- Back to Home »
- MEMBACA TANPA MITOS!
“Bacalah! Selamat
Tinggal Mitos, Selamat Datang Ilmu”. Umat Islam harus bangkit dari
lamunan dan bersegera untuk memandang realitas untuk tampil sebagai agama
pemberi solusi problematika kemanusiaan yang kongkrit dan berhenti melakukan
abtraksi-abstraksi yang kabur. Hanya dengan kesanggupan meninggalkan tradisi
berpikir mitos menuju tradisi membaca untuk mendapatkan cara berpikir ilmu. Kuntowijoyo
mengajak kita untuk melihat tahapan perkembangan perubahan masyarakat. Secara
sederhana ia membagi dalam tiga tahapan berdasarkan sistem pengetahuan. Ketiga
tahapan itu adalah: (1) tahapan mitos, (2) tahapan ideologi, dan (3) tahapan
ilmu.
Membaca, Terkungkung Mitos
Mitos dalam hemat Kuntowijoyo
adalah suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman
kita sehari-hari terus menerus disusupi kekuatan-kekuatan keramat. Sistem
berpikir mitos ditandai dengan cara berpikir pralogis (mistis, magiz).
Menurutnya mitos tidak hanya terjadi pada masa lalu, tetapi masih tergelar
hingga masa kini dalam bentuk mitos baru dan kontemporer. Mitos lama biasanya
terkait dengan legitimasi kekuasaan. Ini tampak pada slogan-slogan, antara lain:
“raja adalah turunan para nabi”, “raja adalah titisan dewa”, dan sebagainya.
Sedangkan mitos baru umumnya terkait dengan masalah politik. Misalnya, “gemah
ripah loh jinawi kerto raharjo”, “Indonesia dijajah 350 tahun”, “6 ribu sang
merah putih” dan sebagainya. Dari sini Kuntowijoyo berkesimpulan bahwa mitos
ternyata tidak hanya khas petani, tetapi juga milik kebudayaan lain yang
ditandai dengan irrasionalitas. Mitos ternyata masih hadir dalam praktik
politik abad 21.
Membaca, Terpenjara Ideologi.
Tahapan ini ditandai dengan
munculnya organisasi-organisasi modern. Ada perbedaan antara mitos dan ideology. Jika dalam mitos orang
hanya bergerak nunut, apa kata sang
pemimpin dan biasaya dengan rasangka. Sedangkan, ideologi jelas pertimbangannya
yaitu pendapat, nilai, dan pengetahuan. Dalam mitos, orang hanya menyesuaikan
diri dengan kelompok, sedangkan dalam ideology orang sudah bergerak pada
kalkulasi untung dan rugi. Dalam mitos orang bergerak tanpa tahu maksud dan
tujuan dan hanya asal mencari tatanan yang lebih baik, sedangkan dalam ideologi
tujuannya adalah membangun kembali masyarakat seperti yang diidamkan. Fenomena
deideologisasi merupakan jembatan agar masyarakat Islam bersiap untuk meretas
jalan ke era baru, yakni tahapan beragama dengan ilmu. Dan bukan lagi
terkungkung dengan sentiment ideologi. Peran gerakan membaca sangat dibutuhkan
dalam upaya menuju masyarakat ilmu.
Membaca, Terselamatkan Ilmu
Ada perbedaan antara ideology
dengan ilmu. Ideologi selalu melihat fakta dari titik yang subyektif, sedangkan
ilmu melihat fakta dari titik obyektif. Selain subyektif, ideology ternyata
juga sangat kaku mengadapai kenyataan. Contohnya, marhaenisme betul-betul
kesulitan mengadapi realitas baru berupa tumbuhnya kelas menengah dan kelas
atas. Ideology Islam kesulitan dengan kemajemukan bangsa dan bahkan kemajemukan
umat Islam sendiri. Oleh karena itu kita harus bergeser dari cara berpikir
ideologis menuju cara berpikir ilmu adalah kebutuhan yang tak bias ditawar.
Bukankah Allah berfirman, Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya. (QS Al-Isra: 36).
Ilmu sangat penting, dengan
kekuatan ilmu orang akan mampu menyaring dan memisahkan secara cerdas dan
kritis antara fakta dan legenda atau mitos. Selain ilmu, Ahmad Syafi’I Ma’arif
(2010:9) menambahkan pentingnya logika. Logika akan membimbing orang untuk
melihat masa lampau secara jernih dan bertanggung jawab. Sebagaimana firman-Nya
“yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar : 18). Perubahan zaman harus mengubah cara berpikir
kita, tetapi nilai-nilai dasar yang autentik wajib dipertahankan. Dalam
perspektif ini al-Qur’an wajib dipedomani dan diartikulasikan sesuai dengan kebutuhan
zaman.
Syafi’I
Ma’arif dalam (Republika, 4/12/12) mengutip Fazlurahman mengatakan bahwa,
“Sebuah Islam yang tak mampu memberikan jawaban kepada persoalan-persoalan
kemanusiaan, tidak akan punya masa depan”. Dalam konteks ini Islam pun harus
dibaca, dipahami dalam kacamata ilmu. Kuntowijoyo menawarkan konsep “Islam
sebagai Ilmu”, karena jika ilmu yang diipakai dalam memahami Islam, Islam akan
tampil sebagai agama alternatif yang mampu menawarkan solusi atas
problem-problem kemanusiaan. Islam akan tampil sebagai agama berkemajuan yang
mampu berbicara di sepanjang sejarah pada setiap zaman. Bukan sebaliknya karena
terbelenggu oleh mitos dan ideologi.