- Back to Home »
- Unfinished Project bagi Gerakan IPM
Moh. Mudzakkir
(Ketua
Umum PP IRM 2006-2008)
IPM merupakan
organisasi sayap gerakan Muhammadiyah di kalangan pelajar. Ketika berbicara IPM
secara ideologis, tentu tidak bisa melepaskan diri dari organisasi induk yaitu
Muhammadiyah. Sebagai gerakan pelajar Muhammadiyah, paham ke-Islaman IPM pun
harus merujuk kepada pemahaman Islam ala
Muhammadiyah. Maksud dan tujuan Muhammadiyah harus dijadikan sebagai rujukan
bagi IPM ketika bergerak, setiap kader IPM harus benar-benar meresapi ideologi
gerakan Muhammadiyah, melanjutkan visi kenabian yaitu amar ma’ruf nahi munkar tu’minuna billah dalam rangka mewujudkan baldatun thoyyibatun warabbun
ghofur.
Pemahaman
kader IPM terhadap Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar menjadi mutlak disyaratkan.
Setiap kader IPM wajib mengetahuinya dengan cara membaca sejarah perjuangan
Muhammadiyah, pemikiran dan teladan tokoh-tokoh Muhammadiyah,
keputusan-keputusan organisasi, hingga buku-buku yang mengkaji tentang
Muhammadiyah kontemporer. Maka sungguh
sangat memalukan bila mengaku kader Muhammadiyah (IPM) namun tidak mengetahui
Muhammadiyah secara mencukupi. Dari pembacaan terhadap “kemuhammadiyah” itulah
nantinya kader IPM selanjutkan mampu mengkontekstualisasikan dalam menggerakkan
organisasi saat dan di masa depan, baik
dari segi ideologi dan strategi gerakan. Jangan sampai kita mudah silau dan terpesona terhadap
ideologi, pemikiran tokoh atau gerakan
tertentu di luar Muhammadiyah, padahal belum secara serius mempelajari para
pemikiran tokoh dan gerakan Muhammadiyah. Bukan berarti kita bersikap tertutup
dengan sesuatu hal yang baru, namun kita harus bangga terhadap khazanah dan
inovasi yang ada di gerakan Muhammadiyah. “Menjaga
tradisi lama yang baik, serta mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”.
Mungkin qoidah ushul fiqh itu bisa kita terapkan dalam membangun gerakan
pelajar Muhammadiyah ini.
Akibat
tumpulnya pembacaan terhadap sejarah pergerakan inilah IPM mengalami krisis
ideologi dan gerakan. Kader-kader IPM di struktur pimpinan miskin inisiatif,
tidak mampu membaca realitas kontemporer, dan rabun melihat masa depan. Ini
akan sangat berbeda sekali apabila teman-teman IPM memahami betapa pentingnya
penguasaan terhadap sejarah pergerakan, baik itu pergerakan Indonesia,
Muhammadiyah, Pelajaran, dan khususnya IPM sendiri. Siapa yang menguasai
sejarah maka dia akan menguasai sejarah masa depan. Dia akan belajar untuk tidak jatuh pada lubang
yang sama, memperbaiki kesalahan masa lalu, memodifikasi atau bahkan berinovasi
dari bahan masa lalu untuk masa depan yang lebih baik. Tapi sekali lagi,
ternyata sejarah mengajarkan kita bahwa “kita
sering melupakan sejarah” pergerakan itu sendiri. Hingga kini saya masih berkeyakinan bahwa
lemahnya tradisi iqra (membaca) menjadi penyebab utama para kader IPM tidak mampu
belajar dari sejarah. Maka menurut saya proyek besar “membangun tradisi membaca
(ditambah menulis)” menjadi unfinished
movement project (proyek pergerakan yang belum selesai).
Sebagai
organisasi yang mempunyai basis massa pelajar, IPM harus benar-benar memahami
siapa pelajar itu sejatinya, apa, bagaimana, serta mengapa berbagai macam persoalan muncul di
tengah-tengah dunia pelajar. Menjadi sangat aneh dan lucu, bila mengklaim
dirinya sebagai gerakan pelajar namun tidak mampu memahami secara mendalam (radical) seluk-beluk “pelajar”
(filosofis, sosiologis, psikologis, politis). Untuk mampu menjadi pelopor di
dunia pergerakan pelajar, maka IPM harus mempunyai epistemologi (sumber pengetahuan) untuk membongkar dinamika di
kalangan pelajar. Pemahaman terhadap falsafah manusia, falsafah pendidikan,
serta falsafah pergerakan harus terus menjadi kajian dan diinternalisasikan
lingkungan IPM. Agar para kader menyadari tentang hakikat kemanusiaan, proses
pendidikan, serta bagaimana melakukan gerakan perubahan di kalangan pelajar dan
masyarakat. Hakikat kemanusian dan pendidikan menjadi dua tema kajian yang
tidak dapat dipisahkan salah satu diantara keduanya, apalagi bila dikaitkan
dengan proses pengaderan (perkaderan), karena perkaderan itu sendiri merupakan
bagian dari “proses pendidikan” yang mempunyai tujuan “pemanusiaan” subjek.
Setiap kader harus menjadi subjek yang sadar mengapa mereka harus bergerak,
bukan karena keterpaksaan tapi karena pembacaan kritis terhadap realitas
sosio-historis yang sedang mereka hadapi.
Sebagai
jantung inti dari gerakan, kaderisasi IPM harus terus dijalankan, meskipun
demikian perkaderan yang seperti apa yang akan diimplementasikan? Dalam konteks
ini IPM memerlukan sebuah paradigma pendidikan yang sesuai dengan fitrah
gerakan yang kritis, humanis dam transformatif. Dalam konteks ini, menurut
saya, paradigm pendidikan kritis masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai
bahan referensi untuk melakukan internalisasi nilai-nilai gerakan pelajar
kritis-transformatif. Dengan paradigma pendidikan kritis yang dijadikan sebagai
cara pandang perkaderan, diharapkan seluruh kader IPM mampu menjadi subjek
perubahan yang sejatinya, baik di level individu mau gerakan. Konsekuensinya,
seluruh strategi, program-program, metode
gerakan IPM pun harus mencerminkan paradigma pendidikan kritis tersebut. Ditambah lagi secara historis sudah dijelaskan berdasarkan dokumen resmi
organisasi IPM di beberapa Muktamar yang lalu. Tinggal bagaimana para kader IPM
sekarang memahami, menafsirkan, serta mengkontekstualisasikan kembali cara
pandang, perspektif, paradigm kritis tersebut dalam upaya revitalisasi gerakan
agar lebih mencerahkan dan menggerakkan di dunia pelajar.
Keberlanjutan
sebuah gerakan akan sangat dipengaruhi oleh ide, gagasan, pemikiran serta
paradigma yang terus dikaji, didiskusikan, ditafsirkan serta
dikontekstualisasikan oleh para kadernya. Ketika sebuah gerakan telah mengalami
kemalasan “mendialektikakan” antara
pemikiran dan praktek gerakan, maka sebuah gerakan pelan namun pasti akan
mengalami stagnasi, kejumudan, pendangkalan, birokratis, dan tidak peka
terhadap realitas yang sedang mengalami perubahan. Sebaliknya ketika sebuah
gerakan mampu mampu melakukan praktek refleksi-aksi atau aksi-refleksi secara
simultan dan seimbang maka proses problematisasi gerakan akan sangat mudah
dilakukan, serta akan memunculkan inovasi yang kreatif untuk menjawab persoalan
yang diproblematisasikan. Apa yang dipersoalkan oleh sebuah gerakan pelajar
satu dengan yang lainnya akan berbeda, karena hal tersebut dipengaruhi oleh
perbedaan paradigma yang dimiliki oleh gerakan.
Berdasarkan
landasan historis yang dimiliki, paradigm kritis transformatif, dan berbagai
macam strategi gerakan (ke-islaman, sosial-politik, budaya, ilmu, dll) IPM
harus melakukan pembacaan terhadap problematika yang dihadapi dan dialami, baik disadari maupun tidak disadari
oleh basis massa gerakannya, yaitu kaum pelajar Muhammadiyah (dan lainnya) di
seluruh Indonesia. Pembacaan kritis harus dilakukan untuk menemukan akar
persoalan, menguraikan keterkaitan unsur-unsur masalah, dan kemudian memberikan
penyelesaian terhadap berbagai macam persoalan yang dihadapi kaum pelajar. Kader-kader IPM dengan kekuatan
struktur yang dimilikinya harus mampu membangun kultur kritisisme (sadar, peka,
peduli, serta aktif terlibat dalam memberikan solusi) terhadap problematika
kaum pelajar. Dengan mengamalkan kritisme secara istiqomah (konsisten dan
berkelanjutan), bukan mustahil IPM akan sangat diperhitungkan di dunia
persialatan gerakan pelajar. Ketika berbicara tentang pelajar, media dan
pengambil kebijakan, kurang afdhol
bila tidak merujuk kepada IPM sebagai gerakan yang concern melakukan advokasi (penyadaran, pendampingan, pemberdayaan
dan pembelaan) terhadap pelajar. Singkatnya IPM adalah penyambung lidah rakyat
(pelajar).
Problematisasi
harus dilakukan bila suatu gerakan ingin terus berkelanjutan dan berperan
strategis di dunia pergerakan. Dengan paradigm kritis yang dimilikinya IPM
memungkinkan melakukan pembacaan terhadap realitas dunia kepelajaran secara
mendalam. Dengan bantuan analisa sosial, analisa kebijakan, analisa budaya,
serta SWOT, IPM akan terbantukan dalam
membongkar kompeksitas persoalan yang melingkupi pelajar. Berbagai macam persoalan
di kalangan pelajar, mulai dari ancaman bahaya terorisme agama, bahaya narkoba,
pergaulan bebas, objek politik, target budaya konsumerisme dan hedonism, korban
kebijakan pendidikan negara, akses pendidikan yang berkualitas, korban konflik
dan kekerasan, korban kekerasan pendidikan, kebijakan pemerintah tentang tata
kota yang tidak ramah kaum muda, rendahnya minat baca, fasilitas pengembangan
potensi kaum muda yang minim dan serta masih banyak lagi yang lainnya. Itulah
beberapa contoh berbagai macam persoalan yang dihadapi pelajar saat ini.
Untuk
merespon berbagai masalah tersebut, IPM harus berpatisipasi aktif serta
menawarkan bahkan terobosan alternatif untuk menjawab persoalan di atas.
Program-program penyadaran, pendampingan, pemberdayaan serta pembelaan terhadap
pelajar harus secara matang disiapkan, dikerjakan dan dilanjutkan.
Program-program kerja gerakan unggulan juga harus terus dikerjakan tanpa henti,
semisal gerakan sekolah kader, gerakan Iqra, gerakan advokasi, serta gerakan
seni-budaya IPM. Keberlanjutan antar pimpinan dan periode harus usahakan,
sehingga program-program utama gerakan tersebut bisa dirasakan manfaatnya jauh
ke depan bukan hanya bersifat sementara. Ibarat pohon, ada pohon pisang yang
cepat berbuah, serta pohon jati lama tapi cukup memberi manfaat besar. Memang
sejak awal harus disadari bahwa ada program yang bersifat jangka panjang,
menengah, serta pendek. Membangun jejaring (networking)
dengan berbagai gerakan pelajar, NGO, ormas dan kelompok-kelompok lainnya yang
mempunyai maksud tujuan yang sama dari berbagai macam program yang dimiliki
harus dilakukan, karena IPM tidak bergerak sendiri dan bisa belajar dari
gerakan lainnya. Tanpa harus mengorbankan idealisme dan karakter IPM tentunya.
Dalam
rangka mencapai maksud dan tujuannya,
tentu ada program yang bersifat internal dan eksternal. Artinya ada program
yang secara khusus diorientasikan untuk penguatan internal organisasi
(internal) serta program yang mempunyai maksud memberi manfaat kepada publik pelajar
secara umum (eksternal). Program kaderisasi harus terus digalakankan disertai
berbagai macam follow up di berbagai
level struktur. Sekolah kader harus direvitalisasi sebagai kantong-kantong
kader pelopor IPM di berbagai level. Kajian-kajian Islam Kritis rutin dan
terprogram harus terus dihidupkan, serta gerakan Da’i dengan berbagai modifikasi
yang inovatif dan kreatif. Gerakan iqra’ (kesadaran membaca) terus digaungkan,
karena secara faktual gerakan ini belum memuaskan. Membangun kesadaran membaca
baik level struktural dan kultural terus didengungkan dengan berbagai macam
kegiatan, misalnya level pimpinan harus mempunyai perpustakan mini di
masing-masing kantor. Pelatihan Jurnalistik diselenggarakn secara berkala dan
berkelanjutan. Penerbitan bulletin dan majalah digiatkan sebagai media
komunikakasi dan informasi gerakan, baik cetak maupun di dunia maya. Dan kalau
perlu mendirikan perpustakaan komunitas sebagai ruang aktivitas para pegiat
literasi di lingkungan IPM.
Gerakan
advokasi sebagai bagian dakwah gerakan bisa kerjakan dalam berbagai program
tergantung kebutuhan di masing-masing lokal. Pendidikan kewarganegaraan dan
pendidikan politik di kalangan kader, anggota dan pelajar secara umum menjadi
bagian yang tidak terpisahkan. Advokasi terhadap kebijakan pendidikan yang
merugikan pelajar harus dilakukan, kasus UN misalnya. Kampaye anti tawuran dan
kekerasan di dunia pendidikan menjadi salah satu penyadaran yang terus
disuarakan. Gerakan Budaya juga bisa dilakukan bersinergi dengan advokasi
pelajar, dengan memberi ruang apresiasi seni yang kritis yang melakukan kampaye
penyadaran di kalangan pelajar. Misalnya mewadahi komunitas mural dan
kartunis dengan pesan-pesan kritis dan
edukatif, poster-poster anti kekerasan dan tawuran, anti narkoba, anti politik
uang, dan politisi busuk. Bukan hanya itu gerakan iqra juga bisa dijadikan
sebagai gerakan advokasi; dengan kemampuan menulis di media komunitas atau
bahkan media massa para kader bisa mengkampayekan atau mengadvokasi suatu
persoalan publik. Dan yang lain yang dilakukan lagi adalah mewadahi bakat para pelajar penyair dengan puisi-puisi mereka mampu
mencerahkan dan menggerakkan untuk melakukan perubahan. Tragedi Nol Buku tentang rendahnya minat membaca (terutama sastra) sudah menjadi wabah yang cukup mengkhawatirkan, program Sastra Masuk Sekolah harus direvitalisasikan sebagai jawaban terhadap
rendahnya kemampuan literasi di kalangan muda Indonesia.
Berangkat
dari pengalaman dan mungkin beberapa teori gerakan, perubahan akan terjadi
paling tidak oleh tiga hal, pertama
adanya ide, gagasan atau pemikiran besar yang menggerakkan, kedua individu pelopor dan kreatif, serta ketiga yang terakhir adalah kelompok minoritas yang kreatif . Bila
ketiga ini secara bersamaan hadir dan saling berkaitan, maka niscaya IPM akan
terus mampu menjadi subjek sekaligus penggerak sejarah pergerakan pelajar.
Niscaya proyek gerakan IPM yang belum terwujud akan bisa diselesaikan, oleh
para kader pelopor yang mampu mengabungkan ketiga hal tersebut. Dan itu mungkin
terjadi, sejarahlah yang akan menjadi saksi.**