- Back to Home »
- GERAKAN INTELEKTUAL POSTMODERN
Azaki Khoirudin
(Kaum Moderat-Reformis)
(Kaum Moderat-Reformis)
Dalam kaitan Gerakan Intelektual Postmodern (GIP)
saya akan memulai dari sekilas beragam dari istilah “postmodern”,
postmodernitas”, atau “postmodernisasi”. Perfik (kata awalan) “post”, menurut
Jan Pakulski menindikasikan “transendensi historis” (melewati ambang batas
tertentu, atau mengungguli dan melampaui modernitas), dan sifat tentatif
formulasi-formulasi teoritik, ketidakpastian dalam hal arah perubahan yang
melampaui fakta, bahwa tidak ada lagi hidup dalam masyarakat modern.
Awalan “post”
menyiratkan suatu diskontinuitas sosiohistoris, suatu pengalihan arah
perubahan, suatu akhir dari periode modern tersendiri dengan bentuk-bentuk
sosial dan pandangan-pandangan kultural-nya yang spesifik. Selanjutnya,
munculnya GIP menurut Perry Anderson, berasal dari ranah sejarah, filsafat, dan
estetika yang masuk ke ranah sosiologi. Bahkan, beragam kebiasaan “postmodern”
yang dipelopori dengan berbagai nama, “dekonstruksi, post-strukturalisme, dan
lain-lain di kalangan cendekiawan Perancis.
Ciri Khas Postmodern
Salah satu ciri
khusus gerakan postmodern adalah suatu kombinasi antara radikalisme
epistemologi warisan pencerahan dengan liberalisme substantif. Gerakan
Postmodern merupakan respon intelektual terhadap perubahan sosial yang semakin
cepat, sehingga memastikan perubahan radikal terhadap sejumlah asumsi-asumsi
metateoritik kunci (termasuk ranah sosial dan pilar-pilar ideologis, contohnya
kepercayaan terhadap kemajuan sosial, emansipasi, dan efektivitas organisasi
formal.
Para penganjur
postmodern, bersikap kritis terhadap ketidakteraturan tatanan sosial, merangkul
berbagai perbedaan dan keragaman, mengakui keterbatasan terbatasnya kapasitas
manusia untuk memprediksi (tetapi mengakui adanya kemungkinan untuk melakukan
antisipasi-antisipasi akurat) dan mendorong dilakukannya refleksi kritis yang
melibatkan perasaan, kegelisahan, dan pertimbangan umum. Mereka juga skeptis
terhadap “kemungkinan “rekayasa sosial”.
Ciri-ciri Modernitas
|
Ciri-ciri Postmodernitas
|
Determinisme
(hukum alam)
|
Ketidakpastian,
kesempatan, dan kemungkinan
|
Universalisme,
kesamaan ruang/waktu
|
Partikularisme
dan lokalisme
|
Kepercayaan
diri, transparasi, perasaan akan adanya realitas
|
Perasaan akan
adanya ketidakteraturan, semua serba sementara, dan tidak pasti
|
Monisme dan
universalisme institusional
|
Pluralisme dan
keberagaman institusional
|
Perasaan akan
adanya hambatan, keterbatasan, atau pembatasan
|
Kebebasan
memilih, dan penyesuaian gaya atau mode
|
Dengan cara ala
Weber, GIP menekankan pentingnya aktor-aktor, berbagai ketidakpastian yang
begitu kompleks dan regularitas probabilistik. Suasana jiwa dari GIP adalah
menolak kepalsuan-kepalsuan, mendekonstruksi, mempertanyakan, memperjelas
pemahaman, dan memkritisi.
Teori Sosial Postmodern
Salah satu cara
untuk mengenali teori sosial postmodern (TSP) ialah dengan mengidentifikasi
sejumlah perubahan kritis dalam hal “fokus perhatian”. Paling tidak, ada lima
pergeseran substantif dalam perhatian fokus postmodern:
1.
Dari Struktural ke Kultural. TSP lebih banyak perhatian diberikan kepada
kebudayaan, khususnya budaya pop, lengkap dengan segala perubahan yang tidak
dapat diperdiksi dan basis-basis nilainya tidak pasti. Perhatian ini, biasanya
dikombinasikan dengan ketertarikan yang besar terhadap komsumsi (khusunya
simbolik masa) dan reformasi identitas.
2.
Dari Produksi Massal ke Konsumsi dan Gaya
Hidup Massal, Komunikasi, dan Media Massa. Fokus pada komunikasi masa, khususnya mengenai simbol-simbol/
informasi, fokus pada komunikasi mass-media dan pada budaya pop (versus budaya
elite).
3.
Dari Interaksi ke Wacana. Suatu pergeseran linguistik/ simbolik yang
tercermin dalam lebih banyaknya perhatian yang dicurahkan kepada
representasi-representasi, khususnya dalam media dan wacana-wacana populer.
4.
Dari Institusi-Institusi ke Antor-Aktor dan
Jaringan-jaringan. Fokus pada
pembentukan jaringan sosial yang fleksibel berdasarkan pada konsensus yang
sifatnya temporer dan bukannya berdasarkan norma-norma/ aturan-aturan dan pada
peran aktor-aktor/ agen-agen perubahan yang berpengaruh. Hal ini sering
dipadukan dengan ketertarikan yang besar terhadap perubahan
identifikasi-identifikasi dan propagasi citra-citra “model”, khususnya di ranah-ranah budaya
populer dan politik.
5.
Dari yang Tipikal ke yang Beragam dan
Marginal. Meningkatnya
ketertarikan orang terhadap bentuk susunan sosial-kultural non-tipikal (yang
kerap kali bersifat spesifik dan termarginalkan), seperti minoritas-minoritas
jenis kelamin, etnis, religius, gaya hidup, dan budaya.
Kondisi Masyarakat Modern
|
Kondisi Masyarakat Postmodern
|
Fokus pada
produksi dan peran-peran produksi
|
Fakus pada
konsumsi
|
Produksi dan
organisasi industrial
|
Produksi dan
organisasi postproduksi
|
Institusi-institusi
yang memilik akar yang jelas
|
Institusi-intitusi
yang mengambang
|
Struktur-struktur
kelas dan persekutuan
|
Hirarki-hirarki
yang kompleks dan gaya hidup niche
|
Gaya hidup,
pekerjaan yang atabil, dan karier yang berjenjang
|
Pekerjaan
episodik dan perpindahan-perpindahan lateral atau bersifat sampingan
|
Identitas-identitas
inti yang stabil (kelas, etnis, dll)
|
Identitas-identitas
yang bersifat situasional, beragam, dan cair.
|
Kebudayaan-kebudayaan
yang hirarkis
|
Mozaik
sub-kultural dan multikultural yang beragam
|
Pengotak-ngotakan
dan politik nasional terorganisir
|
Politik global
yang berorientasu isu dan pemimpin
|
Pengambilan
kebijakan dan fokus nasional
|
Fokus lokal
global, kebijakan-kebijakan oportunistik
|
Gerakan
Intelektual Postmodern
Tak diragukan lagi, gerakan
intelektual postmodern adalah suatu respon terhadap perubahan sosial yang
begitu cepat. Khususnya aspek-aspek perubahan yang mempengaruhi “kehidupan
sehari-hari di kalangan masyarakat Barat yang paling maju. Masyarakat maju ini dicirikan
dengan pengalaman-pengalaman sehari-hari, perhatian-perhatian, dan
perasaan-perasaan yang bersifat umum, orientasi-orientasi dan konsumsi-konsumsi
massa, gaya hidup, serta budaya pop, membuat kita berhubungan dengan orang
lain. Selama beberapa dasawarsa terakhir abad kedua puluh tampaknya perubahan
terjadi dengan sangat cepat dan luas. Sebagian, dikarenakan pengaruh kuat dari
media elektronik baru dan cepatnya penyebarluasan budaya pop yang sudah
dikomodifikasi, yang lingkupnya semakin mengglobal. (Jan Pakulski, 440)
Selanjutnya, situasi demikian meminjam kata
yang digunakan oleh Kuhn, “anomali-anomali” dalam bentuk
perkembangan-perkembangan sosial yang semakin tak diharapkan, tak menentu,
penuh teka-teki dan kacau-balau. Kumpulan anomali inilah yang berakibat pada
dibutuhkannya penyesuaian-penyesuaian khusus yang memicu munculnya “Gerakan
Intelektual Postmodern”. (h.441). Gerakan postmodern telah memberikan idiom
yang benar-benar baru bagi kritik sosial yang sebelumnya dimonopoli oleh
Marxisme. Akan tetapi, gerakan postmodern juga mendapatkan pesaing yang
menakutkan, yaitu “globalisasi” yang semakin berkembang.