( Mengenal Dunia untuk Mengubahnya) 
-         Munawwar Khalil -

 ......perhatikan sungguh-sungguh ide-ide yang datang dari rakyat, yang masih terpenggal dan belum sistematis, dan coba perhatikan lagi ide-ide tersebut, pelajari bersama rakyat sehingga menjadi ide-ide yang lebih sistematis, kemudian menyatulah dengan rakyat, ajak dan jelaskan ide-ide yang datang dari mereka itu, sehingga rakyat benar-benar paham bahwa ide-ide itu adalah milik mereka, terjemahkan ide-ide tersebut menjadi aksi, dan uji kebenaran ide-ide tadi melalui aksi.
Kemudian sekali lagi perhatikan ide-ide yang datang dari rakyat, dan sekali lagi menyatulah dengan mereka, ........ begitu seterusnya di ulang-ulang secara ajeg, agar ide-ide tersebut menjadi lebih benar, lebih penting dan lebih bernilai sepanjang masa.
Demikian itu adalah teori pengetahuan rakyat.

                                                                                   <    Mao Tsetung >


            Ilmu Sosial Kritis & Kegelisahan atas Realitas
Problematika yang muncul dalam diskursus filsafat sosial dan politik terkait dengan hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri ?
Tanpa mengabaikan semua minat yang terus ada dan bahkan semakin meningkat, teori kritis telah menarik perhatian dunia akademik dan gerakan sosial. Sebuah kesadaran kritis mulai muncul terkait dengan pencapaian teoretisnya dewasa ini. Setiap gelombang minat baru, dengan seluruh upaya risetnya, menggeser paradigma lama dan menambal beberapa kelemahan proyek awalnya yang terkenal. Sehingga secara bertahap membentuk teori kritis menjadi sebuah pendekatan teoretis yang realistis dan terbuka untuk diverifikasi. Oleh karena itulah, upaya-upaya untuk merekonstruksi secara sistematis teori kritis selalu beranjak dari temuan-temuan kritis bahwa teori ini tidak membumi.[1]
Konsepsi sosial yang akan dibahas adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Kant, Hegel dan Marx, kemudian disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant.2[2] Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt. Yaitu teori kritis yang merupakan program metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan baru, dan pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praksis. Dengan singkat bisa dikatakan, bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis.[3]
Teori kritik hendak memberikan sesuatu yang lain yang bukan berupa pencerminan tidak memihak mengenai masyarakat dewasa ini. Dengan menimbulkan kesadaran bahwa suatu filsafat masyarakat tanpa penyelidikan empirik hanya akan menghasilkan rangka pemikiran yang hampa, yang tidak memberikan keinsyafan apapun mengenai struktur masyarakat yang ada. Sebaliknya, penyelidikan empirik akan merupakan kegiatan yang sia-sia, bila tidak disertai kerangka kefilsafatan yang mewadahi serta memberi makna kepada penyelidikan tersebut.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis mempertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu.
 Fungsi ilmu sosial kritis adalah meningkatkan kesadaran para pelaku perubahan dari realitas yang diputar balikkan oleh kalangan tertentu dan disembunyikan dari pemahaman sehari-hari. Fungsi ilmu sosial kritis yang demikian didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia, baik laki-laki atau perempuan secara potensial adalah agen aktif dalam pembangunan dunia sosial dan kehidupan personal. Rakyat adalah subyek dalam menciptakan proses sejarah, bukan obyek. Teori kritis secara sadar berkeinginan untuk membebaskan manusia dari konsep-konsep yang secara ideologis beku dari kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan.
Ilmu sosial kritis  menempatkan manusia sebagai sekumpulan subyek yang aktif dalam membentuk dunia mereka sendiri yang didasarkan pada dialog antar subyek (analisis/peneliti dengan pelaku), bukan sekedar observasi dan eksperimen yang menipu rakyat. Ilmu-ilmu sosial kritis karena itu harus secara langsung menjadikan rakyat mengerti dunia mereka sendiri dan mampu melakukan aksi-aksi revolusioner dengan cara melibatkan mereka dalam proses analisa/penelitian. Dengan begini ilmu alam menjadi sebuah metode untuk aksi penyadaran, bukan ideologi dominasi teknokrat terhadap rakyat yang dianggap pasif.
Mazhab kritis ini tidak merepresentasikan  diri dalam satu gagasan yang tunggal dan homogen. Tapi, satu hal yang terpenting adalah mereka disatukan dalam satu tujuan yang sama, yaitu memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi  ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui pendidikan. Apa yang mereka sebut sebagai kesadaran kritis adalah mode of thought yang mampu menyingkap  fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan “common sense” (Gramsci: 1971). Namun untuk membangun kesadaran kritis ini tidak dengan cara expore dari luar atau dicangkokkan, tapi dibangun dengan kesadaran diri peserta didik.[4] Karena itulah dalam pendidikan kritis, yang ditekankan dalam pembelajaran adalah bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan memahami realitas hidup dan mengubahnya (Allman: 1998).
Ilmu Sosial Kritik : Menggugat positivisme
            Adanya keberjarakan antar ilmu dan masyarakat yang memunculkan menara gading keilmuan menjadikan ilmu sosial mendapatkan kritik. Ilmu sosial hadir dengan demonstrasi wacana, menjual bualan yang tidak ada relevansinya dengan kebutuhan masyarakat. Positivisme sekedar menyajikan pengetahuan demi pengetahuan, tidak untuk kemaslahatan umat.Mengkritik keberadaan positivisme menjadi hal yang penting untuk mendekonstruksi kembali kemapanan ilmu-ilmu sosial yang selama ini mandek. Positivisme sebagai roh dari ilmu sosial telah membuat ilmu sosial gagal mengemban tugasnya. Ia tidak mampu menangkap persoalan yang berkembang di masyarakat dan berbuat yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kegagalan ilmu sosial mengemban tugas sucinya sebagai penjaga nilai-nilai masyarakat, karena positivisme menggiring ilmu sosial untuk menjauh dari kehidupan praksis yang ada.
Dengan sikap a-historisnya pula positivisme mengklaim bahwa teorinya bersifat universal. Maksudnya dapat dipakai di mana saja secara transendental dan suprasosial. Positivisme lupa atau tidak ingin tahu bahwa kehidupan tiap masyarakat adalah berbeda-beda, sehingga mereka tidak percaya terhadap teori-teori parsial dan kecil. Positivisme hanya mengakui kebenaran sebuah teori besar (grand theory) yang dinilai berlaku universal. Dengan klaimnya tersebut, teori-teori yang terlahir dari rahim positivisme diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi yang belum tentu sesuai.
Contoh kasus konkrit adalah perihal teori tahapan perkembangan ekonominya Rostow. Di tangan rezim Orde Baru yang teknokratis, yang merupakan salah satu ciri khas dari positivisme dengan techno-metod-nya, mengadopsi mentah-mentah teori tersebut. Tanpa didahului dengan pemahaman terhadap struktur masyarakatnya para penguasa negara dan antek-antek ekonomnya, yang kebanyakan positivis jebolan Amerika yang biasa disebut dengan mafia Berkeley, cukup yakin dengan kebenaran universal sebuah teori. Dan akhirnya mereka pun terperanjat kaget ketika krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1997. Harapan untuk segera mencapai tahapan akhir tinggal landas sebagaimana dijanjikan Rostow hanya menjadi kenangan. Ini bukti mutakhir bahwa asumsi kaum positivis perihal kepercayaannya terhadap teori besarnya (grand theory) yang bersifat universal itu terbantahkan.
Jika kita runut, pilihan positivisme untuk tetap menjaga jarak dengan praksis merupakan buah dari sifatnya yang naturalis. Yakni positivisme sangat fanatik dengan ilmu-ilmu alam. Sehingga positivisme ingin menjadikan cara berpikir dan metode kerja ilmu sosial a la ilmu alam yang natural dan pasti. Positivis menganggap obyektivitas ilmu sosial yang bebas nilai hanya tercapai ketika segala fenomena sosial dapat dijelaskan secara terukur dan terprediksi, sebagaimana halnya dalam ilmu alam yang serba pasti dan terprediksi. Dengan bahasa singkat, positivisme menganggap semua fenomena sosial hanya terjadi melalui rangkaian sebab-akibat yang terukur.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa penerapan metode ilmu alam ke dalam metode ilmu sosial adalah salah kaprah. Karena secara filosofis fenomena alam sangat berbeda dengan fenomena sosial. Fenomena alam yang serba pasti dan terprediksi itu beda jauh dengan fenomena sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tidak menentu. Sehingga fenomena sosial tidak dapat diletakkan dalam satu bingkai hukum-hukum kaku sebagaimana dalam fenomena alam.
Pada awalnya positivisme lahir untuk mengganyang segala bentuk mitos terhadap roh-roh jahat, dedemit, genderuwo, setan dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya. Mitos-mitos tadi dibongkar dengan kecanggihan ilmu yang serba terlihat dan terkuantifikasi. Semuanya dianggap tidak rasional manakala tidak dapat dijelaskan dengan angka-angka. Namun dengan klaim kebenaran ilmu dan rasionalitasnya, positivisme telah menciptakan mitos baru. Rasionalitas yang ditawarkan positivisme merupakan ilusi belaka, karena menggiring masyarakat pada mitos baru yang didasarkan pada metodologi yang matematis. Menurut Adorno dan Horkheimer, begawan teori kritik, cara berpikir positivis dengan metode ilmu alam sebenarnya telah menjadi mitos baru yang lahir dari mitos lama yang sebenarnya telah ditaklukkan. Dengan kata lain, selama ini masyarakat belum pernah terbebaskan dari kungkungan mitos, yang terjadi hanya sekedar pengalihtanganan kekuasaan mitos. Yakni dari mitos roh-roh gaib, genderuwo, setan, dan demit yang dikuasai kalangan rohaniawan-spiritual menuju mitos klaim kebenaran berdasarkan metodologi tunggal (monisme methodology) yang diawaki kalangan positivis.
Metodologi tunggal (monisme methodology) selain memonopoli kebenaran juga membuat rancu perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Kesadaran bahwa ilmu pengetahuan merupakan bagian dari pengetahuan telah hilang. Sehingga kalangan positivis berhasrat untuk mengilmupengetahuanisasi (saintisme) semua pengetahuan. Proyek pengilmupengetahuanisasi (saintisme) pengetahuan ini berlangsung dengan cara-cara manipulatif metodologi. Dapat dikatakan metodologi positivis yang matematis itu sekedar alat legalitas bahwa ilmu pengetahuan itu sahih. Sehingga positivisme seringkali salin rupa menjadi anjing penjaga kekuasaan status quo. Dengan berlindung di balik selubung obyektivitas dan kebebasan dari kepentingannya positivisme mencipta ilmu pengetahuan sesuai dengan pesanan.

Kritik atas Teori Sosial Kritis
Seyla Benhabib, seorang perempuan pemikir teori kritis dan murid langsung Jurgen Habermas dan C.F. von Weizsacker dalam bukunya “Critique, Norm, and Utopia: A Study Of The Foundations Of Critical Theory” (1986). Ia mencermati bahwa di sana-sini terjadi kebuntuan dalam teori kritis dalam memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi oleh kesadaran rasional.
Seyla Benhabib melihat bahwa Habermas sudah meneliti bahwa Hegel menjadi pelopor tradisi ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja” tapi juga merupakan proses “tindakan komunikatif”. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam aktivitas menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.
Salah satu maksud praktis dari teori kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini teori kritis berhutang besar pada “patron sosiologi” Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga, teori kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori kritis melalui Habermas dan Seyla Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori kritis mengkritisi modernitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan kemakmuran ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa berkembang. Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat.
Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib mengikuti Habermas menunjukkan bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial memang habis. Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? Kiranya justru sekarang utopia bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori kritis mencoba untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada masyarakat kapitalisme lanjut. Namun masihkah perjuangan sosial harus diteruskan dan disuarakan ? Tetapkah energi pemikiran kritis tetap aktual bagi masyarakat sekarang ? Wallahu a’lam bisshowab.


Bacaan lebih Lanjut :
  • Agger,  Ben, 2008, Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Kreasi Wavana, Yogyakarta
  • Budiman, Fransisco Budi. 1990. Kritik Ideologi : Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta; Kanisius
  • Faqih, Mansour, 2001, Sesat Fikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
  • Faqih Mansour, dkk, 2001. Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis. Insist, Yogyakarta.
  • Maliki , Zainudin, 2004, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik, LPAM, Yogyakarta.
  • Mahaco, Roberto. 2003. Kritik Arkeologi Foucault dalam BASIS No.01-02 Tahun Ke-52, Januari-Februari 2003
  • Nuryatno, Agus, 2008,  Mazhab Pendidikan Kritis; Menyingkap relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Resist Book,  Yogyakarta.
  • Rusbiantoro, Dadang. 2001. Bahasa Dekonstruksi a la Focault dan Derrida. Yogyakarta; Tiara Wacana
  • Turner, Bryan. 2000. Teori-Teori Sosiologi Modernisme-Postmodernisme. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
  • Anthony Giddens & Jonathan Turner,Social Theory Today: Panduan Sistematis
Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial,Pentj: Yudi Santoso, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008



[1] Axel Honneth, “Teori Kritis”, dalam Anthony Giddens and Jonathan H. Tunner, Social Theory Today : Panduan Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, penerjemah: Yudi Santoso, Pustaka Pelajar: 2008, Yogyakarta, hal: 606

[2] Kritik dalam arti Kantian adalah dengan mempertanyakan syarat kemungkinan pengetahuan. Kant dengan epistemologinya berusaha menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio  belaka. Sedangkan Kritik dalam arti Hegelian adalah refleksi atau refleksi diri atas rintangan, tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri dari rasio dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik berarti refleksi atas proses menjadi sadar atau negasi dan dialektika, karena bagi Hegel kesadaran timbul melalui rintangan..lihat: F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi menyingkap pertautan pengetahuan dan kepentingan bersama Jurgen Habermas,  Kanisius: 2009,Yogyakarta,  hal: 53-55.

[3] Ibid hal. 59
[4] Lihat Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis; Menyingkap relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, Resist Book : 2008, Yogyakarta, hal. 1-3.

- Designed by Azaki Khoirudin -