- Back to Home »
- TAFSIR SOSIAL IDEOLOGI JIMM
Muhammadiyah
merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18
November 1912. Menurut Deliar Noer (1996: 84), perihal pendirian Muhammadiyah
adalah atas saran yang diajukan olehmuridAhmadDahlan dan beberapa
anggotaBudiUtomo dengan harapan agar dapat mendirikan suatu lembaga pendidikan
yang bersifat permanen.Bahkan untuk urusan proses permintaan pengakuan kepada
kepala pemerintahan sebagai badan hukum pun diusahakan oleh pimpinan Budi Utomo.
Sebagai salah satu organisasi terbesar di tanah air, Muhammadiyah sangat menekankan amal usaha di bidang
kesejahteraan sosial sehingga dipandang sebagai
representasi aliran reformis dan modernis (Clifford Geertz, 1960; Alfian, 1989).
Pengertian dari kedua istilah tersebut menempatka Muhammadiyah sebagai organisasi yang
secara terus-menerus bertujuan memelihara
bagian dari masa lampau, menjustifikasi masa kini, dan melegitimasi masa depan, sehingga dapat menciptakan
kaitan antara yang lama dan yang baru.
Kaum reformis mempercayai bahwa mereka dapat hidup di dunia modern tanpa meninggalkan prinsip ajaran agama.
Achmad Jainuri (2002: 4-5) menyatakan bahwa dalam rangka menjustifikasi
paradigma ini Muhammadiyah sangat percaya bahwa sumber-sumber fundamental Islam
dapat diterjemahkan dalam realitas konkrit kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi,
dan politik kaum Muslim Indonesia.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah selain menampilkan citra
sebagai organisasi modern dengan segudang kesusksesan juga
menuai kritik tajam. Ironinya salah satu kritik tersebut justru muncul dari kalangan
anak muda Muhammadiyah. Salah satu
kelompok yang mengkritik adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). JIMM tentu memiliki argumen perihal ketidakcocokkannya dengan faham
keagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah.
Akibatnya, mereka pun lebih memilih bergerak di jalur kultural. Maka, menarik dicermati bagaimana
ideologi keagamaan JIMM dan latar belakang
kemunculannya. Berkisar pada persoalan inilah tulisan ini mencoba memberikan tafsir sosial terhadap
fenomena kehadiran JIMM.
KONTEKS
KELAHIRAN JIMM
JIMM
terlahir karena sebuah keprihatinan terhadap kondisi yang dialami Muhammadiyah. Begitulah yang dikatakan
Zakiyuddin Baidhawy (lahir, 1972), salah
seorang penggagas JIMM (Republika, 21/11/2003). Selanjutnya, dikatakan bahwa figur sentral dibalik kelahiran
JIMM adalah Moeslim Abdurrahman (lahir,
1947). Pada suatu kesempatan Moeslim Abdurrahman menyatakan, saya ini belum pernah menjadi anggota JIMM tetapi
sudah alumni.
Figur lain yang juga sangat penting
bagi JIMM adalah Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafii (lahir, 1935). Mengenai peran Buya Syafii
ini, Moeslim Abdurrahman berkata, JIMMlahir karenaBuyaSyafiimenjadiKetuaPimpinan
Pusat Muhammadiyah (Republika, 17/ 11/ 2003). Sudah sejak lama warga
persyarikatan mengenal figur Buya Syafii sebagai orang yang menghendaki agar
Muhammadiyah menjadi rumah intelektual bagi berbagai mazhab pemikiran. Bahkan
Buya Syafii mengakui bahwa pada saat ini
dunia intelektualMuhammadiyah tertinggal dibandingKatolik,Kristen, dan NU (Republika, 17/11/2003).
Dorongan Buya Syafii terhadap JIMM memang tergolong luar biasa. Bahkan Buya
Syafii menyempatkan hadir dan membuka Tadarus Pemikiran Islam yang
diadakan JIMM di kampus Universitas Muhammadiyah
Malang.
Kelahiran JIMMsesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari situasi
internal dan eksternal Muhammadiyah.
Terhadap hal ini Buya Syafii menyatakan bahwa selama ini Muhammadiyah banyak
dikritik karena gerakan pembaruannya macet. Tetapi melalui JIMM sedikit demi
sedikit kesan tersebut akan terhapus. Zakiyuddin
Baidhawy menambahkan bahwa kelahiran JIMM juga berkaitan dengan beberapa kritik terhadap
Muhammadiyah. Misalnya, Muhammadiyah dikatakan seperti gajah gemuk sehingga
mulai mengalami kelambanan dan tidak lagi memiliki kekuatan karena keberatan
beban yang luar biasa (Republika, 23/ 11/ 2003).
Situasi seperti ini dikatakan telah terjadi sejak Muhammadiyah bermuktamar yang ke-41 di Solo pada
1985. Anehnya, respon terhadap keadaan
tersebut baru muncul 10 tahun kemudian, persisnya ketika Muhammadiyah mengadakan Muktamar ke-43
di Banda Aceh pada 1995. Ketika itu Amien Rais
(lahir, 1944) terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berbagai kritik terhadap Muhammadiyah
memang telah terdengar nyaring sejak
Muktamar ke-41. Saat itu, Muhammadiyah telah menarik minat yang luar biasa dari berbagai kalangan, baik
dalam maupun luar negeri. Ketertarikan mereka
untuk mengamati Muhammadiyah dapat dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap kiprah persyarikatan
yang saat itu hampir berumur tiga perempat
abad. Tentu saja, impresi mereka terhadap Muhammadiyah tidak semua bernada memuji. Bahkan banyak di
antara kesan tersebut yang berbentukkritik tajam.
Kesan yang bernada memuji diantaranya menekankan pada aspek
keberhasilan Muhammadiyah melakukan
rintisan pembaruan baik dalam bentuk gagasan atau
pemikiran maupun amal usaha di berbagai bidang mulai dari pendidikan, rumah sakit, dan pelayanan sosial
lainnya. Pernyataan Mitsuo Nakamura (1976: 320-321) barangkali mewakili
pandangan tersebut. Nakamura menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang
memiliki banyak wajah (dhu wujuh). Dari jauh tampak doktriner, tetapi
dilihat dari dekat ada sedikit sistematis teologis.
Tampak eksklusif bila dipandang dari luar, tetapi sesungguhnya sangat terbuka jika dilihat dari dalam. Secara
organisatoris agak membebani, tetapi sebenarnya
Muhammadiyah merupakan suatu kumpulan individu yang sangat menghargai pengabdian pribadi. Muhammadiyah
menampilkan diri sebagai organisasi yang sangat
disiplin, meski sebenarnya tidak ada alat pendisiplinan yang efektif selain kesadaran
masing-masing individu. Muhammadiyah juga tampak
agresif dan fanatik, meski sesungguhnya dalam berdakwah sangat perlahan dan toleran. Kesan yang bernada
positif ini merupakan sebagian dari hasil
pengamatan intensif Nakamura terhadap fenomena Muhammadiyah di sebuah kota kecamatan bagian
pinggiran Kotamadia Yogyakarta, Kotagede.
Sementara ada juga kritik yang dialamatkan kepada Muhammadiyah
berkaitan dengan fenomena kian
meredupnya spirit tajdid atau pembaruan di internal Muhammadiyah. Kepeloporan Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid telah banyak menuai gugatan. Bahkan tajdid Muhammadiyah
dianggap telah kehilangan arah, sementara amal usahanya telah menjadi
rutinisasi. Muhammadiyah juga terkesan
sangat birokratis sehingga lamban merespon isu-isu
kontemporer. Buku berjudul Muhammadiyah Kritik dan Komentar merupakan
satu di antara buku yang berisi berbagai kritik tajam para pemerhati Muhammadiyah
dari dalam maupun luar negeri (M. Rusli Karim, 1986).
Di samping itu juga ada pandangan yang bernada positif sekaligus
peringatan terhadap Muhammadiyah
seperti yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid (Sujarwanto dan Haedar Nasir, 1990: 407-408). Nurcholish Madjid
(1939- 2005) menyatakan bahwa
Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang
terbesar di dunia, lebih besar dari pada yang manapun di negeri Islam lain. Muhammadiyah juga sebuah
organisasi Islam yang relatif paling berhasil, jika dilihat dari ciri
kelembagaannya yang modern dengan produk sosial keagamaan yang sangat
mengesankan, lebih dari organisasi Islam yang mana pun dan di mana pun. Karena
itu dapat dikatakan bahwa dalam kalangan Islam,
tidak saja nasional, melainkan internasional,
Muhammadiyah adalah sebuah cerita sukses.
Di samping menyatakan kekagumannya, Nurcholish juga memberikan pernyataan yang bernada mengingatkan
kepada Muhammadiyah. Dikatakan bahwa
Muhammadiyah itu besar, modern, dan sukses, terutama sebagai gerakan amal. Hal ini dapat dipandang sebagai
keunggulan Muhammadiyah. Sebab, Islam
sebagaimana halnya dengan hidup manusia itu sendiri mendapat modal eksistensinya dengan jalan beramal.
Tetapi hal ini sekaligus dapat menjadi suatu kekurangan, yaitu jika watak kepraksisan
Muhammadiyah berimplikasi pada kurangnya wawasan. Padahal wawasan mutlak
diperlukan tidak saja sebagai perangkat yang memberikan kesadaran menyeluruh
atas semua kegiatan amaliah dan sebagai kerangka untuk dapat dilihat hubungan
organik antara berbagai bagian kegiatan amaliah tersebut, tetapi juga sebagai
sumber energi bagi pengembangan yang dinamis dan kreatif kegiatan amaliah itu
sendiri.
Peringatan Nurcholish tersebut penting dijadikan catatan awal
mengenai landasan pemikiran dan amal Muhammadiyah.
Kecenderungan Muhammadiyah sebagai gerakan
aksi (praksisme) juga diakui Buya Syafii (1997: 136). Bahkan menurut Buya
Syafii, Muhammadiyah tampak lebih menonjol sebagai gerakan aksi dari pada
gerakan pemikiran (intelektualisme). Sebagai gerakan aksi, kiprah Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah
modern Indonesia memang tampak luar
biasa. Justru karena Muhammadiyah tampak lebih menonjolkan diri sebagai gerakan
aksi dari pada gerakan intelektual itulah, sejumlah kritik terhadapnya banyak
disuarakan. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah telah terlanjur dikenal sebagai gerakan tajdid. Kritik tersebut terus berlangsung hingga
kini. Situasi seperti inilah yang kemudian melahirkan
berbagai gerakan kultural berbasis anak muda Muhammadiyah, seperti JIMM, Pusat Studi Agama dan
Peradaban (PSAP), Al-Maun Foundation, Maarif
Institute, dan Majalah Kibar (Deni al-Asy ari, dkk: 2005, 207).
Kemunculan berbagai organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari
gaya kepemimpinan Buya Syafii
yang sangat concern pada pembaruan pemikiran di dalam Muhammadiyah. Belakangan ini juga
muncul lembaga Center for Dialogue and Cooperation
among Civilizations (CDCC) yang didukung penuh Din Syamsuddin (lahir, 1958). Dari beberapa LSM berbasis anak muda
Muhammadiyah tersebut, JIMM dapat dikatakan memiliki posisi yang teristimewa
dikarenakan sikap kritis dan kontroversi yang menyertai keberadaannya. Beberapa
aktivis JIMM, seperti Zuly Qodir (lahir, 1971) menyatakan bahwa dalam
perkembangannya, Muhammadiyah tampak lebih condong ke kanan.
Sementara anak muda di kalangan Muhammadiyah memiliki hasrat yang
sangat kuat di dunia politik
praktis. Kondisi seperti ini menyebabkan minimnya tradisi intelektual (Pradana Boy ZTF, dkk, 2008:
17-20). Zuly Qodir kemudian menambahkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga alasan
mengapa kaum muda Muhammadiyah bangkit yaitu; Pertama, melepaskan
dominasi kaum konservatif dalam Muhammadiyah. Kaum konservatif telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi kader
yang kegemukan, tidak lagi progresif menangkap
tanda-tanda zaman. Muhammadiyah konservatif telah terjebak dalam aktivitas amal usaha praktis yang
menjadi semacam ritual dalam Muhammadiyah.
Kedua, pertemuan antara generasi Muhammadiyah dengan generasi di luar Muhammadiyah. Pertemuan yang intensif
tersebut telah memungkinkan terjadinya
pertukaran wacana keilmuan dan perdebatan yang dikemas dengan cara santai, hinggamuncul kultur saling
belajar, saling kritik, dan bahkan saling mengejek.
Situasi seperti ini mampu menumbuhkan semangat intelektualisme dalam tubuh anak muda Muhammadiyah. Ketiga, perkembangan
wacana keislaman yang demikian pesat. Situasi ini semakin menjelaskan bahwa dengan gaya
konservatif tidak lagi cocok untukmerespon masalah
aktual yang terus bergulir. Kondisi ini ditambah lagi dengan keterlibatan secara intensif aktivis Muhammadiyah
dalam kultur low politics ketimbang high politics.
Pradana Boy (lahir, 1977) juga menengarai adanya fenomena
konservatisme di kalangan Muhammadiyah.
Menurut Boy, fenomena konservatisme Muhammadiyah setidaknya ditandai oleh
adanya upaya untuk meminggirkan kelompok progresif di Muhammadiyah, seperti
Amin Abdullah (lahir, 1953), Abdul Munir Mulkhan (lahir, 1946), dan Muslim
Aburrahman. Dalam situasi seperti inilah JIMMterlahir. Selanjutnya JIMM berusaha semakinmeneguhkan niat untuk
tetap menempuh jalur kultural dalam mewacanakan paham sosial keislaman yang bercorak liberal. JIMM
akan tetap menyuarakan pandangan anak
muda Muhammadiyah, meski tidak merupakan underbow Muhammadiyah. Bahkan jika menurut Bachtiar Efendi
(lahir, 1958), JIMM sebaiknya memang menjaga
jarak dengan Muhammadiyah. Dikatakannya bahwa kalau JIMM mau bersungguh-sungguh
mengedepankan pemikiran transformatif maka harus melepaskan diri dari hegemoni
Muhammadiyah. Sebagaimana Jaringan Islam Liberal
(JIL) di NU, JIMM muncul karena anak muda tidak menemukan keutuhan pandangan dalam organisasi
induk mereka. JIL tidak memiliki hubungan
dengan NU sehingga dapat berkembang, maka JIMM juga harus menemukan posisinya sendiri, jangan
tergantung dengan Muhammadiyah (Kompas,
26/ 12/ 2003). Tampaknya, pernyataan Bachtiar ini sangat selaras dengan keinginan aktivis JIMM untuk
terus menemukan jati dirinya sendiri dan
tidak bergantung dengan Muhammadiyah.
PERKEMBANGAN
JIMM
Menurut
salah satu pendirinya, PradanaBoy, JIMMdilahirkan pada 9Oktober 2003, bersamaan dengan acara worshop
yang diadakan di Puncak, Bogor, pada
9-12 Oktober 2003.Workshop ini diselenggarakan oleh Maarif Institute for Culture and Humanity. Hadir sebagai
pembicara antara lain Buya Syafii, Moeslim Abdurrahman, Haedar Nashir, Zuly
Qodir, Indra J. Piliang, Zakiyuddin Baidhawy, Abd. Rohim Ghozali, Piet H.
Khaidir, Hilman Latief, A. M. Dewabrata, dan Budiman
Danuredjo (Kompas, 19/ 11/ 2003). Setelah acara di Bogor itulah JIMM benar-benar mengalami perkembangan yang
pesat dengan banyak karya
intelektual dalam bentuk artikel di media massa maupun buku.
Sementara Marpuji Ali dan M. Ali Masduki (2004: 189-190)
memberikan kesan tersendiri mengenai
kelahiran JIMM. Menurut keduanya, JIMM lahir begitu saja, tanpa melalui proses deklarasi. Bermula
dari kegiatan santai anak-anak muda
Muhammadiyah di Jalan Adityawarman, Jakarta Selatan, tempat sekretariatMaarif Foundation danMaarif
Institute for Culture and Humanity, yang
kemudian juga dijadikan sekretariat JIMM. Kaum muda Muhammadiyah yang terhimpun
dalam JIMM telah melakukan banyak kegiatan ilmiah bernama Workshop Pemikiran
Islam dan Tadarus Pemikiran Islam yang digelar di Jakarta, Yogyakarta,
Malang, dan Surabaya. Bahkan untuk kegiatan Tadarus Pemikiran Islam di
Malang telah menghasilkan karya akademik yang cukup dapat dibanggakan (Pradana
Boy ZTF dan M. Hilmi Faiq, 2004).
Pada 24-26 Juli 2006, JIMM juga telah mengadakan kegiatan
konsolidasi nasional. Acara tersebut
diadakan di Jakarta dengan mengambil tema Refleksi Perjalanan Tiga Tahun JIMM. Peserta
yang mengikuti kegiatan ini berasal dari perwakilan
JIMMdiMalang, Surabaya, Gresik, Solo, Klaten, Yogyakarta, dan tentu saja Jakarta. Mereka yang hadir
adalah para pentolan JIMM yang selama ini
telah dikenal publik melalui tulisan yang sangat tajam di berbagai media massa. Misalnya saja Najib Burhani,
Ahmad Fuad Fanani, dan Hilaly (Jakarta), Zuly Qadir dan Budi (Yogyakarta),
Marpuji Ali dan Zakiyuddin Baidhawy (Solo), Pradana Boy (Malang), Choirul
Mahfud (Surabaya), dan Moh. Shofwan (Gresik). Di samping itu juga ada aktivis
JIMM perempuan seperti Tuty dan Ayu (mantan aktivisNasyiatul Aisyiyah dan
IkatanMahasiswaMuhammadiyah).
Selain mereka, hadir juga beberapa narasumber, seperti Moeslim
Abdurrahman, Syafi i Anwar dari
International Center for Islam and pluralism (ICIP), dan Maria (Harian Kompas). Kelahiran JIMM dengan wacana yang
dikembangkan ternyata tidak selalu direspon
positif oleh Muhammadiyah. Jadi, persis seperti nasib JIL yang dipelopori kaum muda Nahdlatul Ulama
(NU). Di antara tokoh Muhammadiyah ada yang
mengecam dengan sangat keras model keislaman liberal
yang dikembangkan JIMM. Bahkan di internal Muhammadiyah juga ada yang menyebut JIMM dengan Jaringan
Iblis Muda Muhammadiyah. Meski mendapatkan resistensi
di internal Muhammadiyah, namun JIMM tetap berjuang
di ranah kultural dengan mengembangkan gagasan keislaman yang terkadang berbeda secara diametral
dengan arus besar (mainstream) pemikiran keagamaan Muhammadiyah.
Kehadiran JIMM dengan berbagai wacana sosial keagamaan yang dikembangkan memang telah membuat
polemik baik di internal maupun eksternal
Muhammadiyah. Syamsul Hidayat (2005: xiii-xxii), misalnya, menyatakan bahwa
JIMM telah menghadirkan wacana yang bertentangan dengan worldview Islam
dalam perspektif Muhammadiyah sebagaimana yang dikemukakan dalam Muqaddimah
Anggaran Dasar, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Matan Keyakinan
dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Wacana yang diusung JIMM jelas masih menggunakan metodologi Barat dengan segala bentuk worldview yang
menyertainya. JIMM juga dipandang meresahkan
warga Muhammadiyah. Pandangan seperti ini di antaranya
dikemukakan oleh Mustafa Kamal Pasha, staf pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta (Syamsul Hidayat
dan Sudarno Shobron, 2005: 339-357).
Berbeda dengan pandangan tersebut, dengan nada yang agak santai,
Din Syamsuddin, jugamengomentari
kehadiran JIMMdengan menyatakan, Anda mau
liberal atau liberol, silakan, yang penting anda masih shalat (Syamsul Hidayat dan Sudarno Shobron, 2005:
v-xii). Dengan respon seperti ini, tampaknya Din Syamsuddin menginginkan agar
pemikiran keislaman Muhammadiyah terus berada dalam posisi tengahan, sehingga
dapat memelihara keseimbangan antara sangat salafi dalam hal aqidah dan ibadah mahdah
dan berprinsip antum a alamu bi umur dunyakum dalam masalah muamalah-keduniaan.
Anehnya reaksi keras terhadap JIMM juga terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Di UniversitasMuhammadiyah
Surakarta,misalnya, terjadi pembatalan pidato
wisudawan terbaik dikarenakan yang bersangkutan adalah aktivis JIMM. Di perguruan tinggi ini juga terjadi
peminggiran pihak-pihak yang diduga sebagai
anasir kelompok Islam Liberal. Sementara di Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Moh. Shofan,
seorang aktivis JIMM, mengalami nasib yang lebih
tragis karena harus dipecat dari posisinya sebagai dosen. Salah satu pertimbangan pimpinan
UMG adalah dikarenakan Shofan telah
mengambangkan paham liberal dalam Muhammadiyah. Bukan hanya di perguruan tinggi, JIMM juga mengalami
kesulitan berkomunikasi dengan pimpinan
persyarikatan di hampir semua level. Situasi ini terjadi di Gresik, Yogyakarta, Klaten, Solo, dan Jakarta.
Di luar warga Muhammadiyah, kehadiran JIMM ternyata juga disambut dengan sikap yang berbeda-beda. Deliar
Noer, misalnya menganggap positif kehadiran
JIMM. Bahkan Deliar Noer menyebut JIMM sebagai Second Muhammadiyah (Pradana Boy ZTF, dkk,
2008: 21-25). Respon yang menunjukkan sikap
kegelisahan terhadap JIMM dikemukakan oleh Kuntowijoyo
(Pradana Boy ZTF, dkk, 2008: 33-39). Dengan meminjam istilah Lenin, Kuntowijoyo menyatakan bahwa
setiap ada pemberontakan selalu muncul
gejala sawan kekanak-kanakan . Fenomena kekanak-kanakan biasanya berupa cara berpikir yang sok liberal
atau kekiri-kirian (sok radikal). Kuntowijoyo
kemudian mencontohkan apa yang sedang diwacanakan pemberontakan kaum muda seperti halnya JIMM, misalnya Islam kiri,
Islam liberal, Islam proletar,
Islam borjuis, dan pendidikan Paulo Freire. Tanggapan
yang agak reaktif terhadap JIMM dikemukakan
oleh Adian Husaini (lahir, 1965). Adian Husaini
misalnya menyatakan fenomena JIMM sebagai kecerobohan intelektual. Dikatakan
olehAdian, aktivis JIMM telah melakukan kecerobohan karena dengan
mudah mengatasnamakan intelektual dari organisasi
Islam tertentu.
Meski mendapat reaksi cukup keras dari berbagai kalangan, aktivis
JIMM terus bertekad mengembangkan
nilai-nilai perjuangan melalui jalur kultural. Bahkan aktivis JIMM telah merumuskan visi baru yang mentereng,
Menjadikan JIMM Sebagai Rumah dan
Imaginasi Intelektual. Melalui visi tersebut dikembangkan misi; (1)
Mengembangkan gagasan Islam yang terbuka pada dialektika pemikiran dan
kehidupan, (2) Mengembangkan gagasan Islam yang kritis terhadap segala bentuk
hegemoni dan dominasi, (3) Mengembangkan gagasan Islam yang memihak pada
kemanusiaan. Ini merupakan hasil dari konsolidasi
JIMM pada 24-26 Juli 2006 di Jakarta. Di samping merumuskan visi dan misi, JIMM
juga menentukan struktur jaringan dalam bentuk presidium nasional, dengan
anggota:Fuad Fanani (Jakarta),Ayu (unsur perempuan), Zuly Qodir (Yogyakarta,
Klaten, Prambanan, dan Bantul), Zakiyuddin Baidhawy (Solo dan Jawa Tengah), dan
Pradana Boy (Malang, Surabaya, dan Gresik).
TIGA
PILAR JIMM
Menurut
Muslim Abdurrahman, terdapat tiga pilar yang senantiasa diwacanakan JIMM, yakni:
(1) hermeneutic, terutama dalam penafsiran kembali pemikiran Islam, (2) teori
sosial kritis, yakni ilmu sosial kritis yang berkonsentrasi pada hegemoni
kekuasaan, dan (3) gerakan sosial baru (new social movement) yang
di antaranya dapat melalui teologi pembebasan serta penyadaran (Kompas,
21/ 11/2003). Tiga pilar inilah yang menjadi dasar JIMM. Misalnya, jika selama
ini dirasakan bahwa
intelektualitas kurang membumi maka JIMM dapat mencoba
menggabungkan
intelektualitas dengan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Dengan cara seperti ini JIMM
sebenarnya memiliki rujukan normatif-historis
dalam Muhammadiyah. Seperti diketahui bahwa Muhammadiyah didirikan KH Ahmad
Dahlan dengan menekankan pada prinsip praksisme yang diajarkan dalam teologi
al-ma un (Marpuji Ali dan M. Ali Masduqi, 2004: 192).
Tiga pilar JIMM sebagai basis konseptual dalam mengembangkan intelektualisme Muhammadiyah merupakan
satu kesatuan. Misalnya, pendekatan hermeneutik digunakan untukmengubah
kecenderunganMuhammadiyah yang skripturalistik-konservatif dalammemahami nash
ajaran Islam.Yang dimaksud hermeneutik di sini adalah seperti yang diungkapkan
oleh Habermas; an ability we
acquire to the extent to which we learn to master a natural language: the art
of understanding linguistically
communicable meaning and to render it comprehensible in cases of distorted communication (Gayle
L. Ormiston and Alan D. Schrift, 1990: 245). Berdasarkan
definisi tersebut dapat dengan jelas terlihat bahwa hermeneutik pada prinsipnya berusaha menghidupkan
kembali pemaknaan yang sudah mati dan
memahamkan komunikasi yang sudah terdistorsi.
Model analisis hermeneutik
akan sangat bermanfaat untuk memahami dan memberikan pemaknaan terhadap nilai-nilai budaya
atas dasar teks-teks suci. Melalui pendekatan hermeneutik inilah diharapkan
bermunculan produk keilmuan baru yang merupakan reproduksi dari pemahaman dan
penafsiran lama sehingga lebih relevan dengan perkembangan zaman Pendekatan
hermeneutikmurni tampaknya belummencukupi untukmenjawab tantangan zaman. Karena
itulah teori-teori sosial kritis, seperti teori hegemoni Antonio Gramsci dan
Paulo Freire yang menekankan pentingnya penyadaran kaum tertindas dan teologi
pembebasan sangat penting digunakan sebagai pisau analisis untuk mengurai
ketidakadilan sosial. Dengan bantuan teori-teori sosial kritis tersebut akan bermunculan kesadaran kritis yang
secara terusmenerus merespon berbagai persoalan
kemanusiaan yang terjadi di sekitar kita. Pilar terakhir JIMM, new social
movement, berfungsi sebagai counter hegemony terhadap massifikasi kapitalisme dan
neoliberalisme. Pada aspek inilah aktivis JIMM membedakan diri dari berbagai gerakan pemikiran liberal yang lain
seperti JIL. Dikatakan bahwa
intelektualisme JIMM itu bercorak praksis social sebagaimana diajarkan oleh para pendiri Muhammadiyah.
IDEOLOGI
KEAGAMAAN JIMM
Ideologi
merupakan aspek penting dalam sebuah gerakan sosial keagamaan. Menurut Achmad Jainuri (2004: 36), dalam
pembahasan mengenai ideologi, sekurang-kurangnya
ada tiga hal yang perlu dipahami. Pertama, bahwa ideologi berfungsi merasionalisasikan dan
mempertahankan komitmen program keagamaan,
moral, sosial, politik, dan ekonomi gerakan. Kedua, ideologi merupakan justifikasi filosofis dan
logis bagi tujuan gerakan dan sikap, serta perilaku
warga anggotanya. Ketiga, beberapa elemen ideologi merupakan rumusan teoretis yang tentatif dan
karena itu dapat berubah sesuai perubahan sosial-budaya.
Dengan penjelasan ini, maka pertanyaan menarik yang perlu dikemukakan adalah apa ideologi yang
dianut oleh aktivis JIMM? Apakah ideologi
yang dianut Muhammadiyah dianggap sudah tidak lagi relevan oleh aktivis JIMM?
Mempertimbangkan wacana yang dikembangkan dan juga konstruk
pemikiran para aktivis JIMM dapat
dikatakan bahwa ideologi yang dianut adalah liberal. Untuk kepentingan pembuatan tipologi
ideologi gerakan keagamaan kaum muda
Muhammadiyah digunakan kerangka konsep yang diperkenalkan oleh Achmad Jainuri (2004:36), yakni
konservatisme, fundamentalisme, sekularisme, dan
modernisme. Tipologi gerakan Muhammadiyah yang dikemukakan Din Syamsuddin (1995: 35-71) dengan istilah
purifikasi (puritanisme) dan pembaruan (modernisme),
serta Zainuddin Maliki dengan label puritanis dan kulturalis. Semua karakteristik gerakan keagamaan
yang dikemukakan beberapa ahli tersebut
dijadikan sebagai rambu-rambu dalam melakukan pengklasifikasian terhadap ideologi keagamaan kaum muda
Muhammadiyah sehingga menemukan label liberal.
Dalam hal ini perkataan liberal harus dipahami dengan merujuk pada
pendapat Kurzman (2003: xlii) dengan
beberapa kriteria: (1) liberal dalam beberapa pengertian dipahami ideologi yang diambil mereka yang bersikap
oposan terhadap revivalis Islam,
(2) Islam dalambeberapa pengertian adalah mereka yang percaya bahwa Islam memiliki peran penting dalam dunia
kontemporer, sebagai lawan dari kaum
sekularis, (3) Karya-karya mereka dibaca secara luas, dan (4) secara ideologismewakiliberbagai
pahamIslamliberal,misalnya syari ah liberal
(liberal syari ah), syari ah yang diam (silent syari ah), dan
syari ah yang ditafsirkan (interpreted
syari ah).
Simpulan
Berdasarkan
uraian pembahasan yang telah dikemukakan kiranya dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut; Pertama, argumentasi anak muda Muhammadiyah
yang terhimpun dalam JIMM melakukan kritik terhadap Muhammadiyah adalah
dikarenakan adanya gejala konservatisme di lingkungan persyarikatan. Dalam hal
ini Muhammadiyah dipandang sebagai organisasi yang telah kegemukan sehingga cenderung lamban dan tidak progresif merespon berbagai persoalan aktual.
Muhammadiyah juga dipandang terlalu sibuk
dengan kegiatan rutin yang berkaitan dengan amal usaha dan kehilangan ruh/ semangat intelektusalisme. Sehingga
dengan demikian gerakan tajdid yang telah
lama menjadi trademark Muhammadiyah mengalami stagnasi dan bahkan hilang. Akibatnya, Muhammadiyah lebih
menampilkan diri sebagai gerakan prakis
dan bukan gerakan intelektual. Kedua,
tema pokok yang diwacanakan aktivis JIMMada tiga hal; hermeneutik, teori sosial kritis, dan gerakan sosial
baru (new social movement). Tiga pilar ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan
menempuh tiga pilar tersebut
diharapkan aktivis JIMM dapat melakukan gerakan penyadaran terhadap berbagai bentuk kegiatan, terutama yang
berdimensi sosial kemanusiaan. Ketiga, corak
ideologi keagamaan JIMM adalah liberal dalam pengertian yang luas, sebagaimana yang dikemukakan
Charles Kurzman, baik dalam bentuk syari
ah liberal (liberal syari ah), syari ah yang diam (silent syari ah),
dan syari ah yang ditafsirkan (interpreted
syari ah).
SUMBER TINTA
Asyari,Deni.Dkk.
2005, Pemberontakan Kaum Muda Muhammadiyah. Yogyakarta: Resist Book,
Geertz,
Clifford. 1960, The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe,
Habermas,
Jurgen. 1990, The Hermeneutics Claim to Universality. Dalam TheHermeneuticsTradition. Ed.GayleL.Ormiston
and Alan D. Schrift. New York: State University
of New York Press,
Hidayat,
Syamsul dan Sudarno Shobron (ed.). 2005. Pemikiran Muhammadiyah Respon Terhadap Liberalisasi Islam.
Surakarta: Muhammadiyah University Press,
Jainuri,
Achmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, terj.
Ahmad Nur Fuad. Surabaya: LPAM,
Karim,
M. Rusli (ed). 1986. Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali Press,
Kurzman,
Charles (ed). 2003. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global.
Jakarta: Paramadina,
Maarif,
A. Syafii. 1997. Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Marpuji Ali dan M. Ali Masduqi. Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah: Sebuah Eksperimen Gerakan Ilmu. Profetika
Jurnal Studi Islam. Vol. 6.
No. 2. (Juli 2004),
Nakamura,
Mitsuo. 1976, TheCrescent ArisesOver theBanyan Tree:A Studyof the Muhammadiyah in A Central
Javanese Town. Cornell University Press,
Noer,
Deliar. 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES,
Pasha,
Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. 2002, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Dalam Perspektif Historis dan Ideologis.Yogyakarta: LPPI UMY Press
ZTF,
Pradana Boy dan M. Hilmi Faiq (ed). 2004, Kembali Keal-Qur anMenafsir Makna
Zaman Suara-suara Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press,
ZTF,
Pradana Boy. Dkk. 2008, Era Baru Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMMPress
dan Al-Maun Institute,