- Back to Home »
- Praksisme Kritis IRM
Apakah
yang Anda rasakan di masa transisi Indonesia saat ini ?...Tidak jelas !.....
Hampir semua kalangan..apalagi rakyat biasa…. merasakan dan menilai bahwa era
reformasi ini memberikan tanda tanya akan masa depan.
Bagaimana tidak , situasi
politik, ekonomi dan budaya di negara kita ini hampir semuanya tak pasti. Tak
pasti kapan mahasiswa yang sarjana keluar dari status
penganggur terdidik, penganggur bisa dapat kerja, harga BBM,listrik,
air bisa stabil, konglomerat hitam bisa
ditangkap, biaya sekolah yang terjangkau, budaya lokal yang mendapat ruang yang
lebih luas untuk berkembang dan lain-lain. Masa transisi ini membawa masyarakat
kita seolah mengalami disorientasi masa depan. Setiap keinginan
seolah-olah mengalami penurunan misi
dari ‘mengubah dunia’ (changing the world) menjadi sekedar ‘mengubah
kata-kata’ ( changing the word). Karena itulah O’Donnel dan Schmitter
(1986) menamai masa ini sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah
menuju kemana”.
Budaya
“nunggu dari pusat “ agaknya masih menyelimuti sebagian besar masyarakat kita
yang mengharapkan adanya perubahan berangkat dari “atas” dan bukan dimulai dan
dimandirikan oleh masyarakat sendiri. Kesadaran naïf masyarakat yang menerima
situasi ini sebagai sesuatu yang given merupakan produk dari kekuasaan
yang anti rakyat dan anti demokrasi pada masa yang lalu.
Mencermati
situasi di atas, “kesadaran kritis” kemudian muncul menjadi ikon gerakan IRM
dengan asumsi bahwa masyarakat (khususnya remaja Indonesia ) harus
dibangunkan dari ketakberdayaan,
ketundukan atas kekuasaan negara yang dominan dengan bersama-sama mengepalkan
tinju optimisme seraya menegaskan bahwa perubahan tidak akan lahir dari
penguasa yang korup dan mengabaikan dimensi pendidikan, ekonomi dan budaya
bangsa, karenanya, dari warga atau masyarakatlah perubahan itu akan lahir
dengan melakukan kontrol, balancing bahkan oposisi terhadap penguasa
demi terwujudnya kesejahteraan, keadilan dan kesakinahan bangsa secara
merata.
Lingkar
Fikir-Refleksi-Aksi
Pertanyaannya
kemudian, bagaimanakah mekanisme kesadaran kritis ini bekerja ?
Untuk
melakukan investasi sosial, politik dan kebudayaan maka agenda awal IRM adalah mentransformasikan kehidupan keilmuan dalam dinamika
kehidupan remaja. Artinya, sebuah gerakan
harus dimulai dari kematangan-kematangan konsepsional untuk menjadi modal
dalam melakukan gerakan sosial,politik
dan kultural. Tanpa berlandaskan pada kematangan konsepsional , maka gerakan
sosial, politik maupun kultural akan kehilangan arah. Sebaliknya kematangan
konsepsional tanpa ditransformasikan kedalam berbagai bentuk gerakan
sosial,politik dan kultural akan kehilangan maknanya.
Kematangan
konsepsional sebagai hasil pergulatan intensif dengan ide-ide besar
memungkinkan IRM membaca realitas secara jernih dan utuh . Realitas tidak boleh
ditangkap secara apa adanya.Karena akan membuat kita tidak bisa menangkap makna
intrinsik dalam realitas tersebut ( beyond the reality )
Realitas
harus dibongkar dan ditafsirkan kembali melalui perspektif ide-ide besar yang
digeluti, misalnya perspektif open
society-nya karl popper, Communicative
society-nya Habermas, al-Istighrab-nya
Hassan Hanafi, dekonstruksi syariah-nya Abdullah Ahmad al-Naim maupun cultrural
studies yang marak lagi dewasa ini. Pembongkaran realitas tentu
mensyaratkan perangkat metodologi yang memadai dan karena itu menjadi kewajiban
IRM untuk membekali warga ikatan dengan perangkat metodologi dan analisis
sosial yang tepat
Akan
tetapi hal di atas bukan berarti IRM hanya bergulat dalam dunia pemikiran
karena itu akan membuatnya menjadi "tukang
onani intelektual ". Ia juga tidak boleh hanya bicara karena akan
menjebaknya kedalam verbalisme. IRM pun juga tidak boleh hanya bertindak dan
aksi-aksi saja karena itu akan menghantarnya ke jurang aktivisme. IRM harus
mensinergikan kekuatan berfikir, berbicara, dan bertindak sekaligus. Dalam
literatur ilmu sosial hal ini sering disebut sebagai praksis, suatu lingkar
fikir-refleksi-aksi yang merupakan bentuk kesadaran kritis dalam melihat
relaitas sosial yang dihadapi dan disertai dengan kehendak melakukan perubahan
atas realitas sosial itu sendiri.
Citra
Diri dan Kualifikasi Kader IRM
Bila
praksisme kritis IRM tersebut dihubungkan dengan perkaderan, maka akan
melahirkan citra diri kader yaitu “ banyak berfikir, banyak bicara dan banyak
bekerja ". Mungkin pencitraan ini akan berbeda dengan semboyan yang
sering dipakai pendahulu maupun aktivis Muhammadiyah selama ini dengan
jargonnya “ Sedikit bicara banyak bekerja”. IRM melihat bahwa era keterbukaan,
kemajemukan serta arus informasi dan kebudayaan yang menderas saat ini dalam
masyarakat mengharuskan IRM mengandalkan kerja yang lahir dari refleksi yang
mendalam dan futuring perspective begitupun “bah pergumulan pemikiran”
yang terjadi harus dihadapi dengan
dialog ( control, counter dan sharing wacana ) sekaligus sebagai
pijakan awal pendidikan bagi masyarakat agar melek, tidak berpikir pendek
sebagaimana pesan-pesan Allah Swt. yang banyak dijumpai dalam al-Qur’an ( afalaa
tatafakkarun, afalaa tatadabbarun, fa’tabiru ya ulil albab ! ).” Kebudayaan
bisu “ tidaklah akan membuat masyarakat menjadi terdidik dan tahu untuk
kemudian paham akan apa yang sedang terjadi. Wacana dan publikasi terhadap apa
yang dilakukan IRM bukan pula harus diartikan dengan riya’ tapi justeru harus
dipandang sebagai syiar dakwah dan persemaian “virus” nilai-nilai kebaikan (
bukankah kemungkaran juga mengepung kita di semua lini dengan publikasi serta
penampakan yang besar dan gencar pula ? )
Pada
level operasional kader IRM juga bisa
didorong agar memiliki kualifikasi: unggul, konsisten dan peduli.
Aktivis di IRM diharapkan memunculkan kader yang memiliki keunggulan komparatif
(akhlak dan ilmu ), apalagi sebagai organisasi yang berbasis pelajar dan remaja
diharapkan mampu menjadikan steakholdernya sebagai insan remaja yang
pandai,cakap, terampil sekaligus
berakhlak mulia. Disamping itu dalam pergaulan sosialnya juga konsisten, dalam
pengertian mampu memegang dan melaksanakan amanah serta jujur. Tetapi kedua
kualifikasi di atas tidaklah membuat kader IRM eksklusif dan individualistik
tapi justru malah membuatnya social care yang tinggi terhadap sesama.
Dengan
keunggulan komparatif menjadikan kader IRM siap pakai atau dibutuhkan kapan
dan dimana saja. Begitupun sikap konsisten dalam wujud satunya kata dan
perbuatan menjadikannya dapat dipercaya
oleh siapapun. Dan kepekaan yang tinggi terhadap situasi sosial masyarakat
sekitarnya menjadikan kader IRM dicintai siapa saja.
Strategi
Gerakan dan Implikasi Strategis
Strategi
gerakan kritis IRM merambah dan ditransformasikan kedalam empat wilayah
gerakan. Pertama, strategi gerakan keilmuan. Gerakan keilmuan ini
mendapat prioritas utama di IRM mengingat basis massa IRM sendiri terdiri
komunitas pelajar dan remaja. Dengan demikian dinamika yang terjadi dikalangan
IRM semestinyalah tak lepas dari pergumulan pemikiran dan pengetahuan.
Diskursus ke-Islaman belumlah dianggap telah selesai.. tapi akan senantiasa
berdialektika dengan zaman sesuai dengan semangat al-Qur’an itu sendiri yang
visioner. Begitupun pemaknaan terhadap al-Qur’an tetap selalu memperhatikan
teks, konteks, dan kontekstualisasinya. Cara berfikir kader IRM sekarang ini
lebih bersifat substansial-transformatif, ketimbang simbolik dan formal. Kedua,
strategi gerakan sosial, keterlibatan IRM dalam setiap problematika masyarakat,khususnya
remaja, melalui gerakan sosial berdimensi liberasi dan transformasi, berarti
meneguhkan eksistensi IRM bagi perjuangan humanisasi masyarakat. Dalam konteks
ini massifikasi advokasi yang selama ini dilakukan IRM termasuk dalam great
scenario social IRM. Adalah tidak
mungkin bagi IRM hanya berkutat di bangku sekolah dan dibalik buku saja dalam
upaya menegakkan dakwah amar makruf nahi mungkar tanpa terjun langsung
mendampingi dan melihat realitas masyarakatnya secara langsung. Ruh dan ghirah Islam yang dimiliki
kader IRM saat ini sudah beranjak dari sekadar
zikir dalam shalat menuju zikir dalam semua lini kehidupan. Dalam
pengertian mentauhidkan ( tidak melepaskan ‘nafas Allah’ ) dalam prilaku
keseharian kita (secara social, budaya, ekonomi, politik, dll ). Maka kampanye
anti kekerasan, keadilan jender ,advokasi pendidikan dan sebagainya merupakan
upaya peran aktif IRM dalam mengharmonikan kehidupan sosial masyarakat dengan
prinsip keadilan, keterbukaan dan kesejatian. Ketiga, strategi kebudayaan.
IRM mendeklarasikan dirinya sebagai peretas " kebudayaan baru " masyarakat, untuk menyingkirkan budaya
monolitik produk orde baru yang dipaksakan agar mengakar dalam pola sikap dan
hidup masyarkat. Pada saat yang sama IRM membongkar kesadaran naïf masyarakat
yang tercermin dalam pola berfikir, bersikap dan bertindak mereka yang
monolistik, pasif, penuh was-was dan anti (alergi) perubahan. Oleh karena itu,
gerakan kebudayaan IRM terkonsentrasikan pada upaya pembudayaan diri dan
masyarakat. IRM mencoba mengangkat tema-tema "penaklukan kultural " (
cultural imposition ) oleh rezim penguasa otoriter dan kekuatan global
atas kebebasan dan hak politik masyarakat melalui kekuatan struktur dan
birokrasi serta kekuatan modal yang mereka miliki. ( dalam level yang lebih
besar semestinya IRM dan semua elemen masyarakat melakukan perlawanan terhadap
globalisasi yang kian menghegemoni kebudayaan masyarakat kita dengan
pragmatisme, hedonisme dan materialismenya serta privatisasi lahan kehidupan masyarakat yang semestiya dinikmati secara
gratis ) ….. Keempat, strategi gerakan politik. IRM terlibat
secara intens dalam usaha mewujudkan praktik dan budaya politik yang beradab,
moralis, demokratis dengan keterlibatan tinggi dari seluruh rakyat serta
menyediakan dirinya dalam upaya pendidikan politik bagi rakyat khususnya
remaja.
Wujud dari 'gerpol' IRM tampak jelas
dalam berbagai gerakan jalanannya, baik melalui aksi massa, advokasi maupun
bentuk-bentuk civil disobedience lainnya. Tujuan yang terpenting dari
gerpol ini adalah memampukan IRM
mempengaruhi policy maker, agar selalu berpihak pada rakyat/pelajar.
Oleh karena itu, efektifitas gerakan politik IRM tidak diukur dari sejauhmana
keuntungan politis yang IRM dapatkan, melainkan apakah gerakan itu mampu
mendorong terciptanya sebuah sistem politik dan pemerintahan demokartis yang
dicirikan dengan adanya supremacy of law, menjunjung tinggi nilai-nilai
universal, civilian supremacy, dan konstitusionalisme.
Implikasi strategis dari titik berangkat tersebut di
atas adalah bahwa IRM harus mentransformasikan kematangan
konsepsional-kritisnya kedalam empat wilayah gerakan. Pertama, gerakan
keilmuan dimana IRM memelopori atau setidaknya mengusung pemikiran-pemikiran
yang memungkinkan masyarakat terberdayakan, membangun relasi Islam dan
kehidupan sosial yang lebih dinamis serta kemampuan menterjemahkan visi-visi
keilmuan Islam yang lebih transformatif. Kedua, gerakan sosial dimana
IRM memanifestasikan diriinya sebagai komunitas kritis yang merupakan bagian
integral dari masyarakat, dan karenanya harus terlibat dalam problem-problem
dasar yang dihadapi masyarakat ( intelektual organik ).IRM harus
menjadikan komunitas-komunitas rakyat remaja sebagai tempat bekerja dan belajar
sekaligus. Ini penting agar IRM tidak menjadi kelompok ekslusif yang asing dari konteks sosio kultural
masyarakat,meminjam bahasa Paulo Freire, IRM bukan saja harus ada dalam
masyarakat remaja, tetapi lebih dari itu harus ada bersama dengan masyarakat
remaja. Ketiga, gerakan kultural
dimana IRM harus tampil sebagai buldozer yang meretas " kebudayaan
bisu" masyarakat, yang nota bene adalah produk kekuasaan orde baru yang
monolitik. Dengan kata lain gerakan kultural IRM terarah pada upaya pembudayaan
diri remaja dan masyarakat menjadi manusia yang otonom, bebas, kreatif dan
dapat mengaktualisasikan diri sebagaimana mestinya. Keempat, gerakan
politik dimana IRM mampu mengolah gerakan cultural dan sosialnya untuk bermain
pada level politik strategis, dan bukan politik praktis. Politik
strategis bermakna kecerdasan dan kecakapan mencipta serta "
memainkan" momentum sejarah secara tepat.
Ikhtitam
Banyak
kekhawatiran jargon “ kesadaran kritis “IRM ini hanya akan menjadi sebuah mitos
yang selalu dibanggakan tanpa melihat realitas akar rumput IRM yang (katanya)
menganggap tema besar IRM pasca Muktamar XIII ini terlalu mewah bahkan kadangkala absurd.
Setidaknya saya hanya menegaskan dua hal terhadap pernyataan tersebut. Pertama,
iklim orde baru yang lalu telah membuat kebebasan berpendapat masyarakat
terbelenggu bahkan terpenjara. Apapun yang muncul sebagai pemaknaan terhadap
realitas yang berbeda dengan penguasa pasti akan dibredel, disingkirkan dan
dianggap ekstrim kiri serta berbagai kesan negatif lainnya. Begitupun dalam dunia pendidikan (kala itu,…
bahkan mungkin sekarang masih.. ) pelajar hanya diposisikan untuk patuh dan
tunduk pada pendapat guru. Duduk, mencatat dan mendengarkan guru. Ada yang
membantah dianggap kurang ajar. Tapi seiring dengan era reformasi, kran
keterbukaan dibuka luas. Orang bisa bebas berpendapat, berorganisasi dan
beraktivitas. Dalam posisi inipulalah tema “kesadaran kritis” yang dipilih IRM
merupakan respon dari kebangkitan civil society yang menyemaikan
nilai-nilai demokrasi,keterbukaan dan keseimbangan ( keadilan ). Semua pihak
diposisikan sebagai subyek bukan bemper. Begitupun remaja, tidak boleh
hanya diposisikan sebagai objek. Masa depan mereka adalah visi mereka sendiri
tanpa harus dikungkung oleh keterbatasan ruang dan waktu. Segala kebijakan yang
merugikan remaja ( hak pendidikan yang dirampas dengan biaya mahal, misalnya )
harus dilawan !. Maka bila remaja masih disetting sebagai kaum yang diam, nrimo
ing pandum, tak memiliki hak protes maka itu sama saja kita menganggap
mereka sebagai ‘manusia yang mati’ karena tak memiliki otonomi. Karena itupula
remaja yang bisu dan membiarkan haknya sebagai manusia dirampas (
pendidikan,politik,ekonomi,budaya ) harus dibangunkan melalui advokasi. (hingga
muncullah sebuah identitas bahwa bukan remaja Muhammadiyah atau remaja Islam
atau remaja Indonesia bila tidak kritis ! ). Kedua, Kesadaran kritis yang menjadi jargon IRM merupakan
sebuah paradigma yang terbuka. Artinya, dimungkinkan untuk ditinjau ulang,
dikritisi bahkan diganti bila tak relevan dengan semangat zaman yang senantiasa
berubah. Karena itu “kesadaran kritis “ tidaklah akan dijadikan berhala
idealisme tanpa jejakan di bumi realitas, sebab IRM tidak akan pernah
bersahabat dengan status quo yang mengabaikan perubahan yang diperlukan
manusia untuk meningkatkan, melengkapi dan memperindah harkat hidup manusia.
Tetapi selama suara pelajar dan remaja masih bisu dan dibisukan, terabai dan
diabaikan begitupun hak mereka untuk mendapatkan hak politik, pendidikan dan
kesejahteraan ekonomi yang layak belum diperhatikan, maka kampanye dan
massifikikasi kesadaran kritis akan tetap senantiasa digelegarkan agar semua
mata, telinga, hati dan fikiran penguasa, orang tua, guru, dan semua elemen
bangsa terhentak dan menggandeng pelajar dan remaja dalam proyek perubahan
kehidupan bangsa yang lebih demokratis dan bermartabat. Wallahu a’lam
bissawaab.