- Back to Home »
- PELAJAR TANPA MASJID?
Perubahan masayarakat
global dan domestik yang bertumpu new social media telah menggeser dan
memperluas ragam otoritas keagamaan, merubah pola-pola hubungan antara umat dan
pemimpin, mengharuskan pelajar muslim merubah paradigma membaca dan belajar
“bahasa baru” untuk berinteraksi dengan ilmu pengetahuan. Realitas dan bentuk
pelajar saat ini menggambarkan dinamika kepekaan beragama yang tidak selalu
melibatkan symbol-simbol seperti masjid, madrasah, pesantren dan lain-lain.
Pelajar biasanya memperoleh ilmu-ilmu agama dari para guru, ustad, kyai, dan
da’i.
Ruang
keberagamaan semakin luas yang ditandai dengan menaiknya kepekaan dan
kegairahan beragama di kalangan pelajar muslim. Selain itu, semakin banyaknya
sumber-sumber otoritas keagamaan baru di luar sumber-sumber otoritas
tradisional. Dalam keadaan semacam ini, akan sangat terbuka kemungkinan
terjadinya proses dialektik, saling memeriksa, saling mengoreksi, bahkan saling
bertentangan antara produk fatwa otoritas keagamaan satu dengan otoritas
keagamaan lain.
Pelajar Tanpa Masjid: Siapa Mereka?
Mengapa
ada pelajar tanpa masjid, apa sebab mereka tidak merasa menjadi bagian umat?
Jawabnya ialah disebabkan mereka tidak banyak mengunjugi masjid tempat umai
berkumpul. Pelajar tanpa masjid seakan terasing dari masyarakat. Coba
dibayangkan pada waktu SD, SMP dan SMA sekolah-sekolah menyelenggarakan
kegiatan keagamaan sendiri, bahkan ilmu agama pun didapatkan di sekolah. Mereka
sepanjang hari waktunya lebih banyak di sekolah, sedikit sekali di rumah dan
bermasyarakat apalagi ke Masjid.
“Muslim
tanpa masjid”, demikianlah salah satu judul buku Kuntowijoyo (2002), sebuah
idiom sombolik sarat dengan muatan realitas dan bentuk generasi muslim
progresif-berkemajuan di zaman baru saat ini. Kini nampaknya fenomena muslim
tanpa masjid telah semakin terlihat pada gejala-gejala social yang terjadi pada
kehidupan para pelajar. Bagaimana pelajar mencari dan berekspresi dalam
pencarian jatidiri dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Cukup
dengan di sekolah pelajar saat ini menemukan kegiatan keagamaan, seperti:
Pengajian Islam Rutin (PIR), qiraah, majalah, camping, pelatihan-pelatihan,
baik yang diadakan oleh sekolah maupun OSIS atau IPM di sekolah Muhammadiyah.
Sehingga, semakin baik kehidupan keagamaan di sekolah, semakin terasing dari
kegiatan keagamaan di kampong yang berpusat di masjid. Disinilah letak
ironinya. Kadang-kadang pelajar memang mengikuti kagiatan masjid, tetapi
kegiatan masjid yang pasif yang tidak efektif dan tidak membentuk karakter atau
kepribadian.
Peran
masjid sebagai symbol religiusitas dan mendalami ilmu keagamaan telah kalah
dengan kegiatan spiritualisasi sekolah. Sekolah lebih menyenangkan bagi
pelajar, sebab mereka bergaul dengan kelompok seumur (teman sebaya_) yang
membuat mereka berkembang, baik dari segi intelektual, social, maupun
keagamaan. Tetapi, dalam konteks saat ini terjadi pola baru dalam berkomunikasi
dan berinteraksi mencari pengetahuan. Yang tadinya, masjid kalah dengan
sekolah, kini malah sekolah dan masjid telah bergeser pada masyarakat baru,
yaitu masyarakat teknologi komunikasi dan informasi.
Komunitas Pelajar Media Baru
Kini, teknologi komunikasi telah mengantarkan masyarakat ke era
informasi. Perusahaan media, pers dan elektronik, bermunculan dan berkembang
seiring, dan secara bersamaan menggiring, kebutuhan manusia terhadap informasi.
Berbagai informasi digali dan disuguhkan oleh media, baik tentang politik,
ekonomi, budaya, sosial, maupun agama. Media menjadi sarana bagi mereka yang
membutuhkan informasi maupun bagi mereka yang menyalurkan informasi. Agama
acapkali menjadi konten dari media, baik
media cetak maupun elektronik. Sehingga, Peran ulama’ di era industri media
perlu dikemas dengan dakwah media sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan
jaman.
Pernah
Zainuddin MZ (1994) dengan setengah berkelakar menyatakan bahwa dalam
masyarakat elektronik (kini digital, atau informasi) para ulama akan pension.
Tentu saja sebenarnya dia serius dengan pernyataan itu. Kini batas-batas
perbedaan ulama dan non-ulama semakin kabur, ahli ilmu dunia sains dan agama
semakin sama. Jika seseorang ingin membaca mendapatkan ilmu semakin terbuka,
seorang dapat menjadi sufi tanpa harus berguru, ini yang disebut dengan tasawuf
modern.
Kini
pelajar yang ingin mendapatkan pengetahuan agama tidak lagi didapatkan dari
lembaga-lembaga konvensional, seperti pesantren, madrasah, dari perorangan
seperti kyai, ustad, ulama, dan da’i. Namun, saat ini p elajar bias mendapatkan
ilmu keagamaan dari CD, VCD, radio, televisi dan Internet yang semakin spektakuler
didukung dengan perkembanga ilmu pengetahuan teknologi dan informasi.
Buku-buku, majalah, surat kabar, brosur saat ini mudah sekali didapatkan. Guru-guru
agama di sekolah lebih merupakan fungsi anonym tanpa ikatan kongkrit.
Kutowijoyo menyebutnya seperti seorang bayi yang mendapat susu dari botol dan
bukan ASI.
Pada zaman modern keseimbangan hubungan otoritas agama dan politiik
telah bergeser secara radikal, dimana hubungan Negara vis a vis ‘ulama
berseberangan jauh dalam cara-cara yang tak terbayangkan dua abad yang lalu,
termasuk di Indonesia. Ini menunjukkan kepada ulama harus mengembangkan
keterampilan baru dan melek teknologi. Ulama harus memiliki keterampilan baru
melihat industry media menciptakan lingkungan sosial baru yang memfasilitasi
interaksi spiritual menetapkan otoritas baru, dan melegitimasi tindakan dalam
komunitas Muslim. Sehingga, peradaban saat ini ialah siapa yang paling banyak
melakukan tradisi membaca-lah yang akan menduduki posisi ulama.