- Back to Home »
- IPM GERAKAN IDEOLOGIS
Oleh: Haedar Nashir
Kelahiran dan perkembangan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tidak lepas
dari misi Muhammadiyah dan konteks kehidupan yang mengitarinya. Pada tahun
1961, Muhammadiyah hampir berusia setengah abad dan belum memiliki sayap
gerakan yang secara khusus menggarap komunitas pelajar, selain mahasiswa.
Memang sejak berdirinya Muhammadiyah telah memiliki lembaga pendidikan, yang
secara langsung dan utama membina pelajar sebagai sumberdaya generasi umat dan
bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Melalui lembaga pendidikan Islam modern
yang dipeloporinya, Kepeloporan Muhammadiyah dalam pembaruan pendidikan
khususnya pendidikan Islam, selain melekat de
ngan ide tajdid atau pembaruan Islam yang berada dalam alam pikiran Kyai Dahlan sebagai mujadid Islam Indonesia, juga dalam pandangannya yang bersifat holistik atau integralistik. Pendidikan Muhammadiyah sejak awal merupakan pendidikan Islam terpadu yang memadukan pendidikan agama dan umum dalam berbagai ranahnya baik yang berdimensi ruhaniah atau spiritualitas, intelektualitas, maupun kemampuan-kemampuan keahlian dalam diri manusia.
Dalam pandangan Dr. Kuntowijoyo (1985), pendidikan Muhammadiyah sebagaimana digagas Kyai Dahlan, mampu mengintegrasikan antara iman dan kemajuan, yang melahirkan generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman, bahkan para elite sosial kelas menengah yang kuat dan tersebar di berbagai struktur kehidupan nasional. Karena itu tanpa harus memberi embel-embel terpadu atau yang setara dengan itu, sejatinya dan semestinya seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah haruslah mencerminkan pendidikan Islam modern yang holistik atau integralistik.
ngan ide tajdid atau pembaruan Islam yang berada dalam alam pikiran Kyai Dahlan sebagai mujadid Islam Indonesia, juga dalam pandangannya yang bersifat holistik atau integralistik. Pendidikan Muhammadiyah sejak awal merupakan pendidikan Islam terpadu yang memadukan pendidikan agama dan umum dalam berbagai ranahnya baik yang berdimensi ruhaniah atau spiritualitas, intelektualitas, maupun kemampuan-kemampuan keahlian dalam diri manusia.
Dalam pandangan Dr. Kuntowijoyo (1985), pendidikan Muhammadiyah sebagaimana digagas Kyai Dahlan, mampu mengintegrasikan antara iman dan kemajuan, yang melahirkan generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman, bahkan para elite sosial kelas menengah yang kuat dan tersebar di berbagai struktur kehidupan nasional. Karena itu tanpa harus memberi embel-embel terpadu atau yang setara dengan itu, sejatinya dan semestinya seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah haruslah mencerminkan pendidikan Islam modern yang holistik atau integralistik.
Pendidikan merupakan salah satu usaha dari Muhammadiyah, yang berkaitan
dengan ikhtiar (1) Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya
manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia; dan (2) Memajukan dan
memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian (Anggaran Rumah Tangga
Muhammadiyah tahun 2005). Adapun tujuan Pendidikan Muhammadiyah ialah membangun
sosok manusia yang utuh, yaitu: (1) berkembangnya potensi manusia yang
berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, beriman, dan bertaqwa kepada
Allah, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (2)
terwujudnya kemampuan penciptaan, pengembangan, dan penyebarluasan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni yang terintegrasi dengan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT; dan (3) terbinanya Keislaman dan Kemuhammadiyahan
di lingkungan pendidikan Muhammadiyah (Qoidah Pendidikan Muhammadiah). Dari
usaha dan tujuan tersebut jelas sekali bahwa di satu pihak pendidikan dalam
Muhammadiyah merupakan usaha strategis baik dalam mewujudkan cita-cita atau
tujuan Muhammadiyah yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya
sebagai format masyarakat yang utama atau unggul. Di pihak lain pendidikan
Muhammadiyah merupakan jembatan emas menuju terwujudnya peradaban bangsa dan dunia
kemanusiaan sebagai bagian dari misi risalah Islam untuk menjadi rahmatan
lil-‘alamin di muka bumi ini.
Namun dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut maupun di lingkungan
Muhammadiyah secara keseluruhan belum secara khusus terdapat pembinaan yang
menyiapkan pelajar untuk menjadi kader yang mampu menyerap misi gerakan
sekaligus menjadi anak panah organisasi. Dalam bahasa lain belum terdapat
proses penyiapan anggota inti pelajar Muhammadiyah yang mengemban misi dan
usaha Muhammadiyah. Dalam kaitan inilah maka dipandang penting lahirnya sebuah
organisasi otonom yang menggarap secara khusus dunia pelajar yang disiapkan
menjadi anggota inti penggerak Muhammadiyah, sehingga dari situlah kemudian
digagas dan dilahirkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah atau disingkat IPM. Misi
Muhammadiyah yang spesifik itulah yang kemudian dapat dibaca dalam substansi
tujuan IPM, yakni “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia,
dan terampil dalam rangka menegakkan, menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam
sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah
swt”.
Sebenarnya, secara tidak langsung dan bersifat embrional, kehendak
Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi yang membina pelajar tersirat dari
gagasan Kyai Dahlan dan Nyi Walidah Dahlan dalam “mengasramakan” para pelajar
putra dan putri yang ingin mendalami Islam di bawah bimbingan kedua tokoh utama
Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah itu. Demikian pula dengan kelahiran organisasi
perhimpunan pelajar Muhammadiyah di beberapa daerah seperti di Malang tahun
1926, di Yogyakarta tahun 1954, bahkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Wajo
Sulawesi Selatan tahun 1950, yang kemudian dibubarkan oleh Muhammadiyah.
Benih-benih spirit ingin mendirikan sebuah organisasi khusus yang membina
pelajar Muhammadiyah sebenarnya telah tumbuh sejak awal.
Maka berdirinya IPM tahun 1961 sebenarnya merupakan keniscayaan sejarah
yang tinggal menunggu waktu. Proses ini di internal Muhammadiyah sendiri
melalui pergumulan yang panjang, yang dimulai dari prakarsa Pimpinan Pusat
Pemuda Muhammadiyah dalam Konferensinya di Garut tahun 1958, yang kemudian
dilanjutkan dalam Muktamarnya di Yogyakarta tahun 1960, yang membuahkan
komitmen dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan akhirnya berdirilah atau
dilahirkanlah Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Semangat dasarnya agar ada wadah
khusus yang membina pelajar yang siap untuk menjadi pelopor, pelangsung,
penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
Terdapat konteks sejarah atau sosiologis yang juga khusus dan bersifat
ideologis di sekitar kelahiran Muhammadiyah. Ketika kekuatan-kekuatan
organisasi Islam yakni tokoh-tokoh Muhammadiyah, Partai Syarekat Islam
Indonesi, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain mendirikan partai politik Islam
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tahun 1945 di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1945, pada saat itu terkandung cita-cita ideologi
politik Islam yang satu mewakili umat Islam. Setelah itu dan dalam spirit
persatuan politik Islam itu dilahirkan Deklarasi Panca Cita yang mengandung
semangat kesatuan umat Islam yang beromitmen bahwa ummat Islam bersatu dalam
satu partai Islam Masyumi; bersatu dalam gerakan mahasiswa Islam yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI); bersatu dalam gerakan pemuda Islam yaitu Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII); bersatu dalam gerakan pelajar Islam yaitu Pelajar Islam
Indonesia (PII); dan berssatu dalam Kepanduan Islam yakni Pandu Islam (PI).
Namun konsensus politik tersebut tidak bertahan lama karen pada tahun 1948 PSII
keluar dari Masyumi, lantas disusul oleh NU pada tahun 1952 yang membentuk
dirinya menjadi Partai Politik sendiri. Tinggal Muhammadiyah yang bertahan
sebagai Anggota Istimewa Masyumi sampai partai Islam ini membubarkan diri pada
tahun 1959 atas tekanan politik rezim Soekarno.
Pada saat itu sebagian kalangan umat Islam yang ingin mempertahankan
konsensus Panca Cita berkeberatan dengan gagasan mendirikan IPM, termasuk di
sementara elite pimpinan Muhammadiyah yang masih ingin mempertahankan
eksistensi PII. Demikian pula sebagian kalangan Muhammadiyah yang merasa cukup
dengan adanya Pemuda Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dan Nasyiatul ‘Aisyiyah.
Tetapi generasi muda terutama para elite Pemuda Muhammadiyah yang merasa tidak
terwakili oleh organisasi yang telah ada itu sekaligus memiliki kehendak untuk
adanya organisasi khusus milik Muhammadiyah sendiri yang membina pelajar, maka
dorongan yang kuat dan ditempa oleh keadaan yang tidak terelakkan, akhirnya
tetap bertekad bulat dan kemudian lahirlah Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 18
Juli tahun 1961.
Dari pergumulan sejarah yang penuh tarik-menarik itu sesungguhnya IPM
lahir, sehingga gerakan organisasi otonom yang membina komunitas pelajar ini
sesungguhnya sejak kelahirannya memiliki jiwa dan karakter yang bersifat
ideologis, bukan sekadar organisasi pelajar biasa yang bersifat profesional
atau teknis organisatoris. IPM lahir dalam dinamika ideologi yang sarat
perjuangan, termasuk untuk meneguhkan kekuatan dan eksistensi Muhammaiyah agar
memiliki organisasi pelajar milik sendiri dan tidak menggantungkan pada
organisasi lain. Lebih-lebih setelah organisasi Islam yang lain keluar dari
komitmen awal Msyumi dan Panca Cita, yang bergerak dalam ranah dan kepentingan
sendiri. Dengan tetap menyadari dan berkomitmen untuk memelihara ukhuwah dengan
seluruh kekuatan Islam lainnya, Muhammadiyah akhirnya berketetapan hati
mendirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Kondisi bangsa Indonesia awal tahun 1960-an hingga tahun 1965 yang
mengalami cengkeraman politik Demokrasi Terpimpin dan memasuki era Orde Baru
rezim Soekarno yang semakin otoriter dan cenderung diktatorial, semakin
memperkuat pentingnya kehadiran IPM, dan kemudian disusul oleh berdirinya
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tahun 1964. Lebih-lebih setelah Soekarno
yang didukung Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai
Komunis Indonesia (PKI) membentuk aliansi Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan
Komunis) dalam menghadang kekuatan-kekuatan bangsa yang semakin kritis dan
tidak ingin Indonesia terperangkap pada sistem politik yang diktatorial dan
mematikan demokrasi yang telah diraihnya sejak kemerdekaan tahun 1945.
Kehadiran IPM, IMM, semakin memperkuat barisan dalam Muhammadiyah yang telah
diperkuat oleh Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, dan Hizbul Wathan
dalam membina generasi muda umat dan bangsa dari berbagai gerakan ideologi
politik yang tidak sejalan dengan misi Muhammadiyah, kepentingan umat Islam,
dan kepentingan nasional sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan.
Orde Lama jatuh tahun 1965 dan lahir Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Soeharto dengan trauma Orde Lama memulai kebijakan deideologisasi dan depolitisasi dengan melakukan perubahan-perubahan yang sebenarnya terbilang otoriter pula, termasuk penyederhanaan partai politik tahun 1973 menjadi tiga yakni Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia yang dianggap mewakili basis massa utama masyarakat Indonesia. Dengan kebijakan politik yang monolitik semua kekuatan bangsa dikontrol sedemikian rupa, termasuk organisasi kemasyarakatan. Tahun 1985 diundangkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, yang antara lain mengharuskan seluruh organisasi kemasyarakatan mencantumkan asas Pancasila dan tidak boleh berasas ideologi lain, termasuk Islam. Muhammadiyah akhirnya dalam Muktamar tahun 1985 di Surakarta menyesuaikan diri dengan UU tersebut.
Orde Lama jatuh tahun 1965 dan lahir Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Soeharto dengan trauma Orde Lama memulai kebijakan deideologisasi dan depolitisasi dengan melakukan perubahan-perubahan yang sebenarnya terbilang otoriter pula, termasuk penyederhanaan partai politik tahun 1973 menjadi tiga yakni Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia yang dianggap mewakili basis massa utama masyarakat Indonesia. Dengan kebijakan politik yang monolitik semua kekuatan bangsa dikontrol sedemikian rupa, termasuk organisasi kemasyarakatan. Tahun 1985 diundangkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, yang antara lain mengharuskan seluruh organisasi kemasyarakatan mencantumkan asas Pancasila dan tidak boleh berasas ideologi lain, termasuk Islam. Muhammadiyah akhirnya dalam Muktamar tahun 1985 di Surakarta menyesuaikan diri dengan UU tersebut.
Pada saat yang sama pemerintah Orde Baru juga ingin mengontrol kekuatan
mahasiswa dan pelajar. Dalam hal pelajar seluruh sekolah harus bergabung dan
berada dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), sebagai satu-satunya wadah
pelajar atau siswa sekolah. Dengan kata lain IPM dan seluruh organisasi pelajar
yang selama ini ada harus bergabung dalam OSIS, artinya tidak boleh berdiri di
sekolah, termasuk di sekolah Muhammadiyah. Setelah memakan waktu sekitar
sepuluh tahun pergumulan untuk mempertahankan diri, akhirnya tahun 1992 IPM
menyerah dan mengubah diri menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Jika
dilihat konteksnya, apapun perubahan itu merupakan paksaan rezim penguasa yang
otoriter, yang sebenarnya berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena
itu terdapat organisasi lain yang tidak mau mengubah diri, termasuk Pelajar
Islam Indonesia (PII).
Seiring dengan reformasi tahun 1998, kemudian terjadi perubahan kembali.
Segala kekangan politik yang dipaksakan Orde Baru dipulihkan dan lebih dahsyat
lagi terjadi proses demokrasi yang luar biasa dan menjadi serba bebas. Di
tengah perubahan iklim politik yang demokratis itulah kemudian Muhammadiyah
kembali menetapkan asas Pancasila dalam Muktamar tahun 2000 di Jakarta, sebagai
bentuk penyikapan atas kesewenang-wenangan. Demikian pula dengan IRM, melalui
perdebatan dan tarik-menarik yang agak berliku, akhirnya kembali ke eksistensi
semula menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Seperti yang dialami Muhammadiyah,
bahwa hikmah di balik perubahan apapun memang selalu ada, tetapi bukan pikiran
pragmatis seperti itu yang dipakai rujukan. Jangankan menerima kebijakan
politik monolitik, dijajah oleh Belanda ratusan tahun pun jika dipakai logika
hikmah tentu sedikit ada manfaatnya, tetapi mudharatnya jauh lebih besar dan
memang tidak zamannya lagi berada dalam penjajahan ketika seluruh bangsa-bangsa
di dunia memerdekakan diri.
Kadang muncul logika lain, ketika keluar dari jebakan politik monolitik
rezim pemerintah, sebuah organisasi otonom berada dalam kekangan “rezim”
organisasi induknya. Logika ini sebenarnya tidaklah tepat, karena sejak awal
kedudukan organisasi otonom itu memang secara umum memiliki keleluasaan dalam
mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi dalam hal berkaitan dengan organisasi
induknya selalu terdapat ikatan dan tatanan tertentu yang harus ditaati. Jika
ingin leluasa sepenuhnya dan tidak terikat dengan kebijakan organisasi
induknya, terbuka pilihan merdeka untuk menjadi organisasi independen yang
berada di luar Persyarikatan. Perkembangan dan keberadaan IPM sebagaimana
organisasi otonom angkatan muda Muhammadyah memiliki spirit ideologis dengan
gerakan Muhammadiyah, selain ikatan-ikatan organisatoris. Di dalamnya bahkan
terkandung pembagian kerja yang memiliki perbedaan khusus satu sama lain.
Pemuda Muhammadiyah bergerak dalam area kepemudaan dan kemasyarakatan,
Nasyiatul ‘Aisyiyah membina kepemudian dan kemasyarakatan, IMM dalam
kemahasiswaan, dan IPM dalam kepelajaran. Begitu pula organisasi otonom
lainnya, termasuk Organisasi Otonom Khusus ‘Aisyiyah. Dalam konteks gerakan
kekinian, lebih-lebih masa depan, isu-isu gerakan dituntut untuk semakin
bergeser dari persoalan-persoalan organisatoris ke peran-peran
transformasional. Dibolak-balik seperti apapun soal wilayah perbatasan dan pergerakan
secara organisatoris, pada akhirnya akan bermuara pada tatanan struktural yang
tidak akan ada habisnya, dan selalu menyisakan persoalan. Wilayah struktur
memang berwatak kaku, membatasi, dan kadang mengatur. Padahal tidak ada tatanan
organisasi yang canggih sekalipun bebas dari kelemahan.
Kini IPM dan pergerakan angkatan muda Muhammadiyah lainnya berada dalam
tantangan perjuangan yang luar biasa kompleks. Di lingkungan sendiri berhadapan
dengan masalah dan agenda Muhammadiyah yang tidak ringan, ketika gerakan Islam
modernis terbesar ini memasuki abad kedua pasca Muktamar Satu Abad di
Yogyakarta tahun 2010 yang lalu. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang
demikian besar, tentu memiliki prestasi yang besar, sekaligus masalah dan
tantangan yang juga besar. Karena itu seluruh komponen kekuatan Muhammadiyah,
termasuk IPM, dihadapkan pada tanggungjawab yang sama besarnya dalam mengemban
misi gerakan Muhammadiyah menuju abad kedua yang tentu harus mengukir kisah
sukses pembaruan gelombang kedua. IPM dituntut untuk menjadi bagian dari
gerakan pembaruan di dalam Muhammadiyah.
IPM di dalam dunianya sendiri, yakni dunia pelajar, dihadapkan pula pada
masalah dan tantangan yang tidak ringan. Di satu pihak potensi anak-anak
Indonesia sesungguhnya luar biasa, yang tidak akan kalah dari anak-anak bangsa
di belahan dunia yang lainnya, yang memerlukan mobilisasi potensi seoptimal
mungkin. Pelajar Indonesia harus tumbuh-kembang menjadi generasi anak bangsa
yang cerdas, berkarakter mulia, dan berprestasi sebagaimana anak-anak di negara
maju untuk menjadi pilar dari keunggulan bangsa. Di pihak lain dunia pelajar
Indonesia sejalan dengan perubahan sosial yang menyertai masyarakat yang
melahirkannya, tengah dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan
seperti ancaman tawuran, narkoba, dan virus-virus lainnya yang dapat merusak
potensi dan martabat dirinya selaku pewaris peradaban bangsa. Pada posisi
demikian menantang itulah IPM berada dan dituntut perananannya untuk menjadi
kekuatan pencerah.
Sementara dunia pendidikan di negeri ini juga tidak kalah berat dalam
menghadapi persoalan. Pendidikan sebagai strategi kebudayaan di satu pihak
dituntut untuk tetap berada dalam jalur utamanya membangun manusia yang
berakal-budi utama. Tetapi pada saat yang sama dunia pendidikan juga dihadapkan
pada persoalan-persoalan pragmatis yang tidak jarang menggeser orientasi
utamanya, sehingga menjauh dari strategi kebudayaan dan lebih bergerak dalam
komoditi yang serba pragmatis. Berbagai skandal di dunia pendidikan, termasuk
kecurangan dalam ujian nasional, sedikit maupun banyak sebenarnya merupakan
gangguan sekaligus virus yang dapat membelokkan arah dunia pendidikan dari
tujuannya yang utama untuk menjadikan manusia yang manusiawi dan berakal-budi
mulia. Dalam dunia pendidikan yang sarat tantangan itulah IPM berada dan
dituntut untuk menjalankan misinya sebagai gerakan pelajar yang memiliki tujuan
yang senapas dengan tujuan lembaga pendidikan yakni melahirkan genarasi yang
cerdas, berakhlaq mulia, dan berguna bagi lingkungan kehidupan.
Sebagai kekuatan ideologis gerakan Islam reformis, IPM bersama komponen
Muhammadiyah yang lain tidak kalah pentingnya dituntut untuk menjalankan fungsi
dakwah dan tajdid menuju peradaban utama sebagaimana visi Muhammadiyah pasca
Muktamar Satu Abad. Visi Muhammadiyah lima tahun ke depan (2010-2015) yang
harus diwujudkan dalam jangka menengah ialah: (1) Meningkat dan berkembangnya
organisasi dan jaringan untuk menjadi gerakan Islam yang maju, profesional, dan
modern; (2) Meningkat dan berkembangnya sistem gerakan dan amal usaha yang
unggul dan mandiri bagi terciptanya kondisi dan faktor-faktor pendukung
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; dan (3) Meningkat dan
berkembangnya peran strategis Muhammadiyah dalam kehidupan umat, bangsa, dan
dinamika global. Sedangkan Visi ideal yang tak terbatas ialah terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana menjadi proyeksi dari tujuan
IPM. Mewujudkan visi yang mulia itu tentu memerlukan kekuatan kader yang
berkeyakinan kuat, berwawasan pemikiran luas, berkepribadian yang utama, dan
bertindak unggul sehingga membuahkan kemajuan yang serba melampaui.
Dalam perkembangan kehidupan yang lebih luas, IPM sebagaimana
Muhammadiyah dan seluruh komponen gerakannya, berhadapan dengan dunia modern
dan pasca-modern abad ke-21 yang sarat tantangan dan masalah yang serba
kompleks. Hidup dalam percaturan lokal, nasional, dan global yang sarat
perubahan tidaklah mudah karena bukan sekadar menjalani, apalagi terbawa arus,
tetapi tidak kalah pentingnya mewarnai layaknya etos ideologi gerakan
pencerahan. IPM sebagaimana Muhammadiyah yang tengah memasuki abad kedua di
tengah dinamika kehidupan modern dan pasca-modern yang kompleks dan sarat
perubahan itu, tentu dituntut untuk mampu menjadi pengemban misi dakwah dan tajdid
sehingga gerakan Islam ini mampu mewujudkan tatanan peradaban yang utama
sebagaimana yang dicita-citakannya. Dengan misi Islam yang berkemajuan, seluruh
kekuatan Muhammadiyah, termasuk IPM di dalamnya, harus menjadi pelaku gerakan
pencerahan yang strategis itu, sehingga baik IPM maupun komponen Muhammadiyah
lainnya benar-benar melakukan peran transformasi yang bersifat membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan peradaban umat manusia.
Sumber : Buku Manifestasi Gerakan Perlawanan Pelajar (50 tahun IPM
Sumber : Buku Manifestasi Gerakan Perlawanan Pelajar (50 tahun IPM