- Back to Home »
- “Menumbuhkan Kesadaran Kritis, Mendorong Aksi Kreatif, untuk Pelajar Indonesia yang Berkarakter"
by. Azaki Khoirudin
Menumbuhkan Kesadaran Kritis
Menumbuhkan kesadaran kritis? kenapa
ini menjadi tema Muktamar XVIII? Padahal
“kesadaran kritis” sudah lama diangkat pada Muktamar ke-XIII 2002.
Kesadaran kritis ini harus terbangun beriring dengan pembangunan demokrasi
Indonesia. Kesadaran kritis seperti yang ditunjukkan Paulo Freire ( 1970 ),
Kesadaran akan hal ini mengimplikasikan penempatan pelajar yang telah sadar
secara kritis pada realitas yang tidak lagi penuh dengan mitos (demythologized).
Dengan demikian, terbangun kesadaran
penuh atas kesadaran yang kritis untuk mencerna makna-makna politik yang ada.
Artinya demokrasi bukanlah untuk kepentingan siapa yang berkuasa, tapi untuk
siapa yang dipimpin (awam). Jika rakyat/pelajar tidak pernah diberi ruang untuk
mendialogkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada mustahil bagi kita untuk
menyebutnya demokrasi. Gerakan pelajar yang mempunyai kesadaran kritis ini
merupakan investasi demokrasi Indonesia
masa depan.
Kesadaran kritis memiliki keterikatan
moral untuk senantiasa menjaga proses humanisasi (pendidikan) dan menghindarkan
kita terjerembab dalam sauna dehumanisasi, dan
juga tak kalah pentingnya, tanpa pemahaman secara menyeluruh dan kritis
akan membuat kita terperosok menjadikan ' taklid buta' tanpa 'ijtihad' yang
dalam bahasa Freirean disebut sebagai ' magical dan naival consciousness'.
One place where the individual and society are constructed, a social
action which can either empower or domesticate students. In the liberating
classroom suggested by Freire’s ideas, teacher pose problems derived from
student life, social issues, and academic subject, in a mutually created
dialogue. This pedagogy challenges teachers and students to empower themselves
for social change, to advance democracy and equality as they advance their
literacy and knowledge.
Dengan makna pendidikan seperti itu,
pendidikan kritis bagi Freire adalah: “Suatu bentuk pedagogi yang harus diolah
bersama, bukan untuk, the oppressed (sebagai individu maupun anggota
masyarakat secara keseluruhan) dalam perjuangan tanpa henti untuk merebut
kembali kemanusiaan. Pedagogi ini menjadikan penindasan dan sebab-sebabnya
sebagai bahan refleksi bagi the oppressed, dan dari refleksi ini akan
lahir perlunya terlibat dalam perjuangan bagi kebebasannya. Dalam perjuangan
itu pedagogi akan dibuat dan diperbaiki.”
Mereka dapat mengatasi dan menyusun pendidikan kritis jika mereka
mampu memunculkan pengetahuan kritis yang dapat mendorong mereka membebaskan
diri, bukan dengan menundukkan kaum penindas. Dengan kata lain, kaum tertindas
mengemban tugas untuk berjuang mencapai kebebasannya melalui praksis (praxis),
yaitu refleksi (reflection) dan tindakan (action) atas dunia
untuk mengubahnya.
Mendorong
Aksi Kreatif
Mendorong aksi kreatif dapat dimaknai sebagai sebuah manifestasi
terhadap kesadaran kritis tersebut. Perjuangan gerakan IPM ialah proses belajar untuk
membangkitkan kesadaran kritis dan pembebasan terhadap pelajar. Oleh karena itu
orientasi untuk setiap pelajar untuk menghayati visi dan misi mereka, serta
kesadaran kritis peserta sangat diperlukan jika akan meletakkan peserta belajar
sebagai subyek dan pemonitor proses dan metode untuk transformasi sosial denan
strategi kreatif. Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ideologi yang dominan’ yang tengah
berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem
alternatif kearah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil.
Tugas ini
dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan bertindak melakukan aksi kreatif. Visi
kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan terhadap
pelajar yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil. Dengan
kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ (amar’ma’ruf) kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena
sistem dan struktur yang tidak adil. Paham pendidikan kritis ini cocok dengan
paradigma transformatif. Penyelenggaraan proses belajar mengajar dalam
perpektif ini juga menjadi arena kritik ideologi “status quo”. Oleh karena itu, IPM melakukan aksi-aksi kreatif sebagai langkah
untuk melakukan proses perubahan. Dengan aksi-aksi kreatif ini diharapkan IPM
dapat merubah dunia menuju perubahan yang lebih baik.
Pelajar
Indonesia yang Berkarakter
Setelah mereka memiliki kesadaran kritis dan beraksi dengan aksi
yang kreatif maka akan tumbuh pelajar-pelajar Indonesia yang berkarakter yang
siap menjadi problem solver terhadap permasalahan sosial pelajar
Indonesia. Pelajar
Indonesia Berkarakter dalam konteks IPM ialah Relijius (pelajar yang berkahlak
mulia), cerdas (pelajar yang berilmu), dan mandiri (pelajar yang terampil)
serta moderat-reformis (berkepribadian Muhammadiyah). Selain itu juga beideologi Muhammadiyah yang dicirikan dengan: 1). Berfaham agama
Islam menurut Muhammadiyah, 2). Bersistem gerakan Muhammadiyah, yaitu gerakan
Islam, gerakan dakwah, dan gerakan tajdid, 3).
Tuntutan aktual pelajar Muhammadiyah saat ini: 1). Komitmen, yaitu
setia pada perjuangan organisasi Muhammadiyah, 2). Militansi, yaitu gigih dalam
memperjuangkan gerakan, 3). Spiritualitas, yaitu memikiki keshalehan yang
dinamis, 4). Berkepribadian Muhammadiyah, yaitu moderat dan reformis, 5).
Berwawasan kemajuan, yaitu bepaham Islam yang berkemajuan, progresif dan
visioner, 6). Membawa Muhammadiyah pada pusaran dinamika masyarakat, bangsa,
dan kemanusiaan global. Perjuangan gerakan IPM saat ini dihadapkan oleh
peradaban postmodern, harus focus
pada perjuangan pelajar untuk melindungi karakter pelaajar Indonesia. Dengan
corak atau model gerakan yang tidak lagi berorientasi nilai-nilai material,
tetapi nilai-nilai luhur Islam dan kearifan lokal yang bersifat material untuk
membentengi karakter pelajar Indonesia.
[1] Tulisan ini Dibuat untuk
Bedah Tema Materi Muktamar XVIII Palembang 2012, dan disajikan pada komisi A