- Back to Home »
- Gerakan Pelajar Baru di Ruang Publik
Oleh: Azaki Khoirudin[1]
Tidak diragukan lagi new social media membawa pengaruh perubahan mendasar pada seluruh
aspek kehidupan saat ini. Seolah tidak ada ruang kehidupan yang terhindar dari
kecanggihan teknologi new media,
pengaruhnya jelas merasuk ke segenap nadi kehidupan pelajar, baik secara
individual maupun hubungan social. Penggunaan teknologi modern dan new media telah membuka pintu munculnya
pemikiran baru dan kreatif tentang bagaimana mengatur dan merencanakan sesuatu
gerakan politik dan revolusi sosial yang dengan cepat berpengaruh secara
global.
Masa awal post-modern semakin diperkuat dengan berlangsungnya revolusi di
wilayah teknologi informasi dengan menjamurnya institusi-institusi yang
menghasilkan, mengontrol dan menyebarkan isi teknologi informasi. Pada level
individual, orientasi post-modernis tercermin dalam kebebasan individu. Konsep
NKRI (Negara Kesatuan republik Indonesia) yang secara sosial tersatukan dengan
semboyan bhenika tunggal ika dalam
payung Bangsa Indonesia, berubah menjadi konsep yang rapuh. Individu menjadi
berwajah ganda; yang satu berwatak global dan yang lain sangat lokal.
Tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh post-society
menuntut sebuah gerakan pelajar baru. Disini istilah (post-society) bisa saling dipetukarkan dengan new society (komunitas baru) yang didominasi media baru (new media).
Gerakan Pelajar Baru
Gerakan Pelajar
Baru (New Students Movement)
selanjutnya GPB ialah sebuah gerakan yang berpondasi Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) dengan konteks
menuju peradaban post-modern, yakni
pergeseran dari gelombang industri ke ilmu pengetahuan dan teknologi informasi
melalui media, dari paguyuban ke jejaring sosial. Munculnya GPB, ialah justifikasi atas sifat
kebaruan (newness) pada komunitas
pelajar Indonesia. Sistem komunikasi modern, dan globalisasi pasar ekonomi telah
menggeser paradigma masyarakat modern menuju post-modern. Spirit dari new studen movement adalah memangkas
hirarki dan birokrasi sehingga pergerakannya sangat cepat, lincah dan lebih progresif.
Di zaman yang serba cepat dan didukung oleh tekonologi yang luar
biasa sangat menunjang GPB. Namun, yang perlu diperhatikan IPM ialah pelajar
dalam hal ini adalah objek yang paling mudah menjadi korban, mengapa? Karena
penguasaan teknologi dan konsumsi media bersinggungan langsung dengan pelajar.
Oleh karena itu, IPM harus mampu merumuskan formula gerakan dalam rangka
melawan peradaban melalui efektifitas penggunaan media. Sebagaimana spirit
Islam Berkemajuan yang menjadi ideologi gerakan Muhammadiyah. Gerakan yang
responsif terhadap akselerasi perubahan dunia yang begitu cepat, yaitu model
Gerakan Pelajar Baru (new student
movement).
Meminjam istilah Foucaldian
‘pengetahuan adalah kekuasaan’ dalam masyarakat baru saat ini ‘kekuasaan’ telah menjadi ‘pengetahuan’. Kekuasaan adalah
kemerdekaan, kebebasan, dan kemapanan pribbadi. (Sing, 2010: 261). Pergeseran
paradigma ini mengakibatkan sekelompok atau individu yang tak bermoral
menguasai panggung kekuasaan dan politik untuk membengkokkan struktur dari
birokrasi. Pada saat yang sama IPM dengan GPB muncul sebagai ancaman kelompok
tak bermoral, yang menjadi manipulator kekuasaan politik atas dasar
kolektivitas-hati-nurani (conscience-collectivities).
GPB merupakan transformasi ideologi materialis, kapitalis, dan industrialis
yang merupakan konsepsi dari modernisme, sains, san rasionalitas menjadi
post-materialis, post-kapitalis, dan post-industrialis konsepsi dari masyarakat
post-modern.
GPB menampilkan model gerakan
pelajar yang menyuarakan nilai-nilai dan memperjuangkan tatanan normatif sosial
baru. Individu-individu GPB ini adalah komunitas terdidik baik laki-laki maupun
perempuan berhati nurani (hati suci) berjuang melawan materialisme dan ideologi
kaum dominan yang berkuasa. Perjuangan GPB pada masa post-modernitas tidak lagi
terarah kepada usaha mengejar capaian-capaian materi produk-produk industri,
namun kepada usaha mendefinisikan kembali norma-norma dan nilai-nilai luhur
kearifan lokal dan pesan universal Islam, kepada penguasaan barang kultural dan
simbol kolektif, kepada hak-hak politik pelajar dan keadilan sosial, dan kepada
sebuah pertarungan untuk mengejar ruang publik untuk bertindak dan untuk diakui
sebagai subyek pelaku gerakan atau tindakan kolektif tersebut.
GPB membawa gelombang gerakan
berskala luas di seputar isu yang berwatak humanis, cultural, dan
non-materialistik. Tujuan dan paradigma nilai-nilai GPB pada intinya bersifat
universal (rahmatan lil ‘alamin). Agenda
aksi-aksi GPB diarahkan untuk membela esensi dan melindungi konsisi kemanusiaan
demi masa depan kehidupan yang labih baik. Supaya pelajar tidak mengalami
kejutan masa depan (future shock) dan
kejutan budaya (culture shock) yang
bisa berimplikasi pada kejutan iman, kejutan akhlak, yang berpengaruh negatif
pada ideologi palsu dan gaya hidup palsu. Pergeseran dari masyarakat modernis ke post-modernis
ini, dicerminkan oleh pergeseran serupa dalam bentuk gerakan pelajar yang
berubah dari bentuk lama (klasik dan neo-klasik) menuju “new student movement” gerakan pelajar baru (GPB). Gerakan lama
adalah representasi dari kapitalisme dan industrialism, yakni sebuah pantulan
ekpansi dan dominasi peradaban Barat (secular)
terhadap masyarakat non-Barat. Kemudian GPB menyiratkan keletihan dari
reprentasi modernis itu, kemudian menuju post-modernis.
Peran IPM di Ruang
Publik
Gerakan IPM dengan pilihan GPB
merupakan pantulan atau cerminan dari citra sebuah komunitas pelajar baru (post-society). Sebab itu GPB ini
menandakan adanya kebutuhan akan sebuah paradigma baru tentang gerakan pelajar,
yang menjadi gerakan alternatif kebudayaan dan komunitas pelajar, dan menjadi
sebuah kesadaran diri yang baru dari komunitas-komunitas tentang masa depan
pelajar. Adapun ciri-ciri GPB antara
lain; pertama, dahulu orang yang
menguasai informasi dan pengetahuan adalah yang berkuasa, tetapi bagi konteks
GPB kuasa adalah infoormasi. Mereka yang berkuasa adalah yang memegang kendali
informasi melalui media dan membentuk opini bahkan ideologi masyarakat. Kedua, GPB adalah gerakan pelajar transnasional
yang menyuarakan, mengarahkan, dan berjuang bagi isu-isu kemanusiaan, dan
eksistensi manusia yang bermartabat dan bermasa depan di dunia. Ketiga, GPB tidak bersifat sosio-politik
tapi lebih pada sosio-kultural. GPB tidak terjebak dengan gerakan-gerakan karya
yang material tetapi juga disertai makna tindakan. (130), jadi GPB lebih kepada
melakukan transformasi nilai paradigm gerakan.
GPB adalah “minoritas” , “gerakan
elit”, (khoiru ummah), atau komunitas
terbaik di tengah gerakan-gerakan pelajar lain. Tetapi, tipe utama GPB secara aktif
menyuarakan nilai-nilai pasifis (suka
damai), non-kekerasan, pan-humanis, homofili,
universal (untuk semua) dan bersifat non-politik. Tipe GPB yang pan-humanis dan
inklusif selalu melakukan pembacaan realitas masyarakat kontemporer
post-modernis yang saat ini ditentukan oleh pasar, teknologi, informasi,
komunikasi, dan perkembangan demokratisasi pada level global.
Perlu diketahui bahwa peradaban adalah manusia sebagai sentral
penggeraknya sehingga manusialah yang menentukan kemana arah gerak peradaban
dan bagaimana perdaban dimulai atau berkembang. Konsekuensi bagi IPM
dengan pilihan GPB sebagai model gerakan yang harus dilakukan oleh gerakan IPM adalah:
Pertama, IPM harus memperamping birokratisasi melalui media, dimana untuk
komunikasi lgsg ke grassroot harus lebih cepat dn efektif. Kedua, IPM harus melawan efek negatif media
dengan melawan kemapanan (status quo),
yang berbentuk ideologi palsu. Artinya, media harus lebih bermanfaat optimal
daripada hanya sekedar pengguna saja, melainkan mengambil peran dan harus
memahami betul konsekuensi logis dari
poduk-produk saat ini.
Keempat, IPM
harus lebih konsen pada capaian yang terukur, fokus pada titik yang dibidik dan
akuntabilitas, yaitu pendidikan. Sehingga, IPM lebih responsive dan mengena,
meski tidak semua bisa terjamah oleh IPM.
Media adalah lahan utama IPM yang wajib dioptimalkan dalam upaya menyuarakan
kepentingan-kepentingan pelajar. Sebagai contoh revolusi mesir 80% membangun
pemahaman dan menjaring simpatisan melalui social
networking dan 20% turun kelapangan. Sehingga gerakan IPM kedepan dengan
model GPB harus 80% menguasai media dan 20% rapat. Jika hal ini benar-benar
terealisasikan, maka IPM akan mampu merebut dan menguasai pandangan dunia pelajar
melalui wacana publik. Sehingga, IPM tampil sebagai sayap gerakan pelajar yang
mampu membentengi pemikiran, ideologi, moralitas, dan mental pelajar Indonesia.
Amien.
[1] Tim Perkaderan PW IPM Jawa Timur, Mahasantri Pondok Hj Nuriyah
Shabran PP Muhammadiyah dan Alumni Pelatihan Kader Taruna Melati Utama PP IPM di Bengkulu 2011