Oleh; Azaki Khoirudin

Kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di tengah derap langkah kepemudaan, kemahasiswaan,
umat, dang bangsa Indonesia sungguh bukanlah peristiwa kebetulan (an historical accindent). Bahwa, kelahiran IMM merupakan kebutuhan Muhammadiyah untuk memenuhi cita-citanya menurut zamannya dan sebuah keharusan sejarah (an historical necessity) bagi perjalanan Muhammadiyah, umat dan bangsa. Dalam kaitan ini Farid Fatoni menggolongkan ada tiga back ground kelahiran IMM.
A.  Kondisi Umat dan Bangsa
Kelahiran organisasi Islam dalam sejarah dipengaruhi oleh (kebangkitan Islam internasional awal abad ke-20. Hal ini memunculkan “rasa kesadaran ber-Islam dan berbangsa”. Sampai pada akhirnya Indonesia merdekan tahun 1945. Dengan maklumat pemerintah No. X/1945 yang mengijinkan berdirinya partai-partai politik secara bebas, maka perselisihan ideologi secara terbuka sampai pada G30S/PKI. Pertentangan Islam dengan PKI dan Islam dengan sekuler tak teralakkan. Akibatnya di lingkungan kemahasiswaan muncul berbagai organisasi. Organisasi keagamaan: GPII, HMI, PII, PMKRI, PMKI (GMKI). Organisasi secular: GMNI dan PMY. Sedangkan organisasi komunis: PMKH, PMD, MMM, dll.
Adapun partai adalah Masyumi terbentuk pada 7 Nopember 1945 dalam sebuah kongres di Madrasa Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Secara ideologis adalah kelanjutan MIAI yang dibentuk tahun 1937 sebagai hasil kongres al-Islam tahun 1921. Kemudian 17 Desember 1945 lahirlah Partai Sosialis (Marxis). Disusul Partai Nasionalis Indonesia 19 Januari 1946 di Kediri. Perselisihan ideology dalam bentuk partai mewarnai kehidupan umat dan bangsa. Pihak golongan kiri (PKI, Partai Sosialis, Pesindo, dan Partai Buruh) dianggap oleh Masyumi menodai perjuangan bangsa kerena mengadakan perjanjian Linggajati dan Renvile dengan Belanda. (1947).
Fase 1945-1950 ialah revolusi fisik. Pada 10 Nopember 1945 pertempuran di Surabaya, 3 Juli 1947 percobaan Kudeta oleh kelompok Tan Malaka, 1947 Belanda melakukan polisionil I, 1948 pemberontakan PKI di Madiun dan Desember 1948 Belanda melakukan polisionil II, dan Januari-Juli 1949 Aksi gerilya RI berkobar. Saat itu pula Muhammadiyah membentuk “Angkatan Perang Sabil” oleh Ki Bagus Hadikusumo. Pada 7 Mei 1949 ada penyataan “Roem Royen” sebagai langkah pelican Konferensi Meja Bundar lewat Mosi Integral M. Natsir. Pada 1950 dibentuklah NKRI di bawahh payung UUDS. Dimana kepala Negara adalah presiden, dan kepada pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri.
Muhammadiyah terpanggil mengisis kemerdekaan yang mau tidak mau harus berpolitik prakstis sebagai Anggota istimewa Masyumi puncaknya menjelang Pemilu I 1955. Pada kondisi umat Islam mengalami perpecahan, puncaknya ialah keluarnya NU dari Masyumi bulan Mei tahun 1952 (mengikuti jejak SI=PSII Juli 1947). Maka umat Islam terpecah menjadi empat: Masyumi, PSII, NU, dan Perti. Ahirnya pemilu I sebagai berikut: Islam meraih 45, 2%, Nasionalis-Sekuler meraih 27,6%, komunis meraih 15,2%, dan Sosialis Kanan 2% dan Kristen-Katolik hanya 4,6%, sisanya ialah partai-partai kecil. Dari sini melahirkan tiga aliran kekuatan: Nasionalis-Islam, Nasionalis-Sekuler, dan Komunis.
Sekitar Oktobber 1956 Soekarno mengubah konsepsi Negara menjadi “Demokrasi terpimpin. Disusul 1 Desember 1946 pengunduran Hatta, menteri-menteri dari Masyumi mengundurkan diri, NU-Masyumi semaki runyam, sementara PKI semakin berkuasa. Ahirnya Muktamar ke-33 1956 di Palembang “muhammadiyah kembali ke Khittah” mengasilkan Badan Pendidikan Kader. Dengan berahirnya cabinet partai tahun 1957, maka umat Islam benar-benar lumpuh. Lebih-lebih keluarnya Dekrit 5 Juli 1959.
Muktamar ke-35 1962, menghasilkan “kepribadian Muhammadiyah”. Tahun 1963, PP GP Ansor, mengawasi gerak-gerik bekas Masyumi-PSI, GPII yang menentang Bung Karno sebagai reaksi demontrasi HMI dan pemuda Muhammadiyah di IAIN Yogyakarta pada 10Oktober 1963 tentang program NU-isasi IAIN. (suasana kehidupan tak menentu). HMI semula menentang NU malah berubah haluan mendukung “Demokrasi terpimpin”. Dan tahun 1964 HMI memecat anggota penasihatnya karena tidak sesuai dengan “revolusi”. HMI mengecam Kasman Singodimejo saat menghadapi pengadilan di Bogor agar dihukum sekeras-kerasnya. HMI bersedia memecat anggotanya yang terlibat demo 1963 di IAIN.
B.  Kondisi Kemahasiswaan
Mahasiswa adalah sumber kepemimpinan bangsa sebagai kekuatan moral-intelektual yang mampu mempengaruhi perubahan social. Mahasiswa sebagai kekuatan korektif dan pencetus kesadaran masyarakat terhadap kelalaian pemerintah. Dalam perjalannya dapat kita saksikan, Budi Utomo (mahasiswa STOVIA), angkatan 1920-an missal JIB (Jong Islamiten Bond, 1925), PI (Perhimpunan Indonesia, 1925), PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia. 1926), menyusul Sumpah Pemuda 1928.
Pada tahun 1910-1930 Pergerakan Mahasiswa terfokus sebagai PENGGAGAS, PENERAP, & PENDUKUNG IDEOLOGI. Maka tahun 1940-an pergerakan mahasiswa sebagai PENDUKUNG IDEOLOGI. Kemudian, 1950 menjadi PENERAP & PENDUKUNG dan terjadi pergeseran sampai 1960-an mahasiswa hanya sebagai pendukung. Namun, khusus tahun 1966 pernah tajam-tajamnya menjadi PENGGAGAS melalui KAMI.
Hal ini dapat dilihat dari berdirinya organisasi mahasiswa akhir tahun 1940 antara lain; GPII (2 Oktober 1945), PII ( 4 mei 1947), PMKRI (25 mei 1947). Disusul akibat perselisihan Pemilu I muncul: GMNI (22 Maret 1954) underbrow PNI, CGMN (1956) underbrow PKI, SEMMI (1956) underbrow PSII, kemudian GP Ansor dan IPNU. Sementara PSI membentuk Gerakan Pemuda Sosialis (GPS). Adapun PKI mempunyai Pemuda Rakyat ditambah dengaan basis komunitas dan profesi. Disinilah kader mahasiswa menerima karya ideologis partai politik menjadi penerap.
Konflik ideology politik semakin keras dan memuncak pada pemberontakan PKI di Madiun 18 september 1948. Kemudian tahun 1950 terbentuk lah NKRI dengan integral M. Natsir, saat itu juga “kenikmatan demokrasi menjadi-jadi” kehidupan mahasiswa kembali ke kampus “BUKU, CINTA, & PESTA.
Sejak 1955 Pemilu I kekuatan berimbang, kemudian disusul Masyumi keluar dari parlemen, mengantar kepemimpinan bangsa menuju otokratis, figure tunggal Soekarno. Ini menjadi jalan licin PKI yang sadar bahwa mahasiswa memiliki potensi strategis politik bangsa. PKI memanfaatkan ideology NASAKOM, tahun 1956 CGMI underbrow PKI menjadi ujung tombak permainan politik PKI.  Tahun 1958 PKI berhasil mempengaruhi IPPI sampai pecah menjadi IPPI Pancasila dan IPPI PKI.
Dengan kekuatan PKI, HMI dipecat oleh PPMI tahun 1961, menfitnah HMI lewat pamphlet gelap bulan Juli 1964 di Jogja. Karena HMI adalah lambang keislaman di kampus, maka pada puncaknya HMI akan dibubarkan yang disampaikan pada kongres ke-3 CGMI September 1965. Demikianlah situasi yang tidak menentu di tengah kehidupan mahasiswa.
C.  Kondisi Kemuhammadiyahan
Pertama, Muhammadiyah dihadapkan antara perjuangan versus identitasnya. Satu pihak Muhammadiyah ingin terlibat dalam partai politik murni. Di lain pihak,juga ingin menjadi gerakan dakwah murni, dan untuk mengkombinasikan keduanya seringkali mengalami ketegangan. 
Kedua, Sejak masa penjajahan Belanda 1942, Muhammadiyah dihadapkan persoalan antara kader dan pertumbuhan AUM. Maka seiring pertumbuhan AUM, muhammadiyah merasa perlu adanya kaderisasi. Kerena jika tidak, ditakutkan memberikan peluang nilai-nilai dan ideology lain bias masuk pada organisasi Muhammadiyah, seperti marerialisme dan pragmatisme. Oleh karena itu, dikenal fungsi kader sebagi pelopor, pelangsung, dan penyempurna AUM.
Ketiga, perubahan social versus profesionalitas. Terjadinya pergeseran masyarakat pedesaan menuju perkotaan, yang semula buruh, lambat laun menjadi wirausaha, lahirnya masyarakat “terpelajar”, dan semekin banyak lulusan akademik. Ahirnya lahirlah wajah baru masyarakat. Maka menjaga Muhammadiyah, tidak hanya dibutuhkan tenaga yang tidak hanya mantap di bidang ideologis, tetapi handal di bidang keahlian ilmu, profesional dan siap menghadapi perubahan social.

HAKIKAT IMM
Ada pertanyaan yang mendasar mengenai kelahiran IMM. Apakah IMM ada dengan sendirinya atau merupakan suatu kreasi manusia dalam menyikapi realitas pada waktu itu? Sejarahnya keberadaan IMM ada dikarenakan bentuk  kreasi, dimana Muhammadiyah perlu melakukan kaderisasi di lingkungan kampus pada umumnya dan PTM pada khususnya. Kaderisasi oleh Muhammadiyah bukannya dalam tingkatan pemuda yang tergabung dengan Pemuda Muhammadiyah (PM) atau pemudi yang tergabung pada Nasyatul ‘Asiyah (NA), serta kalangan pelajar yang tergabung dengan Ikatan Pelajar  Muhammadiyah (IPM) tetapi kalangan Mahasiswa yang belum ada. Oleh karena itu perlu kita melacak kelahiran IMM.
A.  Embrio Pemikiran
Proses gagasan nyata melahirkan IMM, ialah mulai dari keinginan Muhammadiyah untuk mengadakan pembinaan kader di lingkungan pendirian Perguruan Tinggi. Yaitu tahun 1936 melalui Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-25 di betawi Jakarta. Saat itu PP Muhammadiyah dipimpin oleh KH Hisyam (1934-1937). Namun, Muhammadiyah belum memiliki PT. Keinginan ini logis dan realistis, karena putera-putera Muhammadiyah semakin banyak dalam menyelesaikan pendidikan menengah.[1] (h. 93) Sehingga sementara pembinaan kader dititipkan pada Pemuda Muhammadiyah (1932) dan Nasyiatul Aisyiyah (1931).
Pada Muktamar ke-31 (1950, Yogyakarya) dihembuskan lagi keinginan tentang perguruan tinggi Muhammadiyah dan lagi-lagi belum berhasil. Karena NA dan PM kenyataanya masih banyak mahasiswa yang berkecimpung didalamnya. Disamping itu ada hubungan dekat yang tak kentara antara HMI dan Muhammadiyah. Selanjutnya hal ini mempengaruhi perjalanan IMM.[2] Muncul kesalahan berpikir dalam perkaderan Muhammadiyah. HMI-lah yang melahirkan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Dengan asumsi di atas, maka yang benar adalah dengan dekatnya hubungan HMI-Muhammadiyah yang tak kentara itu telaha menjadikan kader-kader awal yang ada dalam HMI kemudian terbina dalam wadah Muhammadiyah. Sehingga dalam perjalanan muncul istilah, “HMI keponakan Muhammadiyah” dan “IMM anak kandung Muhammadiyah”. (h. 95)
Wajar menjelang kelahiran IMM, terjadilah perdebatan yang sengit di lingkungan PP Pemuda Muhammadiyah dengan HMI. Bahkan merangkap kepengurusan HMI menolak kelahiran IMM, dengan alas an mereka cukup diwadahi di Pemuda Muhammadiyah di departemen kemahasiswaan atau di HMI. Sementara yang tidak aktif di HMI mengharapkan segera diwujudkan wadah mahasiswa di Muhammadiyah. (h. 95) Sehingga berakibat pada sikap bapak-bapa Muhammadiyah yang tidak adil terhadap IMM. Seolah IMM di tengah-tengah keluarga besar Muhammadiyah belum diperlukan. IMM dianggap bukan sebagai anak kandungnya, dan sebaliknya menganak emaskan HMI.
Hal ini menunjukkan kepada bapak-bapak Muhammadiyah (khususnya yang pernah aktif HMI) menghendaki agar IMM tidak dihadirkan, karena cukup ada HMI. Sikap seperti inilah yang menghambat perkaderan. Situasi di atas, maka Muhammadiyah konsisten dengan perkaderan IMM mengeluarkan SK PP Muhamammdiyah No. E/001/1967, 2 januari 1997, tentang pembinaan kekompakan AMM termasuk IMM. Ini merupakan kesadaran Muhammadiyah terhadap pembinaan kader-kadernya.[3]
Menurut Victor, IMM secara ideologis dengan HMI memiliki wawasan yang sama. Disinilah muncul beberapa asumsi tentang kelahiran IMM, seperti “IMM lahir karena HMI mau dibubarkan. Akhirnya Muktamar ke-33 (Palembang, 1956), didirikanlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah pada saat ini IMM belum terlahir. Tetapi dibentuk Badan Pendidikan Kader yang kemudian mengadakan pengajian mahasiswa yang penyelenggaraanya diserahkan kepada PP Pemuda Muhammadiyah. Pengajian ini dimulai bulan Juli 1958 di Gedung PP Muhammadiyah, Jl. KHA Dahlan 99 Yogyakarta. Bahkan gedung tidak mampu menampung jumlah mahasiswa hingga terpaksa di jalan-jalan.
Di sini Nampak bahwa sebenarnya banyak mahasiswa Muhammadiyah yang tak tertampung di Pemuda Muhammadiyah dan Nasiatul Aisyiyah, yang dianggap cukup mewadai pelajar-mahasiswa. Pendirian IMM tidak hanya menjadi kebutuhan mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah, tetapi mahasiswa Non-Muhammadiyah. Bahkan dalam pembentukan IMM terdapat dua tokoh dari luar, yaitu Rosyad Saleh (dibesarkan aktivitas NU) dan Sudibyo Markus (lingkungan gereja yang ayahnya seorang misionaris dari Kediri).
B.  Embrio Operasional
Pada 1956 ini disebut sebagai tahun “Tahap Embrio Operasional” pendirian IMM dalam bentuk pemenuhan gagasan penghimpunan wadah mahasiswa di lingkungan Muhammadiyah. Pertama, karena tahun ini Muhammadiyah secara formal melalui keputusan Muktamar membentuk BPK. Kedua, Muhammadiyah bertekad kembali pada identitas sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid melaui khittahnya 1956-1959. Ketiga, perguruan tinggi Muhammadiyah telah didirikan. Keempat, puncak dari gagasan nyata adalah keputusan Muktamar Pemuda Muhammadiyah 1956 di Palembang, “menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak menjadi Pemuda Muhammadiyah”.
Awal 1959, tiga tahun lebih keputusan tersebut dan pengajian mahasiswa semakin semarak, namun juga belum membentuk organisasi mahasiswa Muhammadiyah. Ini tidak lain adalah karena masalah klasik, ada organisasi sebagai ganti yaitu HMI. Yang kedua karena rasa komitmen Muhammadiyah terhadap Masyumi, sebagai anggota istimewa. Baru pada 8 September 1958 dengan surat Pimpinan Partai Masyumi tentang berakhirnya keanggotaan istimewa Masyumi. Untuk itu, PP Muhammadiyah mengeluarkan maklumat No. 761/I-A/U-B/M/P-M 12 Desember 1959, yang ditanda tangani oleh Farid Ma’ruf dan M. Jindar Tamimi, intinya Muhammadiyah kembali menjadi gerakan dakwah dan tidak akan menjadi partai politik.
C.  Embrio Akhir
Pada saat Konpida Pemuda Muhammadiyah se-Indonesia di Surakarta, 18 – 20 Juli 1961 disahkan berdirinya Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Mengapa wadah mahasiswa beluum terwujud? Toh Masyumi juga sudah dibubarkan. Baru menjelang Muktamar setengah abad di Jakarta dimana setelah diadakannya Kongkres Mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Yogyakarta.[4] Dihembuskanlah dengan sekuat tentang perlunya didirikan suatu organisasi mahasiswa Muhammadiyah. Dan lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah yang dikoordinir oleh margono (UGM), Sudibyo Markus (UGM) Rosyad Saleh (IAIN, sedangkan ide pembentukkannya ialah Djazman Al-Kindi (UGM). Akhirnya 1963 diadakanlah penjajagan untuk mendirikan wadah mahasiswa Muhammadiyah oleh LDM disponsori oleh Djazman Al-Kindi.[5]
Dengan demikian, jelas kelahiran IMM sudah dimulai sejak awal ide pembinaan kader mahasiswa Muhammadiyah melalui pendirian PTM pada kongres Muhammadiyah 1936. Ternyata orang-orang yang berada dalam LDM inilah yang menjadi motor, penggerak terbentuknya IMM lokal Yogyakarta dengan sponsor utama  Djazman Al-Kindi. Akhirnya, tiga bulan penjajagan, maka dengan mantap dan yakin berdirilah IMM pada 29 Syawal 1384 H/ 14 Maret 1964 M. Adapun peresmian IMM ditandani dengan ditandatanganinya “Enam Penegasan IMM” ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah KHA. Badawi di Gedung DINOTO Yogyakarta. Sehingga IMM menjadi sebuah organisasi pergerakan dan kader Muhammadiyah.
1.    IMM sebagai Organisasi Pergerakan
Organisasi pergerakan merupakan suara yang idealis dari kaum akademisi/ intelektual dalam mengkritisi kebijakan penguasa yang tak sesuai dengan  kepentingan rakyat kecil. Organisasi ini merupakan kolektif orang memiliki kesadaran yang sama dalam menyikapi realitas di sekitarnya. Kesadaran ini timbul dikarenakan lingkungan serta budaya ilmu tumbuh sehingga pemikiran melahirkan terbuka dan ilmiah. Ruang yang sering ditawarkan oleh organisasi pergerakan adalah seruan moral dan aspirasi rakyat kecil (termarginalkan).[6]
Organisasi pergerakan akan mudah dan selalu bersentuhan dengan kepentingan khususnya kenegaraan. Hal tersebut dapat dilihat pergerakan Mahasiswa 66 dan pergerakan Mahasiswa 98 untuk menjatuhkan rezim kekuasaan yang melakukan penindasan dan bersifat ototerianism. Organisasi pergerakan selalu menyerukan moral sebagai medium untuk melakukan pressure pada kelembagaan Negara. Organisasi pergerakan dengan memiliki masa berupa mahasiswa yang memiliki kesadaran untuk menciptakan kondisi yang lebih baik. Organisasi pergerakan yang disuarakan adalah kepentingan rakyat demi tercipnya keadilan.[7]
IMM sebagai salah satu dari organisasi pergerakan Mahasiswa, hal ini dapat dilihat dari masa yang dimiliki merupakan Mahasiswa. Melihat dari, masa yang dimiliki oleh IMM, maka dalam gerakannya sesuai dengan organisasi pergerakan.  IMM sebagai salah satu dari pergerakan yang memberikan arti dan arahan yang jelas dalam menentukan proses kepemimpinan yang akan datang.
IMM sebagai organisasi pergerakan bukan hanya sekedar pengontrol kebijakan pemerintah tetapi yang lebih baiknya dapat melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Kemampuan ini merupakan suatu hal yang wajib dimana dengan jargonnya sebagai pembela rakyat, pembela rakyat ini dapat ditafsirkan paling tidak kader IMM dapat melakukan pemberdayaan dan pendampingan terhadap masyarakat. Penerjemahan IMM sebagai pembela rakyat yang dilakukan untuk menyuarakan kepentingan rakyat dalam tiga tingkatan yakni elit kekuasaan, kelas menengah dan masyarakat itu sendiri.
IMM memiliki peran signifikan dalam menyuarakan suara rakyat, misalkan sebagai pressure kebijakan, melakukan lobi, negosiasi, sebagai mediasi antara pemerintah dan masyarakat serta menjadi sharing patner antara pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya IMM melakukan pembelaaan terhadap rakyat dengan pemberdayaan dan pendampingan sehingga rakyat tersadarkan, bangkit melakukan perlawanan dan sehingga terciptanya keadilan.
2.    IMM sebagai Organisasi Kader
Hakikat keberadaan IMM ialah suatu organisasi kader dan pergerakan  merupakan suatu kreasi dari para faunding fathers dalam menyikapi realitas pada waktu itu. IMM sebagai organisasi kader merupakan esensi dari IMM yang cerminan dari Muhammadiyah dan penerus Muhammadiyah dalam melakukan dakwah social amar ma’ruf nahi munkar guna terciptanya masyarakat ideal Muhammadiyah. Kelahiran dan kehadiran IMM di tengah derap kemahasiswaan dan kepemudaan.
IMM inherent sejak kelahirannya telah menetapkan dirinya sebagai organisasi kader. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Djazman Al-Kindi:“Kami Melahirkan dan membina IMM dengan maksud mempersiapkan masa depan  Muhammadiyah dengan tenaga yang terlatih, baik dibidang ilmiah maupun dibidang amaliah”[8]Gerakan IMM dalam eksistensinya merupakan suatu gerakan intelektualitas. Gerakan amaliah  merupakan aksiologi dari intelektual (ilmiah) yang dimilikinya. Gerakan intelektual IMM sebagai kader sesuai dengan semangat dan cita-cita Muhammadiyah yang termanifestasi untuk kebangsaan dan kemanusiaan.
Selain itu Ahmad Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan perkaderan. Tatapi dapat ditemukan dalam pernyataannya:“dadijo kijahi sing kemadjoean, adja kesel anggomu njamboet gawe kanggo Moehammadijah”.[9] Dalam penyataan tersebut, terdapat tiga kata kunci, yaitu “kijahi”, “kemadjoean”, dan “njamboet gawe kanggo Moehhammadijah”. Kiai adalah figure yang shalih, berkhlak mulia, religious dan faham ilmu agama secara mendalam. Kemajuan adalah menunjuk kepada kemoderenan, ilmu-ilmu pengetahuan (sain), dan intelektual. Sedangkan, “njamboet gawe kanggo Moehammadijah” adalah manifestasi dari kerja-kerja kemanusiaan gerakan Muhammadiyah.
IMM sebagai ortom Muhammadiyah yang diharapkan oleh pendiri IMM sebagai wahana pertukaran fikiran dalam menentukan Muhammadiyah kedepannya. IMM sebagai organisasi kader yang diberitugas sebagai penerus tradisi KH. Ahmad Dahlan, maka yang terpenting perkaderan IMM yakni untuk Muhammadiyah, bangsa dan agama. Dalam kontsk kekinian, orientasi kader menurut Buya Syafi’I Ma’arif adalah keder kemanusiaan, kebangsaan, keumatan, baru kemuhammadiyahan.[10]
Dalam perjalannya IMM bukan hanya berfungsi bagi kepentingan ideologis regenerasi elite pimpinan (kader), tetapi penyiapan intelektual baru.[11] Yaitu suatu generasi baru dengan kemampuan ide-ide Kiai Dahlan bagi maksud pragmatis dan fungsional Islam dalam kehidupan duniawi yang beradab. Disinilah letak tanggungjawab sejarah dan teologis Muhammadiyah di masa depan, yang lebih mungkin diperankan oleh IMM.
Senada dengan itu, tujuan IMM terbentuk adalah “mengusahakan terciptanya akademisi Islam yang berakhlak mulia untuk mencapai tujuan Muhammadiyah”. Tujuan ini yakni berdasarkan tiga aitem; akademisi Islam, akhlak mulia dan mencapai tujuan Muhammadiyah. Makna dan cita-cita yang diinginkan oleh Muhammadiyah pada IMM adalah melahirkan suatu cendekiawan muslim (kiai berkemajuan) yang berakhlak mulia (ojo pegel nyambot gawe) dan mengupayakan terbentuknya masyarakat utama dalam perfektif Muhammadiyah (kanggo Muhammadiyah).

PARADIGMA IMM
Perbincangan IMM sebagai organiasasi pergerakan dan organisasi kader, IMM memerlukan epistemology sebagai sumber alat baca sehingga melahirkan paradigma, metodologi, serta metode, taktik, cara untuk transformasi gerakan. Sehingga bagi kader IMM dapat berfikir secara sistematis dan mudah untuk menganalisis secara rasional serta ilmiah.
IMM sebagai gerakan mahasiswa yang berdasarkan Islam dan dalam naungan Muhammadiyah yang gerakannya mengikuti ititiba’ nabi. Maka yang dilakukan oleh IMMdalam memandang realitas social dengan pengaplikasian wahyu agar dapat memberaikan konstribusi dalam peradaban.
Epistemology IMM sebagai gerakan Islam berdasarkan wahyu. Gerakan IMM adalah pengaktualisasian Al Qur’an yang bersifat umum (grand theory) agar dapat menjadi sebuah teori yang bersifat ilmiah. Sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo sikap kita adalah melakukan objektifikasi terhadap Al Qur’an agar dapat diterima oleh umum. Objektifikasi nilai-nilai Islam ini yang menjadikan gerakan Ikatan berbeda dengan pergerakan yang lain serta dapat mewujudkan tujuan IMM.   (Kuntowijoyo, Hal)
Wahyu menjadi alat baca dalam berinteraksi dengan realitas. Apa saja yang dapat menjadi ruh gerakan IMM dalam melakukan gerakan social demi terciptanya cita-cita kolektif IMM. Pandangan dunia gerakan IMM paling tidak terbagi menjadi tiga macam yang berada dalam intern IMM; tujuan IMM semboyan IMM dan trilogy IMM.      
1.    Simbol dan Semboyan IMM
Selayaknya IMM dalam realitasnya memiliki symbol, juga memiliki pandangan dunia dalam menggerakan IMM. Symbol dalam IMM yakni yang  menjadi ciri khas Ikatan seperti warna merah dan semboyan IMM. Penggunaan warna merah dan semboyan tersebut dalam sejarahnya memiliki makna yang dalam makna folosofis yang tinggi untuk kader yang baru mengenal IMM. IMM menngunakan warna merah untuk menjawab PKI dan CGMI yang juga berwarna merah. IMM ingin menunjukkan dengan warna merah tidak identik dengan kekejaman dan komunis.[12] Warna merah memiliki arti terdekatnya dengan sifat Allah yang rahman dan rahim. Warna merah juga diidentikan dengan sifat yang pemberani, pantang menyerah dan sungguh-sungguh. Penerjemahan warna ini, selayaknya menjadikan cerminan karakter kader dalam kehidupan dan merespon realitas yang ada.[13] IMM menentang komunisme karena tidak sesuai dengan Pancasila, sebagai sosialisme-religius.[14] Keimanan seseorang tidak bias dikukur dari lambing atau warna.[15]
Selanjutnya selain warna, IMM juga memiliki symbol yang tertanam dalam diri kader sebagai semboyan yakni Unggul dalam Intelektual, Anggun dalam Moral dan Radikal dalam Gerakan. Penambahan kata radikal dalam gerakan merupakan tindakan praksis yang dilakukan oleh IMM sebagai pengapilakasian dari pengetahuan yang diperolehnya. Kata radikal ini bermakna sebagai aksi yang radikal dan mengakar sehingga yang mencerminkan dari pengetahuan yang diperolehnya atau ada pada IMM. Kata moral dan penambahan radikal dalam gerakan merupakan bentuk aksiologi sebagai tindakan kongkreat dari epistemology.[16]  Makna dalam motto tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari seluruh kata dalam semboyan IMM. Kata yang satu dengan yang lain bersifat integral dan kohern sehingga menghasilkan makna yang utuh.
2.      Trilogi IMM
Trilogi adalah merupakan lahan juang IMM dan juga symbol IMM dalam melakukan transformasi gerakan. Trilogy IMM sebagai ruh IMM dalam menilai diri serta cara melakukan transformasi social yang dilakukan. IMM merupakan pergerakan kemahasiswaan. Oleh karena itu yang perlu dikerjakan oleh IMM tercantumkan dalam bidang garapan IMM yang tertuang dalam trilogi IMM kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan. Sifat dari trilogi merupakan kesatuan yang integral dimana satu-sama lain tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan.
Dalam sejarah munculnya trilogi IMM merupakan pengambilan intisari dalam deklarasi IMM  pada waktu Munas I IMM di Solo, yaitu “Enam Penegasan IMM/ D E K L A R A S I   S O L O 1965: 1. IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam; 2. Kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM; 3. Fungsi IMM, adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator) 4. Ilmu adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiyah IMM; 5. IMM, adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku; 6.Amal IMM, dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa. 
Pengambilan intisari dalam deklarasi kota barat tersebut memunculkan trilogy IMM yaitu, kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan. 1. Kemahasiswaan merupakan penerjemahan dari IMM sebagai gerakan mahasiswa Islam, dan fungsi IMM sebagai eksponen gerakan mahasiswa dalam Muhammadiyah. 2. Keagamaan merupakan pengaplikasian kepribadian Muhammadiyah sebagai landasan perjuangan. 3. Kemasyarakatan adalah amal yang diabdikan bagi IMM adalah untuk nusa dan bangsa. Sedangkan, untuk kata ilmu yang amaliah dan amal ilmiah merupakan ruh dari gerakan IMM.
Pertama, Keagamaan. Pengungkapan dari trilogi ini menjadikan seorang kader IMM dalam keagamaan maka seorang kader menguasai tiga tradisi dalam pengembangan keagamaan yang libratif, emansiapatoris sehingga agama sebagai nilai serta ruh yang praksis social kemasyarakatan. Semangat yang di bawa oleh Ahmad Dahlan adalah semangat profetis agama dalam melakukan transformasi sosial.
Kedua, Kemahasiswaan. Interpretasi terhadap simbol trilogi yang kedua kemahasiswaan menjadi intelektualitas. Menggunakan apa yang dicitakan oleh Kuntowijoyo sebagai contoh eksperimen dari masyarakat ilmu. Gerakan yang dilakukan adalah gerakan intelektual (think the future). Gerakan yang dilakukan IMM adalah keilmuan bukan politis.[17]
Ketiga, Kemasyarakatan. Pengungkapan simbol yang selanjutnya kemasyarakatan dengan interpretasinya humanitas dan liberatif. Melihat problem yang terjadi sekarang dalam era postmodernisme yang mencoba mengintegrasikan antara agama dengan ilmu pengetahuan atau penyapaan bahasa langit dengan bumi.  Pengintegrasian ini mencoba memberikan tawaran terhadap problem dehumanisasi  dengan menggunakan istilah Kuntowijoyo dengan berdasarkan humanisme teoantroprosentris.
PROFIL KADER IMM
Setelah kita mengkaji permasalahan eksistensi serta paradigma maka pengaplikasian yang dilakukan dalam kaderisasi adalah penanaman dan penumbuhan nilai-nilai. Gerakan IMM yakni gerakan intelektual profetik (GIP). GIP sebagai trand mark gerakan perlu dituruntakan (break down) dalam sistem kaderisasi GIP yang dapat membentuk kader yang memiliki paradigma profetik. Kaderisasi yang dilakukan merupakan bentuk internalisasi nilai-nilai kenabian pada kader sehingga memiliki kesadaran profetik.[18]
Dengan kesadaran profetik yang dimiliki oleh kader secara otomatically kader bermisi kenabian sehingga tercapai masyarakat yang dicita-citakan. Guna mengemban misi profetik: Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi,[19]. Hal ini dapat dilihat pada Munas I 1-5 Mei 1965 dengan tema, “Membangun Organisasi, Membuka Babel Ijtihad”.[20] Dan Munas II tema “ Agama, Mahasiswa dan Modernisasi”, merupakan kesadaran IMM sebagai aparat pembaharu. Yang memainkan peran kenabian.[21] Kader IMM harus memiliki beberapa kompetensi dasar yang coba dipilah menjadi tiga basis: basis ideologis, basis pengetahuan (knowlegde), dan basis skill. Sehingga dapat dikatakan bahwah profil kader IMM ialah kader profetik religious-integral:

1. Basis ideologis

a.    Islam berkemajuan sebagai basis nilai, ruh, semangat, tempat cita-cita disematkan dan sebagai pedoman.

b.    Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam, salah satu entitas Islam obyektif dan real.

c.    IMM sebagai pilihan gerakan diranah juang kemahasiswaan.

2.  Basis knowledge 

a.    Tauhid; tauhid sebagai dasar atau basic empiris untuk melakukan praksis gerakan, tauhid disini bersifat liberasi dan bersifat humanisasi.
b.    Manusia; berkesadaran yang melakukan pola transformasi sosial baik dilakukan pada alam ataupun manusia yang lain. Sikap kita terhadap manusia adalah melakukan humanisasi dan liberasi sesuai dengan semangat surat Al Imran:110. Sikap manusia dengan alam adalah ia sebagai khalifah  yang bertugas memelihara bumi dan menjaga keseimbangan serta kelestarian alam yang digunakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
c.    Alam; adalah sebagai subjek yang dipandang oleh manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai sarana pendekatan diri pada Tuhan. Sifat hubungan manusia dengan alam adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam sehingga alam tidak rusak dan menimbulkan berbagai malapetaka buat manusia.
d.    Masyarakat; adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai macam manusia yang memiliki kesadaran dan berupaya untuk melakukan perubahan sosial. Kesadaran dalam masyarakat adalah berdasarkan pada etika profetik yang mengupayakan terciptanan tatanan sosial yang berkeadilan, tanapa penindasan dan berdasarkan rahmat Ilahi.
e.    Disiplin ilmu kader; disiplin keilmuan kader merupakan modal dalam melakukan transformasi sosial dan diaspora gerakan disemua dimensi kehidupan sesuai keahliannya.

3.   Basis Skill

a.    Kepemimpinan; adalah kepemimpinan yang memiliki karakter profetik yang mengupayakan transformasi sosial yang didasarkan pada praksis gerakan, kepemimpinan yang mampu membela yang termarginalkan dan menjadikan kedudukannya lebih baik sebagai upaya terciptanya masyarakat yang diidealkan.
b.    Komunikasi; adalah sarana untuk menampaikan berbagai macam gagasan terkait misi profetik yang diemban. Komunikasi yang dapat dimengerti oleh yang menerima pesan tanpa kehilangan subtansinya dan dapat diterima oleh siapa saja. Komunikasi sebagai sarana pertukaran informasi maka yang inginkan bersifat sesusai dengan etika profetik yang melakukan tranformasi sosial demi cita-cita yang diidealkan oleh IP.
c.    Life Skill;  sangat dibutuhkan agar IP dapat hidup dimana saja secara mandiri tidak memiliki ketergantungan pada yang lain. Sikap ini merupakan wujud eksistensi manusia baik ia sendirian ataupun hidup berkelompok.

Sumber Tinta:
v      Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).
v      Abdul Mu’ti, “Konsep Pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan” dalam Abdul Khalik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
v      Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. (Bandung: Mizan. 2009)
v      Ajib Purnawan. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Beraksi Di Tengah Badai: Catatan Kritis Sejarah Kelahiran IMM Melawan Komunisme. (Yogyakarta: Panji, 2007).
v      Farid Fathoni AF. Kelahiran Yang Dipersoalkan. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990)
v      Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
v      M. Abdul Halim Sani.  Grand Perkaderan Ikatan; Suatu Respon terhadap Permasalahan Global dan Kaderisasi IMM (Makalah LIP DPP IMM Yogyakarta,01-06 Februari 2009)
v      Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. (Jakarta: Paramadina, 2000)
v      Singh, Rajendra. Gerakan Sosial Baru. (Yogyakarta: Resist Book, 2010).
v      Quintan Wiktorowicz (ed). Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus. (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012).
v      Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011).



Ó Disampaikan pada acara DAD IMM Komisariat Pesantren Internasional Mas Mansur, Ahad, 10 Februari 2013 Miladiyah.
[1] Farid Fathoni AF. Kelahiran Yang Dipersoalkan. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), h. 93
[2] Misal, ketika Lafrane mau menjajaki pendirian HMI, sempat bertukar pikiran dengan A. Kahar Mudzakir (Tokoh Muhammadiyah Pusat). Pendiri HMI, Maisarah Hilal (cucu KHA Dahlan) juga aktivis NA. Maka ada asumsi, “bila Muhammadiyah pada waktu itu tidak perlu menghimpun atau membina langsung sebab sudah ada HMI, artinya perkaderan itu dititipkan pada HMI”, lihat Ibid . 94
[3] Pada tahun 1977 di Sekolah Tinggi Muhammadiyah Bukit Tinggi terjadi sedikit persoalan sedikit sampai melibatkan dialog antara pihak Rektorat dengan PWM Sumatra Barat disebabkan perlakuan berbeda antara HMI dann IMM, HMI mendapatkan angin segar sedangkan IMM disingkirkan oleh pihak perguruan. Lihat Farid Fathoni AF. Lock. Cit., 1990, h. 96.
[4] Waktu itu Muhammadiyah sudah mempunyai Perguruan Tinggi kurang lebih sebelas buah dengan beberapa fakultas yang menyebar di berbagai kota. Lihat Farid Fathoni AF. Lock. Cit., 1990, h. 100
[5] Waktu itu sebagai Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah, ketuanya adalah M. Fachurrozi
[6] Singh, Rajendra. Gerakan Sosial Baru. (Yogyakarta: Resist Book, 2010), h. 110 & 132
[7] M. Abdul Halim Sani.  Grand Perkaderan Ikatan; Suatu Respon terhadap Permasalahan Global dan Kaderisasi IMM (Makalah LIP DPP IMM Yogyakarta,01-06 Februari 2009)
[8] Farid Fatoni AF. Lock. Cit., 1990, h. 106
[9] Abdul Mu’ti, “Konsep Pendidikan Kiai Haji Ahmad Dahlan” dalam Abdul Khalik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, 202-203
[10] Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. (Bandung: Mizan. 2009), h. 199
[11] Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 193
[12] Ajib Purnawan. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Beraksi Di Tengah Badai: Catatan Kritis Sejarah Kelahiran IMM Melawan Komunisme. (Yogyakarta: Panji, 2007), h. 95
[13] M. Abdul Halim Sani.  Lock. Cit., 2009)
[14] Ajib Purnawan. Op. Cit., 2007, h. 70
[15] Farid Fatoni AF. Lock. Cit., 1990, h. 120
[16] M. Abdul Halim Sani.  Op. Cit., 2009)
[17] Gerakan keilmuan yang dilakukan dengan mengutip Kuntowijoyo mengibaratkan menanam pohon jati, dimana pohon tersebut dalam hasilnya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan bahkan satu generasi untuk mengungguh buah yang dihasilkan. Bedanya dengan gerakan yang bersifat politis mencari momentum yang tepat dibaratkan dengan pohon pisang dimana cepat berbuah dan berkembang tetapi bersifat sementara dan yang dihasilkan pun tak memuaskan, bahkan yang paling menyedihkan setelah berbuah pohon pisang pun mati. Gerakan keilmuan dalam IMM merupakan obor yang menjadikan IMM sebagai kader Muhammadiyah yang membedakan dengan paergerakan mahasiswa yang lain serta ortom Muhammadiyah. Lihat Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006)
[18] M. Abdul Halim Sani.  Lock Cit., 2009
[19] Kuntowijoyo. Op. Cit., 2006)
[20] Farid Fatoni AF. Lock. Cit., 1990, h.115-116
[21] Ibid, 128
DISAMPAIKAN PADA DARUL ARQAM DASAR IMM KOMISARIAT PESANTREN INTERNASIONAL MAS MANSUR

- Designed by Azaki Khoirudin -