- Back to Home »
- IHSAN DAN TASAWWUF DALAM PEMIKIRAN ISLAM KLASIK DAN KOTEMPORER
Ke arah Spiritualitas Ihsan
yang "Berkemajuan"*
M. Amin Abdullah
Ihsan : Basis kesalehan individual.
Dalam
khazanah pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer, khususnya yang ditransmisikan melalui nash-nash
hadis, dikenal 3 kata kunci penting dalam fundasi keberagamaan Islam yaitu, Iman, Islam dan
Ihsan. Apa Iman dan apa Islam tidak perlu dibahas disini, selain sudah sangat
dikenal, juga karena topik bahasan pengajian ramadlan kali ini adalah tentang Ihsan.
Ihsan didefinisikan “an ta’buda al-allah ka annaka tarahu, wa in
lam takun tarahu fa innahu yaraka” (Hendaklah kamu menyembah Tuhan
seolah-olah kamu melihatNya, dan seandainya kamu tidak melihatNya, sesungguhnya
Dia melihat kamu).
Dalam keyakinan seorang Muslim, manusia selalu dilihat dan diawasi oleh Tuhan. Oleh karenanya, janganlah manusia bertingkah laku, mengambil langkah, berbuat, berperilaku dan mengambil kebijakan yang asal-asalan, sembarangan, di luar batas norma-norma kebaikan yang ditentukan oleh agama Islam. Dalam kata Ihsan, per definisi, seolah-olah manusia, secara individu, memang lengket betul dengan Tuhannya. Tuhan selalu memandu, mengawasi, melihat apa yang dilakukan oleh manusia dimanapun dan kapanpun berada. Dalam pengertian seperti itu, umumnya, Ihsan dikonotasikan dengan spiritualitas tingkat tinggi, karena hubungan yang begitu dekat antara individu manusia dan Tuhannya. al-Asma’ al-husna (nama-nama baik Tuhan) selalu menjadi acuan kehiduopannya.
Dalam keyakinan seorang Muslim, manusia selalu dilihat dan diawasi oleh Tuhan. Oleh karenanya, janganlah manusia bertingkah laku, mengambil langkah, berbuat, berperilaku dan mengambil kebijakan yang asal-asalan, sembarangan, di luar batas norma-norma kebaikan yang ditentukan oleh agama Islam. Dalam kata Ihsan, per definisi, seolah-olah manusia, secara individu, memang lengket betul dengan Tuhannya. Tuhan selalu memandu, mengawasi, melihat apa yang dilakukan oleh manusia dimanapun dan kapanpun berada. Dalam pengertian seperti itu, umumnya, Ihsan dikonotasikan dengan spiritualitas tingkat tinggi, karena hubungan yang begitu dekat antara individu manusia dan Tuhannya. al-Asma’ al-husna (nama-nama baik Tuhan) selalu menjadi acuan kehiduopannya.
Bagaimana
kaitannya dengan kehidupan sosial? Apakah kehidupan sosial masih ada kaitannya
dengan Tuhan? Mestinya masih ada, karena kehidupan sosial adalah kumpulan dari
individu-individu. Tapi, yang dijumpai tidak demikian halnya. Sifat-sifat Tuhan
yang baik, seperti al-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan al-Rahim
(yang Mahasa Penyayang), al-Latief (Yang maha Halus), tertindih dan dikalahkan oleh oleh sifatNya
yang al-Qahhar (Yang Maha Pemaksa), al-Syadid (yang keras), al-‘Iqab
(Yang Maha Pemberi Siksa). Chek Perilaku
sosial manusia amat kompleks, lebih-lebih perilaku komunitas yang melibatkan
kepentingan-kepentingan golongan, ekonomi, budaya, partai, organisasi,
perkumpulan, persyarikatan, madzhab, sekte, golongan dan begitu seterusnya. Rupanya
peran Tuhan yang secara teori melekat dengan individu, tetapi dalam kehidupan
kelompok yang berjamaah seolah-olah pengawasan Tuhan untuk berbuat sopan, baik
dan jujur telah lepas dan berubah menjadi sifat-sifat yang kasar,
tidak santun dan keras. Korupsi, Kolusi dan nepotisme berikut tindakan
lanjutannya seperti marginalisasi, diskriminasi, ketidakadilan yang dilakukan secara berjamaah-bersama-sama, seolah-olah
tidak lagi mengenal anggunnya hubungan spiritualitas ihsan yang melekat
pada individu dan Tuhannya. Bahkan seringkali Tuhan dijadikan tameng dan dalih
oleh kelompok tertentu untuk melakukan “kekerasan” psikologis dan sosial demi
untuk melestarikan kepentingan kelompok sosial-keagamaan tertentu dengan
mengatasnamakan agama. Disini letak tikungan atau belokan tajam perilaku
keagamaan yang amat sangat sulit dijelaskan dalam kehidupan beragama era
kontemporer.
Kesalehan
pribadi/individu belum tentu berkorelasi positif dengan kesalehan sosial.
Ada gap yang sangat tajam antara wilayah
yang seharusnya, yaitu das sollen (Ihsan; normativitas agama) dan
wilayah yang senyatanya, yaitu das sein (perilaku sosial; historisitas
perilaku sosial keagamaan) dalam kehidupan yang nyata. Maka yang belum jelas
dalam makna Ihsan seperti didefinisikan diatas adalah apakah pengawasan sosial
adalah bagian pengawasan Tuhan ? Jika ya, bagaimana mekanisme dan tata caranya?
Lewat pendidikan yang berkualitas? Lewat pendiidkan agama yang diperbaharui? Mengapa keyakinan adanya pengawasan Tuhan
secara individu begitu mudah dilupakan
begitu saja, jika manusia hidup berkelompok, berpartai politik, bernegara,
ber LSM, berorganisasi dan berkelompok ? Jika memang tidak saling terkait, antara
kesalehan individual dan kesalehan sosial, maka pengertian Ihsan diatas jangan-jangan masuk ke dalam kategori apa yang dikenal dalam studi agama sebagai Fideistic Subjectivism.
Tuhan hanya dirasakan secara subjektif, oleh individu-individu, oleh
kelompok-kelompok yang terpenggal dan tersekat-sekat oleh kepentingan kelompok,
tetapi Tuhan kurang dirasakan secara objektif (Objective-rationalism) dalam kehidupan sosial
yang objektif, luas dan majemuk.
Memang Tuhan tidak dapat terpisah walau sedetik-sesekon pun
dari manusia sebagai individu, dalam arti manusia secara individu mengklaim dan
percaya demikian adanya tetapi ketika mereka hidup berkelompok seringkali
mereka melupakan pengawasan Tuhan lewat al-asma al-husna Nya yang utuh. Yang
terlupakan dalam pengertian Ihsan diatas adalah dimana letak pengawasan
sosial dalam membimbing perilaku kelompok umat Islam? Ternyata, yang paling tidak sulit dirasakan di
tanah air dan juga di seantero dunia Islam adalah perilaku sosial dan spiritualitas
sosial umat Islam. Ketika umat Islam berkelompok, mudah sekali terbelenggu
dan terjebak pada ikatan primordialisme dan sektarianisme bermadzhab dan
beraqidah, yang ditengarahi terlalu emosional dan mudah menyulut kekerasan dan
mengantarkan ke disharmoni sosial. Tidak semua sudah barang tentu, tetapi yang
sering muncul di media dikesankan demikian. Benarkah beragama yang baik secara
individual atau kesalehan invididual cenderung mengantarkan ke arah disharmoni
sosial seperti yang dirasakan belakangan ini di berbagai tempat di tanah air
dan juga di manca negara?
Masih merujuk
pada pengertian Ihsan diatas, betapa hebatnya memang peran pandangan keagamaan – yang dipahami secara
pribadi-pribadi - dalam membentuk pandangan dunia (world view)
manusia. Perilaku, solah bowo,
muna-muni, tindak-tanduk, gesture, kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berpolitik, bertransaksi
sosial-ekonomi, berhubungan antar kelompok etis, ras, golongan sosial-keagamaan
akan selalu dipandu oleh system of belief yang diyakini oleh pribadi-pribadi
tersebut ‘berasal‘ dari Tuhan lewat
orang tua, guru, ustadz, kyai dan kitab
yang mereka yang mereka jadikan rujukan. Semua pengikut agama-agama dunia
meyakini hal sama, sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya secara pribadi. Dalam
bahasa sosiologi agama, mengutip Peter Berger, gambaran kehidupan agama yang
indah seperti itu disebut dengan istilah the Sacred Canopy
(Langit-langit Suci), yaitu pandangan dan keyakinan keagamaan yang selalu
melindungi, memayungi, mengayomi, membayang-bayangi dan membimbing kehidupan
manusia dimana pun mereka berada. Manusia tidak dapat terlepas dari Tuhannya.
Namun, tetap saja ada paradoks disitu. Pengawasan Tuhan yang membimbing
perilaku individu, dalam banyak kasus lebih bercorak pemahaman dan tafsir
pribadi (Fideistic subjectivism), yang seringkali melupakan arti penting,
bahkan seringkali meremehkan arti penting dan peran pengawasan sosial. Wilayah
publik, wilayah bersama kurang menjadi perhatian. Manusia beragama
terkaget-kaget, ketika pemahaman keagamaan mereka secara pribadi yang
mentradisi diintervensi dan dimasuki oleh pengawasan sosial oleh media sosial
yang difasilitasi oleh revolusi dalam bidang teknologi informasi. Terjadi
lompatan disini. Integritas keberagamaan
dan kepribadian seseorang rupanya tidak lagi
cukup hanya diukur lewat pengawasan Tuhan
terhadap pribadi-pribadi, tetapi juga diawasi secara sosial oleh media sosial.
Lebih-lebih, karena apa yang dipahami dan diyakini benar menurut
pribadi-pribadi, orang per orang dapat saja
terjebak dari tafsir keagamaan era tertentu, yang belum tentu cocok dengan tafsir
keagamaan era yang lain. Pemahaman dan tafsir keagamaan ternyata selalu
berkembang (evolves and grows) sesuai dengan tingkat perkembangan pendidikan, literasi dan
bahkan perkembangan sains dan teknologi pada era tertentu dan era yang lain.
Baik
tersirat maupun tersurat, nash atau teks diatas menjelaskan bahwa perilaku dan tingkah laku seseorang atau
kelompok (kumpulan dari individu-individu yang berkumpul dan berserikat) pada
mulanya sangat dibentuk oleh bagaimana corak world view keagamaan yang
diperoleh oleh individu-individu dalam proses panjang pendidikan dan pengalaman
sosial-kehidupannya. World view keagamaan manusia dibentuk oleh corak hubungan antara individu dan Tuhannya tetapi
kurang begitu terlihat rajutan dan hubungannya dengan jalinan sosial yang sangat kompleks dalam kehidupan sosial, politik, sekte-sekte
keagamaan, ekonomi, suku, ras, etnis. Bagaimana individu menggambarkan
dan membayangkan sosok Tuhannya sangat tergantung pada corak pendidikan dan
pelatihan yang ia lalui dan peroleh melalui jenis doktrin atau ajaran yang ia
serap melalui pendidikan dan pergaulan
sosialnya. Semua itu, secara akumulatif, baik langsung maupun tidak langsung, akan membentuk corak perilaku
sehari-hari seseorang dalam kehidupan individu
atau pribadi-pribadi maupun perilaku
kelompok atau kumpulan individu-individu dalam komunitasnya.
Tasawwuf: basis
kesalehan sosial ?
Dalam
konteks pemahaman seperti itu, yaitu adanya dinamika hubungan dan perjumpaan yang
sangat kompleks antara individu, pemahaman
individu terhadap Tuhan dan kehidupan sosial yang menyertai, mengitari dan
mengelilinginya, maka pada periode sejarah abad tengah, paska kenabian, dikenal
apa yang disebut Tasawwuf. Jika Iman membahas persoalan
–persoalan yang terkait dengan Aqidah – atau Kalam dalam bahasan
teoritisnya – dan Islam lebih terkait dengan diskusi Fiqh membahas
detil ritual peribadatan (mu’amalah ma’a al-Allah dan mu’amalah ma’a al-nas),
yang lebih berdimensi eksoteris -, maka Tasawwuf lebih mendiskusikan
aspek kedalaman atau dimensi esoterik dalam keberagamaan Islam. Ketiganya
menjadi satu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan antara yang satu dan
lainnya. Dikenal pula istilah trilogi keberagamaan Islam yang disebut Syariat,
Hakekat dan Ma’rifat. Ma’rifat mewakili tradisi berfikir
tasawwuf. Secara etimologis, tasawwuf
berarti “pembersihan”, “perjenihan”, “pemutihan kembali”, “penyulingan”. Yakni,
perjernihan kembali perilaku yang menyimpang, pemahaman dan tafsir keagamaan yang
telah mentradisi, yang telah berkaitkelindan dan bercampuraduk dengan
kepentingan sosial dan politik, yang telah mengkristal dalam lembaga-lembaga
yang terstuktur secara birokratis. Tidak jelas mana yang sacred dan mana
yang profan, mana yang human dan mana divine. Inilah
proses yang disebut takhally, yakni mengosongkan diri dari tindakan
perbuatan yang buruk-tercela. Kemudian dikuti dengan tahally, yakni
menghiasi dan mengisinya dengan sifat-sifat baik dan terpuji, dan berakhir
dalam tajally, yakni penampakannya dalam tindakan orang per orang
dan sosial yang lebih baik dan lebih santun secara sosial. Ketiga istilah
perjalanan mistik (mystical journey) ini kemudian dikenal dalam dalam
bahasa Barat dengan istilah via purgativa, via illuminativa dan
via contemplativa atau juga transformativa. Tasawwuf
adalah bahasa klasifikasi atau kategorisasi keilmuan abad tengah Islam yang
sangat lekat dengan perkembangan sejarah pemikiran Islam. Sedang Ihsan adalah
terminologi era kenabian, sebelum pengembangan dan sistematisasinya pada abad
tengah. Ibaratnya, meningggalkan Ihsan dan tasawwuf dalam
pemikiran Islam maknanya sama dengan mempunyai badan tanpa ruh. Hubungan antara
jasad dan jiwa begitu dekat, karenanya proses takhally, tahally dan tajally adalah
bagian kehidupan agama yang perlu dilakukan oleh siapapun dalam kehidupan keberagamaannya yang otentik.
Dalam
tradisi pemikiran Islam generasi awal, tidak lama setelah kenabian, pelembagaan
atau institusionalisasi penafsiran dan pemahaman agama ternyata memang sulit dihindari.
Embrio dari apa yang belakangan disebut Sunni (ahli sunnah wa al-jamaah)
dan Syi’iy adalah bentuk pelembagaan sosial dan strukturalisasi pemahaman
keagamaan secara konkrit dalam kehidupan
sosial. Perang Jamal dan atau perang Siffin adalah peristiwa sejarah penting
dalam sejarah Islam di era yang sangat dekat dengan kenabian, yang menandai dan
sekaligus membuktikan bahwa pengelompokan sosiologis dan politis sebagai akibat
langsung dari pemahaman dan penafsiran agama yang berbeda adalah fenomena
manusiawi belaka. Bahkan pemikiran teologi atau Kalam pertama, yang
bersentuhan langsung dngan Aqidah dalam Islam dipicu oleh peristiwa sosial-politik,
yaitu bagaimana status penyandang dosa karena kasus pembunuhan sesama muslim. Kafir,
murtad, munafiq, fasiq, dzallun (sesat), manzilah baina al-manzilatain
adalah istilah-istilah atau terminologi keislaman yang pengertiannya juga sarat
dan lengket dengan makna terminologi politis. Agama dan politik menjadi
tidak terpisahkan secara sosiologis. Era kontemporer sekarang, percampuran antara keduanya lebih dikenal dengan
sebutan al-din wa al-daulah.
Pemahaman individu
dan kelompok tentang Islam dan Iman, di awal perjalanan sejarah umat Islam, akhirnya membentuk aliran pemikiran teologi Islam
yang disebut Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiyyah, Sunni dan al-Syiah,
Khawarij dan begitu seterusnya. Ketika
pertentangan antar berbagai pengikut aliran pemahaman ini semakin tajam, dan
tidak jarang sangat keras dan berdarah-darah, maka diperlukan pemikiran ulang (rethinking)
tentang perjalanan sejarah keberagamaan Islam secara mendasar. Tasawwuf muncul
ke permukaaan, sebagai upaya manusia untuk mengembalikan keberagamaan dan
keimanan manusia Muslim ke pangkalnya. Salah satu kosa kata dalam tasawwuf
yang sangat menonjol adalah cinta (mahabbah). Ibn Araby misalnya sangat
menekankan dimensi cinta dalam beragama untuk meredam konflik dan permusuhan
antara berbagai madzhab pemikiran agama yang berkembang saat itu. Namun, hukum
sosial juga berlaku kepada gerakan rethinking ini. Akhirnya, gerakan
pemurnian dan penjernihan kembali ini juga melembaga secara tersendiri. Pelembagaan
sosial ini yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Tarekat atau
gilde-gilde, tekke-tekke. Ketika Iman
dan Islam menyatu dalam
kehidupan sosial, maka ia akan membentuk lembaga-lembaga. Tak terkecuali tasawwuf.
Gerakan penjernihan pemahaman agama ini juga berujung pada pelembagaan, yaitu
kelembagaan tarekat. Disini muncul
kembali gerakan yang ingin memurnikan agama
kembali, yang ingin mengembalikan agama ke pangkalnya lagi. Fazlur Rahman pernah menyebut gerakan tarekat
yang melembaga ini sebagai “religion within religion”. Wal hasil,
agama dan pemahaman keagamaan memang
tidak dapat terlepas sama sekali dari kehidupan sosial dan pelembagaannya. Bukan agama jika tidak lengket dalam kehidupan
sosial dan pelembagaannya. Munculnya apa yang disebut madzhab atau aliran,
sekte dalam pemikiran keagamaan adalah fenoemana
yang wajar belaka dan merupakan salah satu contoh konkrit yang menjelaskan
betapa agama, khususnya dimensi Iman dan Islam, termasuk Ihsan,
dapat melembaga dalam kehidupan sosial.
Rentetan peristiwa itu juga sekaligus dapat menjelaskan bahwa gerakan pemikiran keagamaan yang ingin
“memurnikan”, “menjernihkan kembali”, “menyegarkan kembali” dan mengembalikan
ke pangkalnya adalah juga bagian tak terpisahkan dari kehidupan soial-keagamaan
itu sendiri.
Ihsan,Tasawwuf dan Irfan
Setelah tasawwuf, dalam
perjalanan sejarahnya yang panjang, berubah menjadi perkumpulan sosial Tarekat,
untuk kesekian kalinya pemikiran keagamaan kehilangan elan vital pemikiran kritis terhadap
realitas perjumpaaan agama dan kepentingan sosial-politis. Namun akal pikiran
manusia terus menerus mencari jalan keluar untuk mencapai derajat Ihsan,
insan kamil, yang selain peka terhadap realitas ketuhanan tetapi juga peka terhadap
persenyawaan atau persekongkolan antara agama dan kepentingan sosial, yang
dalam batas-batas tertentu sangat hegemonik-dominatif. Akibatnya tidak dapat
bersikap ramah terhadap kelompok pemahaman dan penafsiran keagamaan yang berbeda. Irfan adalah dimensi
epistemologis pemikiran keagamaan Islam yang mencermati kemungkinan adanya
anomali-anomali dalam pemahaman keagamaan yang dapat mengarah kepada praktik
keberagamaan yang jauh dari pangkalnya. Rangkaian 3 jenis epistemologi pemikiran
Islam, yaitu Bayany, Burhany dan Irfany adalah cara lain dari segi
filosofis untuk menjelaskan struktur bangunan
dasar pemikiran Islam setelah melewati sejarah panjang pergumulannya dengan
realitas kehidupan sosial.
Jika
dalam khazanah pemikiran filsafat Barat dikenal “intuisi”, maka dalam khazanah
pemikiran Islam dikenal “’irfani” dalam keberagamaan manusia. Padanan intuisi
adalah ‘irfan dalam pemikiran Islam. Jika aksentuasi pemikiran Bayany
adalah memahami dan menguraikan makna yang dikandung dalam teks
(khususnya al-Qur’an dan al-Hadits), sedang Burhany lebih
pada penggunaan akal pikiran untuk membedah realias (alam, sosial, humanitas),
maka Irfany adalah mengupas dan mendalami sisi kedalaman atau insight
dari keberagamaan Islam dalam hubungannya dengan bermacam-macam agama yang majemuk.
Menarik mencermati derivasi atau turunan kata dari kata ma’rifat dan
‘irfan adalah ‘arif. Kata ‘arif , dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
masyarakat Muslim ternyata mempunyai makna tersendiri. Jika Bayany dan Burhany , secara sosiologis
memunculkan kategori ‘alim dalam masyarakat, namun ‘irfany
memunculkan kategori ‘arif. Orang ‘alim belum tentu ‘arif . Dan lagi, masyarakat
Muslim lebih mendudukkan ‘arif diatas ‘alim dalam strata
sosialnya. Orang sekarang pun merindukan jenis manusia dan kepemimpinan sosial
dan agama yang ‘arif, tidak sekedar ‘alim, karena banyak orang
yang ‘alim dalam arti menguasai ilmu agama dan ilmu pengetahuan pada umumnya, tapi
kurang atau tidak ‘arif dalam mensikapi berbagai perbedaan tafsir serta
pemahaman keagamaan yang beredar luas dalam masyarakat. Dalam kehidupan
masyarakat majemuk seperti saat sekarang ini,
baik majemuk di lingkungan intern umat
maupun ekstern umat beragama , kecakapan sosial (social skill)
yang diambil dari sumber mata air ‘irfan adalah sangat dirindukan oleh masyarakat luas.
Intersubjektifitas keberagamaan: Basis spiritualitas inklusif
Spiritualitas
menjadi tema sentral keberagamaan era sekarang ketika manusia tetap ingin di bawah
bimbingan dan lindungan Ilahi, the Sacred Canopy. Jangkar spiritual ini
tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Namun ada permintaan yang tidak dapat ditawar
dari para pecinta spiritualitas era sekarang. Yaitu spiritualitas dan the sacred canopy yang tidak terpetak-petak
dan terkotak-kotak dalam sektarianisme keagamaan yang akut. The sacred
canopy yang tidak mudah menimbulkan emosi komunal, dibarengi tindak kekerasan
(violent act) antar sesama kelompok penafsir dan pemahaman yang berbeda
baik di lingkungan intern maupun ekstern umat beragama. The sacred canopy yang tidak ada syiar
kebencian di dalamnya. Tidak ada the ideology of takfirism (mudah
mengkafirkan orang atau kelompok lain yang berbeda tafsir dan pemahaman
keagamaan) yang marak belakangan ini. Orang
sekarang memerlukan corak keberagamaan yang “inklusif”, pendidikan agama inklusif.
Khazanah
intelektual, moral dan spiritual Islam era klasik dan kontemporer bukannya
tidak memiliki apa yang diperlukan oleh spiritualitas keagamaan seperti yang
digambarkan diatas. Jika kosa kata Ihsan
sedari awal kenabian menekankan perlunya spiritualitas ketuhanan yang lekat
pada diri pribadi-pribadi manusia, maka tasawwuf di era
berikutnya memunculkan dan mempopulerkan istilah “cinta” antar sesama, cinta
sesama tanpa syarat apapun, yang dibarengi dan dikembangkan dalam tradisi epistemologi Irfany
yang mementingkan sikap unity in diversity (kesatuan dalam
perbedaan), “sympathy” dan
“emphaty” terhadap orang
dan kelompok lain yang berbeda (empahty perpetuates the distinction between the
object and subject; sikap empati dapat menembus perbedaan yang tajam antara
subjek dan objek). Perpaduan antara ketiganya, yaitu Ihsan, Tasawwuf dan
Irfany menjadi modal dasar
yang sangat berharga, yang dapat
mengantarkan pemeluk agama Islam dapat menembus kekerasan benteng
institusionalisasi agama yang berlebihan. Ketiganya dapat dijadikan modal dasar
yang dapat dijadikan metode dan
pendekatan untuk dapat memahami keberadaan kelompok “penafsir” lain yang
berbeda, baik ras, suku, etnis, kelas, gender maupun (organisasi) agama, tanpa
harus meninggalkan kepercayaan dan identitas agama dan kepercayaan sendiri. Global
ethics dan multikulturalitas era kontemporer hanya bisa
ditopang dengan tradisi Ihsan, tasawwuf dan Irfany dalam
pemikiran Islam yang genuine dengan diikuti pola, metode dan pendekatan pendidikan agama yang disempurnakan.
Perpaduan antara ketiga elemen tersebut saya namakan corak keberagamaan
yang intersubjektif atau meminjam istilah yang digunakan oleh proposal kegiatan
halaqah ramadlan ini sebagai spiritualitas yang berkemajuan. Yaitu,
jenis atau orak spiritualitas yang mau membuka diri, spiritualitas yang
bersedia untuk share atau berbagi
dengan berbagai tradisi spiritualitas keberagamaan lain yang hidup dalam sejarah panjang kemanusiaan di
alam semesta. Spiritualitas yang tidak egosentrik, tetapi spiritualitas yang
altruistik. Keberagamaan intersubjektif adalah corak keberagamaan yang
mampu menjembatani corak keberagamaan
yang bercorak objektif dan subjektif. Keberagamaan subjektif adalah
keberagamaan yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, hampir-hampir melupakan
atau tidak peduli (careless) terhadap orang atau kelompok lain yang juga
punya hak yang sama dalam memaknai the sacred canopy menurut versi dan
tradisinya masing-masing. Keberagamaan
Islam bercorak subjektif umumnya adalah keberagamaan Islam yang bercorak
fiqhiyyah, yang kurang mampu menenggang orang atau kelompok lain yang berbeda.
Dalam buku-buku atau kitab aqidah al-awwam umumnya mengantar corak keberagamaan
yang bercorak subjektif. Terlalu kuat untuk lingkungan intern sendiri, tetapi
lemah dalam memahami keberadaan orang atau kelompok lain, jangankan hak-hak
orang dan kelompok lain untuk berbeda. Keberagamaan bercorak fiqhiyyah
ini penting sekali untuk taraf keberagamaan subjektif, tetapi kurang
dapat membantu memahami keberagamaan yang bercorak objektif, apalagi
yang bercorak intersubjektif. Corak keberagamaan subjektif-fiqhiyyah biasa disebut atau dikategorikan sebagai al-‘aql
al-lahuty al-siyasy (corak berpikir keagamaan yang berlandaskan asumsi
politik-ketuhanan).
Keberagamaan objektif ditandai dengan muncul dan berkembangnya
ilmu-ilmu sosial dan studi (sosial) agama. Jika keberagamaan subjektif
ditandai dengan peran seseorang atau kelompok sebagai pelaku atau aktor (actor),
sebagai orang dalam secara penuh (insider) dan bertindak sebagai pelaku
yang terlibat penuh (involvement)
serta keterpanggilan dari dalam yang tidak dapat ditawar-tawar, tanpa reserve
(commitment), maka corak keberagamaan objektif mengambil
posisi sebagai pengamat (spectator), dapat memposisikan diri sebagai
orang luar atau pengamat (outsider) dan mempunyai mentalitas dan cara
berpikir yang bercorak keilmuan (scientific mentality) melalui proses
pengamatan lapangan, pengumpulan data dengan menggunakan metode keilmuan dan
sistematika. Dengan metode penelitian yang cermat, para ilmuan (sosial) agama
menemukan skema dan pola-pola objektif dari berbagai agama yang berbeda-beda,
yaitu adanya ajaran (doctrine), peribadatan
(ritual), kitab suci (sacred text), kepemimpinan (leadership), moralitas (morality),
sejarah ( history) serta alat-alat pendukung yang digunakan antara
lain seperti lembaga-lembaga (institution). Ke tujuh komponen ini ada
secara objektif di luar sana, di luar para pengamat yang mengamati fenomena
keberagamaan manusia, ada dan umum ditemui dimana-mana di muka bumi ini (universal).
Diperoleh dan dipahaminya item atau komponen dasar keberagamaan secara
universal ini melalui penggunaan akal yang bercorak historis-keilmuan (al-aql
al-tarikhy al-Ilmy). Ingin
ditegaskan disini, bahwa tidak ada agama yang sama. Semua agama adalah unik
dan berbeda dalam ke tujuh item tersebut. Pengamatan dan penglihatan agama
secara objektif-saintifik ini diperlukan oleh peradaban manusia yang unggul dan
mulia agar supaya manusia beragama tidak mudah terjebak dan terbelenggu dalam
egoisme sektarian dan primordialisme keagamaan yang akut.
Kombinasi dan sinergitas
spiritualitas keberagamaan yang bercorak subjektif (imaniyyah) dan objektif (ilmiyyah) adalah corak keberagamaan
yang ketiga , yaitu keberagamaan
intersubjektif. Spiritualitas yang
berkemajuan, global ethics dan multikulturalitas ada di sisi ini. Ini bukan
keberagamaan baru. Ini adalah
keberagamaan lama, keberagamaan profetik, keberagamaan piagam Madinah
yang disempurnakan dan direkonstruksi tata pikirnya. Tanpa mengurangi arkanul
Iman maupun arkanul Islam sedikit pun. Keberagamaan intersubjektif masih mempertahankan eksistensi
dan keberadaan masing-masing, tanpa mengganggu-gugat keberadaan berikut hak-hak
dan kewajiban-kewajiban sosialnya. Yang dipentingkan dalam keberagamaan
intersubjektif adalah spiritualitas tata nilai (value) yang dapat
mendukung kehidupan bersama yang amat plural dalam era modernitas dan
lebih-lebih era postmodernitas dan global. Nilai-nilai utama (Virtues
kindness) yang terkandung dalam spiritualitas Ihsan yang berkemajuan ,
yang didukung penghayatan tasawwuf serta cara berpikir irfany di era kontemporer , antara lain dapat disebut: kasih sayang, kebaikan, ketulusan,
pengabdian, tolong-menolong, kedamaian, kepedulian, orientasi hidup yang
nirpamrih (altruistik), menghindari sikap serbaingin menang sendiri, menaklukkan
dan perkasa dalam menaklukkan kelompok lain yang berbeda, diskriminasi,
marginalisasi dan subordinasi terhadap kelompok lain yang berbeda; meneguhkan
dan menyemaikan nilai-nilai kelembutan, rasa untuk berbagi, mengalah demi
kebaikan, memikirkan kepentingan bersama (public good), kesabaran, keserba-sahajaan, kesederhanaan, keluhuran
dan keutamaan moral; menjauhi prejudice atau buruk sangka terhadap
kelompok lain, menekan sedapat-dapatnya syiar kebencian dengan dalih apapun.
Itulah nilai yang sepadan dengan nilai seperti verstehen (memahami
secara mendalam eksistensi dan aspirasi kelompok lain), emphathy, symphaty,
respect, non-violence, altruism, benevolence, compassionate, inclusive,
partnership, dialogical. Inilah
seperangkat tata nilai yang diperlukan oleh akal pikiran baru keberagamaan manusia
yang tercerahkan (al-aql al-jadid al-istitla’i).
Catatan penutup.
Agama
sangat penting untuk kehidupan manusia. Kita semua sepakat dalam hal
itu. Yang tidak atau belum sepakat adalah metode dan pendekatan yang digunakan
dalam menyampaikan pesan-pesan dan ajaran agama. Metode dan pendekatan yang
digunakan perlu terus menerus disempurnakan dan diperbaiki seiring dengan
perkembangan jaman dan perkembangan teknologi informasi. Bahkan teknologi
informasi juga dapat saja disalahgunakan untuk maksud-maksud tertentu sesuai
uraian diatas. Metode dan pendekatan yang baik dan tepat akan mengantarkan
kedamaian dan persatuan, sedang metode dan pendekatan yang buruk dan salah akan
mengentarkan pada perpecahan dan ketidakharmonisan sosial. Menjelaskan agama dan menguraikan agama
seringkali dijumpai di lapangan tidak
utuh, karena hanya memprioritaskan dan terjebak pada salah satu dari ketiga corak keberagamaan,
khususnya yang bercorak subjektif. Keberagamaan dan spiritualitas Ihsan yang
baru, lebih-lebih spiritualitas
Ihsan yang berkemajuan perlu menjelaskan kepada anak didik dan anak
asuh secara utuh ketiga jenis corak
beragama umat manusia tersebut. Jika
dibawa hanya ke salah satu, anak didik pun tahu bahwa pengetahuan guru dan atau
pendidik agama sangat terbatas – untuk tidak menyebutnya kadaluwarsa - karena
bertentangan dengan realitas historis masyarakat dan perkembangan
intelektualitas anak didik.
Seperangkat nilai-nilai fundamental dalam spiritualitas Ihsan yang
berkemajuan tidak akan dan sulit berkembang jika para guru, pendidik,
da’i, ustadz, kyai, ajengan, para tokoh elit agama masih sulit membedakan
antara Ushul al-din dan Ushul al-madzhab. Ushul
al-Din yang saya maksud bukanlah fakultas Ushuluddin yang ada di IAIN dan
UIN, tetapi adalah seperangkat nilai-nilai fundamental-mendasar yang kondusif
untuk mengembangkan dan memuliakan peradaban manusia di muka bumi yang semakin
sempit. Yang saya khawatirkan jangan-jangan apa yang disampaikan kepada
anak didik lebih didominasi oleh materi-meteri yang berkaitan erat dengan Ushul
al-madzhab (dasar-dasar, sejarah dan kepentingan kelompok-kelompok dan
organisasi dalam keberagamaan Islam) , tapi bukannya Ushul al-din (seperangkat
nilai-nilai fundamental keagamaan). Semoga dengan halaqah ilmiyyah pada
hari ketiga puasa ramadlan 1434 H / 11 Juli 2013 ini dapat mengantarkan dan
memberikan secercah harapan untuk memperbaiki keadaan menyongsong kemanusian ke
depan yang jauh lebih kompleks.
SUMBER BACAAN
Abdullah, M. Amin, Islamic Sudies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
--------------------, “Intersubjektifitas Keberagamaan
Manusia: Membangun Sinergitas Keberagamaan dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika”, makalah disampaikan
dalam seminar nasional kerjasama Deputi bidang Politik Sekretariat Wakil
Presiden dan fakultas ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, 30 Mei
2013.
--------------------,
“Intersubjective Religious Testability: Ending Intolerance of Religious
and Ethnic Others in Plural Societies”,
Power Point Presentation, disampaikan dalam International Interfaith UN
(conference), Kerjasama Jurusan Sosiologi Agama, FUSAP, UIN Sunan Kalijaga dan
Arizona States University, USA, Yogyakarta, 24 Juni 2013.
Arkoun, Muhammad, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah,
Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumy, 1990.
Cox, James L., A Guide to the Phenomenology of
Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London:
T & T Clark International, 2006.
Idel, Moshe dan Bernard McGinn (Eds.), Mystical Union
and Monotheistic Faith: An Ecumenical Dialogue, New York: MacMillan
Publishing Company, 1989
al-Jabiry, Muhammad Abid, Bunyah al-Aql al-Araby:
Dirasah Tahlilyyah Naqdiyyah li Nudzumi al-Ma’rifah fi Tsaqafah al-Arabiyyah, Beirut:
Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1990.
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 1984.
*Disampaikan dalam Pengajian Ramadlan
1434 H., Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, 3 Ramadlan 1434 / 11 Juli
2013 dan Diterbitkan dalam Suara Muhammadiyah