Biyanto

Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 18 November 1912. Menurut Deliar Noer (1996: 84), perihal pendirian Muhammadiyah adalah atas saran yang diajukan olehmuridAhmadDahlan dan beberapa anggotaBudiUtomo dengan harapan agar dapat mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.Bahkan untuk urusan proses permintaan pengakuan kepada kepala pemerintahan sebagai badan hukum pun diusahakan oleh pimpinan Budi Utomo. Sebagai salah satu organisasi terbesar di tanah air, Muhammadiyah sangat menekankan amal usaha di bidang kesejahteraan sosial sehingga dipandang sebagai representasi aliran reformis dan modernis (Clifford Geertz, 1960; Alfian, 1989).
Pengertian dari kedua istilah tersebut menempatka Muhammadiyah sebagai organisasi yang secara terus-menerus bertujuan memelihara bagian dari masa lampau, menjustifikasi masa kini, dan melegitimasi masa depan, sehingga dapat menciptakan kaitan antara yang lama dan yang baru. Kaum reformis mempercayai bahwa mereka dapat hidup di dunia modern tanpa meninggalkan prinsip ajaran agama. Achmad Jainuri (2002: 4-5) menyatakan bahwa dalam rangka menjustifikasi paradigma ini Muhammadiyah sangat percaya bahwa sumber-sumber fundamental Islam dapat diterjemahkan dalam realitas konkrit kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik kaum Muslim Indonesia.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah selain menampilkan citra sebagai organisasi modern dengan segudang kesusksesan juga menuai kritik tajam. Ironinya salah satu kritik tersebut justru muncul dari kalangan anak muda Muhammadiyah. Salah satu kelompok yang mengkritik adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). JIMM tentu memiliki argumen perihal ketidakcocokkannya dengan faham keagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah. Akibatnya, mereka pun lebih memilih bergerak di jalur kultural. Maka, menarik dicermati bagaimana ideologi keagamaan JIMM dan latar belakang kemunculannya. Berkisar pada persoalan inilah tulisan ini mencoba memberikan tafsir sosial terhadap fenomena kehadiran JIMM.

KONTEKS KELAHIRAN JIMM
JIMM terlahir karena sebuah keprihatinan terhadap kondisi yang dialami Muhammadiyah. Begitulah yang dikatakan Zakiyuddin Baidhawy (lahir, 1972), salah seorang penggagas JIMM (Republika, 21/11/2003). Selanjutnya, dikatakan bahwa figur sentral dibalik kelahiran JIMM adalah Moeslim Abdurrahman (lahir, 1947). Pada suatu kesempatan Moeslim Abdurrahman menyatakan, saya ini belum pernah menjadi anggota JIMM tetapi sudah alumni.
Figur lain yang juga sangat penting bagi JIMM adalah Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa Buya Syafii (lahir, 1935). Mengenai peran Buya Syafii ini, Moeslim Abdurrahman berkata, JIMMlahir karenaBuyaSyafiimenjadiKetuaPimpinan Pusat Muhammadiyah (Republika, 17/ 11/ 2003). Sudah sejak lama warga persyarikatan mengenal figur Buya Syafii sebagai orang yang menghendaki agar Muhammadiyah menjadi rumah intelektual bagi berbagai mazhab pemikiran. Bahkan Buya Syafii mengakui bahwa pada saat ini dunia intelektualMuhammadiyah tertinggal dibandingKatolik,Kristen, dan NU (Republika, 17/11/2003). Dorongan Buya Syafii terhadap JIMM memang tergolong luar biasa. Bahkan Buya Syafii menyempatkan hadir dan membuka Tadarus Pemikiran Islam yang diadakan JIMM di kampus Universitas Muhammadiyah Malang.
Kelahiran JIMMsesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari situasi internal dan eksternal Muhammadiyah. Terhadap hal ini Buya Syafii menyatakan bahwa selama ini Muhammadiyah banyak dikritik karena gerakan pembaruannya macet. Tetapi melalui JIMM sedikit demi sedikit kesan tersebut akan terhapus. Zakiyuddin Baidhawy menambahkan bahwa kelahiran JIMM juga berkaitan dengan beberapa kritik terhadap Muhammadiyah. Misalnya, Muhammadiyah dikatakan seperti gajah gemuk sehingga mulai mengalami kelambanan dan tidak lagi memiliki kekuatan karena keberatan beban yang luar biasa (Republika, 23/ 11/ 2003).
Situasi seperti ini dikatakan telah terjadi sejak Muhammadiyah bermuktamar yang ke-41 di Solo pada 1985. Anehnya, respon terhadap keadaan tersebut baru muncul 10 tahun kemudian, persisnya ketika Muhammadiyah mengadakan Muktamar ke-43 di Banda Aceh pada 1995. Ketika itu Amien Rais (lahir, 1944) terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berbagai kritik terhadap Muhammadiyah memang telah terdengar nyaring sejak Muktamar ke-41. Saat itu, Muhammadiyah telah menarik minat yang luar biasa dari berbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Ketertarikan mereka untuk mengamati Muhammadiyah dapat dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap kiprah persyarikatan yang saat itu hampir berumur tiga perempat abad. Tentu saja, impresi mereka terhadap Muhammadiyah tidak semua bernada memuji. Bahkan banyak di antara kesan tersebut yang berbentukkritik tajam.
Kesan yang bernada memuji diantaranya menekankan pada aspek keberhasilan Muhammadiyah melakukan rintisan pembaruan baik dalam bentuk gagasan atau pemikiran maupun amal usaha di berbagai bidang mulai dari pendidikan, rumah sakit, dan pelayanan sosial lainnya. Pernyataan Mitsuo Nakamura (1976: 320-321) barangkali mewakili pandangan tersebut. Nakamura menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang memiliki banyak wajah (dhu wujuh). Dari jauh tampak doktriner, tetapi dilihat dari dekat ada sedikit sistematis teologis. Tampak eksklusif bila dipandang dari luar, tetapi sesungguhnya sangat terbuka jika dilihat dari dalam. Secara organisatoris agak membebani, tetapi sebenarnya Muhammadiyah merupakan suatu kumpulan individu yang sangat menghargai pengabdian pribadi. Muhammadiyah menampilkan diri sebagai organisasi yang sangat disiplin, meski sebenarnya tidak ada alat pendisiplinan yang efektif selain kesadaran masing-masing individu. Muhammadiyah juga tampak agresif dan fanatik, meski sesungguhnya dalam berdakwah sangat perlahan dan toleran. Kesan yang bernada positif ini merupakan sebagian dari hasil pengamatan intensif Nakamura terhadap fenomena Muhammadiyah di sebuah kota kecamatan bagian pinggiran Kotamadia Yogyakarta, Kotagede.
Sementara ada juga kritik yang dialamatkan kepada Muhammadiyah berkaitan dengan fenomena kian meredupnya spirit tajdid atau pembaruan di internal Muhammadiyah. Kepeloporan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid telah banyak menuai gugatan. Bahkan tajdid Muhammadiyah dianggap telah kehilangan arah, sementara amal usahanya telah menjadi rutinisasi. Muhammadiyah juga terkesan sangat birokratis sehingga lamban merespon isu-isu kontemporer. Buku berjudul Muhammadiyah Kritik dan Komentar merupakan satu di antara buku yang berisi berbagai kritik tajam para pemerhati Muhammadiyah dari dalam maupun luar negeri (M. Rusli Karim, 1986).
Di samping itu juga ada pandangan yang bernada positif sekaligus peringatan terhadap Muhammadiyah seperti yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid (Sujarwanto dan Haedar Nasir, 1990: 407-408). Nurcholish Madjid (1939- 2005) menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari pada yang manapun di negeri Islam lain. Muhammadiyah juga sebuah organisasi Islam yang relatif paling berhasil, jika dilihat dari ciri kelembagaannya yang modern dengan produk sosial keagamaan yang sangat mengesankan, lebih dari organisasi Islam yang mana pun dan di mana pun. Karena itu dapat dikatakan bahwa dalam kalangan Islam, tidak saja nasional, melainkan internasional, Muhammadiyah adalah sebuah cerita sukses.
Di samping menyatakan kekagumannya, Nurcholish juga memberikan pernyataan yang bernada mengingatkan kepada Muhammadiyah. Dikatakan bahwa Muhammadiyah itu besar, modern, dan sukses, terutama sebagai gerakan amal. Hal ini dapat dipandang sebagai keunggulan Muhammadiyah. Sebab, Islam sebagaimana halnya dengan hidup manusia itu sendiri mendapat modal eksistensinya dengan jalan beramal. Tetapi hal ini sekaligus dapat menjadi suatu kekurangan, yaitu jika watak kepraksisan Muhammadiyah berimplikasi pada kurangnya wawasan. Padahal wawasan mutlak diperlukan tidak saja sebagai perangkat yang memberikan kesadaran menyeluruh atas semua kegiatan amaliah dan sebagai kerangka untuk dapat dilihat hubungan organik antara berbagai bagian kegiatan amaliah tersebut, tetapi juga sebagai sumber energi bagi pengembangan yang dinamis dan kreatif kegiatan amaliah itu sendiri.
Peringatan Nurcholish tersebut penting dijadikan catatan awal mengenai landasan pemikiran dan amal Muhammadiyah. Kecenderungan Muhammadiyah sebagai gerakan aksi (praksisme) juga diakui Buya Syafii (1997: 136). Bahkan menurut Buya Syafii, Muhammadiyah tampak lebih menonjol sebagai gerakan aksi dari pada gerakan pemikiran (intelektualisme). Sebagai gerakan aksi, kiprah Muhammadiyah dalam perjalanan sejarah modern Indonesia memang tampak luar biasa. Justru karena Muhammadiyah tampak lebih menonjolkan diri sebagai gerakan aksi dari pada gerakan intelektual itulah, sejumlah kritik terhadapnya banyak disuarakan. Hal ini dikarenakan Muhammadiyah telah terlanjur dikenal sebagai gerakan tajdid. Kritik tersebut terus berlangsung hingga kini. Situasi seperti inilah yang kemudian melahirkan berbagai gerakan kultural berbasis anak muda Muhammadiyah, seperti JIMM, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Al-Maun Foundation, Maarif Institute, dan Majalah Kibar (Deni al-Asy ari, dkk: 2005, 207).
Kemunculan berbagai organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari gaya kepemimpinan Buya Syafii yang sangat concern pada pembaruan pemikiran di dalam Muhammadiyah. Belakangan ini juga muncul lembaga Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) yang didukung penuh Din Syamsuddin (lahir, 1958). Dari beberapa LSM berbasis anak muda Muhammadiyah tersebut, JIMM dapat dikatakan memiliki posisi yang teristimewa dikarenakan sikap kritis dan kontroversi yang menyertai keberadaannya. Beberapa aktivis JIMM, seperti Zuly Qodir (lahir, 1971) menyatakan bahwa dalam perkembangannya, Muhammadiyah tampak lebih condong ke kanan.
Sementara anak muda di kalangan Muhammadiyah memiliki hasrat yang sangat kuat di dunia politik praktis. Kondisi seperti ini menyebabkan minimnya tradisi intelektual (Pradana Boy ZTF, dkk, 2008: 17-20). Zuly Qodir kemudian menambahkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga alasan mengapa kaum muda Muhammadiyah bangkit yaitu; Pertama, melepaskan dominasi kaum konservatif dalam Muhammadiyah. Kaum konservatif telah menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi kader yang kegemukan, tidak lagi progresif menangkap tanda-tanda zaman. Muhammadiyah konservatif telah terjebak dalam aktivitas amal usaha praktis yang menjadi semacam ritual dalam Muhammadiyah.
Kedua, pertemuan antara generasi Muhammadiyah dengan generasi di luar Muhammadiyah. Pertemuan yang intensif tersebut telah memungkinkan terjadinya pertukaran wacana keilmuan dan perdebatan yang dikemas dengan cara santai, hinggamuncul kultur saling belajar, saling kritik, dan bahkan saling mengejek. Situasi seperti ini mampu menumbuhkan semangat intelektualisme dalam tubuh anak muda Muhammadiyah. Ketiga, perkembangan wacana keislaman yang demikian pesat. Situasi ini semakin menjelaskan bahwa dengan gaya konservatif tidak lagi cocok untukmerespon masalah aktual yang terus bergulir. Kondisi ini ditambah lagi dengan keterlibatan secara intensif aktivis Muhammadiyah dalam kultur low politics ketimbang high politics.
Pradana Boy (lahir, 1977) juga menengarai adanya fenomena konservatisme di kalangan Muhammadiyah. Menurut Boy, fenomena konservatisme Muhammadiyah setidaknya ditandai oleh adanya upaya untuk meminggirkan kelompok progresif di Muhammadiyah, seperti Amin Abdullah (lahir, 1953), Abdul Munir Mulkhan (lahir, 1946), dan Muslim Aburrahman. Dalam situasi seperti inilah JIMMterlahir. Selanjutnya JIMM berusaha semakinmeneguhkan niat untuk tetap menempuh jalur kultural dalam mewacanakan paham sosial keislaman yang bercorak liberal. JIMM akan tetap menyuarakan pandangan anak muda Muhammadiyah, meski tidak merupakan underbow Muhammadiyah. Bahkan jika menurut Bachtiar Efendi (lahir, 1958), JIMM sebaiknya memang menjaga jarak dengan Muhammadiyah. Dikatakannya bahwa kalau JIMM mau bersungguh-sungguh mengedepankan pemikiran transformatif maka harus melepaskan diri dari hegemoni Muhammadiyah. Sebagaimana Jaringan Islam Liberal (JIL) di NU, JIMM muncul karena anak muda tidak menemukan keutuhan pandangan dalam organisasi induk mereka. JIL tidak memiliki hubungan dengan NU sehingga dapat berkembang, maka JIMM juga harus menemukan posisinya sendiri, jangan tergantung dengan Muhammadiyah (Kompas, 26/ 12/ 2003). Tampaknya, pernyataan Bachtiar ini sangat selaras dengan keinginan aktivis JIMM untuk terus menemukan jati dirinya sendiri dan tidak bergantung dengan Muhammadiyah.

PERKEMBANGAN JIMM
Menurut salah satu pendirinya, PradanaBoy, JIMMdilahirkan pada 9Oktober 2003, bersamaan dengan acara worshop yang diadakan di Puncak, Bogor, pada 9-12 Oktober 2003.Workshop ini diselenggarakan oleh Maarif Institute for Culture and Humanity. Hadir sebagai pembicara antara lain Buya Syafii, Moeslim Abdurrahman, Haedar Nashir, Zuly Qodir, Indra J. Piliang, Zakiyuddin Baidhawy, Abd. Rohim Ghozali, Piet H. Khaidir, Hilman Latief, A. M. Dewabrata, dan Budiman Danuredjo (Kompas, 19/ 11/ 2003). Setelah acara di Bogor itulah JIMM benar-benar mengalami perkembangan yang pesat dengan banyak karya intelektual dalam bentuk artikel di media massa maupun buku.
Sementara Marpuji Ali dan M. Ali Masduki (2004: 189-190) memberikan kesan tersendiri mengenai kelahiran JIMM. Menurut keduanya, JIMM lahir begitu saja, tanpa melalui proses deklarasi. Bermula dari kegiatan santai anak-anak muda Muhammadiyah di Jalan Adityawarman, Jakarta Selatan, tempat sekretariatMaarif Foundation danMaarif Institute for Culture and Humanity, yang kemudian juga dijadikan sekretariat JIMM. Kaum muda Muhammadiyah yang terhimpun dalam JIMM telah melakukan banyak kegiatan ilmiah bernama Workshop Pemikiran Islam dan Tadarus Pemikiran Islam yang digelar di Jakarta, Yogyakarta, Malang, dan Surabaya. Bahkan untuk kegiatan Tadarus Pemikiran Islam di Malang telah menghasilkan karya akademik yang cukup dapat dibanggakan (Pradana Boy ZTF dan M. Hilmi Faiq, 2004).
Pada 24-26 Juli 2006, JIMM juga telah mengadakan kegiatan konsolidasi nasional. Acara tersebut diadakan di Jakarta dengan mengambil tema Refleksi Perjalanan Tiga Tahun JIMM. Peserta yang mengikuti kegiatan ini berasal dari perwakilan JIMMdiMalang, Surabaya, Gresik, Solo, Klaten, Yogyakarta, dan tentu saja Jakarta. Mereka yang hadir adalah para pentolan JIMM yang selama ini telah dikenal publik melalui tulisan yang sangat tajam di berbagai media massa. Misalnya saja Najib Burhani, Ahmad Fuad Fanani, dan Hilaly (Jakarta), Zuly Qadir dan Budi (Yogyakarta), Marpuji Ali dan Zakiyuddin Baidhawy (Solo), Pradana Boy (Malang), Choirul Mahfud (Surabaya), dan Moh. Shofwan (Gresik). Di samping itu juga ada aktivis JIMM perempuan seperti Tuty dan Ayu (mantan aktivisNasyiatul Aisyiyah dan IkatanMahasiswaMuhammadiyah).
Selain mereka, hadir juga beberapa narasumber, seperti Moeslim Abdurrahman, Syafi i Anwar dari International Center for Islam and pluralism (ICIP), dan Maria (Harian Kompas). Kelahiran JIMM dengan wacana yang dikembangkan ternyata tidak selalu direspon positif oleh Muhammadiyah. Jadi, persis seperti nasib JIL yang dipelopori kaum muda Nahdlatul Ulama (NU). Di antara tokoh Muhammadiyah ada yang mengecam dengan sangat keras model keislaman liberal yang dikembangkan JIMM. Bahkan di internal Muhammadiyah juga ada yang menyebut JIMM dengan Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah. Meski mendapatkan resistensi di internal Muhammadiyah, namun JIMM tetap berjuang di ranah kultural dengan mengembangkan gagasan keislaman yang terkadang berbeda secara diametral dengan arus besar (mainstream) pemikiran keagamaan Muhammadiyah.
Kehadiran JIMM dengan berbagai wacana sosial keagamaan yang dikembangkan memang telah membuat polemik baik di internal maupun eksternal Muhammadiyah. Syamsul Hidayat (2005: xiii-xxii), misalnya, menyatakan bahwa JIMM telah menghadirkan wacana yang bertentangan dengan worldview Islam dalam perspektif Muhammadiyah sebagaimana yang dikemukakan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Wacana yang diusung JIMM jelas masih menggunakan metodologi Barat dengan segala bentuk worldview yang menyertainya. JIMM juga dipandang meresahkan warga Muhammadiyah. Pandangan seperti ini di antaranya dikemukakan oleh Mustafa Kamal Pasha, staf pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta (Syamsul Hidayat dan Sudarno Shobron, 2005: 339-357).
Berbeda dengan pandangan tersebut, dengan nada yang agak santai, Din Syamsuddin, jugamengomentari kehadiran JIMMdengan menyatakan, Anda mau liberal atau liberol, silakan, yang penting anda masih shalat (Syamsul Hidayat dan Sudarno Shobron, 2005: v-xii). Dengan respon seperti ini, tampaknya Din Syamsuddin menginginkan agar pemikiran keislaman Muhammadiyah terus berada dalam posisi tengahan, sehingga dapat memelihara keseimbangan antara sangat salafi dalam hal aqidah dan ibadah mahdah dan berprinsip antum a alamu bi umur dunyakum dalam masalah muamalah-keduniaan. Anehnya reaksi keras terhadap JIMM juga terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Di UniversitasMuhammadiyah Surakarta,misalnya, terjadi pembatalan pidato wisudawan terbaik dikarenakan yang bersangkutan adalah aktivis JIMM. Di perguruan tinggi ini juga terjadi peminggiran pihak-pihak yang diduga sebagai anasir kelompok Islam Liberal. Sementara di Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Moh. Shofan, seorang aktivis JIMM, mengalami nasib yang lebih tragis karena harus dipecat dari posisinya sebagai dosen. Salah satu pertimbangan pimpinan UMG adalah dikarenakan Shofan telah mengambangkan paham liberal dalam Muhammadiyah. Bukan hanya di perguruan tinggi, JIMM juga mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pimpinan persyarikatan di hampir semua level. Situasi ini terjadi di Gresik, Yogyakarta, Klaten, Solo, dan Jakarta.
Di luar warga Muhammadiyah, kehadiran JIMM ternyata juga disambut dengan sikap yang berbeda-beda. Deliar Noer, misalnya menganggap positif kehadiran JIMM. Bahkan Deliar Noer menyebut JIMM sebagai Second Muhammadiyah (Pradana Boy ZTF, dkk, 2008: 21-25). Respon yang menunjukkan sikap kegelisahan terhadap JIMM dikemukakan oleh Kuntowijoyo (Pradana Boy ZTF, dkk, 2008: 33-39). Dengan meminjam istilah Lenin, Kuntowijoyo menyatakan bahwa setiap ada pemberontakan selalu muncul gejala sawan kekanak-kanakan . Fenomena kekanak-kanakan biasanya berupa cara berpikir yang sok liberal atau kekiri-kirian (sok radikal). Kuntowijoyo kemudian mencontohkan apa yang sedang diwacanakan pemberontakan kaum muda seperti halnya JIMM, misalnya Islam kiri, Islam liberal, Islam proletar, Islam borjuis, dan pendidikan Paulo Freire. Tanggapan yang agak reaktif terhadap JIMM dikemukakan oleh Adian Husaini (lahir, 1965). Adian Husaini misalnya menyatakan fenomena JIMM sebagai kecerobohan intelektual. Dikatakan olehAdian, aktivis JIMM telah melakukan kecerobohan karena dengan mudah mengatasnamakan intelektual dari organisasi Islam tertentu.
Meski mendapat reaksi cukup keras dari berbagai kalangan, aktivis JIMM terus bertekad mengembangkan nilai-nilai perjuangan melalui jalur kultural. Bahkan aktivis JIMM telah merumuskan visi baru yang mentereng, Menjadikan JIMM Sebagai Rumah dan Imaginasi Intelektual. Melalui visi tersebut dikembangkan misi; (1) Mengembangkan gagasan Islam yang terbuka pada dialektika pemikiran dan kehidupan, (2) Mengembangkan gagasan Islam yang kritis terhadap segala bentuk hegemoni dan dominasi, (3) Mengembangkan gagasan Islam yang memihak pada kemanusiaan. Ini merupakan hasil dari konsolidasi JIMM pada 24-26 Juli 2006 di Jakarta. Di samping merumuskan visi dan misi, JIMM juga menentukan struktur jaringan dalam bentuk presidium nasional, dengan anggota:Fuad Fanani (Jakarta),Ayu (unsur perempuan), Zuly Qodir (Yogyakarta, Klaten, Prambanan, dan Bantul), Zakiyuddin Baidhawy (Solo dan Jawa Tengah), dan Pradana Boy (Malang, Surabaya, dan Gresik).

TIGA PILAR JIMM
Menurut Muslim Abdurrahman, terdapat tiga pilar yang senantiasa diwacanakan JIMM, yakni: (1) hermeneutic, terutama dalam penafsiran kembali pemikiran Islam, (2) teori sosial kritis, yakni ilmu sosial kritis yang berkonsentrasi pada hegemoni kekuasaan, dan (3) gerakan sosial baru (new social movement) yang di antaranya dapat melalui teologi pembebasan serta penyadaran (Kompas, 21/ 11/2003). Tiga pilar inilah yang menjadi dasar JIMM. Misalnya, jika selama ini dirasakan bahwa intelektualitas kurang membumi maka JIMM dapat mencoba
menggabungkan intelektualitas dengan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Dengan cara seperti ini JIMM sebenarnya memiliki rujukan normatif-historis dalam Muhammadiyah. Seperti diketahui bahwa Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan dengan menekankan pada prinsip praksisme yang diajarkan dalam teologi al-ma un (Marpuji Ali dan M. Ali Masduqi, 2004: 192).
Tiga pilar JIMM sebagai basis konseptual dalam mengembangkan intelektualisme Muhammadiyah merupakan satu kesatuan. Misalnya, pendekatan hermeneutik digunakan untukmengubah kecenderunganMuhammadiyah yang skripturalistik-konservatif dalammemahami nash ajaran Islam.Yang dimaksud hermeneutik di sini adalah seperti yang diungkapkan oleh Habermas; an ability we acquire to the extent to which we learn to master a natural language: the art of understanding linguistically communicable meaning and to render it comprehensible in cases of distorted communication (Gayle L. Ormiston and Alan D. Schrift, 1990: 245). Berdasarkan definisi tersebut dapat dengan jelas terlihat bahwa hermeneutik pada prinsipnya berusaha menghidupkan kembali pemaknaan yang sudah mati dan memahamkan komunikasi yang sudah terdistorsi.
Model analisis hermeneutik akan sangat bermanfaat untuk memahami dan memberikan pemaknaan terhadap nilai-nilai budaya atas dasar teks-teks suci. Melalui pendekatan hermeneutik inilah diharapkan bermunculan produk keilmuan baru yang merupakan reproduksi dari pemahaman dan penafsiran lama sehingga lebih relevan dengan perkembangan zaman Pendekatan hermeneutikmurni tampaknya belummencukupi untukmenjawab tantangan zaman. Karena itulah teori-teori sosial kritis, seperti teori hegemoni Antonio Gramsci dan Paulo Freire yang menekankan pentingnya penyadaran kaum tertindas dan teologi pembebasan sangat penting digunakan sebagai pisau analisis untuk mengurai ketidakadilan sosial. Dengan bantuan teori-teori sosial kritis tersebut akan bermunculan kesadaran kritis yang secara terusmenerus merespon berbagai persoalan kemanusiaan yang terjadi di sekitar kita. Pilar terakhir JIMM, new social movement, berfungsi sebagai counter hegemony terhadap massifikasi kapitalisme dan neoliberalisme. Pada aspek inilah aktivis JIMM membedakan diri dari berbagai gerakan pemikiran liberal yang lain seperti JIL. Dikatakan bahwa intelektualisme JIMM itu bercorak praksis social sebagaimana diajarkan oleh para pendiri Muhammadiyah.
IDEOLOGI KEAGAMAAN JIMM
Ideologi merupakan aspek penting dalam sebuah gerakan sosial keagamaan. Menurut Achmad Jainuri (2004: 36), dalam pembahasan mengenai ideologi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu dipahami. Pertama, bahwa ideologi berfungsi merasionalisasikan dan mempertahankan komitmen program keagamaan, moral, sosial, politik, dan ekonomi gerakan. Kedua, ideologi merupakan justifikasi filosofis dan logis bagi tujuan gerakan dan sikap, serta perilaku warga anggotanya. Ketiga, beberapa elemen ideologi merupakan rumusan teoretis yang tentatif dan karena itu dapat berubah sesuai perubahan sosial-budaya. Dengan penjelasan ini, maka pertanyaan menarik yang perlu dikemukakan adalah apa ideologi yang dianut oleh aktivis JIMM? Apakah ideologi yang dianut Muhammadiyah dianggap sudah tidak lagi relevan oleh aktivis JIMM?
Mempertimbangkan wacana yang dikembangkan dan juga konstruk pemikiran para aktivis JIMM dapat dikatakan bahwa ideologi yang dianut adalah liberal. Untuk kepentingan pembuatan tipologi ideologi gerakan keagamaan kaum muda Muhammadiyah digunakan kerangka konsep yang diperkenalkan oleh Achmad Jainuri (2004:36), yakni konservatisme, fundamentalisme, sekularisme, dan modernisme. Tipologi gerakan Muhammadiyah yang dikemukakan Din Syamsuddin (1995: 35-71) dengan istilah purifikasi (puritanisme) dan pembaruan (modernisme), serta Zainuddin Maliki dengan label puritanis dan kulturalis. Semua karakteristik gerakan keagamaan yang dikemukakan beberapa ahli tersebut dijadikan sebagai rambu-rambu dalam melakukan pengklasifikasian terhadap ideologi keagamaan kaum muda Muhammadiyah sehingga menemukan label liberal.
Dalam hal ini perkataan liberal harus dipahami dengan merujuk pada pendapat Kurzman (2003: xlii) dengan beberapa kriteria: (1) liberal dalam beberapa pengertian dipahami ideologi yang diambil mereka yang bersikap oposan terhadap revivalis Islam, (2) Islam dalambeberapa pengertian adalah mereka yang percaya bahwa Islam memiliki peran penting dalam dunia kontemporer, sebagai lawan dari kaum sekularis, (3) Karya-karya mereka dibaca secara luas, dan (4) secara ideologismewakiliberbagai pahamIslamliberal,misalnya syari ah liberal (liberal syari ah), syari ah yang diam (silent syari ah), dan syari ah yang ditafsirkan (interpreted syari ah).

Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut; Pertama, argumentasi anak muda Muhammadiyah yang terhimpun dalam JIMM melakukan kritik terhadap Muhammadiyah adalah dikarenakan adanya gejala konservatisme di lingkungan persyarikatan. Dalam hal ini Muhammadiyah dipandang sebagai organisasi yang telah kegemukan sehingga cenderung lamban dan tidak progresif merespon berbagai persoalan aktual. Muhammadiyah juga dipandang terlalu sibuk dengan kegiatan rutin yang berkaitan dengan amal usaha dan kehilangan ruh/ semangat intelektusalisme. Sehingga dengan demikian gerakan tajdid yang telah lama menjadi trademark Muhammadiyah mengalami stagnasi dan bahkan hilang. Akibatnya, Muhammadiyah lebih menampilkan diri sebagai gerakan prakis dan bukan gerakan intelektual. Kedua, tema pokok yang diwacanakan aktivis JIMMada tiga hal; hermeneutik, teori sosial kritis, dan gerakan sosial baru (new social movement). Tiga pilar ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan menempuh tiga pilar tersebut diharapkan aktivis JIMM dapat melakukan gerakan penyadaran terhadap berbagai bentuk kegiatan, terutama yang berdimensi sosial kemanusiaan. Ketiga, corak ideologi keagamaan JIMM adalah liberal dalam pengertian yang luas, sebagaimana yang dikemukakan Charles Kurzman, baik dalam bentuk syari ah liberal (liberal syari ah), syari ah yang diam (silent syari ah), dan syari ah yang ditafsirkan (interpreted syari ah).

SUMBER TINTA

Asyari,Deni.Dkk. 2005, Pemberontakan Kaum Muda Muhammadiyah. Yogyakarta: Resist Book,
Geertz, Clifford. 1960, The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe,
Habermas, Jurgen. 1990, The Hermeneutics Claim to Universality. Dalam TheHermeneuticsTradition. Ed.GayleL.Ormiston and Alan D. Schrift. New York: State University of New York Press,
Hidayat, Syamsul dan Sudarno Shobron (ed.). 2005. Pemikiran Muhammadiyah Respon Terhadap Liberalisasi Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press,
Jainuri, Achmad. 2002. Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, terj. Ahmad Nur Fuad. Surabaya: LPAM,
Karim, M. Rusli (ed). 1986. Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali Press,
Kurzman, Charles (ed). 2003. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina,
Maarif, A. Syafii. 1997. Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Marpuji Ali dan M. Ali Masduqi. Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah: Sebuah Eksperimen Gerakan Ilmu. Profetika Jurnal Studi Islam. Vol. 6. No. 2. (Juli 2004),
Nakamura, Mitsuo. 1976, TheCrescent ArisesOver theBanyan Tree:A Studyof the Muhammadiyah in A Central Javanese Town. Cornell University Press,
Noer, Deliar. 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES,
Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. 2002, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Dalam Perspektif Historis dan Ideologis.Yogyakarta: LPPI UMY Press
ZTF, Pradana Boy dan M. Hilmi Faiq (ed). 2004, Kembali Keal-Qur anMenafsir Makna Zaman Suara-suara Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press,
ZTF, Pradana Boy. Dkk. 2008, Era Baru Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMMPress dan Al-Maun Institute,

- Designed by Azaki Khoirudin -