STRATEGI KOMUNITAS KREATIF
(Masifikasi Gerakan Pelajar Berkemajuan)

by. (Azaki Khoirudin)

Gerakan “IPM base on community”, muncul ketika Gerakan Pelajar Kreatif mencuat (2010) sebagai upaya pembumian Manifesto Gerakan Kritis-Transformatif (GKT). Dimana, GPK dievaluasi saat Konpiwil (2011) diputuskan menjadi “Strategi Kreatif”.
Asumsi saya, saat ini, IPM tidak cukup menggunakan strategi kreatif, tetapi IPM harus menjadi sebuah “Komunitas Kreatif” sebagai strategi gerakan yang bersifat kultural.  Strategi komunitas kreatif ini bertujuan untuk menjawab tantangan zaman di kalangan anak muda, sehingga gerakan komunitas menjadi skoci baru di tengah gerakan IPM yang terkesan struktural, ritual, agar IPM mampu mencapai cita-citanya.


Komunitas Kreatif: Sebuah Strategi Kultural?

Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak”.  Dalam (Wikipedia.org) didefinisikan sebagai “kelompok sosial dari berbagai lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, mereka dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang sama. Komunitas (community) berarti kumpulan orang (lebih dari 3 orang) yang mempunyai kesamaan hobby (minat dan bakat) untuk mengembang-kan potensi yang terdapat pada setiap individu. Komunitas tidak bersifat mengikat (bebas) dalam mengekspresikan diri. Istilah lain komunitas dalam al-Qur’an adalah ummah, yaitu berakar dari kata al-umm (induk, ibu).
Selanjutnya, kreatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu baru, baik gagasan, maupun karya baru maupun kombinasi yang sudah ada. (Tanfidz Konpiwil, 2011). Sehingga, “Strategi Komunitas Kreatif” adalah strategi gerakan IPM untuk melakukan penanaman nilai-nilai ajaran Islam dalam seluruh dimensi kehidupan pelajar dengan memperhatikan potensi minat dan bakat pelajar sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (MIYS) dalam kelompok-kelompok pelajar yang disebut komunitas.

Melihat Potensi Pelajar Hari Ini
Asumsi saya, sudah terlampau lama, bahwa gerakan IPM terkesan terlalu struktural, serba rutinitas, formal, menjenuhkan, dan tidak sesuai dengan selera pelajar masa kini. Tantangan zaman yang semakin terus berubah (arus globalisasi: budaya pop, hedonisme, konsumerisme) juga terus menyerang. Gerakan IPM sudah  terlalu lama, merasa besar di kandang sendiri, dan terlalu banyak upacara seremonial. Akibatnya, gerakannya tidak menyentuh kepada basis massanya, yakni pelajar. Bahkan, karena terlalu asik dengan seremonialnya, IPM lupa memperhatikan perkembangan pelajar yang paling terkini.
Padahal, jika kita melihat prestasi emas pelajar saat ini menunjukkan kemajuan yang positif. Saat ini, komunitas kreatif dan terpelajar menunjukkan prestasi cemerlangnya. Tanda-tandanya bisa dilihat Dalam berbagai ajang olimpiade internasional di bidang matematika, fisika, kimia, dan robotik, para pelajar dan mahasiswa Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara-negara terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang, China, dan India, bahkan berulang kali memecundangi mereka. Lebih dari itu, Indonesia sebagai masyarakat multi-etnis, multi-agama tampaknya juga mengandung potensi multi-inteligensia dan multi-talenta, yang memberikan potensi kejayaan kepada bangsa.
Alhasil, tidak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka menghabiskan waktu dengan chatting di media sosial, bersenang-senang di pusat belanja, atau pelesiran ke tempat-tempat wisata. Toh, masih ada komunitas pelajar kreatif yang terlibat dalam kerja-kerja inovatif, kewirausahaan, dan aksi-aksi politik yang bisa dikembangkan oleh IPM (kalau mau keluar dari tradisi lama).Dengan Strategi Komunitas kreatif, IPM  harus mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi perubahan.
Tidak salah, jika Yudi Latif (Kompas) mengibaratkan komunitas kreatif generasi hari ini, ibarat matahari, rerumputan dan pepohonan yang bergerak dalam sunyi. Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan komunitas kreatif terpencar ke dalam unit-unit yang terkucil. Munculnya media sosial baru dengan kencenderungan individuasi yang sangat kuat semakin memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan-kekuatan kreatif. Sesekali jaringan kesadaran yang merambat melalui media sosial ini memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif ini, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali hanya sekadar kekuatan reaktif yang akan segera padam begitu daur isu memudar.
Kalau coba menyenggol teori Karl Mannheim, bahwa sebuah generasi membentuk identitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama, yang melahirkan ”sebuah identitas dalam cara-cara merespons, dan rasa keterikatan tertentu dalam suatu cara di mana semua anggotanya bergerak dengan dan terbentuk oleh kesamaan pengalaman-pengalaman mereka”. Tidak ada generasi perubahan tanpa usaha kesengajaan. Inilah yang dinamakan komunitas kreatif yang berserak menjadi blok nasional pengubah sejarah (historical bloc). Senada dengan itu, IPM memiliki semboyan “Nuun, walqalami wamaa yasthuruun” juga dituntut untuk menjadi komunitas kreatif yang mampu mengubah sejarah (ukhrijat linnas) atau aktivisme sejarah.

Komunitas IPM: Minoritas Kreatif untuk Perubahan
Komunitas IPM harus menjadi pertemuan komunitas pelajar yang tercerahkan, ajang perseorangan terhubung ke dalam jaringan memori kolektif lewat komunikasi intersubyektif, dengan ikhtiar membebaskan diri dari dominasi kuasa dan uang. Di dalam kehadiran IPM dinanti menjadi komunitas kreatif. IPM harus mampu membentuk komunitas kreatif yang berserak menjadi kolektivitas progresif generasi perubahan. Kehadiran penduduk usia muda (pelajar) dalam jumlah besar, jika IPM berhasil mengelolanya, kembali mengutip Yudi Latif, akan bisa menjadi ”bonus demografis” yang menjanjikan kejayaan bangsa; tetapi jika gagal meresponsnya secara kreatif bisa menjelma menjadi ”bencana demografis” yang melumpuhkan bangsa Pikiran-pikiran cemerlang generasi muda, selalu mencerminkan kegeniusan respons komunitas kreatif yang sepadan dengan tantangan zamannya

- Designed by Azaki Khoirudin -