- Back to Home »
- IPM »
- REALITAS DALAM PARADIGMA IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH
Paradigma merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu
sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan atau masalah yang dihadapi.
Olehnya itu, dalam merumuskan paradigma gerakan IPM, maka terlebih dahulu kita
mesti memetakan segala dinamika yang dihadapi IPM untuk bisa menafsirkan
realitas yang terintegrasi dalam mata rantai pergerakan IPM.
Realitas yang dimaksud
adalah kondisi terkini yang dianalisis secara objektif dengan mencoba
menghubungkan suatu subjek dengan subjek lainnya dalam sebuah jalinan kompleks.
Dalam melakukan pergerakan IPM harus memiliki titik pijak dalam menafsirkan dan
memahami kondisi realitas kontemporet. Dimana dalam pergerakannya, IPM
dihadapkan pada kondisi internal dan kondisi eksternal. Oleh karena itu ada
beberapa hal hasil dari pembacaan realitas oleh IPM:
1. Kondisi Eksternal
a. Globalisasi dan Kapitalisme Global
Era globalisasi yang dimitoskan menjadi anugrah bagi manusia,
justru beralih menjadi bencana peradaban. Globalisasi dimotori oleh The Unholy
Trinity (IMF, World Bank & WTO), negara-negara kaya, TNC/Transnational
Corporation menyebarkan penindasan, pemiskinan, pembodohan di negara-negara
dunia ketiga, khususnya di negara-negara mayoritas muslim termasuk Indonesia.
Neoliberalisme demikianlah ideologi mereka. liberalisasi, deregulasi,
privatisasi & pencabutan subsidi itulah doktrinnya. Pendidikan mahal, BBM
& TDL naik, impor beras yang mematikan petani itu semua merupakan akibat
penerapan ketiga doktrin tersebut. Negara sudah tuna kuasa dan tak berdaya
termasuk Indonesia.
b.
Budaya Populer dikalangan Pelajar.
Hingga saat ini, IPM masih dianggap belum memikirkan secara
serius mengenai konsumsi produk budaya populer dikalangan pelajar. IPM belum
pernah menetapkan kacamata apa yang akan digunakan dalam memandang fenomena
Budaya Populer yang menelikungi generasi muda kita. Hal tersebut berimplikasi
pada kegamangan anak-anak IPM dalam memandang Budaya Populer, apakah mereka
perlu melakukan perlawanan terhadap konsumsi budaya pop tersebut atau malah
larut dalam gejolak konsumerisme tersebut. Padahal, hasrat untuk mengonsumsi
produk Budaya Populer tersebut semakin menggila dan menelikung di kalangan
pelajar. Selain itu, keterpinggiran budaya lokal kita semakin menjadi karena
media yang dikuasai oleh para kapitalis berupaya untuk membangun Global
Culture dikalangan pelajar.
Sebenarnya ada beberapa alternatif kacamata yang dapat
digunakan untuk memandang fenomena budaya pop. Misalnya kacamata yang
ditawarkan oleh oleh Theodor W. Adorno, salah seorang pemikir budaya dari School
of Frankfurt. Ia menyatakan Budaya Populer merupakan budaya yang dikonstruk
oleh kapitalis dengan menggunakan saluran media massa untuk memassifkan
konsumsi agar konsumerisme tetap lestari. Dengan demikian, Capital akan
terus berputar dan kekayaan pada segelintir orang dapat meningkat melalui
konsumsi produk budaya populer tersebut. Selain itu, ada banyak alternatif
kacamata yang dapat digunakan untuk memetakan realitas dan mulai mengorganisir
sebuah gerakan menyikapi fenomena budaya populer dikalangan pelajar dan remaja.
c.
Sosial Politik Indonesia
Aspek politik turut mempengaruhi
kehidupan masyarakat termasuk kehidupan pelajar. Lahirnya kebijakan Ujian
Nasional adalah salah satu contoh kebijakan politik yang cukup signifikan
mempengaruhi pelajar. Banyak pelajar yang ogah untuk berorganisasi disebabkan oleh
kesibukan untuk berkontestasi dalam hal akademik (UN, red.). Selain itu,
kebijakan di dunia pendidikan, sosial dan ekonomi ini pun berimplikasi terhadap
pola prilaku masyarakat terutama pelajar. Sehingga, IPM sebagai sebuah gerakan
sosial dituntut untuk mengagregasi kepentingan melalui pembentukan suatu program
kebijakan yang didasarkan atas serangkaian kepentingan yang dipahaminya; serta
mengartikulasikan kepentingan, dengan mengekspresikan berbagai kebijakan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
d.
Perilaku Subversif di Kalangan Pelajar
Fenomena kekerasan di kalangan pelajar memang perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Sebagai basis massa dan lokus gerakan kita,
pelajar masih dalam tahap yang cukup labil dalam fase kehidupannya. Sehingga,
berbagai macam tindakan subversive seperti tawuran, penggunaan narkoba dan free sex tak jarang dilakukan oleh
generasi muda ini. Namun, dalam memandang fenomena ini IPM tidak boleh terjebak
kerancuan berpikir seperti yang disebutkan Jalaluddin Rahmat, blaming the victim (menyalahkan pelaku).
Karena diyakini lahirnya fenomena ini tidak berdiri tunggal. Ada “faktor luar”
yang kemudian mempengaruhi prilaku pelajar seperti sistem pendidikan,
kemiskinan, kesenjangan sosial dan lain-lain.
e.
Kemajuan Teknologi Informasi
Teknologi informasi maju semakin
pesat, selain aspek keuntungan yang lebih cepat, efisien dan murah dalam
membantu pelajar dalam membangun tradisi keilmuannya, ternyata hal ini juga
memberikan efek negatif terhadap pelajar. Untuk itu, perlu ada tindakan nyata
dalam mengarahkan pemanfaatan kemajuan teknologi yang semakin hari berkembang
semakin pesat. Kemajuan teknologi informasi ini juga harus dapat dimanfaatkan
oleh IPM sebagai wadah untuk menyemaikan ideologi yang dipahaminya. Sekaligus
melakukan propaganda (menggalang kesadaran kolektif) lewat idea-idea IPM
terhadap realitas yang ada untuk mewujudkan transformasi sosial. Sejarah
mencatat, bahwa kemajuan teknologi informasi media cukup efektif dalam
memprovokasi kesadaran sosial masyarakat. Misalnya, Gerakan Koin untuk Prita”
dan “Gerakan Cicak Versus Buaya” yang digalang lewat blog dan media sosial facebook dan twitter yang kemudian menyadarkan masyarakat untuk melawan segala
ketimpangan yang ada.
2. Kondisi Internal
a. Corak Keberislaman IPM
IPM sebagai sebuah gerakan pelajar dengan visi amar ma’ruf
nahi munkar tentunya hadir dalam konsepsi keberislamannya sendiri. Untuk
tataran teologi gerakan, teologi Al-Ma’un merupakan konsepsi yang dibangun
dalam persyarikatan Muhammadiyah dan telah diterjemahkan ke dalam konsepsi
gerakan IPM dengan konsep Gerakan Kritis Transformatifnya. Pada tataran fiqh,
Muhammadiyah sebagai induk organisasi telah membangun sebuah perangkat
interpretasi nilai-nilai keislaman dalam sebuah konsep yang disebut Himpunan
Putusan Tarjih. Namun, apakah perangkat yang disediakan ini telah memberikan
konstribusi terhadap keberislaman anggota IPM?
Selain itu, IPM dalam konsep keberislamannya mengalami proses
kegamangan sampai ke tingkat grassroot (akar
rumput) sehingga banyak dari kader IPM yang beralih ke “rumah” yang lain untuk
mengasah konsep keberislamannya. Proses kegamangan ini terjadi ketika kita
gagal dalam mendalami konsep keberislaman IPM, sehingga dinilai perlu untuk
membuat formulasi baru tentang konsep beserta perangkat praksisnya sehingga
bisa menjadi kekuatan yang sekiranya didalami oleh seluruh kader di semua level
organisasi. Hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan yang diharapkan
terinternalisasi dan termanifestasikan dalam kehidupan ritual dan sosial kader.
b. Budaya Keilmuan IPM
Sebagai sebuah gerakan pelajar, IPM tentunya dituntut untuk
senantiasa menggalakkan budaya keilmuan dalam rangka membangun nalar keilmuan
di kalangan pelajar. Dari perspektif ide, IPM dinilai telah matang dalam
merumuskan konsep budaya keilmuan, namun terjadi sebuah proses yang timpang
dalam menggalakkan culturenya. Hal
ini mengindikasikan bahwa harus ada penegasan akan hal tersebut yang didahului
oleh intensifikasi budaya keilmuan seperti misalnya Gerakan Iqra’ dengan tetap
mengedepankan sifat kritis dan menggunakan daya nalar.
c. Efektifitas Perkaderan
Sebagai proses pendidikan dan penyemaian nilai dan identitas
IPM, pengkaderan dinilai sebagai sebuah aktivitas strategis untuk melakukan
penyadaran, pemberdayaan dan pendampingan terhadap kader IPM. Namun sayangnya,
diantara kuantitas pelaksanaan pengkaderan yang begitu banyak dilaksanakan
hampir di setiap level tingkatan, efektifitas masih jauh dari harapan. Masih
terdapat kelemahan dalam setiap tahapan pelaksanaan sehingga hal ini sedikit
banyak berimplikasi terhadap keluaran yang dihasilkan. Diantaranya, persiapan
pelaksanaan, sumber daya manusia serta yang terpenting adalah pendampingan
pasca pelatihan yang saling terkait satu sama lain. Untuk itu, perlu ada
langkah strategis untuk segera mengakhiri paceklik kader penggerak dengan
mencoba merevitalisasi konsep dan perangkat perkaderan IPM.
d. Posisi Strategis IPM di Kalangan Pelajar
Tak dapat dipungkiri bahwa di usianya yang telah melewati
setengah abad, IPM telah menjejaring hampir di seluruh pelosok nusantara. IPM
hadir sebagai pelopor gerakan pelajar kritis yang senantiasa melakukan
penyadaran, pemberdayaan dan pembelaan di kalangan pelajar. Namun, hingga saat
ini IPM dinilai masih belum memaksimalkan posisinya sebagai sebuah gerakan yang
besar di kalangan pelajar untuk senantiasa memberikan manfaat atau inspirasi
dalam rangka mencerdaskan dan memberdayakan kaum pelajar. Padahal ketika peran
ini dapat dilakoni dengan baik, tentunya akan memberikan efek positif terhadap
eksistensi gerakan IPM baik di sekolah Muhammadiyah maupun di sekolah non
Muhammadiyah sehingga predikat sebagai The
Chosen Organization (organisasi terpilih) bisa dicapai.
Paradigma merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu
sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan atau masalah yang dihadapi.
Olehnya itu, dalam merumuskan paradigma gerakan IPM, maka terlebih dahulu kita
mesti memetakan segala dinamika yang dihadapi IPM untuk bisa menafsirkan
realitas yang terintegrasi dalam mata rantai pergerakan IPM.
Realitas yang dimaksud
adalah kondisi terkini yang dianalisis secara objektif dengan mencoba
menghubungkan suatu subjek dengan subjek lainnya dalam sebuah jalinan kompleks.
Dalam melakukan pergerakan IPM harus memiliki titik pijak dalam menafsirkan dan
memahami kondisi realitas kontemporet. Dimana dalam pergerakannya, IPM
dihadapkan pada kondisi internal dan kondisi eksternal. Oleh karena itu ada
beberapa hal hasil dari pembacaan realitas oleh IPM:
1. Kondisi Eksternal
a. Globalisasi dan Kapitalisme Global
Era globalisasi yang dimitoskan menjadi anugrah bagi manusia,
justru beralih menjadi bencana peradaban. Globalisasi dimotori oleh The Unholy
Trinity (IMF, World Bank & WTO), negara-negara kaya, TNC/Transnational
Corporation menyebarkan penindasan, pemiskinan, pembodohan di negara-negara
dunia ketiga, khususnya di negara-negara mayoritas muslim termasuk Indonesia.
Neoliberalisme demikianlah ideologi mereka. liberalisasi, deregulasi,
privatisasi & pencabutan subsidi itulah doktrinnya. Pendidikan mahal, BBM
& TDL naik, impor beras yang mematikan petani itu semua merupakan akibat
penerapan ketiga doktrin tersebut. Negara sudah tuna kuasa dan tak berdaya
termasuk Indonesia.
b.
Budaya Populer dikalangan Pelajar.
Hingga saat ini, IPM masih dianggap belum memikirkan secara
serius mengenai konsumsi produk budaya populer dikalangan pelajar. IPM belum
pernah menetapkan kacamata apa yang akan digunakan dalam memandang fenomena
Budaya Populer yang menelikungi generasi muda kita. Hal tersebut berimplikasi
pada kegamangan anak-anak IPM dalam memandang Budaya Populer, apakah mereka
perlu melakukan perlawanan terhadap konsumsi budaya pop tersebut atau malah
larut dalam gejolak konsumerisme tersebut. Padahal, hasrat untuk mengonsumsi
produk Budaya Populer tersebut semakin menggila dan menelikung di kalangan
pelajar. Selain itu, keterpinggiran budaya lokal kita semakin menjadi karena
media yang dikuasai oleh para kapitalis berupaya untuk membangun Global
Culture dikalangan pelajar.
Sebenarnya ada beberapa alternatif kacamata yang dapat
digunakan untuk memandang fenomena budaya pop. Misalnya kacamata yang
ditawarkan oleh oleh Theodor W. Adorno, salah seorang pemikir budaya dari School
of Frankfurt. Ia menyatakan Budaya Populer merupakan budaya yang dikonstruk
oleh kapitalis dengan menggunakan saluran media massa untuk memassifkan
konsumsi agar konsumerisme tetap lestari. Dengan demikian, Capital akan
terus berputar dan kekayaan pada segelintir orang dapat meningkat melalui
konsumsi produk budaya populer tersebut. Selain itu, ada banyak alternatif
kacamata yang dapat digunakan untuk memetakan realitas dan mulai mengorganisir
sebuah gerakan menyikapi fenomena budaya populer dikalangan pelajar dan remaja.
c.
Sosial Politik Indonesia
Aspek politik turut mempengaruhi
kehidupan masyarakat termasuk kehidupan pelajar. Lahirnya kebijakan Ujian
Nasional adalah salah satu contoh kebijakan politik yang cukup signifikan
mempengaruhi pelajar. Banyak pelajar yang ogah untuk berorganisasi disebabkan oleh
kesibukan untuk berkontestasi dalam hal akademik (UN, red.). Selain itu,
kebijakan di dunia pendidikan, sosial dan ekonomi ini pun berimplikasi terhadap
pola prilaku masyarakat terutama pelajar. Sehingga, IPM sebagai sebuah gerakan
sosial dituntut untuk mengagregasi kepentingan melalui pembentukan suatu program
kebijakan yang didasarkan atas serangkaian kepentingan yang dipahaminya; serta
mengartikulasikan kepentingan, dengan mengekspresikan berbagai kebijakan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
d.
Perilaku Subversif di Kalangan Pelajar
Fenomena kekerasan di kalangan pelajar memang perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Sebagai basis massa dan lokus gerakan kita,
pelajar masih dalam tahap yang cukup labil dalam fase kehidupannya. Sehingga,
berbagai macam tindakan subversive seperti tawuran, penggunaan narkoba dan free sex tak jarang dilakukan oleh
generasi muda ini. Namun, dalam memandang fenomena ini IPM tidak boleh terjebak
kerancuan berpikir seperti yang disebutkan Jalaluddin Rahmat, blaming the victim (menyalahkan pelaku).
Karena diyakini lahirnya fenomena ini tidak berdiri tunggal. Ada “faktor luar”
yang kemudian mempengaruhi prilaku pelajar seperti sistem pendidikan,
kemiskinan, kesenjangan sosial dan lain-lain.
e.
Kemajuan Teknologi Informasi
Teknologi informasi maju semakin
pesat, selain aspek keuntungan yang lebih cepat, efisien dan murah dalam
membantu pelajar dalam membangun tradisi keilmuannya, ternyata hal ini juga
memberikan efek negatif terhadap pelajar. Untuk itu, perlu ada tindakan nyata
dalam mengarahkan pemanfaatan kemajuan teknologi yang semakin hari berkembang
semakin pesat. Kemajuan teknologi informasi ini juga harus dapat dimanfaatkan
oleh IPM sebagai wadah untuk menyemaikan ideologi yang dipahaminya. Sekaligus
melakukan propaganda (menggalang kesadaran kolektif) lewat idea-idea IPM
terhadap realitas yang ada untuk mewujudkan transformasi sosial. Sejarah
mencatat, bahwa kemajuan teknologi informasi media cukup efektif dalam
memprovokasi kesadaran sosial masyarakat. Misalnya, Gerakan Koin untuk Prita”
dan “Gerakan Cicak Versus Buaya” yang digalang lewat blog dan media sosial facebook dan twitter yang kemudian menyadarkan masyarakat untuk melawan segala
ketimpangan yang ada.
2. Kondisi Internal
a. Corak Keberislaman IPM
IPM sebagai sebuah gerakan pelajar dengan visi amar ma’ruf
nahi munkar tentunya hadir dalam konsepsi keberislamannya sendiri. Untuk
tataran teologi gerakan, teologi Al-Ma’un merupakan konsepsi yang dibangun
dalam persyarikatan Muhammadiyah dan telah diterjemahkan ke dalam konsepsi
gerakan IPM dengan konsep Gerakan Kritis Transformatifnya. Pada tataran fiqh,
Muhammadiyah sebagai induk organisasi telah membangun sebuah perangkat
interpretasi nilai-nilai keislaman dalam sebuah konsep yang disebut Himpunan
Putusan Tarjih. Namun, apakah perangkat yang disediakan ini telah memberikan
konstribusi terhadap keberislaman anggota IPM?
Selain itu, IPM dalam konsep keberislamannya mengalami proses
kegamangan sampai ke tingkat grassroot (akar
rumput) sehingga banyak dari kader IPM yang beralih ke “rumah” yang lain untuk
mengasah konsep keberislamannya. Proses kegamangan ini terjadi ketika kita
gagal dalam mendalami konsep keberislaman IPM, sehingga dinilai perlu untuk
membuat formulasi baru tentang konsep beserta perangkat praksisnya sehingga
bisa menjadi kekuatan yang sekiranya didalami oleh seluruh kader di semua level
organisasi. Hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan yang diharapkan
terinternalisasi dan termanifestasikan dalam kehidupan ritual dan sosial kader.
b. Budaya Keilmuan IPM
Sebagai sebuah gerakan pelajar, IPM tentunya dituntut untuk
senantiasa menggalakkan budaya keilmuan dalam rangka membangun nalar keilmuan
di kalangan pelajar. Dari perspektif ide, IPM dinilai telah matang dalam
merumuskan konsep budaya keilmuan, namun terjadi sebuah proses yang timpang
dalam menggalakkan culturenya. Hal
ini mengindikasikan bahwa harus ada penegasan akan hal tersebut yang didahului
oleh intensifikasi budaya keilmuan seperti misalnya Gerakan Iqra’ dengan tetap
mengedepankan sifat kritis dan menggunakan daya nalar.
c. Efektifitas Perkaderan
Sebagai proses pendidikan dan penyemaian nilai dan identitas
IPM, pengkaderan dinilai sebagai sebuah aktivitas strategis untuk melakukan
penyadaran, pemberdayaan dan pendampingan terhadap kader IPM. Namun sayangnya,
diantara kuantitas pelaksanaan pengkaderan yang begitu banyak dilaksanakan
hampir di setiap level tingkatan, efektifitas masih jauh dari harapan. Masih
terdapat kelemahan dalam setiap tahapan pelaksanaan sehingga hal ini sedikit
banyak berimplikasi terhadap keluaran yang dihasilkan. Diantaranya, persiapan
pelaksanaan, sumber daya manusia serta yang terpenting adalah pendampingan
pasca pelatihan yang saling terkait satu sama lain. Untuk itu, perlu ada
langkah strategis untuk segera mengakhiri paceklik kader penggerak dengan
mencoba merevitalisasi konsep dan perangkat perkaderan IPM.
d. Posisi Strategis IPM di Kalangan Pelajar
Tak dapat dipungkiri bahwa di usianya yang telah melewati
setengah abad, IPM telah menjejaring hampir di seluruh pelosok nusantara. IPM
hadir sebagai pelopor gerakan pelajar kritis yang senantiasa melakukan
penyadaran, pemberdayaan dan pembelaan di kalangan pelajar. Namun, hingga saat
ini IPM dinilai masih belum memaksimalkan posisinya sebagai sebuah gerakan yang
besar di kalangan pelajar untuk senantiasa memberikan manfaat atau inspirasi
dalam rangka mencerdaskan dan memberdayakan kaum pelajar. Padahal ketika peran
ini dapat dilakoni dengan baik, tentunya akan memberikan efek positif terhadap
eksistensi gerakan IPM baik di sekolah Muhammadiyah maupun di sekolah non
Muhammadiyah sehingga predikat sebagai The
Chosen Organization (organisasi terpilih) bisa dicapai.