- Back to Home »
- DEMI PENA
by. Azaki Khoirudin
Nuun,
Walqalami Wamaa Yasthuruun
~Nuun, demi pena dan apa yang mereka tulis~
Al-Qalam adalah surat ke-68,
diturunkan di Mekah pada awal kenabian, pada urutan ke-2, setelah surat al-Alaq
dan sebelum surat al-Muzammil. Sebagian ulama berpendapat urutannya terbalik,
surat al-Muzammil pada urutan ke-2 dan al-Qalam sesudahnya. Nama surat ini
al-Qalam atau pena, mengingatkan pada surat sebelumnya, surat al-Alaq, yang
menyatakan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan pena. Menarik bahwa kedua
surat paling awal ini menyinggung peranan pena sebagai alat belajar mengajar.
Bahkan, surat ini diberi nama al-Qalam, pena. Sebuah isyarat agar kaum muslimin
manjadi umat terdidik. Surat ini dimulai dengan huruf muqatha’at, “nuun”
disusul dengan sumpah pena. Huruf “nuun”
oleh sebagian ulama melambangkan tinta atau tempat tinta sebagai pasangan pena.
Nuun
Menurut tafsir
yang dikeluarkan oleh Departemen Agama Republik
Indonesia
dijelaskan sebagai berikut, bahwa para mufasir berbeda pendapat tentang arti
huruf “nuun” sebagaimana huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian surat-surat
Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif
laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. Diantara ahli-ahli tafsir
ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah Karena dipandang termasuk ayat-ayat
mutasyaabihaat, dan ada pula yang
menafsirkannya.
Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat,
dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik
perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk
mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang
tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran
diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad saw semata-mata, maka cobalah
mereka buat semacam Al Quran itu.
Tafsir An-Nuur,
menafsirkan “nuun” dengan Allah lebih mengetahui maksudnya dengan mengambil pendapat yang paling
kuat adalah bahwa huruf-huruf yang diletakkan pada permulaan awal surah
bertujuan menarik perhatian orang untuk mendengarkan pembacaan surah yang
bersangkutan. Demikian pula Quraisy Shihab dalam
karyanya tafsir Al-Misbah,
menafsirkan “nuun” adalah salah
satu huruf fonemis yang digunakan oleh al-Qur’an dan di sini digunakan sebagai
pembuka sebagaimana pembuka surat-surat al-Qur’an lainnya. Penempatannya pada
awal surah dipahami oleh sebagian ulama sebagai tantangan kepada orang-orang
yang meragukan al Qur’an sebagai kalam Allah.
Huruf-huruf
tersebut bagaikan berkata, “Al-Qur’an terdiri dari kata-kata yang tersusun dari
huruf-huruf fonemis yang kamu kenal, misalnya nuun, atau alif, lam, mim”.
“Seakan Allah berkata “cobalah buat dengan menggunakan huruf-huruf itu suatu
susunan kalimat walau hanya sebanyak satu surah yang terdiri dari tiga ayat
guna menandingi keindahan bahasa al-Qur’an. Pasti kamu akan gagal.” Hal ini
dimaksudkan bahwa Allah menantang bagi yang membaca atau mendengarnya tapi
tidak percaya akan kebenarannya.
Hamka menafsirkan
“nuun” itu bukan semata-mata huruf
“nun lengkung bertitik satu di atas”, yaitu huruf yang ber-makhraj di pertemuan ujung langit-langit dan dikeluarkan melalui
hidung, yang dinamai juga huruf “sengau”. Hamka menyebutkan dalam tafsir Al-Azhar bahwa “Nuun” adalah sebuah nama ikan besar di laut sebangsa ikan paus.
Ikan itulah yang menelan Nabi Yunus ketika beliau meninggalkan negerinya karena
kecewa melihat kekufuran kaumnya.
Penafsiran ikan
bernama “nuun” yang menelan Nabi
Yunus ini dihubungkan dengan ayat-ayat terahir dari surat ini, yaitu ayat 48,
49, dan 50. Karena tiga ayat tersebut menceritakan tentang Nabi Yunus yang
ditelan ikan. Penafsiran ini dikuatkan oleh surah al-Anbiya ayat 87 menyebut
Nabi Yunus dengan Zan Nun. Menurut
Ar-Razi tafsir demikian diterima dari Ibnu Abbas, Mujahid, Muqatil, dan As
Suddi.
Tetapi,
penafsiran huruf “nuun” dangan ikan “nuun” yang menelan Nabi Yunus, menurut
Hamka tidak dapat diterima jika dibandingkan dengan ayat-ayat selanjutnya, yang
isinya memuji keagungan Nabi Muhammad saw yang tahan dan sabar dalam
perjuangan. Sudah terang bahwa Nabi Yunus ditelan oleh ikan Nun (sebangsa paus) beberapa hari
lamanya adalah suatu peringatan kepada seorang Nabi Yunus yang berkecil hati
ketika melihat kekafiran kaumnya, lalu beliau meninggalkan tugasnya.
Sehingga,
tidaklah layak peringatan kepada Nabi Muhammad saw ialah ikan Nun yang menelan Nabi Yunus, karena
Nabi Muhammad saw tidaklah pernah sejenak pun meninggalkan kaumnya, bahkan
selalu menghadapi tugasnya dengan hati tabah. Hijrahnya ke Madinah bukanlah
merupakan pelarian dari tugas, namun salah satu mata rantai rencana
penyempurnaan tugas. Tetapi, Hamka pun menyebutkan riwayat lain dari Ibnu
Abbas, arti Nuun ialah dawat atau
tinta.
Mengenai
penafsiran nuun bermakna tinta, lebih
dahsyat lagi misteri ayat ini diungkap para sufi dengan perspektif sangat
berbeda dibanding makna dalam kitab-kitab tafsir kontemporer. Ternyata tiga
komponen dalam ayat ini, yaitu nun, qalam,
dan lembaran menjadi asal usul segala
ciptaan Tuhan. Aziz Al-Din Nasafi (Wafat 695H/1295M), seorang sufi yang
pikirannya banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi, menjelaskan bahwa “nuun” adalah “bak tinta”. Penafsiran “nuun”, sebagai “bak tinta” atau “kolam
tinta” ini karena “nuun” dihubungkan
dengan surah Al-Kahfi ayat 109, “Katakanlah: ‘Kalau sekiranya lautan menjadi
tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)”.
Berbeda dengan
Ibnu Arabi yang mengartikan “nuun”
dengan malaikat yang diperintah untuk menggunakan pena itu untuk menulis. Bagi
Ibnu Arabi, nuun ialah malaikat yang
melukis semua kejadian. Sang penulis memiliki pengetahuan majemuk dan beraneka
ragam. “Nuun” dan pena-nya aktif
memberi pengaruh, sedangkan lembaran atau kanvas tempat menuangkan tulisan
bersifat reseptif. Jadi, menurutnya, “nuun wa alqalam wa ma yasthurun”
adalah hierarki antara Tuhan dan makhluk-Nya. Menurut Ibnu Arabi, pena adalah
akal dan lembaran adalah jiwa. Hubungan antara akal dan jiwa sama dengan
hubungan antara pena dan lembaran.
Wa
Al-Qalam (Demi Pena)
Menurut Ibnu
Katsir, kata “wal qolami” (demi kalam), secara lahiriyah berarti demi
pena yang digunakan untuk menulis. Seperti firman Allah Ta’ala "Dia yang
mengajarkan dengan qalam" (QS Al-Qolam Ayat 4). Wa al-qalam (demi pena) adalah sumpah
Tuhan (qasm) pertama dalam Alquran
yang turun tidak lama setelah lima ayat pertama: Iqra’ bi ismi Rabbikalladzi
khalaq, khalaqa al-insana min alaq, iqra’ warabbuka al-akram, alladzi ‘allama
bi al-qalam, ‘allama al-insana ma lam ya’lam.
Dalam Tafsir al-Misbah, al-Qalam bisa berarti
pena tertentu atau alat tulis apa pun termasuk komputer. Ada yang berpendapat
bahwa al-Qalam bermakna pena tertentu
seperti pena yang digunakan oleh para malaikat untuk menulis takdir baik dan
buruk manusia serta segala kejadian yang tercatat dalam Lauh Mahfuz atau pena yang digunakan oleh para sahabat untuk
menuliskan al-Qur’an dan pena yang digunakan untuk menuliskan amal baik
dan amal buruk yang dilakukan manusia.
Namun, pendapat
ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pena adalah alat tulis apa pun
termasuk komputer adalah pendapat yang lebih tepat karena sejalan dengan kata
perintah iqra’ (bacalah). Allah seakan
bersumpah dengan manfaat dan kebaikan yang diperoleh dari pena. Hal ini
mengisyaratkan anjuran untuk membaca karena banyak manfaat yang diperoleh
dengan membaca dengan syarat membacanya disertai dengan nama Tuhan (bismirabbik) dan mencapai keridaan Allah.
Ada yang
memahaminya dalam arti sempit yakni pena tertentu, ada juga yang memahaminya
secara umum yakni alat tulis apapun, termasuk komputer tercanggih. Yang
memahaminya dalam arti sempit ada yang memahami sebagai pena yang digunakan
malaikat untuk memcatat takdir baik dan buruk serta segala kejadian dan makhluk
yang kesemuannya tercatat dalam Lauh
Mahfuzh, atau pena yang digunakan malaikat menulis amal-amal baik dan buruk
setiap manusia, atau pena sahabat Nabi menulis al-Qur’an. Quraisy Shihab
memahaminya secara umum, lebih tepat karena sejalan dengan perintah membaca (iqra’) yang merupakan wahyu pada lima
ayat pertama surah al-Alaq.
Pertanyaan
berikutnya ialah mengapa dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan al-Qalam (pena) dan segala macam yang
dituliskan dengannya? Dalam Tafsir Departemen Agama (Depag) dijelaskan bahwa
suatu sumpah dilakukan adalah untuk meyakinkan pendengar atau yang diajak
berbicara bahwa ucapan atau perkataan yang disampaikan itu adalah benar, tidak
diragukan sedikit pun. Akan tetapi, sumpah itu kadang-kadang mempunyai arti
yang lain, yaitu untuk mengingatkan kepada orang yang diajak berbicara atau
pendengar bahwa yang dipakai untuk bersumpah itu adalah suatu yang mulia,
bernilai, bermanfaat, dan berharga. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan
direnungkan agar dapat menjadi iktibar dan pengajaran dalam kehidupan. Dalam
hal ini, Allah seakan memberitahukan bahwa betapa mulianya dan pentingnya pena
itu, sampai-sampai Allah bersumpah dengannya.
Sumpah dalam arti
kedua adalah Allah bersumpah dengan qalam
(pena) dan segala yang dituliskannya untuk menyatakan bahwa qalam itu termasuk nikmat besar yang
dianugerahkan Allah kepada manusia, disamping nikmat pandai berbicara dan
menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Dengan qalam, orang dapat mencatat ajaran Agama dari Allah yang
disampaikan kepada rasul-Nya, dan mencatat semua pengetahuan Allah yang baru ditemukan. Dengan
surat yang ditulis dengan qalam,
orang dapat menyampaikan berita gembira dan berita duka kepada keluarga dan
teman akrabnya. Dengan qalam, orang
dapat mencerdaskan dan mendidik bangsanya.
Tentang qalam, atau yang disebut dengan pena,
yang diambil dari sumpah utama oleh Tuhan. Dalam Tafsir Al-Azhar terdapat
pelbagai ragam tafsir, ada yang mengatakan bahwa mula-mula sekali yang
diciptakan oleh Tuhan dari makhluknya ialah qalam
atau pena. Disebutkan pula, bahwa panjang qalam
ialah sepanjang diantara langit dan bumi, serta tercipta dari nur yang artinya
cahaya. Kemudian Allah swt memerintahkan kepada qalam daripada Nur itu
agar dia terus-menerus menulis, lalu dituliskannya apa yang terjadi dan apa
yang ada ini, baik ajal, atau amal perbuatan.
Ada pula yang
menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan yang mula-mula diciptakan Tuhan ialah
qalam, artinya akal. Tetapi oleh
karena hadits Nabi, yang dirawikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari Hadits
al-Walid bin Ubaddah bin Tsamit. berbunyi, “Yang mula-mula diciptakan Allah ialah
qalam, lalu diperintahkan Allah supaya ia menulis. Maka bertanyalah ia kepada
Tuhan: “apa yang mesti hamba tuliskan ya Tuhan?”. Tuhan menjawab, tuliskan
segala apa yang telah aku takdirkan (Aku tentukan sampai akhir zaman)”
Al-Qadhi
memberikan tafsir bahwa isi hadits diatas ialah semata-mata majaz, artinya kata perlambang. Sebab,
tidaklah mungkin sebuah alat yang telah digunakan khusus untuk menulis, bahwa
dia akan hidup berakal, sampai dia mesti diperintah Tuhan dan dilarang.
Mustahil dapat dikumpulkan jadi satu sebuah alat guna menulis lalu lalu makhluk
bernyawa dapat diperintah. Maka bukanlah qalam
itu perintah, melainkan berlakulah qudrat
iradat Allah atas makhluk-Nya dan terjadilah apa yang telah Allah kehendaki
dan tentukan, dan tertulislah demikian itu sebagai taqdir Allah.
Disini Ibnu
Qayyim menjelaskan bahwa, para ulama berbeda pendapat. Sesungguhnya apa yang
pertama kali Allah ciptakan, pena, semua makhluk, atau arsy?. Pertama, ada yang
berpendapat, yang benar adalah bahwa al-arsy
diciptakan terlebih dahulu sebelum pena, sesuai dengan hadits sahih yang
berasal dari Abdullah Ibn Umar. Menurutnya Rasulullah saw bersabdah, “Allah menetapkan takdir setiap makhluk
lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Al-Arsy-Nya
berada diatas air”.
Dari sini jelas
sekali bahwa penetapan takdir terjadi sesudah penciptaan al-Arsy, di awal penciptaan pena. Sabda Nabi saw, “yang pertama kali diciptakan Allah adalah
pena,….,” bisa jadi berupa satu kalimat atau dua kalimat. Jika ia merupakan
satu kalimat, dan itulah yang benar, maka artinya ketika awal penciptaannya,
Allah berkata padanya, “Tulislah!”, dengan menashobkan kata awwala
(yang pertama) dan al-qalama (pena).
Sementara, jika
ia dua kalimat, maka diriwayatkan dengan kata awwalu dan al-qalamu
dalam kondisi rafa’. Dengan demikian,
ia merupakan makhluk yang pertama di alam semesta. Jadi, kedua hadits tersebut
tidak berlawanan. Sebab, dalam hadits Abdullah Ibn Umar jelas sekali bahwa al-Arsy lebih dahulu daripada takdir.
Sementara penetapan takdir bersamaan dengan penciptaan pena. Dalam lafal lain, “Lamma kholaqallahu al-qalam, qala lahu
uktub” (ketika Allah menciptakan pena, Dia berkata kepada pena, Tulislah!).
Wa
maa yasturuun (dan apa yang
mereka tulis)
Menurut Quraisy
Shihab, pemahaman “dan apa yang mereka
tulis” harus dikaitkan dengan makna al-Qalam.
Dengan demikian yang ditunjuk oleh kata “mereka” dapat dipahami dalam arti
malaikat, sahabat Nabi, para penulis Wahyu, atau manusia seluruhnya. Kata
Ar-Razi ada pula yang menafsirkan bahwa “mereka” disini ialah malaikat-malaikat
yang menuliskan segala amal perbuatan manusia. Sebab dalam surah al-Infithar
ayat 10, 11, dan 12 tentang malaikat-malaikkat yang mulia yang ditugaskan oleh
Allah menuliskan segala amal perbuatan manusia dan menjaganya.
Siapa pun yang
dimaksud, yang jelas maa yasturun
adalah tulisan yang dapat dibaca. Dengan demikian Allah seakan bersumpah dengan
manfaat dan kebaikan yang dapat diperoleh dari tulisan (the power of writing). Ini secara tidak langsung merupakan anjuran
membaca karena dengan membaca, seseorang akan memdapatkan manfaat dan kebaikan
yang banyak selama itu dilakukan bismirabbika,
yakni demi karena Allah dan guna mencapai ridha-Nya.
Tetapi, semua
penafsiran manusia ialah sejauh kadar akal penafsir. Hamka mencoba mendekatkan
tafsir ini dengan realitas kehidupan sehari-hari. Hamka menafsirkan huruf “nuun” ini dengan tinta dan qalam ditafsirkan pula dengan pena yang
dipakai untuk menulis. Kemudian, “apa yang mereka tuliskan” ialah hasil dan
buah pena ahli-ahli pengetahuan yang menyebarkan ilmu dengan Tulisan. Ketiga
benda tersebut dalam kehidupan dari awal sampai saat ini ialah sangat penting
bagi kemanusiaan, yaitu “TINTA”, “PENA”, dan “TULISAN”. “Nuun” adalah ‘bak tinta’. Sedangkan qalam adalah pena, yang merupakan substansi pertama atau biasa
disebut sebagai akal pertama, dan lembaran (ma yasthurun) ialah lembaran yang
terpelihara (lauh mahfuz) atau ummul kitab.[]