Ke arah Spiritualitas Ihsan yang "Berkemajuan"*

M. Amin Abdullah

Ihsan : Basis kesalehan individual.
Dalam khazanah pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer,  khususnya yang ditransmisikan melalui nash-nash  hadis, dikenal  3 kata kunci penting dalam fundasi  keberagamaan Islam yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Apa Iman dan apa Islam tidak perlu dibahas disini, selain sudah sangat dikenal, juga karena topik bahasan pengajian ramadlan kali ini adalah tentang Ihsan. Ihsan didefinisikan “an ta’buda al-allah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fa innahu yaraka” (Hendaklah kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihatNya, dan seandainya kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia  melihat kamu).
Dalam keyakinan seorang Muslim, manusia selalu dilihat dan diawasi oleh Tuhan. Oleh karenanya, janganlah manusia bertingkah laku, mengambil langkah, berbuat, berperilaku dan mengambil kebijakan yang asal-asalan, sembarangan, di luar batas norma-norma kebaikan yang ditentukan oleh agama Islam. Dalam kata Ihsan, per definisi, seolah-olah manusia, secara individu, memang lengket betul dengan Tuhannya. Tuhan selalu memandu, mengawasi, melihat apa yang dilakukan oleh manusia dimanapun dan kapanpun berada. Dalam pengertian seperti itu, umumnya, Ihsan dikonotasikan dengan spiritualitas tingkat tinggi,  karena hubungan yang begitu dekat antara individu manusia dan Tuhannya. al-Asma’ al-husna (nama-nama baik Tuhan) selalu menjadi acuan kehiduopannya.
             Bagaimana kaitannya dengan kehidupan sosial? Apakah kehidupan sosial masih ada kaitannya dengan Tuhan? Mestinya masih ada, karena kehidupan sosial adalah kumpulan dari individu-individu. Tapi, yang dijumpai tidak demikian halnya. Sifat-sifat Tuhan yang baik, seperti al-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan al-Rahim (yang Mahasa Penyayang), al-Latief (Yang maha Halus),  tertindih dan dikalahkan oleh oleh sifatNya yang al-Qahhar (Yang Maha Pemaksa), al-Syadid (yang keras), al-‘Iqab (Yang Maha Pemberi Siksa). Chek  Perilaku sosial manusia amat kompleks, lebih-lebih perilaku komunitas yang melibatkan kepentingan-kepentingan golongan, ekonomi, budaya, partai, organisasi, perkumpulan, persyarikatan, madzhab, sekte, golongan dan begitu seterusnya. Rupanya peran Tuhan yang secara teori melekat dengan individu, tetapi dalam kehidupan kelompok yang berjamaah seolah-olah pengawasan Tuhan untuk berbuat sopan, baik dan jujur  telah lepas  dan berubah menjadi sifat-sifat yang kasar, tidak santun dan keras. Korupsi, Kolusi dan nepotisme berikut tindakan lanjutannya seperti marginalisasi, diskriminasi, ketidakadilan  yang dilakukan secara berjamaah-bersama-sama, seolah-olah tidak lagi mengenal anggunnya hubungan spiritualitas ihsan yang melekat pada individu dan Tuhannya. Bahkan seringkali Tuhan dijadikan tameng dan dalih oleh kelompok tertentu untuk melakukan “kekerasan” psikologis dan sosial demi untuk melestarikan kepentingan kelompok sosial-keagamaan tertentu dengan mengatasnamakan  agama.  Disini letak tikungan atau belokan tajam perilaku keagamaan yang amat sangat sulit dijelaskan dalam kehidupan beragama era kontemporer.  
                Kesalehan pribadi/individu belum tentu berkorelasi positif dengan kesalehan sosial. Ada  gap yang sangat tajam antara wilayah yang seharusnya, yaitu das sollen (Ihsan; normativitas agama) dan wilayah yang senyatanya, yaitu das sein (perilaku sosial; historisitas perilaku sosial keagamaan) dalam kehidupan yang nyata. Maka yang belum jelas dalam makna Ihsan seperti didefinisikan diatas adalah apakah pengawasan sosial adalah bagian pengawasan Tuhan ? Jika ya, bagaimana mekanisme dan tata caranya? Lewat pendidikan yang berkualitas? Lewat pendiidkan agama yang diperbaharui?  Mengapa keyakinan adanya pengawasan Tuhan secara individu begitu mudah dilupakan  begitu saja, jika manusia hidup berkelompok, berpartai politik, bernegara, ber LSM, berorganisasi dan berkelompok ? Jika memang tidak saling terkait, antara kesalehan individual dan kesalehan sosial, maka pengertian Ihsan diatas  jangan-jangan masuk ke  dalam kategori  apa yang dikenal dalam  studi agama sebagai Fideistic Subjectivism. Tuhan hanya dirasakan secara subjektif, oleh individu-individu, oleh kelompok-kelompok yang terpenggal dan tersekat-sekat oleh kepentingan kelompok, tetapi Tuhan kurang dirasakan secara objektif  (Objective-rationalism) dalam kehidupan sosial yang objektif, luas dan majemuk.  Memang Tuhan tidak dapat terpisah walau sedetik-sesekon pun dari manusia sebagai individu, dalam arti manusia secara individu mengklaim dan percaya demikian adanya tetapi ketika mereka hidup berkelompok seringkali mereka melupakan pengawasan Tuhan lewat al-asma al-husna Nya yang utuh. Yang terlupakan dalam pengertian Ihsan diatas adalah dimana letak pengawasan sosial dalam membimbing perilaku kelompok umat Islam?  Ternyata, yang paling tidak sulit dirasakan di tanah air dan juga di seantero dunia Islam adalah perilaku sosial dan spiritualitas sosial umat Islam. Ketika umat Islam berkelompok, mudah sekali terbelenggu dan terjebak pada ikatan primordialisme dan sektarianisme bermadzhab dan beraqidah, yang ditengarahi terlalu emosional dan mudah menyulut kekerasan dan mengantarkan ke disharmoni sosial. Tidak semua sudah barang tentu, tetapi yang sering muncul di media dikesankan demikian. Benarkah beragama yang baik secara individual atau kesalehan invididual cenderung mengantarkan ke arah disharmoni sosial seperti yang dirasakan belakangan ini di berbagai tempat di tanah air dan juga di manca negara?
                Masih merujuk pada pengertian Ihsan diatas, betapa hebatnya memang peran  pandangan keagamaan – yang dipahami secara pribadi-pribadi - dalam membentuk pandangan dunia (world view) manusia.  Perilaku, solah bowo, muna-muni, tindak-tanduk, gesture, kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berpolitik, bertransaksi sosial-ekonomi, berhubungan antar kelompok etis, ras, golongan sosial-keagamaan akan selalu dipandu oleh system of belief yang diyakini oleh pribadi-pribadi tersebut  ‘berasal‘ dari Tuhan lewat orang tua, guru, ustadz, kyai  dan kitab yang mereka yang mereka jadikan rujukan. Semua pengikut agama-agama dunia meyakini hal sama, sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya secara pribadi. Dalam bahasa sosiologi agama, mengutip Peter Berger, gambaran kehidupan agama yang indah seperti itu disebut dengan istilah the Sacred Canopy (Langit-langit Suci), yaitu pandangan dan keyakinan keagamaan yang selalu melindungi, memayungi, mengayomi, membayang-bayangi dan membimbing kehidupan manusia dimana pun mereka berada. Manusia tidak dapat terlepas dari Tuhannya. Namun, tetap saja ada paradoks disitu. Pengawasan Tuhan yang membimbing perilaku individu, dalam banyak kasus lebih bercorak pemahaman dan tafsir pribadi (Fideistic subjectivism), yang seringkali melupakan arti penting, bahkan seringkali meremehkan arti penting dan peran pengawasan sosial. Wilayah publik, wilayah bersama kurang menjadi perhatian. Manusia beragama terkaget-kaget, ketika pemahaman keagamaan mereka secara pribadi yang mentradisi diintervensi dan dimasuki oleh pengawasan sosial oleh media sosial yang difasilitasi oleh revolusi dalam bidang teknologi informasi. Terjadi lompatan disini. Integritas  keberagamaan dan kepribadian seseorang rupanya  tidak lagi cukup hanya diukur lewat  pengawasan Tuhan terhadap pribadi-pribadi, tetapi juga diawasi secara sosial oleh media sosial. Lebih-lebih, karena apa yang dipahami dan diyakini benar menurut pribadi-pribadi, orang  per orang dapat saja terjebak dari tafsir keagamaan era tertentu, yang belum tentu cocok dengan tafsir keagamaan era yang lain. Pemahaman dan tafsir keagamaan ternyata selalu berkembang (evolves and grows) sesuai dengan  tingkat perkembangan pendidikan, literasi dan bahkan perkembangan sains dan teknologi pada era tertentu dan era yang lain.
               Baik tersirat maupun tersurat, nash atau teks diatas menjelaskan bahwa  perilaku dan tingkah laku seseorang atau kelompok (kumpulan dari individu-individu yang berkumpul dan berserikat) pada mulanya sangat dibentuk oleh bagaimana corak world view keagamaan yang diperoleh oleh individu-individu dalam proses panjang pendidikan dan pengalaman sosial-kehidupannya. World view keagamaan manusia dibentuk oleh  corak  hubungan antara individu dan Tuhannya tetapi kurang begitu terlihat rajutan  dan hubungannya  dengan jalinan sosial yang sangat  kompleks dalam kehidupan sosial, politik, sekte-sekte keagamaan, ekonomi, suku, ras, etnis. Bagaimana individu menggambarkan dan membayangkan sosok Tuhannya sangat tergantung pada corak pendidikan dan pelatihan yang ia lalui dan peroleh melalui jenis doktrin atau ajaran yang ia serap melalui pendidikan dan  pergaulan sosialnya. Semua itu, secara akumulatif, baik langsung maupun  tidak langsung, akan membentuk corak perilaku sehari-hari seseorang  dalam kehidupan individu atau pribadi-pribadi  maupun perilaku kelompok atau kumpulan individu-individu dalam komunitasnya.
 
Tasawwuf:  basis kesalehan sosial ?
                 Dalam konteks pemahaman seperti itu, yaitu adanya dinamika hubungan dan perjumpaan yang sangat kompleks antara  individu, pemahaman individu terhadap Tuhan dan kehidupan sosial yang menyertai, mengitari dan mengelilinginya, maka pada periode sejarah abad tengah, paska kenabian, dikenal apa yang disebut Tasawwuf. Jika Iman membahas persoalan –persoalan yang terkait dengan Aqidah – atau Kalam dalam bahasan teoritisnya – dan Islam lebih terkait dengan diskusi Fiqh membahas detil ritual peribadatan (mu’amalah ma’a al-Allah dan mu’amalah ma’a al-nas), yang lebih berdimensi eksoteris -, maka Tasawwuf lebih mendiskusikan aspek kedalaman atau dimensi esoterik dalam keberagamaan Islam. Ketiganya menjadi satu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan antara yang satu dan lainnya. Dikenal pula istilah trilogi keberagamaan Islam yang disebut Syariat, Hakekat dan Ma’rifat. Ma’rifat mewakili tradisi berfikir tasawwuf.  Secara etimologis, tasawwuf berarti “pembersihan”, “perjenihan”, “pemutihan kembali”, “penyulingan”. Yakni, perjernihan kembali perilaku yang menyimpang, pemahaman dan tafsir keagamaan yang telah mentradisi, yang telah berkaitkelindan dan bercampuraduk dengan kepentingan sosial dan politik, yang telah mengkristal dalam lembaga-lembaga yang terstuktur secara birokratis. Tidak jelas mana yang sacred dan mana yang profan, mana yang human dan mana divine. Inilah proses yang disebut takhally, yakni mengosongkan diri dari tindakan perbuatan yang buruk-tercela. Kemudian dikuti dengan tahally, yakni menghiasi dan mengisinya dengan sifat-sifat baik dan terpuji, dan berakhir dalam tajally, yakni penampakannya dalam tindakan orang per orang dan sosial yang lebih baik dan lebih santun secara sosial. Ketiga istilah perjalanan mistik (mystical journey) ini kemudian dikenal dalam dalam bahasa Barat dengan istilah via purgativa, via illuminativa dan via contemplativa atau juga transformativa.   Tasawwuf adalah bahasa klasifikasi atau kategorisasi keilmuan abad tengah Islam yang sangat lekat dengan perkembangan sejarah pemikiran Islam. Sedang Ihsan adalah terminologi era kenabian, sebelum pengembangan dan sistematisasinya pada abad tengah. Ibaratnya, meningggalkan Ihsan dan tasawwuf dalam pemikiran Islam maknanya sama dengan mempunyai badan tanpa ruh. Hubungan antara jasad dan jiwa begitu dekat, karenanya proses  takhally, tahally dan tajally adalah bagian kehidupan agama yang perlu dilakukan oleh siapapun dalam kehidupan  keberagamaannya yang otentik.
              Dalam tradisi pemikiran Islam generasi awal, tidak lama setelah kenabian, pelembagaan atau institusionalisasi penafsiran dan pemahaman agama ternyata memang sulit dihindari. Embrio dari apa yang belakangan disebut Sunni (ahli sunnah wa al-jamaah) dan Syi’iy adalah bentuk pelembagaan sosial dan strukturalisasi pemahaman keagamaan  secara konkrit dalam kehidupan sosial. Perang Jamal dan atau perang Siffin adalah peristiwa sejarah penting dalam sejarah Islam di era yang sangat dekat dengan kenabian, yang menandai dan sekaligus membuktikan bahwa pengelompokan sosiologis dan politis sebagai akibat langsung dari pemahaman dan penafsiran agama yang berbeda adalah fenomena manusiawi belaka. Bahkan pemikiran teologi atau Kalam pertama, yang bersentuhan langsung dngan Aqidah dalam Islam dipicu oleh peristiwa sosial-politik, yaitu bagaimana status penyandang dosa karena kasus pembunuhan sesama muslim. Kafir, murtad, munafiq, fasiq, dzallun (sesat), manzilah baina al-manzilatain adalah istilah-istilah atau terminologi keislaman yang pengertiannya juga sarat dan lengket dengan makna terminologi politis. Agama dan politik menjadi tidak terpisahkan secara sosiologis. Era kontemporer sekarang,  percampuran antara keduanya lebih dikenal dengan sebutan  al-din wa al-daulah.
           Pemahaman individu dan kelompok tentang Islam dan Iman, di awal  perjalanan sejarah umat Islam,  akhirnya membentuk aliran pemikiran teologi Islam yang disebut Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiyyah, Sunni dan al-Syiah, Khawarij dan begitu seterusnya.  Ketika pertentangan antar berbagai pengikut aliran pemahaman ini semakin tajam, dan tidak jarang sangat keras dan berdarah-darah, maka diperlukan pemikiran ulang (rethinking) tentang perjalanan sejarah keberagamaan Islam secara mendasar. Tasawwuf muncul ke permukaaan, sebagai upaya manusia untuk mengembalikan keberagamaan dan keimanan manusia Muslim ke pangkalnya. Salah satu kosa kata dalam tasawwuf yang sangat menonjol adalah cinta (mahabbah). Ibn Araby misalnya sangat menekankan dimensi cinta dalam beragama untuk meredam konflik dan permusuhan antara berbagai madzhab pemikiran agama yang berkembang saat itu. Namun, hukum sosial juga berlaku kepada gerakan rethinking ini. Akhirnya, gerakan pemurnian dan penjernihan kembali ini  juga melembaga secara tersendiri. Pelembagaan sosial ini yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Tarekat atau gilde-gilde, tekke-tekke.  Ketika Iman dan  Islam menyatu dalam kehidupan sosial, maka ia akan membentuk lembaga-lembaga. Tak terkecuali tasawwuf. Gerakan penjernihan pemahaman agama ini juga berujung pada pelembagaan, yaitu kelembagaan  tarekat. Disini muncul kembali gerakan yang ingin memurnikan agama  kembali, yang ingin mengembalikan agama ke pangkalnya lagi.  Fazlur Rahman pernah menyebut gerakan tarekat yang melembaga ini sebagai “religion within religion”. Wal hasil, agama dan pemahaman keagamaan  memang tidak dapat terlepas sama sekali dari kehidupan sosial dan pelembagaannya.  Bukan agama jika tidak lengket dalam kehidupan sosial dan pelembagaannya. Munculnya apa yang disebut madzhab atau aliran, sekte dalam  pemikiran keagamaan adalah fenoemana yang wajar belaka dan merupakan salah satu contoh konkrit yang menjelaskan betapa agama, khususnya dimensi Iman dan Islam, termasuk Ihsan,  dapat melembaga dalam kehidupan sosial. Rentetan peristiwa itu juga sekaligus dapat menjelaskan bahwa  gerakan pemikiran keagamaan yang ingin “memurnikan”, “menjernihkan kembali”, “menyegarkan kembali” dan mengembalikan ke pangkalnya adalah juga bagian tak terpisahkan dari kehidupan soial-keagamaan itu sendiri.

Ihsan,Tasawwuf dan Irfan
             Setelah tasawwuf, dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, berubah menjadi perkumpulan sosial Tarekat, untuk kesekian kalinya pemikiran keagamaan kehilangan  elan vital pemikiran kritis terhadap realitas perjumpaaan agama dan kepentingan sosial-politis. Namun akal pikiran manusia terus menerus mencari jalan keluar untuk mencapai derajat Ihsan, insan kamil,  yang selain peka  terhadap realitas ketuhanan tetapi juga peka terhadap persenyawaan atau persekongkolan antara agama dan kepentingan sosial, yang dalam batas-batas tertentu sangat hegemonik-dominatif. Akibatnya tidak dapat bersikap ramah terhadap kelompok pemahaman dan penafsiran  keagamaan yang berbeda. Irfan adalah dimensi epistemologis pemikiran keagamaan Islam  yang mencermati kemungkinan adanya anomali-anomali dalam pemahaman keagamaan yang dapat mengarah kepada praktik keberagamaan yang jauh dari pangkalnya. Rangkaian 3 jenis epistemologi pemikiran Islam, yaitu Bayany, Burhany dan Irfany adalah cara lain dari segi filosofis untuk menjelaskan  struktur bangunan dasar pemikiran Islam setelah melewati sejarah panjang pergumulannya dengan realitas kehidupan sosial.
                Jika dalam khazanah pemikiran filsafat Barat dikenal “intuisi”, maka dalam khazanah pemikiran Islam dikenal “’irfani” dalam keberagamaan manusia. Padanan intuisi adalah ‘irfan dalam pemikiran Islam. Jika aksentuasi pemikiran Bayany adalah memahami dan menguraikan makna yang dikandung dalam teks (khususnya al-Qur’an dan al-Hadits), sedang Burhany lebih pada penggunaan akal pikiran untuk membedah realias (alam, sosial, humanitas), maka Irfany adalah mengupas dan mendalami sisi kedalaman atau insight dari keberagamaan Islam dalam hubungannya dengan bermacam-macam agama yang majemuk. Menarik mencermati derivasi atau turunan kata dari kata ma’rifat dan ‘irfan adalah ‘arif. Kata ‘arif , dalam kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat Muslim ternyata mempunyai makna tersendiri.  Jika Bayany dan Burhany , secara sosiologis memunculkan kategori ‘alim dalam masyarakat, namun ‘irfany memunculkan kategori ‘arif. Orang ‘alim belum tentu ‘arif . Dan lagi, masyarakat Muslim lebih mendudukkan ‘arif diatas ‘alim dalam strata sosialnya. Orang sekarang pun merindukan jenis manusia dan kepemimpinan sosial dan agama yang ‘arif, tidak sekedar ‘alim, karena banyak orang yang ‘alim dalam arti menguasai ilmu  agama dan ilmu pengetahuan pada umumnya, tapi kurang atau tidak ‘arif dalam mensikapi berbagai perbedaan tafsir serta pemahaman keagamaan yang beredar luas dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat majemuk seperti saat sekarang ini,  baik majemuk di lingkungan intern umat  maupun ekstern umat beragama , kecakapan sosial (social skill) yang diambil dari sumber mata air ‘irfan adalah sangat  dirindukan oleh masyarakat luas.

Intersubjektifitas keberagamaan: Basis spiritualitas inklusif
              Spiritualitas menjadi tema sentral keberagamaan era sekarang ketika manusia tetap ingin di bawah bimbingan dan lindungan Ilahi, the Sacred Canopy. Jangkar spiritual ini tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan.  Namun ada permintaan yang tidak dapat ditawar dari para pecinta spiritualitas era sekarang. Yaitu spiritualitas dan  the sacred canopy yang tidak terpetak-petak dan terkotak-kotak dalam sektarianisme keagamaan yang akut. The sacred canopy yang tidak mudah menimbulkan emosi komunal, dibarengi tindak kekerasan (violent act) antar sesama kelompok penafsir dan pemahaman yang berbeda baik di lingkungan intern maupun ekstern umat beragama.  The sacred canopy yang tidak ada syiar kebencian di dalamnya. Tidak ada the ideology of takfirism (mudah mengkafirkan orang atau kelompok lain yang berbeda tafsir dan pemahaman keagamaan) yang marak belakangan ini.   Orang sekarang memerlukan corak keberagamaan yang “inklusif”, pendidikan agama inklusif.
               Khazanah intelektual, moral dan spiritual Islam era klasik dan kontemporer bukannya tidak memiliki apa yang diperlukan oleh spiritualitas keagamaan seperti yang digambarkan diatas.  Jika kosa kata Ihsan sedari awal kenabian menekankan perlunya spiritualitas ketuhanan yang lekat pada diri pribadi-pribadi manusia, maka tasawwuf di era berikutnya memunculkan dan mempopulerkan istilah “cinta” antar sesama, cinta sesama tanpa syarat apapun, yang dibarengi  dan dikembangkan dalam tradisi epistemologi Irfany yang mementingkan sikap unity in diversity (kesatuan dalam perbedaan),  sympathy” dan “emphaty terhadap orang dan kelompok lain yang berbeda (empahty perpetuates the distinction between the object and subject; sikap empati dapat menembus perbedaan yang tajam antara subjek dan objek). Perpaduan antara ketiganya, yaitu Ihsan, Tasawwuf dan Irfany menjadi modal  dasar yang sangat berharga,  yang dapat mengantarkan pemeluk agama Islam dapat menembus kekerasan benteng institusionalisasi agama yang berlebihan. Ketiganya dapat dijadikan modal dasar yang dapat  dijadikan metode dan pendekatan untuk dapat memahami keberadaan kelompok “penafsir” lain yang berbeda, baik ras, suku, etnis, kelas, gender maupun (organisasi) agama, tanpa harus meninggalkan kepercayaan dan identitas agama dan kepercayaan sendiri. Global ethics dan multikulturalitas era kontemporer hanya bisa ditopang dengan tradisi Ihsan, tasawwuf dan Irfany dalam pemikiran Islam yang genuine dengan diikuti pola, metode dan pendekatan  pendidikan agama yang disempurnakan.
               Perpaduan antara ketiga elemen tersebut saya namakan corak keberagamaan yang intersubjektif atau meminjam istilah yang digunakan oleh proposal kegiatan halaqah ramadlan ini sebagai spiritualitas yang berkemajuan. Yaitu, jenis atau orak spiritualitas yang mau membuka diri, spiritualitas yang bersedia untuk share  atau berbagi dengan berbagai tradisi spiritualitas keberagamaan lain yang  hidup dalam sejarah panjang kemanusiaan di alam semesta. Spiritualitas yang tidak egosentrik, tetapi spiritualitas yang altruistik. Keberagamaan intersubjektif adalah corak keberagamaan yang mampu menjembatani  corak keberagamaan yang bercorak objektif dan subjektif. Keberagamaan subjektif adalah keberagamaan yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, hampir-hampir melupakan atau tidak peduli (careless) terhadap orang atau kelompok lain yang juga punya hak yang sama dalam memaknai the sacred canopy menurut versi dan tradisinya masing-masing.  Keberagamaan Islam bercorak subjektif umumnya adalah keberagamaan Islam yang bercorak fiqhiyyah, yang kurang mampu menenggang orang atau kelompok lain yang berbeda. Dalam buku-buku atau kitab aqidah al-awwam umumnya mengantar corak keberagamaan yang bercorak subjektif. Terlalu kuat untuk lingkungan intern sendiri, tetapi lemah dalam memahami keberadaan orang atau kelompok lain, jangankan hak-hak orang dan kelompok lain untuk berbeda. Keberagamaan bercorak fiqhiyyah ini penting sekali untuk taraf keberagamaan subjektif, tetapi kurang dapat membantu memahami keberagamaan yang bercorak objektif, apalagi yang bercorak intersubjektif. Corak keberagamaan subjektif-fiqhiyyah  biasa disebut atau dikategorikan sebagai al-‘aql al-lahuty al-siyasy (corak berpikir keagamaan yang berlandaskan asumsi politik-ketuhanan).
              Keberagamaan objektif ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu-ilmu sosial dan studi (sosial) agama. Jika keberagamaan subjektif ditandai dengan peran seseorang atau kelompok sebagai pelaku atau aktor (actor), sebagai orang dalam secara penuh (insider) dan bertindak sebagai pelaku yang   terlibat penuh (involvement) serta keterpanggilan dari dalam yang tidak dapat ditawar-tawar, tanpa reserve (commitment), maka corak keberagamaan objektif mengambil posisi sebagai pengamat (spectator), dapat memposisikan diri sebagai orang luar atau pengamat (outsider) dan mempunyai mentalitas dan cara berpikir yang bercorak keilmuan (scientific mentality) melalui proses pengamatan lapangan, pengumpulan data dengan menggunakan metode keilmuan dan sistematika. Dengan metode penelitian yang cermat, para ilmuan (sosial) agama menemukan skema dan pola-pola objektif dari berbagai agama yang berbeda-beda, yaitu adanya  ajaran (doctrine), peribadatan (ritual), kitab suci (sacred text),  kepemimpinan (leadership), moralitas (morality), sejarah ( history) serta alat-alat pendukung yang digunakan antara lain seperti lembaga-lembaga (institution). Ke tujuh komponen ini ada secara objektif di luar sana, di luar para pengamat yang mengamati fenomena keberagamaan manusia, ada dan umum ditemui dimana-mana di muka bumi ini (universal). Diperoleh dan dipahaminya item atau komponen dasar keberagamaan secara universal ini melalui penggunaan akal yang bercorak historis-keilmuan (al-aql al-tarikhy al-Ilmy).  Ingin ditegaskan disini, bahwa tidak ada agama yang sama. Semua agama adalah unik dan berbeda dalam ke tujuh item tersebut. Pengamatan dan penglihatan agama secara objektif-saintifik ini diperlukan oleh peradaban manusia yang unggul dan mulia agar supaya manusia beragama tidak mudah terjebak dan terbelenggu dalam egoisme sektarian dan primordialisme keagamaan yang akut.
             Kombinasi dan sinergitas spiritualitas keberagamaan yang bercorak subjektif (imaniyyah)  dan objektif (ilmiyyah) adalah corak keberagamaan yang ketiga , yaitu  keberagamaan intersubjektif.  Spiritualitas yang berkemajuan, global ethics dan multikulturalitas ada di sisi ini. Ini bukan keberagamaan baru. Ini adalah  keberagamaan lama, keberagamaan profetik, keberagamaan piagam Madinah yang disempurnakan dan direkonstruksi tata pikirnya. Tanpa mengurangi arkanul Iman maupun arkanul Islam sedikit pun. Keberagamaan  intersubjektif masih mempertahankan eksistensi dan keberadaan masing-masing, tanpa mengganggu-gugat keberadaan berikut hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosialnya. Yang dipentingkan dalam keberagamaan intersubjektif adalah spiritualitas tata nilai (value) yang dapat mendukung kehidupan bersama yang amat plural dalam era modernitas dan lebih-lebih era postmodernitas dan global. Nilai-nilai utama (Virtues kindness) yang terkandung dalam spiritualitas Ihsan yang berkemajuan , yang didukung penghayatan tasawwuf  serta cara berpikir irfany  di era kontemporer , antara lain dapat  disebut: kasih sayang, kebaikan, ketulusan, pengabdian, tolong-menolong, kedamaian, kepedulian, orientasi hidup yang nirpamrih (altruistik), menghindari sikap serbaingin menang sendiri, menaklukkan dan perkasa dalam menaklukkan kelompok lain yang berbeda, diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi terhadap kelompok lain yang berbeda; meneguhkan dan menyemaikan nilai-nilai kelembutan, rasa untuk berbagi, mengalah demi kebaikan, memikirkan kepentingan bersama (public good), kesabaran,  keserba-sahajaan, kesederhanaan, keluhuran dan keutamaan moral; menjauhi prejudice atau buruk sangka terhadap kelompok lain, menekan sedapat-dapatnya syiar kebencian dengan dalih apapun. Itulah nilai yang sepadan dengan nilai seperti verstehen (memahami secara mendalam eksistensi dan aspirasi kelompok lain), emphathy, symphaty, respect, non-violence, altruism, benevolence, compassionate, inclusive, partnership, dialogical.  Inilah seperangkat tata nilai yang diperlukan oleh akal pikiran baru keberagamaan manusia yang tercerahkan (al-aql al-jadid al-istitla’i).

Catatan penutup.
               Agama sangat penting untuk kehidupan manusia. Kita semua sepakat dalam hal itu. Yang tidak atau belum sepakat adalah metode dan pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan dan ajaran agama. Metode dan pendekatan yang digunakan perlu terus menerus disempurnakan dan diperbaiki seiring dengan perkembangan jaman dan perkembangan teknologi informasi. Bahkan teknologi informasi juga dapat saja disalahgunakan untuk maksud-maksud tertentu sesuai uraian diatas. Metode dan pendekatan yang baik dan tepat akan mengantarkan kedamaian dan persatuan, sedang metode dan pendekatan yang buruk dan salah akan mengentarkan pada perpecahan dan ketidakharmonisan sosial.  Menjelaskan agama dan menguraikan agama seringkali dijumpai di lapangan  tidak utuh, karena hanya memprioritaskan dan terjebak pada  salah satu dari ketiga corak keberagamaan, khususnya yang bercorak subjektif. Keberagamaan dan spiritualitas Ihsan yang baru, lebih-lebih  spiritualitas Ihsan yang berkemajuan perlu menjelaskan kepada anak didik dan anak asuh  secara utuh ketiga jenis corak beragama umat manusia tersebut.  Jika dibawa hanya ke salah satu, anak didik pun tahu bahwa pengetahuan guru dan atau pendidik agama sangat terbatas – untuk tidak menyebutnya kadaluwarsa - karena bertentangan dengan realitas historis masyarakat dan perkembangan intelektualitas  anak didik.
                Seperangkat nilai-nilai fundamental dalam spiritualitas Ihsan yang berkemajuan tidak akan dan sulit berkembang jika para guru, pendidik, da’i, ustadz, kyai, ajengan, para tokoh elit agama masih sulit membedakan antara Ushul al-din dan Ushul al-madzhab. Ushul al-Din yang saya maksud bukanlah fakultas Ushuluddin yang ada di IAIN dan UIN, tetapi adalah seperangkat nilai-nilai fundamental-mendasar yang kondusif untuk mengembangkan dan memuliakan peradaban manusia di muka bumi yang semakin sempit.  Yang saya khawatirkan  jangan-jangan apa yang disampaikan kepada anak didik lebih didominasi oleh materi-meteri yang berkaitan erat dengan Ushul al-madzhab (dasar-dasar, sejarah dan kepentingan kelompok-kelompok dan organisasi dalam keberagamaan Islam) , tapi  bukannya Ushul al-din (seperangkat nilai-nilai fundamental keagamaan). Semoga dengan halaqah ilmiyyah pada hari ketiga puasa ramadlan 1434 H / 11 Juli 2013 ini dapat mengantarkan dan memberikan secercah harapan untuk memperbaiki keadaan menyongsong kemanusian ke depan yang jauh lebih kompleks.  

                                                          SUMBER BACAAN
Abdullah, M. Amin, Islamic Sudies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
--------------------, “Intersubjektifitas Keberagamaan Manusia: Membangun Sinergitas Keberagamaan dalam Konteks  Bhinneka Tunggal Ika”, makalah disampaikan dalam seminar nasional kerjasama Deputi bidang Politik Sekretariat Wakil Presiden dan fakultas ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, 30 Mei 2013.
--------------------,  “Intersubjective Religious Testability: Ending Intolerance of Religious and  Ethnic Others in Plural Societies”, Power Point Presentation, disampaikan dalam International Interfaith UN (conference), Kerjasama Jurusan Sosiologi Agama, FUSAP, UIN Sunan Kalijaga dan Arizona States University, USA, Yogyakarta, 24 Juni 2013.
Arkoun, Muhammad, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1990.
Cox, James L., A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London: T & T Clark International, 2006.
Idel, Moshe dan Bernard McGinn (Eds.), Mystical Union and Monotheistic Faith: An Ecumenical Dialogue, New York: MacMillan Publishing Company, 1989
al-Jabiry, Muhammad Abid, Bunyah al-Aql al-Araby: Dirasah Tahlilyyah Naqdiyyah li Nudzumi al-Ma’rifah fi Tsaqafah al-Arabiyyah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990.
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984.
                                                                         


 *Disampaikan dalam Pengajian Ramadlan 1434 H., Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 3 Ramadlan 1434 / 11 Juli 2013 dan Diterbitkan dalam Suara Muhammadiyah
                 

- Designed by Azaki Khoirudin -