- Back to Home »
- Membangun Kesadaran Kritis Remaja
Munawwar Khalil*
Dari Pergumulan Ke Visi
Pengelolaan gerakan atau
organisasi kemasyarakatan, seperti IRM, pada dasarnya adalah proses. Oleh sebab
itu maka dalam sketsa interaksi dengan ruang dan waktu di sekelilingnya ia
harus tampil dalam perwajahan yang komplit, yaitu adanya pentahapan yang jelas.
Ia tidak boleh berpenampilan acak-acakan, reaksioner, ngebut nabrak-nabrak tak tentu arah. Dalam pada ini, refleksi yang mendalam atas pencandraaan jati diri hingga turun pada apa yang akan dilakukan kemudian dengan jati diri yang serupa itu, adalah sebuah kerja panjang dan ' membosankan'…….. tapi harus dikerjakan.
Ia tidak boleh berpenampilan acak-acakan, reaksioner, ngebut nabrak-nabrak tak tentu arah. Dalam pada ini, refleksi yang mendalam atas pencandraaan jati diri hingga turun pada apa yang akan dilakukan kemudian dengan jati diri yang serupa itu, adalah sebuah kerja panjang dan ' membosankan'…….. tapi harus dikerjakan.
Oleh karenanya, organisasi
keremajaan/kepelajaran yang berwawasan kebangsaan, keummatan dan ke-jam'iyyahan
semacam IRM ini, berikutnya harus cerdas untuk menjemput isu strategis yang
menentukan arah perjalanan bangsa ke depan, sekaligus mewarnai dengan kekhasan
gayanya, memperjuangkan keadilan dalam wajah akhlak dan keilmuan. Tanpa
dibekali hal ini bukan tidak mungkin keberadaan IRM kian hari kian tidak
bermakna, masyarakat jadi jengah atas kehadiran IRM sebab ia tidak mampu
berbuat apa-apa, apalagi memberi apa-apa. Atau lebih parah dari itu ia justru
menjadi energi penghilang kesempurnaan yang telah ada pada masyarakat. Naudzubillah
min dzalik !
Karena itu diperlukan
sebuah pemikiran dan langkah strategis dalam menentukan arah kebijakan IRM
kedepan. Hal tersebut termuat dalam
Garis-garis Besar Haluan kerja IRM yang tertuang dalam Sasaran Umum
sebagai bagian dari Program Jangka Panjang IRM
sekaligus menjadi visi besar IRM, sebagai berikut :
a.
Muktamar
XII : diarahkan pada penataan dan
pemantapan gerak organisasi dengan mengusahakan kemandirian/otonomisasi dan pengembangan
program-program advokasi kepelajaran/keremajaan yang muatan-muatannya antara
lain adalah memupuk kepekaan
social-politik, etos intelektual dan nilai-nilai moral kepada remaja/ pelajar
b.
Muktamar
XIII : diarahkan kepada mentradisikan kesadaran kritis dikalangan pelajar dan
remaja melalui pengembangan nilai-nilai advokasi, kaderisasi dan penguatan
infrastruktur.
c.
Muktamar
XIV : diarahkan kepada pengembangan gerakan untuk mewujudkan gerakan IRM
sebagai kekuatan transformative di masyarakat dengan mengusahakan pengayaan
program-program alternative pemberdayaan.
d.
Muktamar
XV : diarahkan kepada pengembangan gerakan menuju internasionalisasi gerakan
dengan mengupayakan bentuk pemberdayaan yang dapat menguatkan daya saing yang
antara lain bermuatan penguasaan IPTEK dan keterampilan professional.
Kesadaran Kritis ; Sebuah
Pilihan
Kesadaran kritis ? kenapa
ini menjadi pilihan visi IRM pasca Muktamar ke-XIII IRM di Yogyakarta kemarin?.
Banyak yang pesimis dengan tema ini. Sebab
"kritis" terlalu mewah untuk di "kembangbiakkan" di negeri
ini, karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih berkutat dan berjuang
diseputar bagaimana mereka memenuhi kebutuhan isi perutnya. Mereka beranggapan
bahwa yang paling penting dilakukan adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan
ekonomi, kemakmuran dan kemerataan. Pendapat seperti ini tidak salah, namun
bila pandangan ini tidak disertai dengan perspektif kritis maka akan menampik
terjadinya proses emansipasi sosial. Pelajaran masa lalu menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi tanpa disertai dengan pembangunan politik telah membuat
masyarakat tidak berdaya dan jauh dari emansipatoris. Akibat sosial yang timbul
adalah ketidakberdayaan, kebodohan, ketimpangan dan marginalisasi.
Aras Kesadaran Kritis
IRM, sebagai organisasi
yang mendasarkan diri pada pemihakan kepada kebenaran, keadilan dan kejujuran,
memang harus terus membenahi diri terus menerus tiap sektor bidang
pekerjaannya. Pemosisian tradisi keilmuan / intelektualitas di IRM, sebanding
dengan tradisi yang kita kemukakan setiap hari, seperti juga kata Gramsci,
yakni intelektual organik. Sebagai intelektual organik, tentu kita dituntut
untuk tidak sekedar paham teori lantas selesai, namun jauh dari itu semua, kita
harus mampu mencandra dan mengaplikasikan teori itu kepada realitas sosial yang
ada; untuk membenahi ketimpangan-ketimpangan sosial yang memerlukan uluran
tangan IRM. Meski tidak semua ketimpangan adalah tanggung jawab kita, tapi kita
tetap saja bertanggung jawab untuk menyadari dan memahami bahwa sebuah
ketimpangan sosial memerlukan banyak perhatian. Disinilah kita letakkan remaja
maupun pelajar sebagai pilar perjuangan untuk perubahan itu.
Kesadaran kritis ini harus
terbangun beriring dengan pembangunan demokrasi Indonesia. Kesadaran yang
kritis dan utuh. Seperti yang ditunjukkan Paulo Freire ( 1970 ), bahwa mesti
ada kesadaran yang utuh, yang mengacu kepada sebuah proses dimana kita bukanlah
resipen umum saja, sebagai objek saja, sebagai partisipan saja, namun sebagai
subyek yang mengetahui dan menyadari secara mendalam realitas sosiokultural (
dan politik ) yang membentuk kehidupan bangsa ini.Kesadaran semacam ini jelas
lebih dari sekadar prise de conscience saja, namun harus menghasilkan
solusi bagi setiap kesadaran yang salah arah. Kesadaran akan hal ini
mengimplikasikan penempatan manusia yang telah sadar secara kritis pada
realitas yang tidak lagi penuh dengan mitos ( demythologized ).
Kesadaran dan kewaspadaan
ini penting dirumuskan saat ini. Biar gerakan remaja/pelajar tidak larut dalam
pesta politik yang ' demokratis' sekarang. Mengapa ? sebab orang Perancis
seperti Maurice Merleau Ponty mesti membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menyadari bahwa ada kekejaman dinegerinya. Bahkan Sartre pun baru sadar setelah
bertahun-tahun penindasan yang kejam terjadi di Rusia zaman Stalin.
Dengan demikian, terbangun kesadaran penuh atas kesadaran yang kritis
untuk mencerna makna-makna politik yang ada. Artinya demokrasi bukanlah untuk
kepentingan siapa yang berkuasa, tapi untuk siapa yang dipimpin ( awam/rakyat
). Jika masyarakat/rakyat tidak pernah diberi ruang untuk mendialogkan
kebijakan-kebijakan kekuasaan yang ada mustahil bagi kita untuk menyebutnya
demokrasi. Gerakan remaja/pelajar yang mempunyai kesadaran semacam ini
merupakan investasi demokrasi Indonesia
masa depan.
Lebih dari itu, barangkali
penindasan yang lebih sadis tidak dilakukan oleh kekuasaan bangsa sendiri, tapi
bangsa lain ( penindasan kapitalisme global ). Ini juga salah satu asumsi yang
mesti diwaspadai oleh gerakan pelajar dan remaja. Bagaimana tangan dan kaki
kapitalisme memberi rambu-rambu
penindasan untuk rakyat melalui tangan-tangan kekuasan Negara. Sebab hari ini
kita sadar, bahwa siapapun yang jadi penguasa Indonesia, adalah orang yang tidak berani bicara go
to hell IMF. Tentunya agenda lain gerakan remaja/pelajar adalah menyiapkan
seperangkat gerakan cantik yang mampu menghadapi penindasan global itu.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa aras kesadaran kritis adalah
kemampuan untuk menghubungkan teori (ilm) dan realitas sosial yang ada
dan melakukan gerakan revolusioner untuk mensupport dan mengcounter
hegemony pada sebuah transformasi sosial yang direncanakan (amaliah
transformatif ). Ketidak adilan tidak hanya dipahami dalam
distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melainkan berupaya
untuk membantu menciptakan kesamaan dan
emansipasi dalam kehidupan. Kesadaran kritis
memiliki keterikatan moral untuk senantiasa menjaga proses humanisasi dan
menghindarkan kita terjerembab dalam sauna dehumanisasi, dan juga tak kalah pentingnya, tanpa pemahaman secara menyeluruh dan kritis
akan membuat kita terperosok menjadikan ' taklid buta' tanpa 'ijtihad' yang
dalam bahasa Freirean disebut sebagai ' magical dan naival consciousness'.
* Disampaikan dalam Rakernas PP IRM, tanggal 21
Februari 2003 di Wisma BIP Tawamangu, Solo, Jawa Tengah