Agenda Strategis Muhammadiyah Di Tengah Gerakan Keagamaan Kontemporer
PROF. DR. H.M.  AMIN ABDULLAH.*


“Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia, Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki- laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi anti perang, anti terorisme, antikekerasan, anti penindasan, anti keterbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras, golongan dan kebudayaan umat manusia di muka bumi”  (Di kutip dari Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, Produk Muktamar ke-46 (2010).


Istilah “Islam yang Berkemajoean” yang digunakan oleh Muhammadiyah di awal abad ke 20 (1912) memang terasa lebih nyaman digunakan dari pada istilah Islam “modern”. Istilah “modern” yang dilekatkan kepada Muhammadiyah sebagai timbangan dari Islam “tradisional” tidak terasa nyaman digunakan, karena dalam perjalanan waktu apa yang disebut para pengamat dan peneliti sebagai Islam “tradisional” mengandung elemen-elemen pikiran keagamaan modern, dan apa yang dikategorikan sebagai Islam “modern”, ternyata mengandung elemen-elemen pikiran keagamaan tradisional. Dugaan saya, klasifikasi atau kategorisasi “modern” dan “tradisional” tersebut berasal dari para pengamat, analis, peneliti gerakan sosial-keagamaan dan sosial- ke-Islaman dan kemudian diikuti oleh para Indonesianist, tapi bukan dari kalangan pendiri Persyarikatan sendiri.
Oleh karenanya, akan menarik dan mungkin akan lebih tajam, jika istilah “Islam Berkemajoean” awal abad ke 20 disandingkan dengan istilah “Islam Progressive” (Islam yang Maju atau Islam Berkemajuan) yang digunakan oleh para ahli studi keislaman pada akhir abad ke 20, dan lebih-lebih lagi pada abad ke-21. Apa yang membedakan dan apa yang menyamakan antara keduanya akan berguna untuk diketahui oleh para pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah pada setiap jenjangnya dan juga para pimpinan organisasi Islam yang lain di Tanah Air, Petikan manifesto atau Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua di atas, secara lamat-lamat menginformasikan makna  Islam Progressive yang dirumuskan beberapa pemikir Muslim kontemporer.

Respons Intelektual Muslim Terhadap Perubahan Sosial Kontemporer.
Tidak ada yang dapat menyangkal jika dikatakan bahwa dalam150 sampai 200 tahun terakhir, sejarah umat manusia mengalamiperubahan yang luar biasa. Perubahan yang dahsyat dalam perkembanganilmu pengetahuan, tatanan sosial-politik dan sosial-ekonomi,demografi, hukum, tata kota, lingkungan hidup dan begituseterusnya. Perubahan dahsyat tersebut, menurut Abdullah Saeed, antara lain terkait denganglobalisasi, migrasi penduduk,kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa,penemuan-penemuan arkeologis, evolusi dan genetika,pendidikan umum dan tingkat literasi. Di atas itu semua adalahbertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnyaharkat dan martabat manusia (human dignity), perjumpaan yanglebih dekat antarumat beragama (greater inter-faith interaction),munculnya konsep negara-bangsa yang berdampak padakesetaraan dan perlakuan yang sama kepada semua warganegara (equal citizenship), belum lagi kesetaraan gender danbegitu seterusnya. Perubahan sosial yang dahsyat tersebutberdampak luar biasa dan mengubah pola berpikir dan pandangankeagamaan (religious worldview) baik di lingkungan umat Islammaupun umat beragama yang lain. Perubahan dimaksud tidakmesti bermakna positif, tetapi juga negatif. Kerusakan ekologi,climate change, dehumanisasi, tindak kekerasan (violence) atasnama negara, agama, etnis dan begitu seterusnya.
Dalam khazanah pemikiran keagamaan Islam, khususnya dalam pendekatan Usul al Fiqih, dikenal istilah al-T sawabit  (hal-hal yang diyakini atau dianggap “tetap”, tidak berubah) wa al-Mutaghayyirat (hal-hal yang diyakini atau dianggap “berubah-ubah”, tidak tetap). Ada juga yang menyebutnya sebagai “al-Tsabit” wa “al- Mutahawwil”. Lebih populer, biasa disebut perbedaan antara Qath’y (Qath’iyyat) dan Dzanny (Dzanniyyat). Sedang dalam pendekatan Falsafah  (philosophy), sejak Aristoteles hingga sekarang, juga dikenal apa yang disebut “Form” and “Matter”.  Belakangan di lingkungan khazanah keilmuan antropologi (agama), khususnya dalam lingkup kajian penomenologi, dikembangkan analisis pola pikir yang biasa disebut General Pattern dan Particular Pattern.
Adalah merupakan pertanyaan yang sulit dijawab bagaimana kedua atau ketiga alat logika berpikir dalam berbagai disiplin keilmuan tersebut, berikut sistem epistemologi yang menyertainya dioperasionalisasikan di lapangan ketika umat Islam menghadapi perubahan sosial di era globalisasi yang begitu dahsyat. Apa yang masih harus dianggap dan diyakini sebagai yang “tetap” dan apa yang tidak bisa tidak harus “berubah”? Apakah yang dianggap dan dipercayai sebagai qat’iy (yang pasti atau tetap) dalam fiqh dan usul al-fiqh sama dengan apa yang dianggap  al-tsabit  (yang tetap) dalam budaya dan ilmu pengetahuan? Begitu juga dalam hal yang dianggap , diyakinisebagai bersifat dzanniy? Apakah dalam gerak perubahan tidak ada lagi menyisakan hal-hal yang tetap?
Dalam praktiknya, tidak mudah mengoperasionalisasikannyadi lapangan pendidikan, dakwah, komunikasi, hukum dan begituseterusnya, karena masing-masing orang dan kelompok telahterkurung dalam  preunderstanding  yang telah dimiliki,membudaya, mendarah-mendaging dan dalam batas-batastertentu bahkan membelenggu. Oleh karenanya, jika persoalan cara berpikir ini tidak dijelaskan dengan baik, meskipun tidakmemuaskan seluruhnya, akan muncul banyak keraguan danbenturan di sana-sini. Mengikuti bahasa populer digunakan dalamdunia maya: saling membid’ahkan, murtad-memurtadkan danbahkan saling kafir-mengkafirkan, baik pada tingkat person-personatau individu-individu, lebih-lebih pada tingkat sosial dan kelompok-kelompok.
 Seringkali kedua atau ketiga alat analisis entitas berpikirdalam dua tradisi khazanah keilmuan yang berbeda ini, yakniusul al Fiqih (wilayah agama; wilayah akidah dan ibadah) danFalsafah (philosophy)  (wilayah sains, sosial dan budaya) – belumlagi di tambah Antropologi - bertentangan, berbenturan danberseberangan. Masih jauh dari upaya ke arah perkembanganmenuju ke dialog dan integrasi. Perbedaan yang tajam antarakedua tradisi keilmuan dan corak berpikir dalam menganalisisdan memetakan persoalan sosial-keagamaan yang dihadapi danjalan keluar yang hendak diambil inilah yang menjadi topik sentraldalam  rancang bangun epistemologi keilmuan Islamkontemporer, yang sedang dicoba dirumuskan ulang secaraserius oleh para pembaru pemikiran Islam. Antara lain seperti; Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammad Iqbal, danpemikir Muslim kontemporer seperti yang sebagian pemikirannyaakan saya bicarakan di sini, Abdullah Saeed dan Jasser Auda.Pemikir Muslim kontemporer yang lain masih banyak lagi,termasuk Fethullah Gulen dari Turki, yang mampu memberiinspirasi pendirian sekolah sekolah bilingual secara lintas negara,ada di berbagai negara-negara di dunia, sejak dari Australia, Afrika,Amerika, Eropa maupun Asia.
Di sini sulitnya mengangkat tema pembahasan diatas, karenapara pelaku atau aktor di lapangan, dengan kebeningan dankejernihan hati, dipersyaratkan untuk bersedia mendialogkan,mendekatkan dan mempertemukan antara keduanya secara adil,proporsional dan bijak. Perlu ada kesediaan dan mentalitas untuksaling ‘take’ and ‘give’, saling mendekat, dialog, konsensus,kompromi dan negosiasi. Tidak boleh ada pemaksaan kehendakatas nama apapun. Tidak boleh ada pula ada perasaan ditinggal.Oleh karenanya, adalah merupakan kebutuhan yang tidakdapat ditinggalkan untuk mempersentuhkan, mempertemukan danmendialogkan antara kedua entitas pola pikir tersebut, yaitu antarastruktur bangunan dasar yang melandasi cara berpikir danpengalaman umat manusia secara umum (universal) dan strukturbangunan dasar cara berpikir keagamaan Islam secara khusus(particular).
Ketika menyebut (Epistemologi) Islam, mau tidakmau kita harus bersentuhan dengan bangunan keilmuan ataupendekatan  Usul al-Fiqh,  sedang ketika kita menyebutBerkemajuan – yang melibatkan pengalaman umat manusia padaumumnya (human experience) - mau tidak mau kita perlumengenal cara berpikir secara lebih umum ruang lingkupnya,sehingga harus bersentuhan dan berkenalan dengan metode filsafatdan metode berpikir sains pada umumnya.
Dalam bingkai payung besar perspektif seperti itu, dalam tulisanini, saya akan membawa peta percaturan dunia epistemologi Islamdalam menghadapi dunia global lewat prisma model berpikir duapemikir Muslim kontemporer. Yaitu, Abdullah Saeed dari Australia,Jasser Auda dari London. Sudah barang tentu masih banyaksekali pemikir Muslim kontemporer yang lain yang mempunyaiconcern  dan keprihatinan yang sama, seperti MohammadShahrur (Syiria), Abdul Karim Soroush (Iran), Fatimah Mernissi(Marokko), Riffat Hassan (Pakistan), Hasan Hanafi (Mesir), NasrHamid Abu Zaid (Mesir), Farid Esack (Afrika Selatan), EbrahimMoosa (Afrika Selatan), Abdullahi Ahmed al-Naim (Sudan), TariqRamadan (Swiss), Omit Safi dan Khaled Aboe el-Fadl (Amerika Serikat)dan lain-lain seperti Mohammad Arkoun (Perancis), Muhammad Abid al-Jabiry (Marokko), belum lagi para pemikirMuslim dari tanah air. Ada beberapa alasan mengapa dipilih duapemikir Muslim kontemporer tersebut.
Pertama, adalah karenamereka hidup di tengah-tengah era kontemporer, di tengah-tengaharus deras era perubahan sosial yang mengglobal seperti saatsekarang ini. Sebutlah era Berkemajuan, menggunakan termadokumen persyarikatan yang dikutip diatas. Kedua, mereka datangdari berbagai belahan dunia dan benua yang berbeda, yaitu Australiadan Eropa, namun keduanya menguasai khazanah intelektualIslam klasik-tengah-modern-posmodern dan mempunyai basispendidikan Islam di Timur Tengah (Saudi Arabia dan Mesir).
Ketiga, mereka sengaja dipilih untuk mewakili suara ‘intelektual’ minoritas Muslim yang hidup di dunia baru, di wilayah mayoritas non-Muslim. Dunia baru tempat mereka tinggal dan hidup sehari- hari bekerja, berpikir, melakukan penelitian, berkontemplasi, berkomunitas, bergaul, berinteraksi, berperilaku, bertindak,mengambil keputusan. Mereka hidup di tempat yang sama sekali berbeda dari tempat mayoritas Muslim dimanapun mereka berada. Apa arti Berkemajuan bagi mereka? Kedua-duanya mengalami sendiri bagaimana mereka harus berpikir, mencari penghidupan, berijtihad, berinteraksi dengan negara dan warga setempat, bertindak dan berperilaku dalam dunia global, tanpa harus menunggu petunjuk dan fatwa-fatwa keagamaan dari dunia mayoritas Muslim.
Keempat, kedua pemikir, penulis, dan peneliti tersebut - dalam kadar yang berbeda-beda - mempunyai kemampuan untuk mendialogkan dan mempertautkan antara paradigma Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer dengan baik. Yakni, Ulum al Din (Kalam, Fiqh, Tafsir, Ulum Al-Qur’an, Hadits)  yang telah didialogkan , dipertemukan dengan sungguhsungguh - untuk tidak menyebutnya diintegrasikan - dengan Dirasat Islamiyyah  yang menggunakan metode sains modern,  social sciences  dan humanities kontemporer sebagai pisau analisisnya dan cara berpikir keagamaannya.
Dengan kata lain, Islam yang Berkemajuan yang dinyatakan dalam judul tulisan ini adalah Islam yang berada ditengah-tengah arus putaran Globalisasi dalam Praxis, globalisasi dan perubahan sosial dalam praktik hidup seharihari, dan bukannya globalisasi dalam Theory, globalisasi yang masih dalam tarap teori, belum masuk dalam wilayah praktik. Yaitu dunia global seperti yang benar-benar dialami dan dirasakan sendiri oleh para pelakunya di lapangan, yang sehari-hari memang tinggal dan hidup di negara- negara sumber dari globalisasi itu sendiri, baik dari segi transportasi, komunikasi, ekonomi, ilmu pengetahuan , teknologi, budaya dan begitu seterusnya. Bukan globalisasi yang diteoritisasikan dan dibayangkan oleh para intelektual Muslim yang tinggal dan hidup di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dan tidak atau belum merasakan bagaimana tinggal dan hidup sehari-hari di negara-negara non-Muslim, pencetus dan penggerak roda globalisasi.
Lewat lensa pandang seperti itu, ada hal lain yang hendak ditegaskan pula di sini bahwa manusia Muslim yang hidup saat sekarang ini di mana pun mereka berada adalah warga dunia (global citizenship), untuk tidak mengatakan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship). Sudah barang tentu, dalam perjumpaaan antara  local  dan  global citizenship  ini ada pergumulan dan pergulatan identitas yang tidak mudah, ada dinamika dan dialektika antara keduanya, antara being a true Muslim dan being a member of global citizenship sekaligus, yang berujung pada pencarian sintesis baru yang dapat memayungi dan menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang hidup dalam dunia baru dan dalam arus pusaran perubahan sosial yang global sifatnya. Selain itu, tulisan ini juga ingin menyadarkan manusia Muslim yang tinggal di negara-negara Muslim mayoritas, bahwa disana ada genre baru kelompok masyarakat dan corak intelektual Muslim yang tumbuh berkembang di wilayah benua- yang berpenduduk non-Muslim. Bicara umat Islam sekarang ini, tidak lagi cukup, bahkan tidak lagi valid, hanya menyebut atau membayangkan secara konvensional seperti Kairo, Teheran, Karachi, Jakarta, Kualalumpur, Istanbul atau Riyadh tetapi sekarang kita juga perlu belajar menerima kehadiran Muslim dari London, Koln, Berlin, Paris, Melbourne, Washington DC, New Jersey, Michigan, Huston, New York, Chicago dan lain-lain.
Progressif-Ijtihadi dalam tafsir Al-Qur’an
Abdullah Saeed adalah cendekiawan Muslim yang berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra Arab serta studi Timur Tengah. Kombinasi institusi pendidikan yang diikuti, yaitu pendidikan di Saudi Arabia dan karir akademik di Melbourne Australia menjadikannya kompeten untuk menilai dunia Barat dan Timur secara objektif. Saeed sangat konsern dengan dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada spirit bagaimana ajaran- ajaran Islam itu bisa shalih li kulli zaman wa makan, dalam paham minoritas Muslim yang tinggal di negara Barat. Spirit semacam inilah yang ia sebut sebagai Islam Progressif.
Subjeknya disebut Muslim Progressif. Islam progressif adalah merupakan upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progressifitas Islam yang dalam kurun waktu yang cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks yang dibaca secara literal ,tanpa pemahaman kontekstual. Dominasi teks ini oleh Mohammad  Abid al-Jabiry disebut sebagai dominasi epistemologi atau nalar Bayani dalam pemikiran Islam. Metode berpikir yang digunakan oleh Muslim Progressif inilah yang disebutnya dengan istilah progressif - ijtihadi. Sebelum dipaparkan bagaimana kerangka kerja Progressif-Ijtihadi dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an, ada baiknya dilihat di mana posisi Muslim progressif dalam trend pemikiran Islam yang ada saat ini.
Menurut Saeed, ada enam kelompok pemikir Muslim era sekarang, yang corak pemikiran keagamaan berikut epistemologinya berbeda-beda (l) The Legalist-traditionalist (Hukum (fiqh) Tradisional). Titik tekannya ada pada hukum- hukum  fiqh yang ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama periode pra Modern; (2)The Theological Puritans (Teologi Islam Puritan). Fokus pemikirannya ada pada dimensi etika dan doktrin Islam; (3) The Political Islamist (Politik Islam). Kecenderungan pemikirannya adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam; (4) The Islamist Extremists (Islam Garis Keras). Memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai  lawan, baik Muslim ataupun non-Muslim; (5) The Secular Muslims  (Muslim Sekuler). Beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); dan (6) The Progressive Ijtihadists (Muslim Progressif-ijtihadis). Yaitu para pemikir muslim kontemporer yang mempunyai penguasaan khazanah Islam klasik (classical period) yang cukup, dan berupaya menafsir ulang pemahaman agama (lewat ijtihad) dengan menggunakan perangkat metodologi ilmu-ilmu modern (sains, social sciences dan humanities) agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Pada kategori yang terakhir inilah posisi Muslim progressif berada. (Abdullah Saeed, 2006, h. 142-50, Omit Safi (Ed.), 2003.
Tariq Ramadan juga menengarai ada 6 kecenderungan pemikiran Islam abad akhir abad ke 20 dan abad ke 21, yaitu Scholastic Traditionalism, Salafi Literalism, Salafi Reformism, Political Literalist Salafism, Liberal or Rational Reformism, dan Sufism. (Tariq Ramadan, 2004, h. 24-28). Kategorisasi dan klasifikasi trend pemikiran Islam oleh Saeed dan Tariq Ramadan ini memang berbeda dari yang biasa dikenal di tanah air tahun 80an, ketika para ilmuan lebih menekankan pada perbedaan antara Traditionalism dan Modernism, yang kemudian muncul dalam nama mata kuliah seperti Aliran Modern dalam Islam (Modern Trend in Islam).
Karakteristik pemikiran Muslim progressif-ijtihadis, dijelaskan oleh Saeed dalam bukunya Islamic Thought adalah sebagai berikut: (1) mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; (2) mereka cenderung mendukung perlunya  fresh  ijtihad dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer; (3) beberapa diantara mereka juga mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat modern; (4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direfleksikan dalam hukum Islam; (5) mereka tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism  atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya; dan (6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim. Sekilas tampak jelas bahwa corak epistemologi keilmuan Islam kontemporer, dalam pandangan Saeed, adalah berbeda dari corak epistemologi keilmuan Islam tradisional.
Penggunaan metode kesarjanaan dan epistemologi tradisional masih ada, dimana nash-nash Al-Qur’an menjadi titik sentral berangkatnya,tetapi metode penafsirannya telah didialogkan, dikawinkan dan diintegrasikan dengan penggunaan epistemologi baru, yang melibatkan social sciences dan humanities kontemporer dan filsafat kritis (Critical Philosophy). Abdullah Saeed memang tidak menyebut penggunaaan metode dan pendekatan tersebut secara eksplisit disitu, tetapi pencantuman dan penggunaaan istilah ‘pendidikan Barat modern’ adalah salah satu indikasi pintu masuk yang dapat mengantarkan para pecinta studi Islam kontemporer ke arah yang saya maksud. Juga isu-isu dan persoalan-persoalan Humanities kontemporer terlihat nyata ketika Saeed menyebut Keadilan sosial, lebih-lebih keadilan Gender, HAM dan hubungan yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim. Persoalan humanities kontemporer tidak akan dapat dipahami, dikunyah dan disimpulkan dengan baik , jika epistemologi keilmuan Islam masih menggunakan metode dan pendekatan Ulum al-Din  lama. Dalam Epilogue, Bab 12, (Abdullah Saeed,  2006, h. 142-154.) Abdullah Saeed menjelaskan pandangan dan kritiknya terhadap Ilmu-ilmu Syari’ah (lama), yang terdiri dari Hadits, usul al-fiqh dan tafsir jika hanya berhenti dan puas dengan menggunakan metode, cara kerja dan paradigma yang lama. Kemudian, dalam hal tafsir, dia mengajukan metode alternatif untuk dapat memahami teks-teks kitab suci sesuai dengan perkembangan dan tuntutan tingkat pendidikan umat manusia era sekarang ini. Tampak jelas bahwa Abdullah Saeed meneruskan dan mengembangkan lebih lanjut metode tafsir Al-Qur’an, yang lebih bernuansa hermeneutis, dari pendahulunya Fazlur Rahman. (Abdullah Saeed, ibid. h. 142- 154).
Bandingkan dengan pandangan Ibrahim Abu-Rabi’ yang mengkritik model pendidikan Islam Tradisional dan Literalist era sekarang yang masih mem-bid’ah-kan kajian ilmu-ilmu sosial (sociology; anthropology) dan filsafat kritis (Critical Philosophy) dalam pendidikan Islam pada level apapun. Bagaimana reaktualisasinya dalam praktik pendidikan di lingkungan perguruan (tinggi) Muhammadiyah? Jika kriteria, prasyarat keilmuan dan langkah-langkah metodologis yang digunakan oleh Islam Progressive atau Islam yang Maju, yang dirumuskan oleh Abdullah Saeed tersebut dipersandingkan dan didialogkan dengan konsep Islam yang Berkemajuan menurut Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, maka kita akan lebih mudah untuk melakukan benchmarking atau perbandingan antara keduanya.
Pertama, yang pasti menyamakan antara keduanya adalah perlunya “ijtihad”. Hanya bedanya, Abdullah Saeed menambahnya dengan kata- kata “fresh”  ijtihad. Apakah ada  ijtihad yang tidak  fresh? Bisa jadi memang ada. Ijtihad dilakukan, tetapi jalan di tempat. Karena biasanya memang ada  ijtihad  tetapi tidak  fresh, tidak bisa merubah pola pikir dan mind set, maka perlu ditekankan perlunya kata fresh di situ.
Kedua, keduanya sama-sama tidak ingin terjebak pada dogmatism madzhab hukum atau paham teologi tertentu. Mungkin untuk konteks keindonesiaan dapat ditambahkan tidak terjebak pada aliran atau partai politik tertentu. Fanatisme kelompok atau semangat  thai’ifiyyah  dihindari oleh Islam Progessive atau Berkemajuan. Ini tidak mudah dalam praktiknya. Hubungan antara Islam Sunni dan Syi’iy tidak selalu harmonis di berbagai tempat, baik di Timur Tengah, Pakistan, maupun Indonesia. Menghadapi dan merespons gerakan Ahmadiyah di Indonesia juga menjadi salah satu agenda besar umat. Jika ditarik ke atas, bagaimana membangun sikap sosial seorang Muslim merespons perbedaan adalah agenda yang belum tuntas dan menjadi pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya.
Ketiga, Hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer saat ini. Poin ini - dalam batas-batas tertentu - telah dilakukan oleh Muhammadiyah, khususnya di bidang ibadah,tetapi warga Muhammadiyah pada umumnya belum dapat memahami secara utuh dan bagaimana cara mengelola berbagai perbedaan di lingkungan intern umat Islam maupun ekstern dengan non-Muslim. Belum lagi mengenal kebutuhan sosial masyarakat Muslim minoritas di negara-negara Barat. Apakah fiqh aghlabiyyah atau aktsariyyah (mayoritas) dalam hal  mu’amalah ijtimai’yyah (hubungan sosial- kemasyarakatan) harus berlaku utuh dalam masyarakat minoritas Muslim di negara-negara mayoritas non-Muslim adalah merupakan pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan.
Adapun hal-hal yang masih perlu diolah, didiskusikan dan dicari titik temu antara konsep  Islam Progressive dan  Islam yang Berkemajuan Muhammadiyah adalah sebagai berikut: Pertama, problem dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmuagama di lingkungan perguruan (tinggi) Muhammadiyah. DalamIslam Progessif, tidak ada dikotomi antara keduanya. Kesarjanaandan khazanah Islam tradisional dikuasai dengan baik dan matang, tetapi sekaligus didialogkan dan dikombinasikan dengan pemikirandan kesarjanaan pendidikan Barat ( baca: sains, ilmu-ilmu sosialdan humaniora). Masih terasa di lingkungan Muhammadiyahadanya cleavage (keterpisahan) atau gap antara keduanya, baikdi lingkungan intern fakultas agama maupun di lingkungan fakultasumum, sehingga memengaruhi cara dan metode melakukan  freshijtihad  diatas dalam mencari dan merumuskan modelkeberagamaan kontemporer.
Kedua, dokumen Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua telah secara tegas menyebut perlunya keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi manusia, tetapi – kalau saya tidak salah mengutip dari proposal pengajian Ramadlan pimpinan Pusat Muhammadiyah - belum menyebut secara eksplisit “relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim”. Dalam era global citizenship dan borderless society seperti saat sekarang ini, pengikut agama apapun dan dimanapun tidak bisa menghindar untuk tidak mengangkat isu ini. Ada dokumen yang ditandatangani 139 intelektual dan ulama Islam dari seluruh dunia, pada tahun 2007, yang menegaskan perlunya hubungan yang harmonis antara Islam dan Kristen berlandaskan Love of God (Mencintai Tuhan) dan Love of the Neighbour (Mencintai Tetangga).(A Common Word Between Us and You. Jordan: The Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2007 C.E., 1428 A.H.; juga Waleed El-Ansary dan David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and  Application of “A Common Word”, New York: Palgrave Macmillan, 2010.)
Adalah tugas para pakar di lingkungan Muhammadiyah, baik di lingkungan Pimpinan Pusat, Wilayah, Daerah dengan berbagai Majelis, Badan, Ortom (IPM)dan lain-lain, lebih-lebih di lingkunganperguruan tinggi Muhammadiyah untuk membuat check listsejauhmana criteria Islam yang Berkemajuan yang termaktub dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, produk Muktamar ke-46 (2010) tersebut parallel, sehaluan, berbeda atau berseberangan dengan apa yang disebut-sebut sebagai Islam Progressif dalam dunia akademik kajian ke-Islaman kontemporer.
Dalam dunia keagamaan dan sosial, tidak ada memang yang dapat dikatakan sama seratus persen, atau berbeda seratus persen, mi’ah min mi’ah, antara yang satu komunitas dan lainnya. Tetapi barometer dan kompas petunjuk arah adalah perlu. Apalagi, jika tidak salah, dokumen pernyataan atau statement organisasihanyalah dokumen umum, sebagai petunjuk umum warganya, tetapi belum memerinci bagaimana pendekatan (approach) dan metode (method), apalagi sampai ke  theoretical framework, (PARADIGMA) yang digunakan jika ingin diaplikasikan di lapangan dalam bidang-bidang kajian keagamaan Islam, baik itu tafsir, Hadits, kalam, akhlak, ibadah dan lain sebagainya.
“Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan” di lapangan paskaperhelatan muktamar masih perlu dibarengi dan diikuti cara kerjakeilmuan studi ke-Islaman yang sistimatis, tekun danberkesinambungan agar dalam penerapannya di lapangan tidaksalah arah. Tanpa upaya seperti itu, dokumen sejarah yang sangatpenting dalam perguliran Muhammadiyah memasuki abad keduadikhawatirkan akan berbelok arah, mengambil jalan sendiri dalampenerapannya, menyalip dalam tikungan kepentingan para aktordan aplikator di lapangan – karena dalam realitas di lapangansetidaknya memang ada enam (6)  trend pemikiran Islam, sepertitersebut diatas . Bahkan tidak menutup kemungkinan aplikator dilapangan malah mengambil jalan lain – untuk tidak menyebutnya terbalik arah – tidak seperti yang diharapkan dalam PernyataanPikiran Muhammadiyah Abad Kedua yang ‘disepakati’ olehmuktamirin dan Pimpinan Pusat Persyarikatan serta masuk dalam dokumen resmi Muktamar ke 46 di Yogyakarta.
Yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa PersyarikatanMuhammadiyah sudah “gemuk”, baik dari segi amal usahamaupun pengurusnya, khususnya di bidang pendidikan, dariBustanul Atfal sampai perguruan tinggi, layanan kesehatan danlain-lainnya. Akan sangat mudah ‘lemak’ menempel di badan,lembaga dan amal usaha yang telah terlanjur gemuk. Tahu-tahu,dalam praktik, aplikasi dan reaktualisasinya di lapangan ditemuikejanggalan dan keanehan-keanehan dalam ber-Muhammadiyah, dengan cara menyelipkan ‘ideologi’ lain yang tidak sejalandengan Pernyataan Pikiran yang bernas diatas. Akibatnya, sebagianaktivis Muhammadiyah tidak lagi dapat menyandang predikat“Berkemajuan”, karena istilah “berkemajoean” memang dulunyapada tahun 1912 sangat asing (bada’a ghariban) dan istilah itusekarang pun kembali menjadi terasa asing (ya’udu ghariban) padaawal abad ke 21 ini, karena Muhammadiyah tidak hidup dalamruang kosong.
Dinamika sosial-politik (keagamaan) dan dinamikaorganisasi sosial-keagamaan di tanah air , dan juga dinamika gerakanIslam transnasional di luar Muhammadiyah sedikit banyak akanberpengaruh pada dinamika intern dalam persarikatan Muham madiyah. Artinya, Pernyataan Pikiran Muhammadiyah memasukiabad kedua adalah satu hal, tetapi aktualisasi dan reaktualisasinyadi lapangan adalah hal lain. Semoga dalam forum-forum sepertiPengajian Ramadlan seperti ini, “jalan lurus” bermuhammadiyahdan gap antara yang seharusnya (das sollen) yang tercatum dalamPernyataan Pikiran dan apa yang senyatanya (das sein) dalamalam praktik dapat dijembatani lewat mediasi al-tawashi bi al-haqwa al-tawasyi bi al-sabr.(Koleksi Azaki Khoirudin).


- Designed by Azaki Khoirudin -