- Back to Home »
- Transformasi Gerakan Pelajar?:
Dari
Gerakan Kader, Advokasi, Media, sampai model Perlawanan Pelajar[1]
David
Efendi
Abstract
Gerakan
pelajar di Indonesia dianggap mengalami kemunduran jauh dari periode awal
revolusi dimana gerakan kaum pelajar menduduki actor sejarah paling utama
disbanding dengan kelompok lain seperti buruh, tani, nelayan dan kaum
aristokrasi traditional. Pasca reformasi, gerakan pelajar kembali disoroti
semakin melembek dan kehilangan orientasi gerakan. IPM sebagai gerakan pelajar
bercirikan modern dan islam mengalami dinamikanya sendiri. Meski secara
paradigm mengalami transformasi namun sejatinya mindset sebagian besar anggota
tidak berubah bahkan menghadapi persoalan internal yang tidak tuntas termasuk
birokratisasi diri, elitism, problem bahasa pergerakan dan sebagainya yang
menjadi hambatan tersendiri bagi proses transformasi gerakan. Gerakan kritis
transformative adalah lintasan jauh ke depan lalu dikerdilkan kembali dengan
persoalan militansi, lalu diperkuat dengan kedaulatan pelajar dan dilenyapkan
dengan pragmatism, kini muktamar terakhir menunjukkan menguatnya aliran
developmentalisme dalam tubuh IPM. Ideologi semakin sirna dengan kemunculan ide
pelajar kreatif—recreational yang dimanifestasikan dengan program community
based tanpa bobot ideology dan miskin kerangka rekayasa social (social
engineering). Tulisan ini akan memotret spesifik gerakan pelajar menyangkut
desain system pendidikan di Indonesia yang mengalami kejayaan liberalisasi
pendidikan secara dramatis. Bagaimana gerakan pelajar merespon, apa yang sudah
dilakukan dan dicapai, metodologi apa yang cukup membantu memahami fenomena
ini. Pertanyaan itu yang hendak dibincangkan dalam makalah singkat ini.
Pendahuluan
IPM
adalah sebuah organ hidup yang dinamis. Menggeliat jika ditekan, dan malawan
jika terancam. Cirinya adalah bergerak seirama sejalan ketika melihat
kemungkaran ditegakkan dan selalu gelisah melihat fenomena jahiliyah modern:
westernaisasi, kapitalisme, globalisme, dan sebagainya. Benarkah nilai-nilai
positif itu masih bisa diklaim oleh kader-kader atau simpatisan? Bisakah
pasukan elite IPM di level pusat dan wilayah berfikir apa yang sedang terjadi
setelah hampir separuh abad gerakan ini dilahirkan? Bisakah kita berfikir,
refleksi kritis dan ideologis tentu akan memberikan bobot tersendiri bagi
keberlangsungan kader dan pergerakan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa bangsa ini
masih butuh sumbangsih gerakan pelajar
tetapi gerakan pelajar yang bagaimana yang memberikan ruang yang kondusif untuk
perubahan—transformasi bangsa terutama dikalangan remaja dan pelajar Indonesia.
Salah
satu ancaman tersendiri adalah muncul dari dalam atau internal factors (kita
bisa mudah mengidentifikasi ini) apabila kita mempunyai bangunan kesadaran kritis, teologis, dan
transformative. Tetapi akan sulit apabila kita selalu memanjakan keanaifan dan
logika developmentalis dimana persoalan semua ditambatkan pada kapasitas
individu ketimbang mempersoalkan struktur dan agency (meminjam istilah Antony
Gidden). Kita sendiri, tidak bisa lepas sebagai penyandang dua status dalam
waktu relative bersamaan yaitu: as part of problems and as part of solution.
Karena inilah kelemahan dokter sosial-ahli diagnostic dan bedah menjadi debatable
dan dipertanyakan berulang-ulang.
Kita
terus dituntut untuk mengingat dan merefleksikan diri dan organisasi dalam hal
ini pemahaman kita terhadap reason de etre mengapa organisasi pelajar
Muhammadiyah dilahirkan dan bagaimana perbedaan jati diri dengan gerakan
pelajar lainnya. Persoalan jati diri ini pernah dibuat tema dalam muktamar IRM
tahun 2002 di Yogyakarta. Jati diri yang krisis adalah ibarat seorang sufi
kehilangan tongkat kendalinya dan seperti astronot kehilangan kompas. Sementara
kita sering kali terjebak pada cara pandang developmentalisme, linear dan
positifis meski beberapa periode silam menggempurnya dengan pengenalan
teori-teori gerakan radikal dan madzab ilmu social kritis yang dimanifestasikan
dalam gerakan kritis-transformatif yang lagi-lagi oleh banyak elite wlayah dinilai
gagasan ini terlalu ekslufif, tidak popular/merakyat dan tidak membumi. Ini
adalah problem bahasa perubahan (language of transformation) atau bahasa
distribusi konsep atau gagasan dari model top-down diharapkan juga muncul
gerakan bahasa perubahan dari bottom-up.
So,
sampai dimana gerakan pelajar Muhammadiyah? (beberapa hari lalu saya mencari
jawab dengan berfikir ala Rostow dalam system perkemabngan masyarakat ekonomi,
aka Chatarjee soal kebangkitan India melalui tiga momentum utama yaitu
keberangkatan (moment of departure), manufer (the moment of maneuver), dan
kedatangan (moment of arrival), dan berfikir revolusioner ala Moore dan Skocpol
dengan penekanan pada historical
continuity. Namun cara berfikir itu belum banyak membantu kalau kita terus
berada terpisah tembok dengan basis social gerakan. Siapa basis sosial gerakan?
Apa prasyarat utama (social requisites) perubahan dalam gerakan? Bagaimana
argumentasi kita kalau untuk mengatakan bahwa gerakan pelajar ini tidak
dikatakan failed movement atau failing movement? Setidaknya kita bisa
memposisikan gerakan pelajar secara jelas sehingga ke tahapan mana kita juga
sudah terfikirkan sehingga aktifisme IPM dalam sejarah bukan semata-mata melanjutkan
masa lalu tanpa kejelasan masa depan, atau hanya sekedar mengisi ruang hampa
dalam sejarah Indonesia tanpa memberikan makna eksistensi dan konstribusi yang
maksimal (instead of minimalized gerakan).
Persoalan
? ‘absurd’?
Beberapa
bulan terakhir ini saya semakin rajin mengikuti berbagai perdebatan terkait
gerakan social baik di Amerika atau Eropa dan Asia. Tidak terlupakan saya
selalu mengupdate berbagai tulisan teman-teman gerakan pelajar di Indonesia
mulai yang sangat iseng sampai yang paling frustasi. Sebagian masih bernada
optimis, dan banyak pula yang pesimis melihat sejarah yang sedang
diciptakannya. Kerisauan ini sangat berdasar bahkan sebagai gerakan
intelektual, tanpa risau, tanpa kegelisahan adalah abnormal. Bisa dilacak dari
sejarah di segala bagian dunia, seorang intelektual, terlebih intelektual
organic meminjam bahasa Gramsci dituntut untuk selalu gelisah dan menemukan
jawaban dari puzzle yang ia ciptakan dalam alam bathin, pikiran dan perbuatan.
Hanya golongan intelektual jumud, intelektual ‘abangan’, atau intelektual
traditional yang membunuh rasa gelisah dengan ctm bermerek pragmatism dan
opportunism. Di sini militansi antara kelompok aktifis-intelektual-organik
dengan aktifis-benefit-oriented dapat digambarkan dengan jelas.
Persoalan
militansi, loyalitas, dan semangat juang sering dianggap absurd, tidak ada
jalan keluar alias deadlock dan justifikasi ini diamini aktifis sendiri tentu
persoalan semakin rumit sebab ada kesalahan berfikir yang tidak solutif.
Paradigm kritis-transformatif, ansos, dilatihkan disetiap jenjang perkadaeran,
tapi bisa dievaluasi seberapa besar teori-teori itu dapat dipekerjakan secara
maksimal. Atau jangan-jangan absurditas itu muncul tepat sehari setelah
pembagian sertifikat TMU? Absurd jika kita berfikir absurd karena kita secara
tidak langsung menempatkan diri sebagai bagian persoalan dari pada bagian
solusi.
Ada
beberapa asumsi bahwa dua periode terakhir ini oreientasi gerakan elit sangat
berhaluan radikal dalam hal publikasi media. Image building dalam berbagai
press release memdati berita Koran nasional dan lokal. Tentu saja ini banyak
sisi positifnya dan sempat menjadi mimpi periode-peridoe sebelumnya. Jika nekat
kita diminta bertanya apa dampak siginifakan dari gerakan melalui media? Tidak
terfikir suara-suara kritis kembali diwacanakan melalui media sendiri secara
massif? Ini adalah pertanyaan diskusi dan saya hendak mengajak untuk membaca
dan mamehami politik keseharian yang dilakukan pelajar dan orangtua bagaimana
mereka mengekpersikan complain secara natural/alamiah yang sebenarnya jika
massif kita kategorikan sebagai bentuk politik keseharian baik disadari atau
tidak. Perilaku ‘menyimpang;, simbolik, private itu akan memberikan dampak
besar sebagiamana perubahan kebihjakan pada kasus perkebunan berbasiss
kolektifitas di veietnam pada tahun 1970-an. Bagiamana dengan kebijakan Ujian
Nasional, setelah sekian tahun kita lawan? Adakah tanda-tanda perubahan? Kenapa
tidak berubah dan perubahan apa yang kita kehendaki. Ini juga bisa dibantu
dengan analisis menggunakan game theory entah itu prisoner dilemma atau stag
hunt.
Mencari
Jalan Baru
Sering
saya iseng nanya apa teman-teman sudah pernah membaca buku Mansur Faqih
mengenai bagaimana paradigm kritis dibanagun dengan bahasa merakyat yang
dikejawantahkan dalam bukunya “jalan lain”. Di situlah sebenarnya inti gerakan
kritis transformative IPM—bentuk-bentuk advokasi social digalakan oleh kelompok
intelektual (terpelajar) menerabas batang ruang ethnic, kelas pekerja, dan
profesi. Beliau sendiri orang yang sangat besar kontribusinya terhdap munculnya
gagasan gerakan kritis transformative yang kemudian ditanfidzkan dari muktamar
IRM 2004 di Lampung. Di sini saya tidak hendak membahas kembali Ansos dan
munculnya gerakan kritis transformative.
Ada
dua hal yang saya coba diskusikan untuk memahami gerakan pelajar pasca
reformasi 1998 dimana gerakan pelajar dianggap kehilangan momentum, kebuntuhan
akal berfikir, dan lenyapnya common enemy. Mitos baru diciptakan tetapi alat
untuk mengendalikan alias antivirus tidak dikembangkan dengan baik sehingga
jumlah persoalan melebihi kapasitas dan kemampuan control. Dua pendekatan untuk
melihat IPM sebagai gerakan intelektual untuk perubahan setidaknya ada dua
teori yang mencoba menjawab secara singkat yaitu pertama teori social movement,
resources mobilization , game theory, dan politik keseharian (everyday
politics).
Pertama,
gerakan social bukanlah hal baru bahkan kita sudah mengenal istilah gerakan
social baru semenjak beberapa tahun silam—4 periode muktamar lalu. Di mana
gerakan ini bercerikan non violence movement. Gerakan social ‘lama’ diikuti
dengan berdarah-darah dala bentuk social revolution atau rebellion dan berbagai
bentuk konflik lainnya baik horizontal, anti colonial, atau rakyat vs. negara.
Gerakan social ini sudah jarang terjadi bisa jadi, tetapi banyak kondisi social
politik yang akan membangkitkan bentuk-bentuk revolusi di zaman baru. Bisa kita
tengok apa yang terjadi akhir-akhir ini di Middle east (Tunisia, Mesir, Libya,
Yaman, etc).
Saya
akan mulai dengan yang pertama, salah satu teori social movement yaitu
mobilisasi kemampuan (resources mobilization) yaitu bagaimana kemampuan-kemampuan
kita diorgansiasi , dipetakan dan digerakkan untuk mencapai tujuan prubahan
yang kita kehendaki dan juga dikehendaki oleh aliansi kita. Apa yang kita
miliki? Massa, teologi, ideology, loyalitas, dedikasi, dan niat baik yang dapat
dimobilisasi. Jika peta kita sudah buat, formula sudah didesain, prekondisi
untuk perubahan sudah diukur matang-matang maka yang perlu dibangun adalah
aliansi, visi bersama dan bergerak. Ini kemudian yang mengarah kepada
modal-model gerakan pelajar turun ke jalan. Sebarapa besar kepercayaan kita
kepada gerakan aksi turun ke jalan, aksi teatrikal dan sebagainya? Termasuk
press conference yang dimuat di harian nasional?
Kedua,
kita bisa menggunakan alat bantu berupa game teori. Model ini berkembang oleh
para pemikir ekonomi barat yang menempatkan rasionalitas dan tindakan massal
sebagai factor utama. Teori ini percaya bahwa semua actor bertindak rasional
dan berorientasi mamaksimalkan keuntungan setinggi-tingginya dengan resiko
terkecil. Dalam hal ini kita bisa menganalisis bagaimana negara mempertahankan
UN dan IPM menolaknya. Keunttungan apa yang didapatkan pemerintah dan IPM, apa
masing-masing kerugian apabila dua-duanya bersikukuh bertahan diposisi awal.
Adakah kompromi? Kita bisa lihat dengan tabel stag hunt di bawah ini. Asumsinya
IPM dan negara sama-sama berburu keuntungan.
Ini adalah model 1:
Kalkulasi
ini bisa diperdebatkan lantaran basis asumsi yang berbeda. Selain itu teori ini
bukan tidak mempunyai kelemahan. Salah satu kelemahan adalah bahwa asumsi semua
orang/organisasi bertingkahpola atas kendali motiv ekonomi. Tetapi kita bisa
merubah sedikit motiv itu menjadi motiv social. Tapi benarkan motiv ekonomi tidak
ada di gerakan anti UN? Bisa jadi barisan elit mendapatkan keuntungan secara
tidak langsung atau langsung. Ini harus berani kita tanyakan sebab metode
berfikir kritis akan juga mengkritisi diri sendiri dan tidak melulu menjatuhkan
pemerintah atau otoritas korup sekalipun. Berfikir kritis, bisa memakan tuannya
sendiri.
Model
2 memotret bagaimana relasi antara actor/agency dalam melihat persoalan yang
lebih kompleks sebagaimana berikut:
Kondisi
yang kondusif untuk sebuah gerakan transformative bisa dibuat skema sebagaimana
Lipset merumuskan prsasarat social untuk progress demokrasi dalam negara-negara
‘pengimpor’ demokrasi barat. Lalu, persoalan bagaimana sumbangsih model
pemetaan tersebut bisa kita mencoba menggunakan model serupa untuk menilik
kemungkinan terjadinya radikalisasi agama di kalangan pelajar? (bagaimana kita
bisa memahami hubungan antara militansi dan progresifitas gerakan? Apa
indicator terkait yang paling masuk akal?). Tabel berikut mencoba memformulakan
relasi antara gerakan pemikiran moderat Islam dan hubungannya dengan kekuatan
negara dan apa yang akan dihasilkan dari relasi-relasi tersebut.
Bagaimana
tabel ini membantu kita memberikan penjelasan akan kita diskusikan dan setelah
diskusi baru kita mencoba memformulasikan baru gerakan kita bagaimana kita
diharapkan memberikan konstribusi yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
massa IPM yang setia dalam perjuangan menegakkan kebebasan dan kesadaran sejati
dalam bingkai ‘republik’ Islam Muhammadiyah. Kita harus mengakui, upaya
pembautan patern/formula bukan dimaksudkan untuk memudahkan persoalan tetapi
sebagai alat bantu analisis dan day abaca kita memahami dan meramalkan realitas
termasuk keteramplilan membangun realitas baru (politically and socially
constructed). Di bawah ini merupakan bagan bagaimana factor-faktor saling
memberikan konstribusi dan konsekeskuensi dalam peta basis social sebuah
gerakan (more specific pelajar?)
Tiga
ranah: official, Advokasi, dan politik keseharian
Secara
singkat ketiga ranah ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Ada dua ranah
menurut Ben Kerkvliet yang membangi politik emnjadi dua kubu besar yaitu politik
konvensional dan politik sehari-hari. Politik konvensional dibagi menjadi dua
yaitu official dan advokasi. Sedangkan politik sehari-hari seringkali diabaikan
oleh pemerhati gerakan social dan politik lantaran tidak ada organisasi dan
pattern yang tetap. Politik sendiri mengalami perluasan sebagaimana Laswell who
get hwat dan how, dan Weber politik sebagai pekerjaan. Politik sendiri sering
dipertontonkan tanpa tujuan dan tanpa kesadaran sistemik. Politik official
sering diaosiaksikan sebagai perilaku negara atau rakyat dalam perubatan posisi
di lembaga negara, sementara gerakan politik advokasi digerakkan oleh NGO dan
organisasi berbasis non politik. Termasuk IPM semenjak didiirkan bidang
advokasi atau bahkan sebelumnya, sudah terbiasa mengalang tindakan advokasi
sebagai bagian dari kerja social dan bersingungan langsung atau tidak dengan
politik official.
Ranah
gerakan formalistic atau official sering dipraktikkan dengan ciri birokratis
dan structural seperti halnya Muhammadiyah mengadopsi system negara modern
eropa dimana negara mempunyai struktur dan fungsi yang rigid dan paten. Pun,
IPM melakukan hal yang sama. Gerakan
advokasi dibumikan oleh IPM pasca reformasi 1998 dimana muncul kesadaran
organic bahwa kelompok tertindas (the oppressed) tidak akan mampu
memperjuangkan dirinya tanpa kehadiran pihak ketiga. Pihak ketiga inilah yang
oleh Mansur Fakih disebut sebagai kaum intelektual organic dimana mereka
mempunyai basis keilmuwan dan militansi untuk turun ke ‘jalan’.
Sementara
model gerakan yang saya adopsi dari Ben Kerkvliet dalam “everyday politikcs” menjadi
model “everyday forms of resistance” ala James Scott sedikit sekali mendapatkan
perhatian dalam jagat pergerakan di Indonesia. banyak orang memusatkan peratian
kepada gerakan elite ketimbang massa, atau pucuk pimpinan ketimbang grassroot. Sebagaimana kasus gerakan
unorganized ala petani di Vietnam dan Filipina mempunyai kontrisbusi besar
terhadap perubahan kebijakan di level nasional mengenai perkebunan kolektif.
Jika kita pakai menganalisis kebijakan UN, kenapa gerakan advokasi tidak pernah
memberikan dampak perubahan kebijakan? Apa persoalan? Di sini kita diskusikan
dan jika ada pengalaman hal ini akan sangat membantu ‘men-diognostik’ masalah.
Kesimpulan
Dari
diskusi diatas setidaknya ada beberapa point kesimpulan. Pertama, konsepsi
realitas tidak pernah lepas dari subyektif-obyektif yang kita miliki. Bagaimana
memberdayakan kesasdaran sejati untuk mengurangsi daya rusak kesadaran palsu
atau kesadaran sesat (fallacy consciousness). Kedua, ada banyak jalan untuk
memahami dan mengukur realitas dan juga bagaimana melakukan analisa terhadap
gerakan sosial terutama gerakan pelajar. Analisis gerakan social dan game
theory akan sangat membantu begitu juga bagaimana kita memahami arena dan
bentuk ekspresi massa (ordinary people)
dalam kerangka perlawanan sehari-hari atau yang disebut Ben Kerkvliet ‘everyday
politics’. Ketiga, ada beberapa prakondisi sebagai prasyarat terwujudnya
gerakan pelajar tranformatif dan radikal (berdaya ubah) untuk kehidupan yang
lebih membebaskan, memuliakan manusia. Diantara prerequisites itu adalah system
masyarakat terbuka, egalitarian, pertembuhan ekonomi?, militansi kader dan
anggota, melek buku (literate), demokrasi, bahasa perubahan, kultur, ‘epistemic
community’, legitimasi sosial, partisipasi aktif, dan organisasi yang
fleksibel. Kondisi ini, selain kondusif untuk perubahan, ia juga memungkinkan
menciptakan konsekuensi social dan berdampak secara langsung dan tidak langsung
terhadap elit, kader, simpatisan, dan organisasi itu sendiri.
Referensi
Chatterjee,
Partha. 1996. Nationalist Thought and the
Colonial World: A Derivative Discourse? Delhi: Oxford University Press.
Kuntowijoyo.
(2002). Radikalisasi
petani : esai-esai sejarah. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Kerkvliet,
Benedict J. 2009. Everyday
Politics in Peasant Societies (and ours). The Journal of Peasant Studies. Vol.
36, No. 1, January 2009, 227–243.
_______. (2005). The Power of Everyday
Politics, How Vietnamese Peasants Transformed National Policy. Ithaca and
London: Cornell University Press.
Lipset,
S.M. 1959. Some social requisites of democracy: Economic Development and
Political Legitimacy. The American Political Science Review, Vol.53 No.1,
hlm.69-105.
Weber,
Max. Economy and Society. University
of California Press, 1978, excerpts.
Moore,
Barrington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy, Preface, (Beacon),
Intro, Ch. 1.
Skocpol,
Theda. 1973. “A Critical Review of Barrington Moore’s Social Origins of
Dictatorship and Democracy,” in Politics and Society, Vol. 4: No. 4.
[1] Ditulis untuk diskusi di
forum IPM. Sebagian tulisan diketik di Nanoy Aquino, the Philippine May 6,
2011.