- Back to Home »
- Konsep Dakwah Muhammadiyah
Syamsul Hidayat
A. Landasan
Quran-Sunnah
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (ال عمران:104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali
Imran [3]:104)
Ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat
sebelumnya yang menjelaskan tentang sifat Ahli Kitab yang lebih memilih jalan
kesesatan dan kekafiran. Bahkan, mengajak orang lain untuk memilih kesesatan
dan kekafiran setelah keimanan mereka. Dilanjutkan dengan penjelasan pentingnya
ber-iÑtiÎÉm kepada agama Allah sebagai jalan menuju petunjuk Allah. Maka,
Allah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk kembali bertakwa
kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya, berpegang teguh kepada tali-Nya (al-Islam:
al-Quran dan al-Sunnah), dan membangun ukhuwwah atas landasan takwa dan i’tiÎÉm
bi Íablillah tersebut. (QS. Ali Imran [3]: 100-103).[1]
Ayat 104 ini justru membicarakan
bagaimana menegakkan dan memelihara masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada
Allah yakni dengan jalan dakwah dan amar maÑruf nahi munkar. Maka pembahasan
ayat ini biasa mencakup tentang cakupan kewajiban dakwah (berkaitan dengan
pelaku dan objek dakwah), materi dakwah, langkah-langkah dakwah (berkaitan
metode dan sarana), dan tujuan akhir dakwah Islam.
Berkaitan dengan pembahasan yang
pertama dalam beberapa tafsir disebutkan tentang apakah kewajiban dakwah
tertuju kepada setiap individu atau sebagian individu yang memiliki kompetensi.
Ini berkaitan dengan pembahasan tentang minkum (منكم),
apakah min itu bermakna tab’id (baÑÌiyyah) atau tabyin (bayÉniyyah).
Pendapat pertama yang melihat min
sebagai baÑÌiyyah, maka kewajiban dakwah itu tidak tertuju kepada setiap
individu, tetapi kepada sebagian yang memiliki kompetensi, baik kompetensi
ilmu, visi dan ketrampilan menjalankan kegiatan dakwah dan amar maÑruf nahi
munkar.
Pendapat yang kedua yang memandang min
sebagai bayÉniyyah, berimplikasi pada pemahaman bahwa kewajiban dakwah
jatuh kepada setiap individu, tanpa kecuali. Pemahaman ini diperkuat dengan
isyarat dalam Q.S. al-’Ashr, yang menyatakan bahwa orang yang tidak ingin jatuh
kepada kehancuran, kerugian, tidak ada jalan lain kecuali dengan beriman,
beramal dan ber-tawÎiyah bÊ al-Íaq dan bÊ al-Îabr.
Beberapa
ulama mengkompromikan dua pendapat tersebut. Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Misbah menjelaskan bahwa jika dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang
sempurna, yakni dakwah yang sistematis, terencana program dan
langkah-langkahnya, maka hal itu menjadi kewajiban bagi mereka yang memiliki
kompetensi untuk itu (wajib kifayah). Sementara jika dakwah dimaknai
sebagai ajakan atau tausiyah tentang kebenaran (al-haq) sesuai dengan kemampuan
masing-masing, maka dakwah adalah kewajiban individual (wajib ain).[2]
Kajian
berikutnya berkaitan dengan terminologi al-ummah al-dÉÑiyyah. Al-Imam
Al-Raghib al-Asfahani menyebutkan bahwa kata al-ummah berakar pada kata al-umm
yang berarti induk (aÎl al-mas´alah), ibu (orang tua perempuan, al-wÉlidah).
Ia mendefinisikan al-umm sebagai (كل شيئ
ضم اليه سائر ما يليه يسمى أما). Sementara,
kata al-ummah didefinisikan sebagai berikut:
الامة : كل جماعة يجمعهم أمر
واحد إما دين واحد أو زمان واحد أو مكان واحد سواء كان ذلك الامر الجامع تسخيرا أو
اختيارا.
“Ummah adalah semua jamaah yang diikat oleh satu urusan, seperti
satu agama, satu zaman (waktu), satu tempat, baik perkumpulan itu bersifat
terpaksa atau sukarela.”[3]
Definisi yang terakhir ini agaknya
sejalan dengan pemahaman Muhammadiyah yang memahami bahwa al-ummah sebagai
organisasi yang tertib kepemimpinan, keanggotaan, dan hubungan antara keduanya.
Berkaitan dengan materi dakwah
pembahasan diarahkan kepada penggalian makna al-khair, al-ma’rËf
dan al-munkar.
Al-Khair dalam ayat ini menurut Ibn Katsir
dengan mengutip Sabda Rasul SAW adalah ittiba’ al-Quran wa al-Sunnah, mengikuti
Al-Quran dan Al-Sunnah. Sementara Imam
Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikan al-Khair sebagai berikut:
الخير ما يرغب فيه الكل كالعقل
مثلا والعدل والفضل والشىء النافع وضده الشر.
“Al-khair adalah segala yang disukai oleh
semua seperti akal, keadilan dan keutamaan, serta sesuatu yang bermanfaat dan
lawannya adalah al-sharr.
[4]
Kemudian ia membagi membagi al-khair
dalam dua bentuk: al-khair al-muthlaq dan al-khair al-muqayyad. Al-khair
al-muthlaq diartikan segala yang dipandang baik dan tidak dapat ditolak
kebaikannya oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun. Sementara al-khair
al-muqayyad adalah sesuatu yang dipandang baik oleh sebagian orang tetapi
dipandang sebagai kejelekan oleh yang lain.[5]
Tauhid dan tttibÉÑ al-Qur´Én wa
al-Sunnah, menurut tafsir Ibnu Abbas,[6]
merupakan al-khair al-mutlaq. Dan dalam konteks ayat 104 di atas, al-khair
sebagai materi utama dakwah sekaligus landasan dakwah, yakni tauhid dan ittibÉÑ
al-Qur´Én wa al-Sunnah.
Al-maÑrËf menurut al-Maraghi adalah apa yang dianggap baik oleh
syariat dan akal, sedangkan al-munkar adalah lawannya. Al-Asfahani menjelaskan makna al-ma’ruf dan al-munkar sebagai
berikut.
المعروف اسم لكل فعل يعرف بالعقل
أو الشرع حسنه والمنكر ما ينكر بهما.[7]
“Al-maÑrËf adalah sebutan bagi
setiap perbuatan yang diakui baik oleh akal atau syariat, Adapun munkar adalah
apa yang diinkari kebaikannya oleh keduanya”.
Quraish Shihab menjelaskan al-khair,
al-maÑrËf dan al-munkar merupakan tema-tema pokok gerakan dakwah
Islam. Al-Khair dalam konteks ayat ini merupakan nilai kebajikan yang bersifat
tetap dalam Islam, di mana setiap orang mesti menerimanya dan menjadi tolok
ukur atas yang lainnya, yakni nilai-nilai al-maÑrËf dan al-munkar.
Kebajikan dalam al-maÑrËf
merupakan nilai-nilai yang relatif terbuka untuk menerima perubahan,
perkembangan dan perbedaan. Penerimaan dan adaptasi nilai-nilai al-ma’rufÉt
dan nilai-nilai al-munkarÉt ini harus melibatkan al-khair sebagai
filter dan tolok ukurnya.
Esensi dakwah Islam adalah tegaknya
nilai-nilai al-khair yang bersifat tetap dan universal, dan al-ma’ruf
yang bersifat dinamis terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat, dan
tereliminasikannya nilai-nilai al-munkarÉt, yang cakupannya juga
berkembang sejalan dengan perkembangan nilai yang ada di masyarakat.
Sekumpulan (ummah) kaum
mukminin yang dapat mengerakkan dan menyosialisasikan tegaknya al-khair
dan menyuruh kepada al-maÑrËfÉt dan mencegah al-munkarÉt itulah
yang akan memperoleh kemenangan, dan kebahagiaan dunia-akhirat.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maÑruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
Kandungan ayat ini terkait erat
dengan ayat-ayat sebelumnya, mengenai peringatan tentang perselisihan Ahli
Kitab atas petunjuk-petunjuk agama Allah, dan perintah kepada orang-orang
beriman untuk bertakwa, berpegang teguh pada tali Allah, menjalin ukhuwah dan
kesatuan umat, serta membangun jamaah (umat) yang menegakkan dakwah kepada al-khair,
mengajak al-maÑrËf dan mencegah al-munkar. Seakan memberi
pemahaman bahwa tuntutan dan perintah tersebut terlahir karena umat Islam
adalah umat terbaik yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Atau dapat
juga memberi pemahaman bahwa umat Islam dalam memenuhi tuntutan dan perintah
tersebut merupakan prasyarat untuk menjadi umat terbaik.
Kata kuntum (كنتم) dalam ayat di
atas dipahami dalam dua pemahaman. Yang pertama memahami kÉna sebagai
kata kerja yang sempurna(كان تامة) ,
sehingga dipahami bahwa umat Islam itu wujudnya merupakan sebaik-baik umat yang
menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Yakni, bahwa di mana dan kapan saja
umat Islam yang ideal adalah sebaik-baik umat manusia. Adapun yang kedua
berpandangan bahwa kÉna bukanlah kata kerja yang sempurna (كان ناقصة), yang
implikasi pemahamannya adalah bahwa wujudnya khaira ummah telah ada di
masa lalu, tanpa penjelasan waktu kapan terjadinya dan tidak juga mengandung
isyarat bahwa ia pernah tidak ada atau suatu ketika akan ada. Jika demikian,
simpul Quraish, ayat ini bermakna kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah
sebaik-baik umat.[8]
Dalam pemahaman ini, khaira ummah sering dihubungkan dengan sabda Nabi saw:
عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (رواه البخارى وغيره)[9]
Dari Abidah dari Abdullah r.a. dari
Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah pada kurun (zaman)-ku, kemudian
generasi yang mengikuti mereka, kemudian generasi yang mengikuti mereka” (H.R.
Bukhari dan yang lainnya).
Dengan demikian, khaira ummah
adalah kondisi ideal umat Islam, yang akan ditegakkan dengan dakwah, yakni umat
yang menegakkan al-amr bi al-maÑruf wa al-nahy Ñan al-munkar, dan
beriman kepada Allah. Al-Maraghi menjelaskan tentang syarat-syarat pelaku
dakwah yang akan menegakkan amar maÑruf nahi munkar, yaitu:
1. Hendaknya memahami al-Qur´an, al-Sunnah, Sirah Nabawiah
dan sahabat (al-khulafÉ´ al-rÉshidËn).
2. Hendaknya pandai membaca situasi orang-orang yang akan
dan sedang menerima dakwahnya, meliputi minat, kemampuan, sosio-kultural,
tabiat, dan akhlaknya.
3. Memahami bahasa umat yang yang dituju oleh dakwahnya,
termasuk kebudayaannya.
4. Mengetahui agama-agama, aliran-aliran yang ada di
masyarakat, agar juru dakwah dapat mengetahui dan menjelaskan kelemahan dan
kekeliruan agama-agama dan aliran-aliran yang ada, dan menunjukkan keunggulan
Dinul Islam.[10]
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِين.
“Katakanlah: "Inilah jalan
(agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik." (Q.S. Yusuf [12]: 108)
Ayat ini adalah kritik kepada
kebanyakan manusia yang tidak mau memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang
ada di langit dan di bumi, yang menunjukkan Allah adalah Esa dan hanya
kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka, Allah memerintahkan kepada
Rasulullah agar beliau menyampaikan bahwa jalan dan manhaj yang ditempuhnya
adalah dakwah kepada agama Allah, bertauhid, dan ikhlas dalam beribadah
kepada-Nya. Dakwah itu juga digerakkan oleh para pengikut Rasulullah
berdasarkan hujah yang jelas dan nyata.
SabÊl
dalam ayat di atas adalah sabīlullāh, yakni ÏarÊqul Íaqq. Majelis
Tarjih mendefinisikan sabilullah adalah jalan yang mengantarkan kepada apa-apa
yang diridai oleh Allah, yaitu menjalankan perintah, menjauhi larangan dan
segala perbuatan yang diijinkan oleh Allah dan Rasulullah.[11]
BaÎÊrah
sebagaimana al-Maraghi bermakna al-Íujjah wa burhÉn (argumen dan
bukti-bukti). Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama Allah yang ÍanÊf tidak
sekedar menuntut agar manusia menerima begitu saja ajaran-ajaran dan
doktrin-doktrinnya, tetapi ia adalah agama yang disertai hujah dan burhan.[12]
Sementara itu, Muhammad bin Shalih a-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud baÎÊrah
ada tiga hal, yaitu (a)Ñilmu al-Qur´Én wa al-Sunnah, (2) al-Ñilm bi
al-aÍkÉm al-sharÑiyyah, yakni pengetahuan para da’i tentang ilmu hukum
syariat, dan (c) al-Ñilm bi kaifiyah al-daÑwah wa ahwal al-madÑuwwÊn,
ilmu tentang metode dakwah dan kondisi mad’u.[13]
Di sini ada paralelisasi dengan konsep al-khair yang terdapat dalam Q.S.
Ali Imran [3]: 104, yaitu bahwa gerakan dakwah Islam harus menjadi gerakan dan
amal jama’i, yang berlandaskan kepada baÎÊrah dan al-khair untuk
menuju khaira ummah.
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 125)
Dalam ayat-ayat ini terdapat
konsep-konsep yang berkaitan dengan metode dan strategi dakwah Islam, yaitu
konsep al-Íikmah, al-mawÑiÐah al-Íasanah dan al-jidÉl.
Nasiruddin al-Baidhawi memaknai al-Íikmah
dengan perkataan yang kuat disertai dengan dalil yang menjelaskan kebenaran,
dan menghilangkan shubuhÉt. Adapun al-mawÑiÐah al-Íasanah adalah
ungkapan-ungkapan jelas yang dapat memberi kepuasan kepada orang awam. Dan al-jidÉl
al-aÍsan sebagai percakapan dan perdebatan yang dapat mematahkan argumen
dan memuaskan penentang.[14]
Pemaknaan al-Baidhawi di atas
sejalan dengan penjelasan Syeikh Shalih al-Utsaimin dalam kitab Syarh Thalāthatul
UÎūl, yang mengatakan bahwa tingkatan dakwah Islam berkaitan dengan metode
dan pemahaman tentang kondisi mad’u ada tiga atau empat, sebagaimana
ditunjukkan oleh Q.S. Al-Nahl [16]: 125 dan Q.S. Al-Ankabut [29]: 46,[15]
yaitu: (1) dakwah kepada orang-orang yang memiliki ilmu dan siap menerima
kebenaran, maka kepada mereka dakwah dilakukan dengan al-Íikmah, yakni
dalil-dalil yang pasti yang dapat menjelaskan kebenaran dan menghindari
kesalahpahaman. (2) dakwah kepada kaum awam yang kurang ilmunya tetapi siap
menerima kebenaran, kepadanya diberikan al-mawÑiÐah al-Íasanah, (3)
dakwah kepada kaum yang suka berdebat dan menentang atau menolak kebenaran
dengan al-jidÉl al-aÍsan, (4) dakwah kepada orang-orang yang menolak dan
memusuhi kebenaran Islam dan menzalimi umatnya, maka dakwah kepada mereka
dengan memerangi mereka.
B. Pengembangan Konsep Dakwah Muhammadiyah
Sebagai
gerakan dakwah yang multidimensi, Muhammadiyah senantiasa melakukan
revitalisasi sebagai upaya penguatan terus-menerus langkah-langkah dakwah, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif menuju terwujudnya cita-cita dan tujuan
Muhammadiyah, yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Peningkatan
intensitas dan ekstensitas dakwah Muhammadiyah selalu menjadi agenda penting
Muhammadiyah dari waktu ke waktu.
Secara
historis-kronologis dapat diketahui bahwa Muhammadiyah selalu meninjau dan
menyempurnakan konsep dakwahnya, baik dalam tataran teoritik-ideologis maupun
pada tataran strategi, taktik dan teknis operasional.
Pada
tataran ideologis, sebagaimana telah dikaji dalam bab II dan bab III,
Muhammadiyah senantiasa merumuskan kembali prinsip-prinsip perjuangan dan
dakwahnya, ketika terjadi perubahan di dalam masyarakat. Perubahan dimaksud,
bukan diarahkan kepada pergeseran haluan dakwah, tetapi lebih pada
penyempurnaan konsep ideologisnya sebagai antisipasi atas perubahan sosial yang
terjadi. Hal ini dapat dikaji, betapa konsistensi pemikiran dan prinsip dakwah
Muhammadiyah, mulai dari Muqadimah AD, Kepribadian Muhammadiyah, Keyakinan dan
Cita-cita Hidup, hingga Pedoman Hidup Islami.[16]
Namun,
dalam tataran konseptual, belum ditemukan konsep dakwah yang disusun oleh
Muhammadiyah secara sistematis dan komprehensif, kecuali dengan disusunnya
konsep gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJ-DJ), pada Muktamar ke-37, pada
tahun 1967 dan konsep dakwah kultural pada Sidang Tanwir di Denpasar tahun
2002, yang disempurnakan pada Sidang Tanwir di Makassar tahun 2003.
Buku
konsep dakwah Muhammadiyah yang dipandang memiliki cakupan cukup lengkap adalah
buku dengan judul Islam dan Dakwah: Pergumulan antara Nilai dan Realitas
yang disusun dan diterbitkan Majelis Tabligh PP Muhammadiyah 1985-1990 yang
disunting oleh Ahmad Watik Pratiknya, anggota pengurus Majelis Tabligh pada
saat itu. Buku tersebut memuat pokok-pokok pikiran mengenai: (1) pandangan hidup
Islam, seperti konsep Islam, iman, ihsan dan takwa, hakekat ibadah dan akhlak,
(2) Islam sebagai landasan kehidupan Muslim, seperti Islam sebagai sumber
hukum, Islam sebagai sumber konsep, pandangan Islam tentang keadilan sosial,
kebudayaan, kekuasaan, ekonomi dan pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan Islam dalam dinamika sejarah, (3) hakikat Muhammadiyah, (4) Gambaran
masyarakat Indonesia, (5) Identifikasi Permasalahan Dakwah, (6) Pola
Kebijaksanaan Dakwah Muhammadiyah dan (7) Kompetensi da’i dan mubaligh
Muhammadiyah.[17]
Muhammadiyah
memandang bahwa dakwah memiliki pengertian yang luas, yakni upaya untuk
mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan
mengamalkan ajaran Islam ke dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian, dakwah
dapat bermakna pembangunan kualitas sumber daya insani, pengentasan kemiskinan,
mencerdaskan masyarakat. Juga, dapat berarti perluasan penyebaran rahmat Allah,
seperti telah ditegaskan bahwa Islam merupakan raÍmatan lÊl ÑÉlamin.[18] Dengan pemaknaan yang luas itu, maka
sebenarnya seluruh dimensi gerakan dan usaha Muhammadiyah adalah dakwah,
sehingga tafsir dakwah Muhammadiyah diwujudkan dalam usaha-usaha penanaman
ideologi, pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, tabligh dan
penyiaran Islam, tarjih dan pengkajian pemikiran Islam, gerakan perempuan
(Aisyiyah), serta pembinaan generasi muda (melalui organisasi otonom: Pemuda
Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Remaja
Muhammadiyah, Kepanduan Hizbul Wathon, dan Seni Beladiri Tapak Suci).
Hanya
saja dalam praktiknya, visi dakwah belum begitu kuat menjiwai unsur-unsur
gerakan Muhammadiyah, seperti dalam pendidikan. Penelitian Ahmadi menunjukkan
bahwa ideologisasi dalam program pendidikan Muhammadiyah belum sepenuhnya
berhasil, karena terjebak pada pragmatisme dan rutinitas, yang berakibat pada
lemahnya penanaman ideologi Muhammadiyah.[19]
C. Konsep dan Praktik Dakwah
Kultural Muhammadiyah
1. Konsepsi Dakwah Kultural
Dakwah kultural
sebagai strategi perubahan sosial bertahap sesuai dengan kondisi empirik yang
diarahkan kepada pengembangan kehidupan Islami sesuai dengan paham Muhammadiyah
yang bertumpu para pemurnian pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dengan
menghidupkan ijtihad dan tajdid, sehingga purifikasi dan pemurnian ajaran Islam
tidak harus menjadi kaku, rigid, dan eksklusif, tetapi menjadi lebih terbuka
dan memiliki rasionalitas yang tinggi untuk dapat diterima oleh semua pihak.
Dengan memfokuskan pada penyadaran iman melalui potensi kemanusiaan, diharapkan
umat dapat menerima dan memenuhi seluruh ajaran Islam yang kaffah secara
bertahap sesuai dengan keragaman sosial, ekonomi, budaya, politik, dan potensi
yang dimiliki oleh setiap kelompok umat.
Dalam rumusan hasil Sidang Tanwir
yang telah dibukukan oleh PImpina Pusat Muhammadiyah, dijelaskan bahwa:
“Dakwah kultural merupakan menanamkan
nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi
dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”[20]
Atas dasar pemikiran tersebut,
dakwah kultural dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu pengertian umum
(makna luas) dan pengertian khusus (makna sempit). Dakwah kultural dalam arti
luas dipahami sebagai kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk berbudaya dalam rangka menghasilkan
kultur alternatif yang bercirikan Islam, yakni berkebudayaan dan berperadaban
yang dijiwai oleh pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang
murni bersumber dari al-Quran dan sunnah Nabi, serta melepaskan diri dari
kultur dan budaya yang dijiwai oleh syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat.[21]
Adapun dalam pengertian khusus,
dakwah kultural adalah kegiatan dakwah dengan memperhatikan, memperhitungkan,
dan memanfaatkan adat-istiadat, seni, dan budaya lokal yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam dalam proses menuju kehidupan Islami sesuai dengan manhaj
Muhammadiyah yang bertumpu pada prinsip tajdid, dengan purifikasi dan dinamisasi (pembaruan). [22]
Munculnya konsep dakwah kultural,
sebagaimana diputuskan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah, Januari 2002, di Bali,
didorong oleh keinginan Muhammadiyah untuk mengembangkan sayap dakwahnya
menyentuh ke seluruh lapisan umat Islam yang beragam kondisi sosio-kulturalnya.
Dengan dakwah kultural, Muhammadiyah ingin memahami pluralitas budaya, agar dakwah yang ditujukan kepada mereka
dilakukan dengan dialog kultural, sehingga akan mengurangi benturan-benturan
yang selama ini dipandang kurang menguntungkan. Akan tetapi, dakwah itu sendiri
tetap berpegang pada prinsip pemurnian (salafiyyah) dan pembaruan (tajdÊdiyah).
Dengan demikian, dakwah kultural sebenarnya akan mengokohkan prinsip-prinsip
dakwah dan amar maÑruf nahi munkar Muhammadiyah yang bertumpu pada tiga
prinsip: tabshÊr, iÎlÉÍ, dan tajdÊd. [23]
Prinsip tabshÊr adalah upaya
Muhammadiyah untuk mendekati dan merangkul setiap potensi umat Islam (umat ijÉbah)
dan umat non-Muslim (umat daÑwah) untuk bergabung dalam naungan petunjuk
Islam dengan cara-cara yang bijaksana, pengajaran dan bimbingan yang baik, dan mujÉdalah
(diskusi dan debat) yang lebih baik. Kepada umat ijÉbah (umat yang
telah memeluk Islam), tabshÊr ditekankan pada peningkatan dan penguatan
visi/semangat dalam ber-Islam. Sementara, kepada umat dakwah (non-Muslim), tabshÊr
ditekankan pada pemberian pemahaman yang benar dan menarik tentang Islam,
serta merangkul mereka untuk bersama-sama membangun masyarakat dan bangsa yang
damai, aman, tertib dan sejahtera.
Prinsip iÎlÉÍ ialah upaya
membenahi dan memperbaiki cara ber-Islam yang dimiliki oleh umat Islam,
khususnya warga Muhammadiyah, dengan cara memurnikannya sesuai petunjuk syar’i
yang bersumber pada al-Quran dan sunnah Nabi. Hal ini dapat diartikan bahwa
setelah melakukan dakwah dengan tabshÊr, maka umat yang bergabung diajak
bersama-sama memperbaiki pemahaman dan pengamalannya terhadap Islam. Umat yang
telah bergabung dalam dakwah tabshÊriyah memiliki background yang
beragam baik sosial-ekonomi, sosial-budaya, maupun latar belakang
pendidikannya. Keragaman tersebut akan membawa pengaruh pada cara pandang,
pemahaman, dan pengamalan Islam yang dalam banyak hal perlu diperbaiki dan
dibenahi sesuai dengan pemahaman keagamaan Muhammadiyah, yang bersumber dari
al-Quran dan sunnah Nabi.
Prinsip tajdÊd, sesuai dengan
maknanya, ialah mengupayakan pembaharuan, penguatan, dan pemurnian atas
pemahaman dan pengamalan Islam yang dimiliki oleh umat ijabah, termasuk
pelaku dakwah itu sendiri. Baik prinsip iÎlÉÍ maupun tajdÊd banyak
dilakukan dengan cara menyelenggarakan pengajian dan taÑlÊm, baik
bersifat umum maupun terbatas. Juga mendirikan sekolah-sekolah,
madrasah-madrasah, dan pondok pesantren. Juga dalam bentuk penyelenggaraan
riset dan pengembangan dalam pemikiran keislaman, sehingga prinsip Islam dapat
diterjemahkan secara ilmiah dan aktual.[24]
2. Dakwah Kultural dan Pengembangan Masyarakat
Terminologi dakwah kultural
memberikan penekanan makna yang berbeda dari dakwah konvensional yang disebut
juga dengan dakwah struktural. Dakwah kultural memiliki makna dakwah Islam yang
cair dengan berbagai kondisi dan aktivitas masyarakat, sehingga bukan dakwah
verbal yang sering dikenal dengan dakwah bi al-lisÉn (atau tepatnya daÑwah
bi lisÉn al-maqÉl, seperti ceramah di pengajian-pengajian), tetapi
dakwah aktif dan praktis melalui berbagai kegiatan dan potensi masyarakat
sasaran dakwah yang sering dikenal dengan dakwah bi al-ÍÉl (atau
tepatnya dakwah bi lisÉn al-ÍÉl).
Dakwah kultural juga mencoba
memahami potensi dan kencenderungan manusia sebagai makhluk budaya berarti
memahami ide-ide, adapt istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem
aktivitas, symbol dan hal-hal fisik yang memiliki makna tertentu dan hidup
dalam kehidupan masyarakat. Upaya pemahaman tersebut dibingkai oleh pandangan
dan sistem nilai ajaran Islam yang membawa pesan raÍmatan lÊ al-ÑÉlamÊn.
Dengan demikian dakwah kultural menekankan pada dinamisasi dakwah, di samping
purifikasi.[25]
Dinamisasi berarti mencoba untuk
mengapresiasi (menggarap) potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk
budaya (dalam arti luas) sekaligus melakukan usaha-usaha agar budaya tersebut
membawa kepada kemajuan dan pencerahan hidup manusia. Adapun purifikasi mencoba
untuk menghindari pelestarian budaya yang nyata-nyata mengandung kemusyrikan,
takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC).
Dengan makna di atas, dakwah
kultural Muhammadiyah sebenarnya mengembangkan makna dan implementasi Gerakan
Jamaah dan Gerakan Dakwah Jamaah (GJ-GDJ) yang diputuskan oleh Muktamar
Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta pada tahun 1967, yang disempurnakan pada Rapat
Kerja Nasional dan Dialog Dakwah Nasional, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, pada tahun 1987 di Kaliurang Yogyakarta.
Dakwah dengan pengembangan
masyarakat dilakukan dengan pengembangan sumber daya manusia, yaitu memberikan
bekal sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan kehidupannya, dengan memasukkan
prinsip-prinsip kehidupan Islami, sehingga mereka dapat melakukan pemenuhan
kebutuhan dan kecenderungan hidupnya dengan bimbingan nilai-nilai ajaran Islam.
Sebagai langkah pengembangan
masyarakat, maka gerakan dakwah kultural merupakan dakwah multi dimensional,
dalam makna menyentuh dan masuk ke dalam desah nafas kehidupan masyarakat dan umat.
Ini menuntut para aktivis Muhammadiyah yang sekaligus sebagai da’i dan mubaligh
untuk trampil memahami sosio kultural masyarakatnya. Bahkan, menjadikan kondisi
sosio kultural itu menjadi inspirator langkah-langkah dakwah setelah dipadukan
dengan sumber pokok dakwah Islam, yakni
al-Qur´an dan al-Sunnah.
[1]AÍmad MusÏafÉ al-MarÉghÊ, TafsÊr al-MarÉghÊ, Jilid II, Juzu
IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 15.
[2]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, Volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 173-174.
[3]Al-Raghib al-Asfahani. Mufradāt AlfāÐ al-Qur’ān. (Beirut: Dar al-Syamiyah dan Dimasyq: Dar al-Qalam, 1997), hlm. 86.
[5]Ibid.
[9]Sahih al-Bukhari, Juz 9, hlm. 133, Juz
11, hlm 482, lihat juga Sahih Muslim, 12, hlm, 358 dalam program Maktabah
ShÉmilah Versi 2.09.
[10]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jilid II, Juz 4, hlm.
22-23.
[11]PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, hlm. 277.
[14]Nasiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi. Anwa
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Juz 3 hlm. 393, dalam program Maktabah ShÉmilah Versi 2.09,
[17] A. Watik Pratiknya (ed.), Islam dan
Dakwah: Pergumulan antara Nilai dan Realitas (Yogyakarta: PP Muhammadiyah
Majelis Tabligh, 1988), hlm. viii-ix.
[18]PP Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2004), hlm. 20-21.
[19] Ahmadi, “Muhammadiyah Pasca Kemerdekaan:
Pemikiran Keagamaan dan Implikasinya dalam Pendidikan” Disertasi IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2002, hlm. 294-296.
[20]PP Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, hlm. 26.
[21]Tim Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus, “Konsep Dakwah Kultural” makalah
disampaikan pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar Bali, 24-27 Januari
2002; Syamsul
Hidayat. “Dakwah Kultural dalam Dinamika Purifikasi Gerakan Muhammadiyah” dalam
Jurnal Shabran Edisi 02, Vol. XIX, April 2005, hlm. 7.
[22]PP Muhammadiyah, “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad” Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45, Malang, 2005.
[23]Syamsul Hidayat, “Tafsir Kebudayaan Muhammadiyah” Jurnal Kebudayaan Akademika,
Vol 1, No. 1, April 2003, hlm. 66-67.