(Dakwah Komunitas Multikultural)
Oleh: Azaki Khoirudin
(Ketua Umum PD IPM Kabupaten Gresik periode 2007-2009)

PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah gerakan dakwah IPM, sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli 1961 kemudian mengalami perubahan menjadi IRM pada tanggal 18 November 1992, dan kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo. Pasca perubahan nama dari IRM ke IPM pada Muktamar IRM XVI di Solo, menyisakan banyak ‘pekerjaan-rumah’, agar perubahan nama bukan sekedar euforia tanpa hakikat  yang pasti dari sebuah nilai gerakan IPM telah menjalani perjalanan dakwah yang cukup panjang dengan segala bentuk strategi gerakan yang dimilikinya.
Muktamar IPM XVII di Bantul mencoba menorehkan sejarah dalam sejarah pergerakan IPM dengan meluncurkan Gerakan Pelajar Kreatif sebagai alur metodik gerakan yang berbasis pelajar ini.  IPM selalu melakukan analisis dengan segala persoalan yang ada, guna menjawab sebuah persoalan tersebut. Bukan berarti Gerakan Kritis Transformatif yang telah di deklarasikan sebelumnya sudah tidak relevan lagi dalam menjawab persoalan saat ini, akan tetapi bagaimana Gerakan Kritis Transformatif dapat di implementasikan lebih riil di lapangan, tidak terkesan kaku dan kuno sehingga mudah diterima dikalangan basis massa IPM, yaitu pelajar saat ini.
Diskursus terjadi cukup sengit mempertanyakan hakikat GPK sebagai sebuah paradigma baru atau hanya sebagai sebuah strategi gerakan semata. Karena masih banyak pihak menyatakan bahwa pisau analisis belum begitu tajam untuk melahirkannya sebagai gerakan baru.  Sehingga efek selanjutnya dibutuhkan konsentrasi yang luar biasa bagaimana produk ini bukan sekedar perubahan yang bersifat legalitas simbolis tanpa ruh. Dari sanalah dapatlah kita lihat bagaimana saat concern isu belum kita temukan karena ada pergeseran nilai yang bersifat utopis. Serta model gerakan IPM yang belum menemukan identitasnya. Pencurahan gagasan yang kritis dan kreatif sangat diperlukan untuk menjawab dialektika dengan cara menganalisa mana yang tergolong tesis, mana yang tergolong antitesis, kemudian diambil sintesisnya.
Menjawab masalah Gerakan Pelajar Kreatif sebagai Paradigma baru atau hanya strategi Gerakan dan bahkan terjadinya pergeseran nilai, ini tidak mudah karena harus karena penulis harus melihat IPM dari segi  normativitas dan historisitas. Normativitas yaitu dengan melihat teks, ajaran, nilai-nilai, dan ideologi. Sedangkan, historisitas yaitu dengan melihat dari segi praktik dan implementasi teks, ajaran, nilai-nilai, dan ideologi melalui gerakan-gerakan dan strategi yang dilakukan selama ini.
Sebagai oraganisasi IPM perlu identitas kolektif dan perlu men-tajdid dan men-ta’kid pemikiran mengenai masalah IPM dan Ke-Islaman.  IPM harus melakukan pembangunan isu strategis berkait dengan gerakannya dalam kancah lokal, nasional dan internasional rangka mendukung tujuan IPM dan Muhammadiyah di masa yang akan datang. Sebagai gerakan yang berkarakter moderat-reformis seperti hanya Muhammadiyah, karakter ini dapat dilihat dalam “Matan Kepribadian Muhammadiyah” maupun “Matan Kepribadian IPM”.
Sebagai gerakan yang bercorak moderat-reformis yang selalu berorientasi ke depan, IPM harus selalu memikirkan masa depan gerakan yang  akan dilakukan. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab kepada Allah atas pemberian anugrah tertimggi-Nya kepada manusia berupa akal. Karena hanya manusia yang diberi akal, dan dengan karunia itu manusia dapat mencapai kedudukan lebih tinggi ketimbang malaikat. Salah satu kelebihan akal manusia ialah kemampuan utuk belajar. Oleh karena itu sebagai orang yang belajar yang disebut dengan pelajar, IPM bertanggunjawab memikirkan masa depannya dalam rangka mempertahankan eksistensinya sebagai gerakan dakwah dikalangan pelajar.

Normativitas dan Historisitas IPM
Mengkaji IPM yang berada dinaungan payung besar gerakan social keagamaan, yakni Muhammadiyah adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan pikiran yang holistic dan tidak mudah. Penulis mengkaji IPM menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan normativitas dan pendekatan historisitas. Metode pendekatan Normativitas yaitu cara membaca dengan melihat teks, ajaran, nilai-nilai, dan ideologi yang menjadi keyakinan dan cita-cita suatu organisasi atau sebuah gerakan. Sedangkan, metode pendekatan historisitas yaitu dengan cara melihat gerakan dari segi praktik dan implementasi teks, ajaran, nilai-nilai, dan ideologi yang menjadi keyakinan dan cita-cita yang diperjuangkan melalui gerakan-gerakan riil dan strategi yang dilakukan selama ini atau lebih tepatnya yaitu pergerakan.
Secara normatif, IPM dapat dikaji melalui teks-teks ideologis yang dirumuskan, diantaranya melalui Matan Kepribadian IPM, Muqadimah AD IPM, Khittah Perjuangan dan Janji Pelajar. Anggaran Dasar menuliskan bahwa IPM adalah organisasi otonom Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar di kalangan pelajar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-Qur‘an dan As-Sunnah (AD IPM pasal 3). Dilihat dari pengertian ini, IPM sebagai ortom Muhammadiyah, artinya IPM memiliki otonomi (independensi) dalam melakukan upaya-upaya dalam melaksanakan aktivitasnya. IPM memiliki tujuan bersar yang mewakili pembentukan manusia atau pendidikan dalam upaya memanusiakan manusia, yakni, Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (AD IPM Pasal 6).
Atas dasar pijakan di atas IPM, sebagai salah satu organisasi berbasis pelajar dan juga sebagai salah satu organisasi otonom Muhammadiyah didirikan sebagai bentuk respon terhadap penjagaan ideologi pelajar dari ideologi komunis yang berkembang pada saat berdiri. Selain itu, IPM berdiri karena sebuah keharusan bagi Muhammadiyah untuk menanamkan nilai-nilai ideologi perjuangan Muhammadiyah kepada kader-kader yang kebetulan saat itu Muhammadiyah telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan. Karena itu perlu organisasi Muhammadiyah sayap pelajar yang nantinya konsen pada persoalan-persoalan pelajar dan dunianya. Di samping itu pula, Kelahiran IPM memiliki dua nilai strategis. Pertama, IPM sebagai aksentuator gerakan dakwah amar makruf nahi munkar Muhammadiyah di kalangan pelajar (bermuatan pada membangun kekuatan pelajar menghadapi tantangan eksternal). Kedua, IPM sebagai lembaga kaderisasi Muhammadiyah yang dapat membawakan misi Muhammadiyah di masa yang akan datang.
Dalam historisnya IPM berubah menjadi IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). IRM adalah nama lain dari IPM yang memiliki filosofi gerakan yang tidak berbeda dengan IPM. Hanya saja IRM memiliki jangkauan yang lebih luas yakni remaja. IRM dengan garapan yang luas tersebut mempunyai tantangan yang berat karena tanggung jawab moral yang semakin besar. Gerakan IRM senantiasa dituntut untuk dapat menjawab persoalan-persoalan keremajaan yang semakin kompleks di tengah dinamika masyarakat yang selalu mengalami perubahan.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya rezim Orde Baru dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI kedua, gejolak untuk mengembalikan nama dari IRM menjadi IPM kembali hidup pada Muktamar XII di Jakarta tahun 2000. Pada setiap permusyawaratan muktamar sekanjutnya pun, dialektika pengembalian nama terus bergulir seperti ”bola liar” tanpa titik terang. Barulah titik terang itu sedikit demi sedikit muncul pada Muktamar XV IRM di Medan tahun 2006. Pada Muktamar kali ini dibentuk ”Tim Eksistensi IRM” guna mengkaji basis massa IRM yang nantinya akan berakibat pada kemungkinan perubahan nama.
Di tengah-tengah periode ini pula, PP Muhammadiyah mendukung adanya keputusan perubahan nama itu dengan mengeluarkan SK nomenklatur tentang perubahan nama dari Ikatan Remaja Muhammadiyah menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah atas dasar rekomendasi Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2007. Walaupun ada SK nomenklatur, di internal IRM masih saja mengalami gejolak antara pro dan kontra terhadap keputusan tersebut.
Kemudian, Pimpinan Pusat IRM mengadakan konsolidasi internal dengan seluruh Pimpinan Wilayah IRM Se-Indonesia di Jakarta, Juli 2007, untuk membicarakan tentang SK nomenklatur. Pada kesempatan itu, hadir PP Muhammadiyah untuk menjelaskan perihal SK tersebut. Pada akhir sidang, setelah melalui proses dialektika yang cukup panjang, forum memutuskan bahwa IRM akan berganti nama menjadi IPM, tetapi perubahan nama itu secara resmi terjadi pada Muktamar XVI IRM 2008 di Solo. Konsolidasi gerakan diperkuat lagi pada Konferensi Pimpinan Wilayah (Konpiwil) IRM di Makassar, 26-29 Januari 2008 untuk menata konstitusi baru IPM. Maka dari itu, nama IPM disyahkan secara resmi pada tanggal 28 Oktober 2008 di Solo. Atas dasar di atas, dirumuskanlah nilai-nilai dasar Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam Muktamar: 1. Keislaman, 2. Keilmuan, 3. Kekaderan, 4. Kemandirian, dan 5. Kemassyarakatan (Tanfidz IPM XVI, 2008: 8-9).
Dinamika gerakan terus terjadi membuat Ikatan Remaja Muhammadiyah mengubah diri kembali menjadi Ikatan Pelajar Muhamamdiyah (IPM). Perubahan ini tidak hanya perubaan huruf “P” menjadi “R”. Dalam perubahan ini ada semangat untuk membebaskan pelajar dari berbagai tekanan dan penindasan dari berbagai kalangan. Hal ini karena karena IRM (pada waktu itu) masih melihat fenomena pelajar yang terus dijadikan obyek kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak adil, banyaknya penindasan-penindasan terhadap pejar itu sendiri, dan masih banyak pelajar yang sampai sekarang terpasung hak-haknya untuk mengembangan bakat, ketrampilan serta keilmuan. Selain itu orang masih meragukan bahwa sebenarnya pelajar mampu menjadi subyek dalam setiap perubahan positif. Dalam hal inilah urgensi untuk kembali kepada pelajar, sehingga gerakan IPM bisa fokus dari, oleh, dan untuk pelajar. Atars dasar itu pada Muktamar XVII IPM di Bantul dirumuskan nilai-nilai Dasar Perjuangan menjadi: 1. Nilai Ketauhidan. 2. Nilai Keilmuan 3. Kekaderan, 4. Kemandirian, dan 5. Keadilan. (Tanfidz IPM XVII, 2010: 20).
Melihat nilai-nilai dasar ikatan antara Muktamar XVI dan XVII, penulis melihat ada pergeseran nilai, hal itu terlihat pada nilai yang kelima, yakni nilai kemasyarakan dihilangkan dan diganti dengan nilai keadilan. Apakah sama antara kemasyarakatan dengan keadilan? Yang jelas adalah berbeda. Nilai keadilan sudah mencakup kepada keimanan atau katauhidan (transendensi), karena orang yang beriman sudah jelas menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Sehingga IPM sekarang adalah kehilangan nilai universal yang sangat penting, yakni kemasyarakatan (humanisasi) atau istilah al-Qur’anya ialah amar ma’ruf. Kalau IPM memang sebagai gerakan dakwah, maka nilai humanitas harus dikembalikan dalam rangka mewujudkan perlajar muslim yang sebenar-benarnya.

Analisa Problematika Gerakan
Kondisi suatu organisasi dapat dianalisis dengan didasarkan dua varaiabel: fokus dan sifat. Fokus kondisi adalah  objektif dan subjetif.  Masing masing kondisi ini bisa bersifat positif dan bersifat negatif. Kondisi objektif adalah kondisi yang ada di luar tubuh organisasi tetapi mempengaruhi kehidupan  dan gerak langkah organisasi. Kondisi objektif ini bisa bersifat positif atau menguntungkan tetapi juga bisa bersifat negative atau merugikan, ataupun bisa memiliki kedua sifat tersebut. Sedangkan kondisi subjektif adalah kondisi yang ada dalam diri ikatan sendiri, yang  juga bisa bersifat positif atau menguntungkan dan negative atau merugikan. Kondisi ini dapat diujudkan kedalam dibawah:[2]
Kondisi tipe I adalah, fokus subjektif memiliki sifat positif. Antara lain dapat diidentifikasi dalam wujud, a)terdapat jaringan organisasi sangat luas mencakup seluruh wilayah Indonesia; b)memiliki struktur organisasi dan kepemimpinan yang sudah mapan; c)Muhammadiyah memiliki amal usaha sekolah yang banyak tersebar diseluruh pelosok tanah air; d)memiliki anggota yang aktif dan penuh semangat; e);memiliki kekuatan akar rumput yang kuat di ranting.
Kondisi tipe II memiliki fokus objektif dan memiliki sifat positif. Antara lain, a) memiliki sistem politik dan pemerintahan yang demokratis; b) kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memberikan kemungkinan untuk dimanfaatkan bagi kemajuan kehidupan umat manusia; f) memiliki keanekaragaman budaya sebagai benteng pertahanan melawan  arus globalisasi.
Kondisi tipe III fokus objektif memiliki sifat negative. Antara lain, a) memiliki daerah yang luas sebagian wilayah kepulauan tetapi jaringan tranportasi amat minim; b)pembangunan dan kamajuan daerah tidak merata; c) kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dimanfaatkan untuk kegiatan yang cenderungan merusakah kehidupan terutama moral pelajar; d) globalsiasi mengakibatkan pengaruh asing baik dalam aspek politik, ekonomi sosial dan budaya cepat masuk dan mempengaruhi hidupan bermasyarakat; e) dominasi asing dalam kehidupan masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan  budaya sangat kuat; f) sebagian masyarakat masih hidup dalam sikap irrasional; g) kecenderungan kehidupan sekuler semakin kuat, j) diantara kekuatan muslim tidak memiliki sistem yang menyatukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; k)penegakkan hukum sangat lemah.
Kondisi tipe IV fokus subjektif memiliki sifat negative. Antara lain, a)tidak dapat membina anggota dan simpatisan yang belum menjadi kader sebagaimana yang diharapkan, sehingga banyak diantara mereka mencari organisasi luar ikatan; b) kurangnya kesadaran ber-IPM di kalangan sebagian pimpinan dan anggota; d) kemampuan manajemen pada sabagian besar  pimpinan IPM masih rendah;  f) banyak aturan dan pedoman organisasi yang sudah out of date; g) Kekurangan kader dalam berbagai bentuk, yang antara lain muncul dalam bentuk kekurangan pemimpin berkualitas untuk berbagai posisi.

Analisis Paradigma Gerakan Kritis Transformatif dan Pelajar Kreatif
Secara historisitas, gerakan dakwah IPM, sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli 1961 kemudian mengalami perubahan menjadi IRM pada tanggal 18 November 1992, dan kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo hingga Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM telah menjalani perjalanan dakwah yang cukup panjang dengan segala bentuk strategi gerakan yang dimilikinya.
Muktamar XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Kritis- Transformatif (GKT). Sebagai gerakan kritis, IPM memiliki ciri: sadar, peka, dan peduli terhadap persoalan sosial dalam rangka melakukan sebuah perubahan yang lebih baik (tanfidz Muktamar XVII). Kritis adalah cara pandang yang mampu memposisikan dirinya sebagai katalis yang mampu membuat perubahan di medan social (Karim, 2009: 143). Jika demikian berarti kritis adalah cara pandang yang tidak hanya mampu memahami tatapi juga mengkritisi apa yang dipahami. Cara pandang yang secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan secara moralitas dan keilmuan, maka paradigm kritis  itu dialihkan ke medan social dalam rangka membangun stuktur social untuk merubah masyarakat, inilah yang disebut dengan “tranformatif”.
Dalam IPM, bentuk transformative ialah upaya melakukan (Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan) menjadi trilogi gerakan. Trilogi gerakan ini relevan jika dibandingkan dengan pemahaman Haidar[3] dalam mengartikan kata tranformatif sebagai bentuk perubahan-perubahan yang signifikan pada keyakinan, sikap, perilaku, dan tindakan, yang mana perubahan-perubahan tersebut bersifat (memajukan, memberdayakan, dan membebaskan). Namun dari ketiga sifat tersebut yang berbeda ialah kata penyadaran dengan memajukan, kata penyadaran sudah jelas sama, dan kata pembelaan memiliki esensi yang sama dengan membebaskan. Sehingga, trilogi GKT terkesan kurang proaktif dan dinamis kerana tidak ada kata memajukan.
Sebagai pewaris dan pejuang keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah, IPM harus melakukan penyadaran terhadap pelajar mengenai ideologi. Freire mengklasifikasikan kesadaran manusia menjadi tiga tingkat: 1. Kesadaran Magis, yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, misalnya pelajar yang bodoh tidak mampu melihat kaitan kebodohannya dengan sistem pendidikan dan kebudayaan yang ada.  2. Kesadaran Naif, yaitu kesadaran yang melihat aspek manusia sebagai akar penyebab masalah, dalam hal ini misalnya pelajar yang bodoh tadi mampu menganalisa bahwa penyebab kebodohannya dikarenakan kemalasan atau tidak bercita-cita yang jelas,  dan 3. Kesadaran kritis, yaitu kesadaran yang mampu melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Dalam hali ini pelajar kritis ialah yang mampu menganalisa struktur dan sistem sosial dan mampu mentranformasikannya dalam rangka mencapai kerahmatan.
Paradigma kritis transformatif, dalam ql-Qur’an tidak dibangundengan kerangka pikiran dekotomis anara ayat Allah SWT, yang verbal berupa al-Qur’an dan yang non-verbal berupa hamparan alam semesta beserta gejalanya. Dalam al-Qur’an semangat tranformatif dapat dijumpaai dalam beberapa ayat yang tertera lafadz al-hijrah, al-jihadu, al-fatihu, al-Rofiu, dan al-Baitsu. Dalam bentuk moderat, kritis tranformatif menjanjikan multikulturalisme baik secara etis maupun praktis. Kritis transformatif pada ahirnya ialah, pengakuan pada adanya multi-rasionalitas, multi-etnis, multi-budaya, dan multi-agama (Karim, 2009: 183-185). Hal ini berarti, salah satu kelebihan dari paradigma kritis tranformatif ialah mendorong terjadinya konsientisasi. Dan multikulturalisme akan menimbulkan adaptasi budaya antar individu maupun komunitas.
Seorang pemikir berkebangsaan Brazil, bernama Paulo Freire adalah tokoh yang secara khusus membicarakan pendidikan . Dalam pandangannya ia berujar, “Pemikiran Kritis adalah pemikiran yang melihat suatu  hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dekotomi antara keduannya. Pemikiran kritis memandang realitas sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang statis. Pemikiran kritis tidak memisahkan diri dari tindakan tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menhadapi resiko.” Paradgima kiritis tranformatif, secara garis besar dapat dipolakkan menjadi dua bagian, yaitu dimensi semangat teoritis pengetahuan dan semangat praksis pengetahuan. (Karim, 2009: 135). Oleh sebab itu, jika memang IPM dahulu menggunaka paradigma kiritis tranformatif, maka sudah seharusnya IPM tidak boleh terlepas dari hiruk-pikuk masalah yang berkembang pada pelajar.
Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM kembali mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai jawaban terhadap persoalan yang dihadapi saat ini. IPM menganggap Gerakan Kritis Transformatif belum terimplementasi pada sebuah aksi nyata baru sebatas pada akal teoritis, belum menyentuh akal praktis. Gerakan Kritis Tranformatif, buka berarti sudah tidak relevan lagi dalam menjawab persoalan saat ini, akan tetapi bagaimana Gerakan Kritis Transformatif dapat di implementasikan lebih riil di lapangan, tidak terkesan kaku dan kuno sehingga mudah diterima dikalangan basis massa IPM, yaitu pelajar saat ini. tantangan pelajar saat ini hidup di tengah gencarnya arus globalisasi dengan segala bentuk kemajuan zaman yang ada, persaingan yang kompetitif dan pemanfaatan teknologi maupun informasi yang serba canggih, menuntut mereka untuk dapat bersaing di zamannya dan selektif dalam melakukan sebuah pilihan hidup mereka sebagai seorang pelajar.
Selain tantangan juga ada yang menjadi ancaman kalau pada waktu berdiri tantangan IPM adalah berhadapan dengan ideology komunism yang berkembang pada masa itu, naumun tantanga pada zaman globalisasi seperti hedonism, sekulerism, pragmatism, liberalism, pluralism, capitalism, materialism, neoliberalism. dan paham-paham dan budaya lain dari asing yang mau tidak mau harus dihadapi oleh pelajar muslim yang cenderung dekonstruksi terhadap pemikiran pelajar. Oleh sebab itu, IPM harus berperan melawan menjadi antitesa terhadap pemikira-pemikiran tersebut, dan alangkah lebih baik IPM mampu berdialohg dengan paham-paham tersebut dilandasi dengan teologi (aqidah) yag kuat dan melakukan sintesa dan dakwah diagnostik.
Melalui Gerakan Pelajar Kreatif inilah, IPM mencoba menguatkan diri dan mensinergikan ketiga dimensi Iman, Ilmu, dan Amal dalam menjalankan gerakan dakwahnya di kalangan pelajar. Bagaimana IPM dapat melakukan Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan IRM yang pernah di deklarasikan kala itu, kemudian menciptakan sebuah karakter pelajar yang tidak hanya memiliki keshalehan ritual semata tanpa memiliki ilmu dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, atau seorang pelajar yang shaleh dan berilmu, akan tetapi tidak mengamalkannya dengan melakukan sebuah perubahan.
Hasil analisa sebenarnya GPK pada dasarnya merupakan bentuk kristalisasi dari GKT. GKT dengan Paradigma Kritis melakukan Kesadaran Kritis  kemudian baru bentuk aksi yang disebut dengan Gerakan Kritis. Selama ini dari tiga metode tersebut, IPM belum menyentuh pada rana gerakan kritis, baru pada tataran paradigm dan kesadaran kritis. Selain itu konsep ini belum banyak diketahui dan dipahami oleh anggota maupun kader IPM sendiri, GKT lebih cenderung membentuk gerakan social yang dilakukan  individu bukan secara kolektif (komunitas) dan menghasilkan kesalehan personal (bukan kesalehan kolektif). IPM juga tidak hanya menghasilkan kader yang kritis, tetapi kader yang kreatif, yakni yang mampu bertindak melakukan tranformasi social. Oleh sebab itu, GKT harus dikristalisasi ke dalam aksi real yaitu menjadi Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) yang berbasis komunitas. Sehingga integrasi pelajar kritis dan pelajar kreatif adalah sangat tepat diterapkan oleh IPM. Kedua gerakan tersebut yang memang sejatinya tidak bertentangan harus menjadi kesatuan yang utuh dan GPK bukan menjadi hal baru bagi IPM. Karena GPK adalah perpanjangan tangan atau bentuk kristalisasi GKT. Tegasnya, GPK yang terkesan baru ini tidak meninggalkan GKT. Dengan adanya pemaduan gerakan, maka akan tercipta integritas sebuah Gerakan Dakwah yang didukung dengan komunitas yang di dalamnya adalah pelajar-pelajar yang kreatif. Pemaduan paradigma GKT dan GPK, belum cukup. Karena analisa penulis Gerakan Pelajar Kreatif mirip dengan Muhammadiyah disebut dengan Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah (GJDJ).
Dakwah Komunitas Multikultural: Integrasi Perlajar Kritis dan Kreatif
Perubahan paradigma sangat penting untuk dilakukan mengingat tantangan dakwah yang dihadapi sekarang ini kian kompleks dan berat. Bertahan pada paradigma lama hanya akan menjadikan gerakan IPM semakin tertinggal dengan dinamika masyarakat. IPM akan tetap eksis manakala mampu menjawab tuntutan perubahan dan kebutuhan pelajar. Organisasi hanyalah sebuah alat, oleh sebab itu IPM sebagai alat perjuangan harus selalu fleksibel dengan zaman yang dihadapi, karena organisasi harus selalu relevan dan memiliki efek terhadap zaman yang ada. Langkah penting dalam aktualisasi dakwah IPM ialah melakukan perubahan paradigma.
Muktamar XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Kritis- Transformatif yang memiliki ciri: sadar, peka, dan peduli terhadap persoalan sosial dalam rangka melakukan sebuah perubahan yang lebih baik. Tentunya IPM sadar betul terhadap realitas sosial saat itu, sehingga dengan Gerakan Kritis-Transformatif (GKT) diharapkan dapat menjawab persoalan sosial (pelajar-pendidikan) kala itu IPM dapat melakukan Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan. Namun, di era globalisasi dan zaman yang senantiasa berubah, IPM sebagai anak panah Muhammadiyah yang memiliki moto Islam berkemajuan. Maka, Gerakan IPM harus menyesuaikan dengan kemajuan zaman kekinian.
Sebagai wujud dari fleksibilitas gerakan yang senatiasa berusaha  agar diterima dengan zaman, maka Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM  mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai jawaban terhadap persoalan yang dihadapi saat ini. Melalui Gerakan Pelajar Kreatif, IPM kembali menguatkan diri dan mensinergikan ketiga dimensi Iman, Ilmu, dan Amal dalam menjalankan gerakan dakwahnya di kalangan pelajar. Kemudian menciptakan sebuah karakter pelajar yang tidak hanya memiliki keshalehan ritual semata tanpa memiliki ilmu dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sebenarnya GPK dan GKT adalah dua paradigma dan strategi yang sudah bagus kalau diterapkan dalam IPM. Gerakan Pelajar Kreatif harus menintegrasi dengan Gerakan Kritis Transformatif. Artinya praksis gerakan pelajar kreatif harus memiliki ruh gerakan kritis transformative. Yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana integrasi kedua paradigm itu mampu menyentuh dan diterima pada komunitas pelajar. Apakah GPK mampu masuk kepada komunitas dan nilai-nilai IPM dapat terbumikan melalui gerakan 1000 komunitas. Atau hanya lebel (branding) IPM saja yang menyatu dengan komunitas, namun nilai-nilai yang yang menjadi keyakinan dan cita-cita hidup IPM.
Dakwah komunitas tidak akan tersentuh nilai-nilai IPM, karena komunitas memiliki sikap ekslusif. Artinya, lebih tertutup melindungi nilai-nilai yang ada pada komunitas tersebut. Komunitas lebih senang dan nyaman dengan kebiasaan dan hony mereka dari pada nilai yang baru dari IPM. Kerika basis hanya komunitas kecil, dak IPM menjadi tersegmen-segmen (terjadi parsialisasi). Ideologi IPM akan menyentuh kepada komunitas manakala ada terjadinya sikap saling menerima, saling menghormati kultur yang ada pada tiap atau antar komunitas. Inilah yang disebut dengan “dakwah komunitas-multikultural”. Konsep ini seperti halnya Muhammadiyah yang memiliki GJDJ (Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah) yang kemudian disempurnakan dengan “dakwah cultural”. Jadi, tidak ada salahnya jika kita menggunakan dakwah “komunitas-multikultural”. Gerakan Komunitas-multikultural ialah “upaya untuk mengajak seseorang atau Kelompok (komunitas pelajar) agar dapat memeluk dan mengamalkan ajaran Islam atau mewujudkan ajaran Islam ke dalam kehidupan nyata”. Artinya IPM jika ingin mengajak komunitas supaya mengamalkan ajaran Islam dalam praktis kehidupan, IPM harus menyentuh dan menerima budaya mereka.
Saat ini, multikultural menjadi perhatian yang cukup mengglobal  memaksa setiap komunitas untuk menerimanya. Sebagai gerakan pelajar kreatif yang berbasis komunitas, maka IPM harus menggunakan strategi dakwah komunitas-multikultural. Karena bangsa Indonesia yang kita tahu memiliki banyak budaya, suku, ras dan agama. Istilah multicultural adalah mengakui, menerima kemajemukan budaya yang sangat beragam. Multikultural ialah sikap menerima kemajemukan ekspresi budaya manusia.
Akar kata untuk memahami multi cultural ialah kata “multi” artinya banyak, dan “kultur” artinya budaya. Conrad P. Kottak dalam (Naim & Sauqi, 2010: 123-125), menjelaskan kultur memiliki karakter khusus. Pertama, kultur adalah sesuatu yang general sekaligus spesifik. Kedua, kultur ialah sesuatu yang dipelajari. Ketiga, kultur ialah sebuah symbol. Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami, Kelima, kultur ialah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota komunitas. Keenam, kultru ialah sebuah model, artinya tersistem secara jelas. Ketujuh, kuutur ialah sesuatu yang bersifat adaptif.
Karakteristik diatas, dapat dikembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap multikuktural, yaitu kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini, mengharuskan adanya pemehaman, saling pengertian, toleransi, agar tercipta kerahmatanlilalamin dan kehidupan yang damai serta terhindar dari berbagai konflik baik antar maupun intern komunitas. Sedangkan, komunitas-multikultur ialah komunitas yang mampu menekankan dirinya sebagai artbitrer, yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsiliasi ketika proses dialog tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh. Karena tidak mungkin sebuah komunitas, apalagi pelajar selamanya berada dalam keadaan damai tanpa persoalan, sebab persoalan inilah dinamika hidup. Adapun, dakwah komunitas-multikultural ialah sebuah konsep dimana sebuah komunitas dapat mengakui keberagaman kultur, sehingga mampu hidup berdampingan damai dalam prinsip co-existence yang ditandai kesediaan untuk menhormati komunitas yang budayanya berlainan. Komunitas-multikultural senantiasa memiliki optimisme sebagai problem solver ditengah social community.
PENUTUP
IPM, sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli 1961 kemudian mengalami perubahan menjadi IRM pada tanggal 18 November 1992, dan kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo hingga Muktamar XVII di Yogyakarta, Muktamar XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Kritis- Transformatif (GKT). Gerakan Kritis-Transformatif (GKT) diharapkan dapat menjawab persoalan sosial (pelajar-pendidikan) kala itu IPM dapat melakukan Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan. Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM  mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai jawaban terhadap persoalan yang dihadapi saat ini.
Prubahan GKT ke GPK pada dasarnya bentuk kristalisasi paradigm kritis tranfotmati menjadi pelajar kreatif. Atau lebih tepatnya merupaka perpanjangtangan dari kritis teoritis menuju kreatif yang aplikatif. Gerakan pelajar kreatif, menitik tekankan kepada komunitas, yakni komunitas pelajar. Dakwah komunitas tidak akan tersentuh nilai-nilai IPM, karena komunitas dinilai memiliki sikap ekslusif. Jadi, diperlukan paradigm yang lebih inklusif yang dinamakan Dakwah Komunitas-Multikultural, yang memiliki sebuah konsep dimana sebuah komunitas dapat mengakui keberagaman kultur, sehingga mampu hidup berdampingan damai dalam prinsip co-existence yang ditandai kesediaan untuk menhormati komunitas berlainan budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: ReaD dengan Pustaka Pelajar.
Hadjid. 2008. Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Ayat Pokok Ayat al-Qur’an. Malang: LPI PPM.
Haidar Nashir. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
Muhammd Karim. 2009. Pendidikan Kritir Transformatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ngainun Naim & Achmad Sauqi. 2010. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tanfidz Muktamar 1 Abad Muhammadiyah (Muktamar ke-46), Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
Tanfidz Muktamar XVII Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Yogyakarta, 2-8 Juli 2010
Tanfidz Muktamar XVI Ikatan Remaja Muhammadiyah, SOlo, 2008
Tanfidz Muktamar XV Ikatan Remaja Muhammadiyah,  Medan 2006




[1] Makalah ini dibuat dalam rangka  memenuhi persyaratan Taruna Melati Utama yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada tanggal 10 – 20 Mei 2011 di Bengkulu.
[2] Zamroni. 2007. “Idealitas dan Realitas Sekolah Kader: Mengidentifikasi Tantangan di Masa Depan”. Makalah. Yogyakarta: disampaikan pada Loka Karya Sekolah kader Muhammadiyah, diselenggarakan oleh MPK PP Muhammadiyah pada tanggal 10 Nopember 2007 di Universitas Muhammadiyah Malang.

[3] Haidar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah) dalam materi “Perkaderan Tranformatif” yang disampaikan pada Seminar dalam Rapat Kerja Nasional Majelis Pendidikan Kader Pinpinan Pusat Muhammadiyah (Rakernas MPK PPM) pada tanggal 22 – 24 April 2011 bertempat di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

- Designed by Azaki Khoirudin -