By. Slamet Nur Achmad Effendy

Jihad. Kata tersebut menjadi trend sejak meletusnya gerakan 11 september 2001 yang diawali dengan hancurnya gedung pertahanan Amerika Serikat (Pentagon). Namun, ada satu hal yang lebih dialektis bahwa ‘jihad’ lebih popular disbanding dari ‘ijtihad’ ataupun ‘mujahadah’. Jihad yang bermakna perjuangan dan pengorbanan yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan keridhaan Allah. Perspektif jihad inilah yang sudah salah kaprah, sehingga umat terjerembab pada fanatisme perjuangan kosong.


Namun, kita tidak akan bebicara terlalu jauh atau membedah dari sebuah jihad yang diulas trend dunia terakhir. Karena hakikatnya jihad dengan ijtihad ataupun mujahadah tidaklah terlalu jauh maknya yang dimaksud. Rasulullah SAW bersabda, ’goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.' Bahkan beberapa riwayat mengatakan ijtihad lebih utama dari jihad.

Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ‘Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.’

Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.

Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik ; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika ; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama. (Nasarudin Umar, 2010)

Menuju Insan Kamil
Mujahadah yang merupakan perjuangan dengan kalbu haruslah dibarengi dengan kapasitas diri yang mampu membawa pada puncak sebagai insan. Akal atau pemikiran sebagai subjek utama organ tubuh yang melakukan analitis dan perjuangan untuk meningkatkan diri dalam keilmuan. Kader persyarikatan yang terlahir dari didikan keras Muhammadiyah harus hadir, penerobos dan pencerah bukan hanya sebagai pelangsung atau bahkan pendobrak tatanan kehidupan umat yang lebih baik.

Kolaborasi sistem pendidikan modern yang digagas oleh Ahmad Dahlan sebagai hasil dari belajarnya di Timur Tengah maupun persinggungan kaum terpelajar pribumi tempo dulu adalah wujud dari terobosan sejarah, karena nyaris kaum terpelajar pribumi adalah hasil didikan pendidikan barat. Yudi Latif dalam bukunya Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 mengatakan, ‘Intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia.’

Sejarah kelahiran Muhammadiyah yang heroik merupakan refleksi kesadaran kritis Ahmad Dahlan dengan membangun pola karakteristik pendidikan kaum pribumi jauh lebih progressif. Mu’allimin maupun mu’allimat merupakan persinggungan besar dalam kelanjutan Muhammadiyah berikutnya dengan melakukan kaderisasi secara khusus-sistematis diinternal pesantren.

Ahmad Dahlan menyadari bahwa kedepan tantangan zaman kompleks, maka dibutuhkan sumber daya pilihan untuk melanjutkan gerakan purifikasi islam termasuk sosial, kultural dan struktural. Benih-benih yang dididik dan dikader di sekolah khusus seperti Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah merupakan lintas distribusi sektoral umat yang multikultural maupun struktural. Inilah bagian yang dimaksud dengan mujahadahnya Ahmad Dahlan dalam mewujudkan insan yang kamil, rahmat bagi semesta.

Integrasi Nilai Kekaderan
Pendidikan kader Muhammadiyah yang dilakukan oleh Mu’allimin maupun Mu’allimat adalah integrasi nilai, ruhiyah persyarikatan yang termaktub dalam berbagai hal. Akan saya lampirkan dari hasil penelitian UIN Suka Yogya menunjukkan :

Pertama, Pendidikan kader Muhammadiyah, Darul Arqam dan Baitul Arqam, yang dilaksanakan di Mu’allimin dan Mu’allimat merupakan proses refleksi, internalisasi, dan integrasi nilai-nilai ideologis dan nilai-nilai kekaderan dalam diri tiap kader. Nilai ideologis merupakan inti yang melandasi setiap gerak-gerik para kader, sedangkan nilai kekaderan adalah kemampuan para kader dalam menjadi pemimpin (kepemimpinan). Sehingga pendidikan kader tersebut dilaksanakan memang untuk mempersiapkan para kader dalam melanjutkan roda organisasi.

Kedua, hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tersebut, menunjukkan nilai yang positif. Darul Arqam sebagai finishing touch atau pembekalan terakhir mampu meregulasikan nilai-nilai ideologi Muhammadiyah dalam diri para peserta. Sedangkan Baitul Arqam sebagai jenjang awal perkaderan mampu menanamkan rasa kepercayaan diri para peserta sebagai kader persyarikatan. Kalau di Ikatan Pelajar Muhammadiyah dengan melalui Taruna Melati I sampai Taruna Melati Utama.

Sumbangsih Pengabdian Kader
Dalam semua jenjang organisasi manapun selalu terkandung tiga komponen penting yakni pemimpin, kader dan anggota. Karena dinamika organisasi tidak bisa lepas dari anggota dan kader selain terkait erat dengan kepemimpinan dan sistem yang dimilikinya. Integrasi yang baik anggota kader maupun kepemimpin merupakan legitimasi kuat bagi konsolidasi organisasi dalam berbagai level. (Tanfidz Muktamar 1 Abad Muhammadiyah, 2010).

Kader Muhammadiyah yang terlahir dengan berbagai kultur kepemimpinan dan pola yang dibangun haruslah bersandar pada sendi ideologi Muhammadiyah. Seperti yang termaktub dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah meliputi enam hal ; (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Kesadaran ideologis yang termaktub dalam AD Muhammadiyah merupkan kolektifitas kerja persyarikatan yang harus diemban setiap kader yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Spirit, nilai dan dasar ideology poerjuangan Muhammadiyah tidak akan hilang atau luntur ketika interaksi social dimasyarakat, namun justeru mewarnai dengan rapi dalam menginternalisasikan nilai-nilai Muhammadiyah. Wallahu a’lam bishawab.


Jakarta, 4 Mei 2010.

- Designed by Azaki Khoirudin -