehingga menumbuhkan kegemaran berdakwah Islamiyah sesuai dengan kepribadian IPM dalam rangka mencapai tujuan IPM. Secara umum, tujuan perkaderan IPM merupakan bentuk penerjemahan tujuan perkaderan Muhammadiyah. Tujuan perkaderan Muhammadiyah sendiri adalah terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta mempunyai integritas dan kompetensi untuk berperan dalam persyarikatan dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa serta konteks global (SPM, 2008: 50).
Genealogi dan Rekonstruksi Sistem Perkaderan IPM
Genealogi sistem perkaderan tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran dalam IRM/IPM. Oleh karena itu penting untuk merekonstruksi formasi ideologis IRM/IPM pada periode tertentu untuk memahami konteks lahirnya sebuah kodifikasi sistem perkaderan. Untuk melakukannya tentu bukan pekerjaan mudah, sebab diperlukan ketekunan dalam melakukan penelitian terhadap teks-teks dan serpihan-serpihan pemikian yang dihasilkan IRM/IPM (baik personal maupun intitusional) pada periode tertentu. Hemat saya sejauh ini baik IRM/IPM secara institusional belum ada penelitian yang tuntas dalam mengungkapkan hal tersebut.
Pada hemat saya, kodifikasi sistem perkaderan IRM/IPM pada masa tertentu tidak dapat dilepaskan dari episteme, yaitu sistem pengetahuan mencakup asumsi, prinsip maupun pendekatan yang membentuk satu sistem yang mapan yang berlaku pada masa tertentu. Pendekatan ini lazim disebut dengan pendekatan arkeologis. Tulisan ini sedikit ingin menyibak epsteme tersebut. Dengan memahami epsiteme tersebut diharapkan bisa diketahui formasi diskursif yang membentuk ”wajah” sistem perkaderan IRM/IPM.
Genealogi sistem perkaderan IPM/IRM, sejauh pengetahuan saya, dapat dilacak mulai paruh akhir dekade 1980-an. Pada periode ini lahir kodifikasi sistem perkaderan IPM yang pertama,atau yang dikenal kemudian sebagai ”SPI Merah”. Sebelum periode itu bukan berarti tidak ada pengkaderan, tetapi dasar yang digunakan masih bersifat berupa serpihan-serpihan konsep perkaderan dan belum disusun sebagai suatu sistem yang komprehensif.
”SPI Merah” secara umum memiliki muatan yang cenderung dogmatis, kurang dialogis, eksklusif dan kurang mencerminkan sebuah sistem pemikiran seorang kader (El Hujjaj, 2003). Sistem perkaderan pada periode ini sangat ditentukan oleh konteks zaman pada saat itu. Pada aras nasional, represi negara orde baru terhadap organisasi masyarakat Islam pada khususnya dan umat Islam pada umumnya sedang mencapai puncaknya. Represi ini ditandai oleh kebijakan monoloyalitas. Kebijakan ini mengharuskan setiap orsospol, termasuk Muhammadiyah dan seluruh ortomnya, mengubah asasnya menjadi Pancasila, sebab saat itu hampir sebagian besar orsospol berbasis Islam masih menggunakan Islam sebagai asasnya. Skema kebijakan seperti ini merupakan bagian dari depolitisasi massa dan kebijakan massa mengambang (floating mass) yang dilakukan oleh rezim orde baru. Kebijakan ini yang paling merasakan adalah umat Islam, sebab sejak orde baru berkuasa, politik Islam nyaris diberangus dari pentas politik nasional. ”Derita” politik inilah yang, setidaknya secara psikologis, dirasakan oleh aktivis IPM pada masa itu. Represi ideologis negara membuat sebagian orientasi gerakan pelajar Islam pada masa itu, termasuk IPM, menjadi semakin ideologis. Oleh karena itu, tak mengherankan jika sistem perkaderan IPM pada masa itu bercorak doktriner. Tetapi di atas itu semua, sistem perkaderan IPM pada masa itu menjadi penanda kematangan gerakan IPM sebagai organisasi kader. Sebab, menurut saya, sistem perkaderan merupakan institusionalisasi pemikiran gerakan IPM pada zamannya.
Memasuki era 1990-an, perlakuan negara orde baru terhadap umat Islam mulai memasuki tahap yang lebih akomodatif, setidaknya tidak serepresif pada era sebelumnya. Selain karena faktor dukungan politik rezim terhadap umat Islam, tetapi juga sapuan gelombang demokratisasi yang melanda dunia sejak runtuhnya Uni Soviet. Di samping itu, nampaknya kecenderungan sikap politik umat Islam lebih cenderung mengurangi sikap ”ideologis”-nya dan lebih memilih berkompromi terhadap negara. Kecenderungan ini juga berimbas terhadap diskursus sistem perkaderan IPM. ”SPI Merah” mendapat serangan dari sebagian kalangan di IRM/IPM dikarenakan sifat eksklusif, doktriner dan kurang dialogisnya serta tidak relevan lagi dengan perkembangan keilmuan dalam dunia pendidikan. Alhasil, sekitar tahun 1993-an gerakan perubahan ”SPI Merah” menuai hasil dengan ditanfidzkannya sistem prkaderan baru atau yang lebih dikenal kemudian dengan sebutan ”SPI Biru”.
Secara umum SPI ini banyak menonjolkan hal yang baru dari SPI sebelumnya. Dan, menurut saya, SPI merupakan yang terbaik pada masanya jika dibandingkan dengan gerakan pelajar yang lain. Keunggulan SPI ini antara lain, komprehensif, terukur dan banyak mengadopsi perkembangan dalam ilmu pendidikan. Akan tetapi, SPI ini bukan tanpa celah. Sifatnya yang mencakup semua itulah yang membuatnya sangat gemuk, menggelembung dan kurang sistematis. Selain itu juga setelah dievaluasi dalam even TMU di Tawangmangu terdapat celah empiris danteoretis, seperti antara terget, tujuan, materi dan metode pengkaderan banyak ditemuai inkonsistensi. Kurang menerapkan model pendidikan orang dewasa dan partisipatoris (El Hujjaj, 2006). Oleh karena itu, SPI ini pun segera diminta untuk dievaluasi dan menjadi amanat PP IRM periode 2000-2002 untuk menyempurnakannya. Akhirnya, SPI barupun akhirnya lahir yang kemudian disebut sebagai ”SPI Hijau”, yang sejauh pengetahuan saya, masih berlaku hingga saat ini.
”SPI Hijau” secara umum sangat berbeda dengan SPI sebelumnya. Bahkan, hemat saya, perubahan itu sangat revolusioner. Tidak hanya seolah ada diskontinuitas dari SPI sebelumnya, tetapi juga ”kafir” dari kecenderungan umum sistem perkaderan Muhammadiyah. Bagaimana tidak, baik dari segi mode of thought, target, metode materi dan pasca pengkaderan sangat berbeda, atau malah tidak ada kelanjutan dari SPI sebelumnya. Sebagai contoh, materi Ansos dimasukan dalam materi TM III. Materi ini tidak familiar di lingkungan Muahammadiyah/IPM. Materi ini banyak digunakan oleh kawan-kawan di LSM yang bergerak di kegiatan advokasi.
Secara kasar, SPI ini dipengaruhi oleh perkembangan nasional pasca reformasi 1998, sehingga SPI ini lebih mencerminkan situasi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif. SPI Hijau merupakan titik kulminasi dari perubahan paradigma gerakan IRM dari paradigma ”gerakan panggung” menjadi ”gerakan sosial” yang dibantali oleh perspektif kritis (transformatif).
SPI Hijau banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti pemikiran Paulo Freire, tokoh pendidikan Amerika Latin. Secara metodologis, SPI Hijau mempunyai kedekatan dengan gagasan dan praktik pendidikan/pelatihan yang digagas oleh Insist, yakni lembaga kajian dan pendidikan yang digawangi oleh (Alm.) Mansour Fakih di Jogjakarta. Maka, tak mengherankan jika kita membaca SPI Hijau serasa kita membaca buku Pendidikan Popular-nya Insist, atau dalam kalimat yang lebih halus, tidak lengkap membaca SPI Hijau jika belum membaca Pendidikan Popular. Singkatnya, jika SPI Hijau itu ”tafsir Al Azhar”-nya Hamka, maka Pendidikan Popular itu seperti ”Al Qur’annya”.
Sejak ditanfidzkannya pada 2004, SPI Hijau telah menjadi rujukan perkaderan IRM. Kendati begitu, masih ada cabang, daerah atau bahkan wilayah yang belum sepenuhnya menerima kehadiran SPI ini. Berdasarkan pengalaman saya selama kurang lima tahun lebih berinteraksi dengan SPI ini, level ranting sampai daerah belum sepenuhnya memahami SPI ini, kalau tidak bisa dibilang SPI ini susah untuk dipahami. Sebab, SPI ini tidak praktis, tidak bisa langsung pakai. Dibandingkan dengan SPI Biru, SPI Hijau kurang bisa di terima di level bawah. Jangankan untuk melakukan need assessement, untuk mencerna istilah-istilah yang ada di SPI saja teman-teman di cabang masih sering mengalami kesusahan. Hal ini wajar karena penyusunan SPI ini memang dilakukan oleh elit di tingkat pusat dan wilayah dan seolah keluar dari ”tradisi” perkaderan SPI Merah dan SPI Biru yang sudah mendarah daging di level bawah.
Menurut saya, dari segi substansi SPI Hijau masih sesuai dengan semangat zaman yang ada. Setidaknya ada beberapa yang perlu dibenahi. Pertama, sisi aktor atau pelaksana SPI. SPI Hijau menuntut banyak kemampuan fasilitator dalam melakukan pengkaderan/pelatihan, tetapi sisi aktornya atau fasilitatornya sangat minim untuk diperhatikan. Meski di SPI sudah ada PFP I sampai III, tetapi level pusat sampai daerah sangat jarang menitik beratkan pada pelatihan fasilitator (sesuai SPI). Menjadi lucu TM I sampai TM U-nya sudah memakai SPI Hijau, tetapi pelatihan pengelolanya masih menggunakan SPI Biru, malah ada beberapa daerah yang saya temu, TM-nya sudah banyak mengadopsi model SPI Hijau, PFP-nya masih menggunakan model pelatihan instruktur lengkap dengan materi-materi dan model-model indoktrinatifnya. Menurut saya, yang segera dibenahi adalah penguatan aktor pelaksana SPI-nya, bukan merubah SPI-nya.
Kedua, pada sisi materi dan target perlu disesuaikan dengan stratak (strategi dan taktik) IPM saat ini. Sebab SPI hijau dilahirkan oleh IRM, yang tentu mempunyai basis yang berbeda dengan IPM. Basis menentukan struktur dan stratak gerakan. Yang saya lihat, sejauh ini, teman-teman IPM tidak terlalu mengutak-atik paradigma gerakan tetapi hanya merubah strategi dan taktik gerakan.
Ketiga, perlu penataan ulang tugas setiap level pimpinan terkait dengan penerjemahan SPI Hijau. Saat ini daerah/cabang/ranting dibiarkan membaca mentah-mentah SPI tanpa ada penjelasan dari level pimpinan di atasnya dikarenakan memang level diatasnya juga kurang paham dengan SPI atau memang pimpinannya sibuk mengurusi dirinya sendiri. Yang saya bayangkan, setiap wilayah mengeluarkan ”panduan” atau buku pendamping yang sasarannya bagi pimpinan di bawahnya sesuai dengan level pengkaderannya. Misalnya, panduan pelaksanaan TM I bagi ranting dan cabang, panduanTM II dan PFP I bagi daerah dan seterusnya.
Keempat, secara umum, sejauh yang saya amati maklum mungkin karena sudah menjadi alumni, IPM mengalami disorientasi gerakan: 1) IPM kehilangan perspektif dalam melihat realitas disekitarnya. Perubahan dari GKT ke GPK kalau tidak hati-hati akan berdampak pada; 2) positioning gerakan IPM. Positioning gerakan terkait dengan relasi masyarakat-negara pada sisi makro, dan karakter pimpinan di sisi mikro. Jika IPM kurang paham konstelasi relasi negara-masyarakat, maka yang terjadi IPM larut dalam dinamika kartel politik yang saat ini marak dibicarakan sebagai kecenderungan sistem politik Indonesia. Pada level pimpinan, jika pimpinan secara personal kurang paham dengan ideologi, paradigma dan stratak gerakan, maka bisa jadi IPM ngomong-nya anti hegemoni pemerintah (lihat tanfidz IPM terbaru) tetapi masih saja menengadahkan tangan ke kementerian-kementerian sembari mengamini kebijakan yang tidak pro-poor, pro-sustainablity, and pro-student.
Kondisi tersebut mencerminkan tertukarnya antara strategi dan tujuan, strategi menjadi tujuan dan tujuan menjadi strategi. Sebagai contoh, kedekatan aktivis IPM dengan pemangku kepentingan (Presiden, Menteri, Anggota DPR/D,Bupati, WaliKota,dll) idealnya merupakan bagian dari strategi gerakan, bukan sebagai tujuan. Sementara adanya perubahan yang berpihak kepada golongan lemah/dilemahkan harusnya menjadi tujuan, malah menjadi strategi untuk mencaru, maaf uang, dan kedekatan dengan para pemangku kepentingan. Ini kan gawat!!. 3) Terkait dengan GPK, saya melihat banyak kontrakdiksi di dalam dirinya sendiri, banyak istilah yang bertabrakan satu sama lain (contradictio in terminis). Sebagaimana pendapat David Effendi dalam milist remaja-kritis tanggal , ada ketidaksinkronan antara tujuan GPK dengan agenda aksinya. Yang saya lihat, tujuannya menjadi generasi Qur’ani, tetapi ada tujuan pengarus utamaan gender. Bukannya PAG tidak qur’ani tetapi ada kerangka metodologisnya agar semuanya menjadi logis dan jelas. Wallahua’lam Bishawab.
Referensi
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Erlangga: Jakarta.

El-Hujjaj, Saud. (2006). SP IRM: Memilih Mitos Atau Realitas. Makalah disampaikan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama di Bandung. Tidak Diterbitkan.

Jainuri, Ahmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. LPAM: Surabaya.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan: Bandung.

MPK PP Muhammadiyah. 2008. Sistem Perkaderan Muhammaddiyah. Cet. II. MPK PPM: Yogyakarta
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Beragamalah Untuk Manusia, Bukan Untuk Tuhan. http://islamlib.com/id/artikel/beragamalah-untuk-manusia-bukan-untuk-tuhan/ .
Diakses tanggal 20 desember 2010.
Muttaqin, Husnul. 2008. Menuju Sosiologi Profetik. Dalam http://sosiologiprofetik.wordpress.com/2008/01/18/menuju-sosiologi-profetik/. Diakses tanggal 22 Desember 2010.
Nuhamara, Daniel. 2004. Kritik, Utopia dan Praksis Pembebasan: Unsur-uunsur Dalam Berteologi Sosial Transformatif. Dalam Jurnal KRITIS vol. XVI No. 3. 2004 hlm. 326-343. UKSW: Salatiga.
Pimpinan Pusat IRM. 1993. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM : Yogyakarta

Pimpinan Pusat IRM. 2004. Sistem Perkaderan IRM. PP IRM: Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IRM. 2004. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XIV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IRM. 2006. Tanfidz Keputusan Muktamar IRM XV. PP IRM: Jakarta-Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IPM. 2008. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVI. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.

Pimpinan Pusat IPM. 2010. Tanfidz Keputusan Muktamar IPM XVII. PP IPM: Jakarta-Yogyakarta.

Siroj, Said Aqil. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Mizan: Bandung.

- Designed by Azaki Khoirudin -