Paradigma merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan atau masalah yang dihadapi. Olehnya itu, dalam merumuskan paradigma gerakan IPM, maka terlebih dahulu kita mesti memetakan segala dinamika yang dihadapi IPM untuk bisa menafsirkan realitas yang terintegrasi dalam mata rantai pergerakan IPM.
Realitas yang dimaksud adalah kondisi terkini yang dianalisis secara objektif dengan mencoba menghubungkan suatu subjek dengan subjek lainnya dalam sebuah jalinan kompleks. Dalam melakukan pergerakan IPM harus memiliki titik pijak dalam menafsirkan dan memahami kondisi realitas kontemporet. Dimana dalam pergerakannya, IPM dihadapkan pada kondisi internal dan kondisi eksternal. Oleh karena itu ada beberapa hal hasil dari pembacaan realitas oleh IPM:
1.    Kondisi Eksternal
a.    Globalisasi dan Kapitalisme Global
Era globalisasi yang dimitoskan menjadi anugrah bagi manusia, justru beralih menjadi bencana peradaban. Globalisasi dimotori oleh The Unholy Trinity (IMF, World Bank & WTO), negara-negara kaya, TNC/Transnational Corporation menyebarkan penindasan, pemiskinan, pembodohan di negara-negara dunia ketiga, khususnya di negara-negara mayoritas muslim termasuk Indonesia. Neoliberalisme demikianlah ideologi mereka. liberalisasi, deregulasi, privatisasi & pencabutan subsidi itulah doktrinnya. Pendidikan mahal, BBM & TDL naik, impor beras yang mematikan petani itu semua merupakan akibat penerapan ketiga doktrin tersebut. Negara sudah tuna kuasa dan tak berdaya termasuk Indonesia.
b.   Budaya Populer dikalangan Pelajar.
Hingga saat ini, IPM masih dianggap belum memikirkan secara serius mengenai konsumsi produk budaya populer dikalangan pelajar. IPM belum pernah menetapkan kacamata apa yang akan digunakan dalam memandang fenomena Budaya Populer yang menelikungi generasi muda kita. Hal tersebut berimplikasi pada kegamangan anak-anak IPM dalam memandang Budaya Populer, apakah mereka perlu melakukan perlawanan terhadap konsumsi budaya pop tersebut atau malah larut dalam gejolak konsumerisme tersebut. Padahal, hasrat untuk mengonsumsi produk Budaya Populer tersebut semakin menggila dan menelikung di kalangan pelajar. Selain itu, keterpinggiran budaya lokal kita semakin menjadi karena media yang dikuasai oleh para kapitalis berupaya untuk membangun Global Culture dikalangan pelajar.
Sebenarnya ada beberapa alternatif kacamata yang dapat digunakan untuk memandang fenomena budaya pop. Misalnya kacamata yang ditawarkan oleh oleh Theodor W. Adorno, salah seorang pemikir budaya dari School of Frankfurt. Ia menyatakan Budaya Populer merupakan budaya yang dikonstruk oleh kapitalis dengan menggunakan saluran media massa untuk memassifkan konsumsi agar konsumerisme tetap lestari. Dengan demikian, Capital akan terus berputar dan kekayaan pada segelintir orang dapat meningkat melalui konsumsi produk budaya populer tersebut. Selain itu, ada banyak alternatif kacamata yang dapat digunakan untuk memetakan realitas dan mulai mengorganisir sebuah gerakan menyikapi fenomena budaya populer dikalangan pelajar dan remaja.
c.    Sosial Politik Indonesia
Aspek politik turut mempengaruhi kehidupan masyarakat termasuk kehidupan pelajar. Lahirnya kebijakan Ujian Nasional adalah salah satu contoh kebijakan politik yang cukup signifikan mempengaruhi pelajar. Banyak pelajar yang ogah untuk berorganisasi disebabkan oleh kesibukan untuk berkontestasi dalam hal akademik (UN, red.). Selain itu, kebijakan di dunia pendidikan, sosial dan ekonomi ini pun berimplikasi terhadap pola prilaku masyarakat terutama pelajar. Sehingga, IPM sebagai sebuah gerakan sosial dituntut untuk mengagregasi kepentingan melalui pembentukan suatu program kebijakan yang didasarkan atas serangkaian kepentingan yang dipahaminya; serta mengartikulasikan kepentingan, dengan mengekspresikan berbagai kebijakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
d.   Perilaku Subversif di Kalangan Pelajar
Fenomena kekerasan di kalangan pelajar memang perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sebagai basis massa dan lokus gerakan kita, pelajar masih dalam tahap yang cukup labil dalam fase kehidupannya. Sehingga, berbagai macam tindakan subversive seperti tawuran, penggunaan narkoba dan free sex tak jarang dilakukan oleh generasi muda ini. Namun, dalam memandang fenomena ini IPM tidak boleh terjebak kerancuan berpikir seperti yang disebutkan Jalaluddin Rahmat, blaming the victim (menyalahkan pelaku). Karena diyakini lahirnya fenomena ini tidak berdiri tunggal. Ada “faktor luar” yang kemudian mempengaruhi prilaku pelajar seperti sistem pendidikan, kemiskinan, kesenjangan sosial dan lain-lain.
e.    Kemajuan Teknologi Informasi
Teknologi informasi maju semakin pesat, selain aspek keuntungan yang lebih cepat, efisien dan murah dalam membantu pelajar dalam membangun tradisi keilmuannya, ternyata hal ini juga memberikan efek negatif terhadap pelajar. Untuk itu, perlu ada tindakan nyata dalam mengarahkan pemanfaatan kemajuan teknologi yang semakin hari berkembang semakin pesat. Kemajuan teknologi informasi ini juga harus dapat dimanfaatkan oleh IPM sebagai wadah untuk menyemaikan ideologi yang dipahaminya. Sekaligus melakukan propaganda (menggalang kesadaran kolektif) lewat idea-idea IPM terhadap realitas yang ada untuk mewujudkan transformasi sosial. Sejarah mencatat, bahwa kemajuan teknologi informasi media cukup efektif dalam memprovokasi kesadaran sosial masyarakat. Misalnya, Gerakan Koin untuk Prita” dan “Gerakan Cicak Versus Buaya” yang digalang lewat blog dan media sosial facebook dan twitter yang kemudian menyadarkan masyarakat untuk melawan segala ketimpangan yang ada.

2.    Kondisi Internal
a.    Corak Keberislaman IPM
IPM sebagai sebuah gerakan pelajar dengan visi amar ma’ruf nahi munkar tentunya hadir dalam konsepsi keberislamannya sendiri. Untuk tataran teologi gerakan, teologi Al-Ma’un merupakan konsepsi yang dibangun dalam persyarikatan Muhammadiyah dan telah diterjemahkan ke dalam konsepsi gerakan IPM dengan konsep Gerakan Kritis Transformatifnya. Pada tataran fiqh, Muhammadiyah sebagai induk organisasi telah membangun sebuah perangkat interpretasi nilai-nilai keislaman dalam sebuah konsep yang disebut Himpunan Putusan Tarjih. Namun, apakah perangkat yang disediakan ini telah memberikan konstribusi terhadap keberislaman anggota IPM?
Selain itu, IPM dalam konsep keberislamannya mengalami proses kegamangan sampai ke tingkat grassroot (akar rumput) sehingga banyak dari kader IPM yang beralih ke “rumah” yang lain untuk mengasah konsep keberislamannya. Proses kegamangan ini terjadi ketika kita gagal dalam mendalami konsep keberislaman IPM, sehingga dinilai perlu untuk membuat formulasi baru tentang konsep beserta perangkat praksisnya sehingga bisa menjadi kekuatan yang sekiranya didalami oleh seluruh kader di semua level organisasi. Hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan yang diharapkan terinternalisasi dan termanifestasikan dalam kehidupan ritual dan sosial kader.
b.   Budaya Keilmuan IPM
Sebagai sebuah gerakan pelajar, IPM tentunya dituntut untuk senantiasa menggalakkan budaya keilmuan dalam rangka membangun nalar keilmuan di kalangan pelajar. Dari perspektif ide, IPM dinilai telah matang dalam merumuskan konsep budaya keilmuan, namun terjadi sebuah proses yang timpang dalam menggalakkan culturenya. Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada penegasan akan hal tersebut yang didahului oleh intensifikasi budaya keilmuan seperti misalnya Gerakan Iqra’ dengan tetap mengedepankan sifat kritis dan menggunakan daya nalar.
c.    Efektifitas Perkaderan
Sebagai proses pendidikan dan penyemaian nilai dan identitas IPM, pengkaderan dinilai sebagai sebuah aktivitas strategis untuk melakukan penyadaran, pemberdayaan dan pendampingan terhadap kader IPM. Namun sayangnya, diantara kuantitas pelaksanaan pengkaderan yang begitu banyak dilaksanakan hampir di setiap level tingkatan, efektifitas masih jauh dari harapan. Masih terdapat kelemahan dalam setiap tahapan pelaksanaan sehingga hal ini sedikit banyak berimplikasi terhadap keluaran yang dihasilkan. Diantaranya, persiapan pelaksanaan, sumber daya manusia serta yang terpenting adalah pendampingan pasca pelatihan yang saling terkait satu sama lain. Untuk itu, perlu ada langkah strategis untuk segera mengakhiri paceklik kader penggerak dengan mencoba merevitalisasi konsep dan perangkat perkaderan IPM.
d.   Posisi Strategis IPM di Kalangan Pelajar
Tak dapat dipungkiri bahwa di usianya yang telah melewati setengah abad, IPM telah menjejaring hampir di seluruh pelosok nusantara. IPM hadir sebagai pelopor gerakan pelajar kritis yang senantiasa melakukan penyadaran, pemberdayaan dan pembelaan di kalangan pelajar. Namun, hingga saat ini IPM dinilai masih belum memaksimalkan posisinya sebagai sebuah gerakan yang besar di kalangan pelajar untuk senantiasa memberikan manfaat atau inspirasi dalam rangka mencerdaskan dan memberdayakan kaum pelajar. Padahal ketika peran ini dapat dilakoni dengan baik, tentunya akan memberikan efek positif terhadap eksistensi gerakan IPM baik di sekolah Muhammadiyah maupun di sekolah non Muhammadiyah sehingga predikat sebagai The Chosen Organization (organisasi terpilih) bisa dicapai.

- Designed by Azaki Khoirudin -