- Back to Home »
- KRITISISME DALAM ISLAM BERKEMAJUAN
Awal kehadiran Muhammadiyah di
Nusantara, memang digerakkan oleh sebuah tujuan besar yaitu menghadirkan “Masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya”, tetapi keinginan kuat untuk mewujudkan tujuan
tersebut diawali dengan “gugatan”. Muhammadiyah menggugat realitas keagamaan
yang mandul pada masanya, menggugat realitas kebudayaan yang impoten dan
mengugat realitas sosial yang timpang. Saat Muhammadiyah menawarkan narasinya
sendiri mengenai sejarah kemanusiaan di satu sisi dia melakukan gugatan
terhadap narasi-narasi lain di sekitarnya.
Di sinilah titik persimpangan mengenai karakter gerakan Muhammadiyah, apakah Muhammadiyah merupakan gerakan puritan dogmatik ataukan gerakan yang mendorong fresh ijtihadi di tengah-tengah umat.
Di sinilah titik persimpangan mengenai karakter gerakan Muhammadiyah, apakah Muhammadiyah merupakan gerakan puritan dogmatik ataukan gerakan yang mendorong fresh ijtihadi di tengah-tengah umat.
Tapi kalau
kita membaca beberapa catatan sejarah mengenai manuver-manuver yang dilakukan Kiai
H. Ahmad Dahlan beserta para muridnya, kita bisa melihat citra yang santun,
bahkan gugatan yang dilakukan terhadap praktik keagamaan pada saat itu,
bukanlah tanpa disertai dengan dialog yang mencerdaskan. Gugatan yang
mendahulukan dialog mencerdaskan inilah yang menurut hemat penulis merupakan
karakter kritisisme dalam diri Muhammadiyah. Tetapi hingga saat ini belum ada
rumusan atau gagasan yang mencoba mengulas bagaimana wajah kritisisme dalam
diri Muhammadiyah, apa prinsip-prinsip yang bisa menjadi penandanya
(signifier). Maka dari itu tulisan ini bertujuan untuk mencoba merumuskan
prinsip-prinsip kritisisme dalam Muhammadiyah, terkhusus dalam Ideologi
Muhammadiyah yaitu Islam Berkemajuan.
Dalam
tulisan sebelumnya yang berjudul “Ideologi Muhammadiyah: Islam Berkemajuan
sebagai Ideologi terbuka”, penulis mengulas tentang karakter
“keterbukaan” Ideologi Muhammadiyah yang ditandai dengan penghormatan terhadap
dinamisasi kemanusiaan dan kamajemukan. Tetapi karakter Ideologi Muhammadiyah
sebagai Ideologi terbuka akan terasa kurang tajam jika kita tidak mengikut
sertakan hasrat kritis sebagai salah satu penandanya. Hasrat kritis yang sudah
nampak sejak awal kehadiran Muhammadiyah, sebab sikap kritis di awali dengan
gugatan dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan.
Tetapi
untuk mengulas karakter ataupun prinsip kritisisme dalam Ideologi Muhammadiyah,
penulis mencoba meminjam buah pikiran dari beberapa orang pemikir , yang
pertama adalah Nashr Hamid Abu Zayd yang merujuk pada bukunya yang berjudul Naqd Al-Khitab Ad-Dini yang kedua adalah
s As-Sayyid Muhammad Assyahid dalam tulisannya yang berjudul At-Turats bain at-Taqlid wa at-Tajdid,
ketiga Hassan Hanafi dalam karyanya at-Turats
wa at-Tajdid dan yang keempat seorang teoritisi sosial Ben Agger yang
merujuk pada bukunya yang berjudul Critical
Social Theories: An Introduction. Walaupun begitu tradisi kritis yang
akademis saat ini berasal dan berkembang di tanah eropa yang secara keseluruhan
disebut dengan Cultural and Critical Theories, tetapi peminjaman dan proses
dialog dengan the others dalam hal ini “ barat” jika kita melabeli Islam
sebagai “timur”-walaupun kategorisasi diametral antara “Barat” dan “timur”
menurut Edward Said adalah sesuatu yang politis- merupakan hal yang lumrah
dalam tubuh gerakan-gerakan Islam Progresif yang salah satunya Muhammadiyah.
Sebagaimana yang dilansir oleh Prof. Amin Abdullah dengan mengutip pendapat
Abdullah Saeed bahwa salah satu karakter pemikiran Muslim progressif-ijtihadi adalah upaya untuk mengkombinasikan kesarjanaan
Islam Tradsional dengan pemikiran dan pendidikan barat.
Muhammadiyah
dalam progresifitasnya sebagai aktor sosial, berdialektika dengan dua hal
pokok. Pertama, Muhammadiyah
berdialektika dengan al-Turats atau
teks-teks keagamaan yang menjadi inspirasi dan legitimasi transendental bagi
Muhammadiyah dalam melakukan aktivitas. Kedua,
Muhammadiyah berdialektika dengan realitas sosial yang merupakan medan (field) dimana Muhammadiyah menjangkarkan
eksistensinya dan berusaha mengaktualisasikan, mengekspresikan, mendialogkan
serta mengusahakan tujuan-tujuannya. Ini barangkali paralel dengan konsep dalam
Ushul Fiqh, yaitu dialektika antara al-tsawabit
(hal-hal yang dianggap “tidak berubah”) dan al-mutaghayyirat
(hal-hal yang dianggap “berubah-rubah), hal ini juga parallel dengan konsep
Aristoteles mengenai konsep helyomorphicnya
yaitu perjumpaan antara form dan matter atau dalam konsep antropologi
dialektika antara General Pattern dan Particular Pattern, atau lebih
sederhananya dialektikan antara yang al-Qathy
dan Dzanny.
Terlebih
dahulu, kita coba membahas bagian dimana Muhammadiyah berdialektika dengan al-Turats. Dalam hal ini kita mencoba
meminjam pandangan Nashr Hamid Abu Zayd, Assyahid dan Hasan Hanafi. Apakah yang
dimaksud dengan al-Turats ?, walaupun
al-Turats secara umum diartikan
sebagai tradisi atau segala hal yang dihasilkan oleh generasi-generasi sebelum
kita, apakah dalam bentuk pemikiran maupun kebudayaan secara umum, yang
wariskan secara turun- menurun dan dikembangkan oleh setiap lapis generasi
sesuai dengan kemampuan mereka. Tetapi untuk kepentingan pembahasan kita kali
ini al-Turats kita batasi sebagai
segala bentuk pandangan atau produk pemikiran keagamaan yang dianggap atau
diklaim sebagai hasil dari refleksi dua teks keagamaan menadasar yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW .
Dalam
dialektika dengan al-Turats ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu. Pertama,
al-Turats adalah sesuatu yang tidak boleh disia-siakan oleh Muhammadiyah,
tetapi yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melakukan pengembangan-pengembangan
dan aktivitas pengasahan kreatif terhadap al-Turats.
Dalam proses pengembangan tersebut Muhammadiyah memerlukan segala sarana yang
tersedia disekitarnya, dalam hal ini merupakan sebuah keniscayaan Muhammadiyah
meminjam atau berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan atau karya-karya pemikiran
lain yang bersinggungan dengannya. Tetapi Muhammadiyah harus tetap kritis
terhadap kebudayaan-kebudyaan tersebut dalam rangka pengembangan kreatif serta
pelampauan dan penyempurnaan segala bentuk kekurangan dalam al-Turats. Yang perlu menjadi penekanan
di sini adalah, yang saya maksud dengan pengembangan kreatif adalah sesuatu
yang menjadi oposisi terhadap pengulangan-pengulangan terhadap al-Turats.
Hal kedua
yang penting diperhatikan saat berdialektika dengan al-Turats bahwa sebagai
bentuk tanggung jawab keagamaan dan kebudayaan, al-Turats merupakan titik awal,
sedangkan pembaruan merupakan upaya menfasir secara terus menerus sesuai dengan
kebutuhan zaman, “karena menurut tuntunan agama kita Islam, serta sesuai dengan
kemauan zaman kemajuan” ucap kyai Dahlan dalam Suwara Muhammadiyah edisi awal
(tahun 1 nomor 2 halaman 29) seperti yang dikutip Kuntowijoyo. Orisinalitas
adalah landasan untuk kekinian, yang dipergunakan untuk mencapai tujuan.
Al-Turats adalah landasan awal untuk melakukan perubahan. Pembaruan adalah
pengembangan yang merupakan sumbangsih dalam memecahkan persoalan-persoalan
aktual dan mengantisipasi secara kreatif persoalan-persoalan yang masih
bersifat mungkin, membuka segala pintu yang sebelumnya tertutup bagi
pengembangan al-Turats. Nilai al-Turats tidak hanya terletak secara intrisik
pada dirinya, tetapi juga sebagaimana dia mampu menyediakan semacam
bingkai/frame berpikir ataupun landasan bagi pengembangan teori-teori ilmiah
selanjutnya dalam menghadapi realitas. Al-Turats bukanlah barang antik yang
terpajang dalam museum sejarah yang selalu dielu-elukan, dibangga-banggakan dan
selalu menatapnya dengan penuh kekaguman yang berlebihan. Al-Turats merupakan
landasan untuk berpacu, orientasi bergerak bagi Muhammadiyah, titik awal
(legendum) untuk melakukan perubahan menuju tatanan yang lebih baik , yang oleh
Muhammadiyah di beri nama “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
KH. Ahmad
Dahlan adalah salah satu ulama Islam yang berusaha mendekatkan antara
rasionalitas dan pengamalan serta pengalaman keberagamaan. Dengan kata lain
Sang Pencerah tersebut berusaha menjadikan ilmu pengetahuan sebagai teman akrab
bagi agama. Maka hal ketiga yang perlu dilakukan atau ditekankan oleh
Muhammadiyah dalam dialektikanya dengan al-Turats adalah membangun semacam
kesadaran “kritis ilmiah” terhadap al-turats. Walaupun al-Turats merupakan awal
berpijak kita, dan merupakan bahan baku yang digunakan untuk bergulat dengan
“kekinian” serta menatap masa depan, tetapi agar al-Turats tidak menjadi beku
dan jumud maka sangat penting untuk memperhatikan aspek historitasnya secara
kritis, dasar-dasar apa yang membentuknya serta faktor-faktor apa saja yang
menggerakkanya sehingga memperoleh bentuk seperti apa yang sampai kepada kita
sekarang ini. “Ilmu” merupakan lawan terhadap kebanggaan-kebanggaan terhadap
apa yang kita miliki dimana kita yang menggunakannya kemungkinan besar tidak
terkait secara intensif dalam proses kreasinya. Selain ketiga hal yang harus
diperhatikan dan ditekankan oleh Muhammadiyah di atas ada beberapa hal yang
menurut penulis harus dihindari Muhammadiyah agar tidak terjatuh menjadi
gerakan islam yang statis dan kehilangan predikat progressifitasnya.
Pertama.
Muhammadiyah jangan sampai buta dalam membedakan antara agama dengan pemikiran
agama, Agama adalah sesuatu yang sudah final secara teks, tetapi pemikiran
agama merupakan sesuatu yang sah-sah saja diperiksa ulang, di kritik dan
bukanlah sesuatu yang final. Kedua, Muhammadiyah harusnya berasumsi bahwa
fenome-fenomena keberagamaan, kemsayarakatan dan kebudayaan di sekitarnya
tidaklah disebabkan oleh sebab yang tunggal tetapi ada banyak sebab, kekuatan
sosial , kepentingan serta kuasa yang ikut andil dalam membentuknya, hal ini
untuk menhindari reduksi berlebihan terhadap persoalan yang seringkali
dilakukan oleh beberapa gerakan Islam Transnasional. Ketiga, Muhammadiyah
jangan sampai melakukan mistifikasi terhadap tradisi salaf, menganggapnya
sebagai teks-teks primer yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan,
padahal teks-teks yang dihasilkan otoritas salaf setelah Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul hanya merupakan teks-teks sekunder, yang seringkali di posisikan oleh
beberapa gerakan Islam pada posisi yang setara bahkan lebih tinggi disbanding
teks primer yang sebenarnya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang maqbulah, hal
ini untuk menghindarkan Muhammadiyah Dari virus taqlid buta.
Keempat.
Muhammadiyah jangan sampai memiliki keyakinan mental dan kepastian intelektual
yang final, Muhammadiyah harus tetap membuka diri terhadap
kemungkinan-kemungkinan, pernak-pernik pemikiran , orientasi Muhammadiyah
adalah masa depan, masa kini dan masa lalu bukanlah tujuan. Kelima.
Muhammadiyah jangan terjatuh pada sikap romantisme masa lalu yang gemilang,
misalnya dalam hal menyamakan secara picik kondisi pada masa Khlafurrasyidin
dengan saat ini, dan mengambil keputusan dengan terlalu cepat bahwa
solusi-solusi masa lalu bisa dicaplok begitu saja untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kekinian, pada hal ada perubahan sejarah dan gap setting
ruang dan waktu yang jauh, apa yang dilakukan para sahabat merupakan inspirasi
yang sangat penting untuk disarikan spiritnya tetapi harus disesuaikan secara
kreatif dengan kekinian, Muhammadiyah jangan sampai mengabaikan dimensi historitas.
Selanjutnya
penulis akan mencoba mengulas beberapa prinsip saat Muhammadiyah berdialektika
dengan realitas sosial, apakah itu realitas keberagamaan, realitas kebudayaan,
ekonomi, dan politik. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
Pengakuan akan kesatuan organik antara pengetahuan dan aksi atau praksis,
adanya relasi komplementer antara teori dan praksis. Praksis membutuhkan teori
sebagai usaha awal untuk memetakan medan aksi bagi Muhammadiyah, untuk menjelaskan
terma-terma kunci bagi sebuah persoalan, menentukan prioritas-prioritas bagi
pengambilan keputusan. Sebaliknya pula pengetahuan , atau teori, berkembang
seiring dengan pengalaman eksistensial yang dihadapi Muhammadiyah saat bergulat
dengan realitas social. Ada aksi dan refleksi yang bergulir secara terus
menerus yang seharusnya inhern dalam gerakan Muhammadiyah. Dalam bahasa yang
lebih sempurna adanya persenyawaan antara ilmu dan amal , tetapi dalam artian
yang luas. Setiap refleksi yang dilakukan Muhmmadiyah terhadap realitas sosial,
menuntut tanggung jawab untuk mengubahnya menjadi tatanan yang labih baik dan
adil.
Kedua.
Pengetahuan bukanlah refleksi semata terhadap realitas. Tetapi pengetahuan
adalah hasil konstruksi manusia. Prinsip ini sangat signifikan pada saat
Muhammadiyah berhadapan dengan wacana-wacana, diskursus-diskursus yang
berkembang. Wacana tidaklah netral begitu pula dengan diskursus-diskursus
pengetahuan, tetapi mereka adalah sesuatu yang sangat rentan akan intervensi
kekuasaan. Hal ini juga membuat Muhammadiyah lebih arif dalam menghadapi
perbedaan pendapat mengenai sesuatu hal atau persoalan, sebab setiap tawaran
wacana atau pendapat atau pengetahuan akan sesuatu hal, tidak ada yang
merupakan refleksi transparan atau apa adanya akan realitas, setiap wacana atau
pengetahuan merupakan usaha memandang sesatu dari perspektif tertentu.
Ketiga.
Optimisme terhadap masa depan yang lebih baik dibanding masa kini dan masa lalu
yang penuh dengan dominasi dan ketidak adilan. Masa depan memiliki
potensi-potensi kebaikan yang harus diaktualisaikan melalui aksi-aksi politik
dan sosial Muhammadiyah harus menjadi agen dan pendorong perubahan sosial demi
merengkuh masa depan yang lebih baik. Keempat. Persoalan sosial bukanlah
persoalan individu an-sich, tetapi lebih banyak disebabkan oleh sebab-sebab
struktural. Artinya peranan institusi sosial yang besar semisal politik,
ekonomi, politik,bahasa, ras serta gender memiliki andil politik yang lebih besar.
Muhammadiyah semestinya melakukan analisis secara kritis terhadap struktur-struktur
sosial tersebut agar bisa mengungkap akar rasional dan global, segala bentuk
problem, dan penindasn yang terjadi. Kelima. Struktur sosial yang dominatif,
dipelihara atau dilanggengkan atau direproduksi melalui kesadaran palsu,
reifikasi , ideologi tertutup, al-Turats yang jumud atau habitus tertentu.
Sturuktur sosial yang dominatif direproduksi melalui pengetahuan, wacana-wacana,
teks-teks ataupun diskursus-diskursus yang mengelilingi kita. Sehingga yang
didominasi berpikir bahwa satu-satunya jalan adalah menyesuaikan diri dengan
struktur sosial yang ada. Muhammadiyah seharus percaya terhadap subjektivitas
manusia dan potensi kreatifnya sebagai agen atau khalifah dalam mematahkan
dominasi.
Keenam.
Perubahan sosial dimulai dari hal-hal yang kecil, dari rumah, dari interaksi
kita dengan pasangan, dengan anak-anak, saudara-sudara, dari hal-hal sepele
semisal selera belanja kita, selera tontonan TV kita dan sebagainya. Hal ini
untuk mendukung voluntorisme secara kritis dan menghindari determinisme
mekanis. Perubahan sosial yang diawali dari hal-hal kecil menjadi signifikan
sebab dominasi dan hegemoni merasuk hingga ke hal-hal subtil semacam pembagian
kerja, relasi seksualitas, gaya hidup dan hal-hal remeh lainnya. Ketujuh.
Adanya hubungan yang dialektis antara agen dan struktur sosial. Walaupun
struktur sosial dapat mengkondisikan perilaku sosial kita, tetapi pengetahuan
mengenai struktur sosial dapat menjadi potensi kreatif dalam mematahkan dominasi.
Kedelapan. Dengan mengakui hubungan yang kompleks dan dialektis antara
kehidupan sehari-hari dengan struktur sosial skala besar, Muhammadiyah meyakini
bahwa jalan untuk mecapai tujuan akhir yakni “Masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya” tidaklah linear dan merupakan proses tiada henti.
“Masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya” merupakan utopia yang dibangun oleh Muhammaiyah,
setiap langkah yang dilakukan menuju utopia tersebut, akan direfleksikan ulang
secara kritis agar lahir langkah yang lebih baik dan efektif. Usaha menuju
utopia juga tidak boleh sama sekali membuka peluang sedikit pun mengorbankan
hak-hak, kebebasan mendasar ,fitrah ataupun hidup manusia. Muhammadiyah harus
meyakini bahwa setiap manusia adalah khalifah, bertanggung jawab atas kebebasannya
sendiri dan tidak melakukan penindasan ataupun penaklukan bagaimanapun
bentuknya terhadap sesama atas nama tujuan, utopia atau kebebasan jangka
panjang- kebebasan adalah kondisi yang optimal yang paling fitrah dimana
manusia mampu mengaktualisasikan secara maksimal segala bentuk potensi
kemanusiaannya menuju kemuliaan ilahiah. Muhammadiyah dalam menuntun umat dan
menjadi tauladan bagi umat manusia, tidak membenarkan adanya kediktatoran elit
terhadap orang banyak, ini juga terlihat jelas dalam sejarah Muhammad SAW
dimana beliau tidak pernah menjadi Nabi dengan tangan besi.
Prinsip-prinsip
kritisisme Ideologi Muhammadiyah yang mempunyai dua aras di atas, aras pertama
berhubungan secara timbal balik dengan al-Turats dan yang kedua dengan realitas
sosial akan menjadi signifikan jika diturunkan menjadi metodologi gerakan. Metodologi
gerakan adalah jembatan yang menghubung prinsip-prinsip di atas dengan realitas
konkret. Mudah-mudahan penulis memiliki kesempatan dan memperoleh hidayah dari
Allah SWT untuk merumuskannya dalam ruang tulisan yang lain.